Share

Bab 4. Jatuh cinta

Penulis: Miarosa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-14 07:25:20

Sinar mentari sore menyisir lembut rambut gadis itu, menciptakan halo emas di sekeliling wajahnya yang sayu. Pria itu terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Sejak pandangan pertama, ia tahu bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.

Gadis itu duduk di bangku taman, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Angin sore menghembus lembut, membolak-balik halaman buku itu. Mata pria itu tak berkedip, mengamati setiap gerakan gadis itu. Rambutnya yang terurai bebas tertiup angin, matanya yang berkilau seakan menyimpan sejuta rahasia, dan senyum tipis yang sesekali menghiasi bibirnya membuat pria itu terpukau.

Sejak dulu, pria itu bukanlah tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Tatapannya yang dalam seolah menembus jiwa, aura misterius yang mengelilinginya, dan kecantikannya yang alami membuatnya merasa tertarik secara mendalam.

Dengan hati berdebar, pria itu mendekati gadis itu. Ia ragu-ragu sejenak, lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Permisi, bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya dengan suara lembut.

Gadis itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata pria itu. Sejenak, waktu seakan berhenti. Ada kejutan dalam tatapan gadis itu, namun kemudian ia mengangguk ramah. "Tentu saja."

Pria itu duduk di samping gadis itu, menjaga jarak yang sopan. Ia berusaha memulai percakapan, namun kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya bisa mengutarakan kekagumannya pada buku yang sedang dibaca gadis itu.

Percakapan mereka mengalir begitu lancar, hangat, dan menyenangkan. Pria itu mendengarkan cerita gadis itu dengan penuh perhatian. Ia merasa semakin terpesona dengan gadis itu.

Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Matahari hampir tenggelam, dan langit semakin gelap. Gadis itu pamit pulang. Sang pria merasa sangat berat hati melepasnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya pulang. Wanita itu ragu-ragu, karena ia baru mengenal pria itu. Namun, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Akhirnya, ia menerima tawaran pria itu.

Mereka berdua berjalan menuju mobil pria itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba telepon pria itu berdering. Ia mengangkat telepon itu dan berbicara dengan seseorang. Wajahnya berubah menjadi serius, dan ia meminta maaf pada wanita itu karena harus segera pergi.

Wanita itu mengerti dan tidak mempermasalahkannya. Ia berkata bahwa ia akan menelepon sopir ayahnya untuk menjemputnya. Pria itu merasa lega dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu.

"Senang bisa bertemu denganmu," kata pria itu sebelum pergi.

Wajah wanita itu merona merah mendengar perkataan pria itu. Ia merasa malu dan salah tingkah. Ia tidak tahu harus berkata apa.

Setelah pria itu pergi, wanita itu masih terpaku di tempatnya. Ia tidak bisa melupakan wajah tampan pria itu, suaranya yang lembut, dan tatapannya yang penuh perhatian. Ia merasa seperti mimpi bertemu dengan pria itu.

Wanita itu kemudian teringat bahwa ia belum menanyakan nama pria itu. Ia menyesal dan berharap bisa bertemu lagi dengannya.

Keesokan harinya, wanita itu tidak bisa melupakan pria yang ditemuinya di taman kota. Ia terus memikirkannya dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ia bahkan mencari-cari informasi tentang pria itu di media sosial, tetapi tidak menemukan apa-apa.

***

Cahaya bulan merembes menembus celah tirai kamar Sagara, menciptakan suasana remang-remang yang menenangkan. Namun, kedamaian itu sirna seketika ketika pintu kamarnya terbuka dan sosok ibunya muncul di ambang pintu. Wajah wanita paruh baya itu tampak serius, garis-garis kerutan di dahinya semakin dalam.

"Sagara, Ibu ingin bicara serius denganmu," ujar Bu Arini, suaranya lembut namun tegas.

