Ruangan itu terasa sesak oleh keheningan yang mencekam. Tatapan tajam Pak Aryan menusuk Brisa, membuat gadis itu semakin menunduk. Wajah Bu Tara yang biasanya lembut kini tampak murung, matanya berkaca-kaca.
"Brisa, siapa laki-laki itu?" Suara Pak Aryan menggelegar, memecah keheningan. Brisa terisak, tubuhnya gemetar hebat. "Pa... Papa, aku nggak tahu." "Tidak tahu? Bagaimana bisa tidak tahu, Brisa?" Pak Aryan semakin marah. "Kamu sudah melakukan hal memalukan seperti ini, tapi masih berani bohong!" "Papa, aku beneran nggak tahu. Aku belum pernah... belum pernah tidur sama siapa-siapa." Suara Brisa teredam oleh isakannya. Pak Aryan tertawa sinis. "Jangan berbohong lagi, Brisa! Kamu hamil? Kamu pikir Papa bodoh? Hasil medical check up menyatakan kamu hamil." "Papa, aku... aku nggak bohong!" Brisa memohon, air matanya mengalir deras. Bu Tara mendekat, mengelus bahu Brisa. "Brisa, coba ingat-ingat lagi. Mungkin kamu lupa?" Brisa menggelengkan kepala putus asa. "Bu, aku udah berusaha ingat, tapi aku beneran nggak tahu. Aku juga nggak ngerti kenapa bisa kayak gini." "Sudahlah, Bu. Percuma kita tanya lagi. Dia jelas-jelas sudah mempermalukan kita!" Pak Aryan memotong ucapan istrinya. "Papa, jangan marah sama Brisa. Mungkin ada penjelasan lain," Bu Tara membela anaknya. "Penjelasan apa lagi? Dia hamil di luar nikah! Ini sudah jelas-jelas aib bagi keluarga kita!" Pak Aryan membentak. Brisa semakin terisak. Hatinya hancur melihat ayahnya yang biasanya penyayang kini begitu marah padanya. "Brisa, kalau kamu tidak mau mengaku, jangan salahkan Papa kalau Papa bertindak keras!" ancam Pak Aryan. Brisa semakin ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir. "Brisa, coba kamu ingat-ingat lagi. Mungkin ada sesuatu yang terlewatkan. Jangan sampai kamu menutup-nutupi kebenaran," bujuk Bu Tara. Brisa menghela napas panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat semua kejadian yang pernah dialaminya. Namun, otaknya terasa kosong. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apapun kalau ia pernah tidur dengan seorang pria, karena ia memang tidak pernah melakukannya. "Sudah, Bu. Percuma kita bicara dengannya. Dia tidak akan pernah jujur!" Pak Aryan memotong ucapan istrinya lagi. "Papa, aku mohon, jangan marah sama Brisa." Bu Tara memohon. Brisa semakin merasa terpuruk. Ia merasa dirinya tidak berguna dan sudah mengecewakan semua orang yang menyayanginya. Bunga rampai yang biasa menghiasi ruang keluarga kini tampak layu. Aroma harum yang dulu menenangkan, kini terasa mencekik. Brisa masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya gemetar hebat. Tatapan Pak Aryan semakin tajam, bagai elang yang siap menerkam mangsanya. "Brisa, masuk ke kamarmu sekarang juga!" perintah Pak Aryan dengan suara bergetar menahan amarah. Brisa menggeleng lemah, air matanya semakin deras. "Jangan bantah, Brisa!" Pak Aryan menunjuk pintu kamar. Dengan langkah gontai, Brisa berjalan menuju kamarnya. Pintu dibanting keras dari dalam. Brisa memeluk lututnya, tubuhnya terkulai lemas di atas ranjang. Bu Tara menghampiri suaminya, berusaha menenangkan. "Aryan, jangan terlalu keras pada Brisa." Pak Aryan menghela napas kasar. "Bagaimana aku tidak marah, Bu? Dia sudah mempermalukan kita!" "Tapi, Aryan, kita harus mencari solusi yang terbaik. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan Brisa." "Solusi apa yang bisa kita ambil? Perjodohan dengan keluarga Hendratama sudah di depan mata. Bagaimana kalau mereka tahu tentang ini? Brisa akan menjadi bahan tertawaan!" Bu Tara terdiam. Ia tahu suaminya sangat gengsi. Nama baik keluarga adalah segalanya baginya. "Aku akan bicara dengan keluarga Hendratama," ujar Bu Tara pelan. Pak Aryan menggeleng tegas. "Tidak! Jangan pernah!" Bu Tara merasa putus asa. Ia tidak tega melihat anaknya menderita. Beberapa hari kemudian, Brisa tetap dikurung di kamarnya. Ia hanya keluar untuk makan, kerja, dan mandi, itupun sambil diawasi oleh pembantunya. Sementara itu, Pak Aryan terus memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Ia tidak ingin perjodohan dengan keluarga Hendratama batal, namun di sisi lain, ia juga tidak tega melihat anaknya menderita. "Aryan, aku sudah memikirkannya matang-matang," ujar Bu Tara suatu siang. "Kita harus jujur pada keluarga Hendratama." Pak Aryan menatap istrinya dengan tajam. "Apa maksudmu?" "Kita harus memberitahu mereka tentang keadaan Brisa. Kita tidak bisa terus-menerus menyembunyikan kebenaran." Pak Aryan menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Aku tidak mau nama baik keluarga kita tercemar." "Tapi Aryan, kita tidak bisa terus-menerus berbohong. Kebenaran akan terungkap juga." Pak Aryan terdiam. Ia tahu istrinya benar. Namun, egonya masih sangat besar. Ia tidak ingin kehilangan muka di hadapan masyarakat. Bu Tara menghela napas panjang. Ia tahu suaminya akan sulit untuk menerima kenyataan ini. *** Cahaya matahari sore menyinari kamar Brisa, menembus celah tirai. Brisa terbangun dengan perasaan berat. Pikirannya berkecamuk memikirkan masa depannya yang tak menentu. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dan Pak Aryan masuk. "Ada apa lagi, Pa." "Ada yang ingin Papa bicarakan denganmu," ujar Pak Aryan dengan nada serius. Brisa terduduk di tepi ranjang, matanya menatap ayahnya dengan penuh tanya. "Tentang perjodohanmu dengan keluarga Hendratama, Papa sudah memutuskan...." Hati Brisa berdebar kencang. Ia sudah menduga pembicaraan mereka akan mengarah ke sana. "...Papa tetap akan melanjutkan perjodohan ini, meskipun sekarang kamu sedang hamil," sambung Pak Aryan tegas. Brisa tertegun. "Tapi, Pa, aku...." "Dengar, Brisa," potong Pak Aryan. "Ini demi kebaikan kita semua. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat baik. Anaknya juga orang yang sukses dan bertanggung jawab. Dia akan menjadi suami yang baik untukmu dan akan menyelamatkan rasa malu kita, karena kamu hamil di luar nikah." "Tapi, Pa, aku tidak mencintainya," ucap Brisa lirih. "Cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Brisa," jawab Pak Aryan. "Lagipula, kamu akan memiliki segalanya. Kehidupan yang nyaman, keluarga yang baik, dan masa depan yang cerah." "Mereka akan tahu kalau aku hamil," ucap Brisa dengan suara bergetar. "Selama perutmu belum membesar, mereka tidak akan tahu. Itu sebabnya kamu harus cepat menikah." "Aku tidak ingin membohongi siapapun, Pa," jawab Brisa. "Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak kucintai, apalagi dalam keadaan seperti ini." "Ini jalan satu-satunya agar kita tidak malu. Ini salahmu tak bisa jaga diri." Seberapa pun usaha Brisa untuk memberitahu ayahnya, bahwa ia belum ada satu pun pria yang menyentuhnya, ayahnya tak akan pernah percaya, bahkan kehamilannya masih jadi misteri. "Kamu pikir dengan memberitahu mereka tentang kehamilanmu, masalah akan selesai?" bentak Pak Aryan. "Kamu akan menjadi bahan tertawaan orang! Nama baik keluarga kita akan hancur!" "Lalu, apa yang harus aku lakukan, Pa?" tanya Brisa putus asa. "Kamu akan tetap menikah dengan salah satu putra keluarga Hendratama," tegas Pak Aryan. "Dan kamu akan merahasiakan kehamilanmu. Anak itu akan menjadi anak suamimu. Tidak ada yang akan tahu tentang ini." "Tidak, Pa! Aku tidak mau berbohong!" bantah Brisa. "Kamu tidak punya pilihan lain, Brisa," ucap Pak Aryan. "Ini demi kebaikanmu dan anak yang sedang kamu kandung. Apa kamu ingin anakmu nanti tak punya ayah?" "Bagaimana dengan masa depanku, Pa? Aku ingin melanjutkan kuliah di Inggris," ucap Brisa dengan suara bergetar. "Luar negeri? Lupakan saja! Kamu sudah tidak bisa kuliah lagi dalam keadaan hamil di luar nikah," tegas Pak Aryan. Brisa merasa dunianya runtuh. Semua mimpinya hancur dalam sekejap. Pak Aryan menatap Brisa dengan tatapan tajam. "Kamu sudah tidak punya pilihan lain, Brisa." Brisa menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur berkeping-keping dan terjebak dalam situasi yang sulit.Brisa menatap layar ponselnya, jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggilan. Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, ia menekan tombol hijau."Halo, Van?" sapa Brisa dengan suara lirih."Brisa, kamu kenapa sih?" tanya Ivana khawatir.Brisa menarik napas dalam-dalam. "Van, aku... aku hamil."Seketika terdengar suara teriak dari ujung telepon. "Apa? Kamu hamil? Seriusan, Brisa?"Brisa mengangguk, meskipun Ivana tidak bisa melihatnya. "Iya, Van. Aku beneran hamil.""Tapi siapa ayahnya, Brisa? Kamu harus jujur sama aku," desak Ivana.Brisa terdiam sejenak. "Aku nggak tahu, Van. Aku beneran nggak tahu siapa ayahnya.""Hah? Kamu nggak tahu? Maksudnya gimana?" tanya Ivana tak percaya."Aku belum pernah tidur sama siapapun, Van," jawab Brisa dengan suara bergetar."Brisa, kamu jangan bohong. Masa iya kamu nggak tahu siapa ayahnya?""Aku beneran nggak bohong, Van. Aku nggak pernah melakukan hal yang macam-macam. Aku masih perawan."Ivana terdiam sejenak. Ia mengenal Brisa dengan
"Iya, Pa. Ivana menyarankan agar aku melakukan tes itu," jawab Brisa."Untuk apa kamu melakukan tes itu?" tanya Pak Aryan, suaranya meninggi."Aku ingin membuktikan pada Papa kalau aku masih perawan," jawab Brisa.Pak Aryan terdiam sejenak, pikirannya berkecamuk. Ia tidak menyangka putrinya akan meminta untuk melakukan tes seperti itu."Tidak perlu," ujar Pak Aryan."Tapi, Pa....""Sudah, tidak usah diperpanjang lagi," potong Pak Aryan.Bu Tara yang sedari tadi mengamati mereka, akhirnya angkat bicara. "Aryan, biarkan saja Brisa melakukan tes itu. Ini penting untuk membuktikan bahwa dia tidak berbohong."Pak Aryan menatap istrinya, kemudian kembali menatap Brisa. "Baiklah, kalau itu maumu, tapi ingat, jangan pernah berbohong lagi."Brisa merasa lega mendengar persetujuan ayahnya. Ia segera memeluk ayahnya erat. "Terima kasih, Pa!"Setelah sarapan, Brisa dan Ivana berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Brisa merasa gugup dan cemas, sedangkan Ivana ber
Sinar mentari sore menyisir lembut rambut gadis itu, menciptakan halo emas di sekeliling wajahnya yang sayu. Pria itu terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Sejak pandangan pertama, ia tahu bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.Gadis itu duduk di bangku taman, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Angin sore menghembus lembut, membolak-balik halaman buku itu. Mata pria itu tak berkedip, mengamati setiap gerakan gadis itu. Rambutnya yang terurai bebas tertiup angin, matanya yang berkilau seakan menyimpan sejuta rahasia, dan senyum tipis yang sesekali menghiasi bibirnya membuat pria itu terpukau.Sejak dulu, pria itu bukanlah tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Tatapannya yang dalam seolah menembus jiwa, aura misterius yang mengelilinginya, dan kecantikannya yang alami membuatnya merasa tertarik secara mendalam.Dengan hati berdebar, pria itu mendekati gadis itu. Ia ragu-ragu sejenak, lalu me
Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini."Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan."Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melan
Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa."Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan.Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya."Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik."Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya.Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan."Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini."Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat."Sagara menatapnya, sorot matanya dalam dan ha
Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul.Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan.Tangan Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan."Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan."Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat.Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk."Ada apa, Dok? Ada masalah?"Angga menelan
Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut."Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you."Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara.Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play."Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya."Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar."Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya."Tak
Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya." Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah
“Siapa sih pengirimnya? Jangan bikin penasaran, dong,” goda Rani dengan nada menggoda.Brisa hanya tersenyum tipis, matanya berbinar dengan kilau misterius saat ia menatap Kartika. “Seseorang yang baik,” jawabnya singkat.Kartika mengerjap, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Seseorang yang baik? Ah, jangan bikin penasaran! Ayo, spill dong!” desaknya sambil mencubit lengan Brisa pelan.Seketika, ruangan menjadi lebih ramai. Rekan-rekan kerja yang tadinya sibuk dengan pekerjaan mereka kini menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini, Brisa dikenal sebagai sosok mandiri, hampir tidak pernah terlihat dekat dengan pria mana pun. Maka, kemunculan buket mawar itu menjadi topik paling menarik hari ini.“Wah, ada yang lagi dimabuk cinta, nih,” seru Kartika, disambut tawa beberapa rekan kerja lainnya.“Siapa sih? Cowok ganteng, kan?” tanya Rani sambil mengangkat alis, penuh rasa ingin tahu.Brisa hanya tertawa kecil, pipinya mulai memanas. Ia tidak menyangka reaksi teman-temannya akan s
“Terima kasih, Ma, Pa,” ucapnya lirih, penuh rasa syukur. Mereka bertiga lalu duduk bersama, mengobrol panjang lebar tentang pernikahan Brisa dan Sagara. Mereka membicarakan tanggal, tempat, dan segala persiapan yang diperlukan. Brisa mendengarkan dengan mata berbinar, hatinya terasa begitu ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebahagiaan yang utuh. *** Brisa duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jantungnya berdetak kencang saat melihat nama Sagara muncul di layar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan debaran di dadanya sebelum akhirnya menekan tombol hijau. “Halo, Sayang!” suara Sagara terdengar hangat, seperti pelukan di malam yang dingin. Brisa menggigit bibirnya, senyum tersungging di wajahnya. “Halo, Sagara!” Suaranya sedikit gemetar. “Aku mau bilang, aku terima lamaranmu.” Keheningan menyelimuti sejenak, hanya ada suara napas tertahan di ujung telepon. Lalu, tawa bahagia meledak dari seberang sana. “Benarkah, Sayang