Sagara yang sedang asyik dengan buku di tangannya, mengangkat wajah. Ia meletakkan buku itu dan menatap ibunya dengan tatapan bertanya. "Ada apa, Bu?"

Bu Arini menghela napas panjang. "Ibu tahu ini akan sulit bagimu, tapi Ibu harus memberitahumu tentang ini." Ia duduk di tepi ranjang Sagara, meraih tangan putranya. "Ibu sudah mengatur pertemuanmu dengan putri keluarga Sanjaya besok siang."

Sagara terbelalak kaget. "Apa? Pertemuan? Dengan putri keluarga Sanjaya?" suaranya meninggi. "Bu, aku tidak mau dijodohkan!"

Bu Arini menggelengkan kepala. "Ibu tahu kamu tidak mau, tapi ini demi kebaikanmu. Keluarga Sanjaya adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putri mereka akan sangat menguntungkan kita."

"Aku tidak peduli dengan keuntungan! Aku ingin memilih sendiri jodohku!" bantah Sagara dengan keras.

Arini menatap putranya dengan sedih. "Ibu mengerti perasaanmu, tapi Ibu mohon kamu bisa mengerti posisi Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."

"Yang terbaik menurut Ibu, bukan menurutku, Bu!" sahut Sagara.

Perdebatan mereka semakin memanas. Sagara terus menolak perjodohan ini, sementara Arini berusaha menyakinkan putranya bahwa ini adalah keputusan yang terbaik.

"Ibu, aku tidak bisa mencintai seseorang hanya karena perjodohan!" tegas Sagara.

Arini terdiam sejenak. Ia tahu bahwa putranya keras kepala, namun ia tidak bisa menyerah begitu saja. "Ibu tahu kamu mencintai kebebasanmu, tapi pernikahan ini akan memberikanmu banyak keuntungan. Bisnis keluarga akan semakin berkembang."

Sagara merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin menolak perjodohan ini, karena ia ingin memilih pasangan hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya.

"Ibu, berikan aku waktu untuk memikirkannya," pinta Sagara.

Arini mengangguk. "Baiklah, Nak, tapi ingat, waktu kita terbatas. Pertemuan dengan keluarga Sanjaya sudah dijadwalkan besok siang."

Setelah ibunya pergi, Sagara masih terdiam di tempat tidur. Pikirannya kacau. Ia merasa terjebak dalam sebuah dilema yang sulit.

Sagara menatap keluar jendela. Langit malam tampak begitu gelap dan sunyi. Pintu kamar terbanting pelan, menyisakan Sagara seorang diri dalam keheningan yang mencekam. Tatapannya mengikuti pintu yang tertutup rapat, seakan masih berharap ibunya akan kembali dan membatalkan semua rencana perjodohan ini. Namun, yang ada hanyalah kehampaan.

Di atas meja, sebuah amplop coklat tergeletak mencolok. Di dalamnya, tersimpan foto dan biodata wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sagara tahu itu, namun ia enggan menyentuhnya. Amplop itu bagaikan kutukan yang menghantuinya.

Ia berjalan mendekati jendela, menatap keluar.

Langit malam tampak begitu suram, seakan merefleksikan perasaan gelisahnya. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta hembusan kesedihan yang mendalam.

Sagara teringat masa kecilnya, ketika ibunya selalu ada di sisinya. Ibu yang selalu memanjakannya, yang selalu mendukung semua mimpinya. Namun, sekarang, ibunya justru memaksakan kehendaknya padanya.

"Kenapa, Bu?" gumam Sagara lirih.

Ia terduduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Pikirannya melayang pada wanita yang akan dijodohkannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahuinya. Bahkan, ia tidak pernah bertanya namanya. Baginya, wanita itu hanyalah sebuah nama dalam daftar panjang rencana ibunya.

Sagara merasa seperti sebuah pion dalam permainan catur. Hidupnya diatur oleh orang lain, tanpa pernah mempertimbangkan keinginannya sendiri. Ia merasa terjebak dalam sebuah sangkar emas, bebas secara fisik namun terkekang secara emosional.