Saat istirahat siang, Brisa memilih menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kantor. Ia berjalan tanpa tujuan di sekitar gedung, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang terasa hangat oleh kegelisahan. Rasanya sesak berada di dalam ruangan terlalu lama dengan pikiran yang terus berputar.Ia menemukan sebuah bangku taman yang sepi, lalu duduk dan mendongak menatap langit. Biru cerah membentang luas, seakan menawarkan ketenangan yang sulit ia genggam. Dalam diam, ia mengelus perutnya yang masih rata, hatinya dipenuhi kebimbangan.Setelah istirahat selesai, Brisa kembali ke meja kerjanya, mencoba membenamkan diri dalam rutinitas. Ia menyalakan komputer, membuka email, namun pikirannya masih melayang entah ke mana. Hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja.Nomor asing.Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. "Halo?""Brisa? Ini aku, Ivana!"Brisa terdiam sesaat, lalu matanya membesar. "Ivana?" suaranya hampir tercekat oleh keterkejutan. "Kamu?""Iya, ini aku! Astaga, aku kangen
Sesampainya di rumah, Brisa langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya masih tertinggal di rumah Sagara. Ia memikirkan segalanya—keluarga Sagara yang begitu hangat, obrolan mereka yang menyenangkan, dan tentu saja perasaan yang kini semakin nyata tumbuh di dalam hatinya. Namun, di antara semua itu, ada sesuatu yang terus menghantuinya. Percakapan tentang Brian. Tatapan enggan yang saling dilemparkan oleh Pak Raditya dan Bu Arini. Suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Apa yang sebenarnya terjadi? Brisa meraih ponselnya dan membuka galeri. Ia menelusuri foto-foto yang diambilnya bersama Sagara dan keluarganya tadi malam. Senyumnya terukir saat melihat momen-momen itu, tetapi rasa penasaran di hatinya tetap menggelayut. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana pagi yang hangat di ruang makan. Brisa duduk di meja, mengaduk minumannya pelan sambil sesekali melirik kedua orang tuanya yang tengah berbincang. "Bris
"Sagara punya kakak laki-laki. Namanya Brian," suara Bu Arini terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang enggan terucap. "Tapi kakak Sagara sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia sekarang tinggal di Inggris." Brisa mengernyit. "Kenapa?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang. Sekilas, Brisa bisa melihat keraguan di mata mereka, seolah ada luka lama yang tersimpan di sana—luka yang terlalu perih untuk diungkit kembali. "Sudahlah, Nak. Itu sudah masa lalu," ujar Pak Raditya dengan nada yang berat, seakan kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Brisa. Keheningan menyelimuti ruangan. Brisa bisa merasakan sesuatu yang tidak diungkapkan, sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Ada cerita di balik nama Brian, cerita yang masih menghantui keluarga ini. Namun, ia tidak ingin memaksa mereka mengungkap luka yang belum sembuh. Jam dinding berdenting pelan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Brisa menarik napas, men
Kembali ke kantor, Sagara langsung menuju ruang rapat. Sore ini, ia mengadakan pertemuan rutin dengan tim manajemen untuk membahas kinerja perusahaan secara keseluruhan."Bulan ini, kita berhasil menyelesaikan tiga proyek besar," kata Sagara membuka rapat. Nada suaranya tegas, mencerminkan kepemimpinannya yang solid. "Ini pencapaian luar biasa, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Kita harus terus berkembang."Satu per satu, para manajer memaparkan laporan mereka. Ada masalah yang perlu diatasi—keterlambatan pengiriman material, kurangnya tenaga kerja, hingga kendala teknis lainnya. Sagara menyimak dengan seksama, memberi masukan di setiap kesempatan. Namun, jauh di dalam benaknya, pikirannya melayang ke tempat lain.Ponselnya yang tergeletak di atas meja terasa begitu menggoda. Beberapa saat lalu, Brisa mengirim pesan—sesuatu yang sederhana, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar. Sejak itu, ia tak bisa sepenuhnya fokus. Setiap kali ada jeda dalam pembicaraan, matanya tak sadar
Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han
Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka
Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m