Matanya terpejam perlahan, membayangkan masa depan yang tidak pasti. Masa depan di mana ia harus hidup bersama seorang wanita yang tidak ia cintai.

***

Brisa tengah menikmati secangkir teh hangat, pikirannya melayang entah ke mana. Tiba-tiba, suara ayahnya memecah kesunyian.

"Brisa," panggil Pak Aryan, suaranya terdengar berat.

Brisa menoleh, matanya bertemu dengan tatapan serius ayahnya. Ia tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Perjodohan. Sebuah topik yang selalu membuatnya merasa tertekan.

"Besok siang, kita akan bertemu dengan keluarga Hendratama. Putra mereka akan menjadi calon pendampingmu," lanjut Pak Aryan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 5. Pertemuan

    Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini."Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan."Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 6. kesalahan fatal

    Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa. "Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya. "Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik." Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya. Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan. "Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini." Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat." Sagara menatapnya, sorot matan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 7. Kekeliruan yang tak termaafkan

    Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul. Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan. Tangan dokter Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan. "Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan." Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat. Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ada apa, Dok? Ada masal

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 8. Undangan kencan

    Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut."Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you."Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara.Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play."Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya."Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar."Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya."Tak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 9. Panggilan telepon

    Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya." Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 10. Potongan Puzzle

    Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 11. Harapan dan rasa takut

    Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 12. Jejak yang lenyap

    Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13

Bab terbaru

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 103. Hatiku masih di masa lalu

    Brisa terlihat seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang yang menyimpan begitu banyak perasaan. Kerinduan. Luka. Bingung. Cinta. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar. "Aku datang karena aku harus memberitahumu sesuatu," jawab Brian lembut. "Sesuatu yang sangat penting." Brisa mundur selangkah, ragu. Tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang kini membulat. Brian melihat itu dan hatinya terasa seperti diremas. Ia ingin menyentuh perut itu. Ingin menyentuh nyawa kecil di dalamnya—anak mereka. "Brisa, anak yang kamu kandung itu adalah anakku," ucap Brian akhirnya. Brisa terdiam. Seolah kata-kata itu butuh waktu lama untuk diproses dalam kepalanya. "Apa maksudmu?" tanyanya perlahan, keningnya mengerut bingung. "Brian, kamu bilang anak ini anakmu?" "Iya. Anak itu anakku." "Tapi bagaimana bisa? Ini hasil inseminasi buatan. Aku tidak pernah...." Brisa tidak bisa melanjutkan. Ia menatap Brian dengan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 102. Osaka

    Pukul lima sore, suasana kantor pusat milik keluarga Hendratama tampak sedikit berbeda dari biasanya. Lantai tertinggi yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang staf kini terasa lebih tenang, namun tetap formal. Penerangan hangat menyinari lorong menuju ruang CEO, dan dua staf keamanan berjaga di depan pintu utama.Pak Aryan dan Bu Tara berdiri di hadapan pintu kayu tinggi bertuliskan nama lengkap Brian Hendratama. Pak Aryan melirik jam tangannya, kemudian mengetuk pelan."Silakan masuk!" terdengar suara dari dalam.Saat pintu dibuka, Brian berdiri dari balik mejanya. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang masih rapi dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia sibuk sejak pagi, tapi matanya menyiratkan harapan."Pak Aryan, Bu Tara, silakan duduk! Saya senang sekali Bapak dan Ibu datang."Mereka bertiga duduk di sofa panjang dekat jendela besar. Kopi dan teh sudah disiapkan oleh sekretaris Brian, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya.Pak Aryan memulai

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 101. Ketegangan yang nyata

    Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 100. Tidak ada kehangatan

    "Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 99. Langit sore yang kelabu

    Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 98. Bibi Rika

    Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 97. Bandara

    Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 96. Pergi

    Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 95. Pergi dari rumah

    Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status