Share

Bab 5. Pertemuan

Author: Miarosa
last update Last Updated: 2025-02-14 07:25:51

Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini.

"Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.

Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."

Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan.

"Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.

Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melanjutkan hubungan ini."

Brisa merasa sedikit lega mendengar penjelasan ayahnya. "Jadi, aku boleh menolak jika tidak cocok?"

"Tentu saja," jawab Pak Aryan. "Papa tidak ingin memaksamu untuk menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai. Jika kamu tidak bisa menikah dengannya dengan terpaksa, ayah harus menyembunyikanmu sampai melahirkan. Papa sudah memikirkan hal ini beberapa hari terakhir."

Brisa mengangguk. Ia memutuskan untuk mengikuti pertemuan itu. Toh, tidak ada salahnya untuk mencoba mengenal calon suaminya lebih dulu. Siapa tahu, ia bisa menemukan kecocokan dengan pria itu.

"Baiklah, Pa. Aku akan ikut," kata Brisa.

"Bagus," ujar Pak Aryan. "Pakailah pakaian terbaikmu."

Brisa mengangguk patuh. Ia merasa seperti boneka yang sedang diatur-atur. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan besok akan berjalan lancar.

***

Cahaya matahari pagi menyinari kamar Sagara, perlahan menariknya dari mimpi. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari di mana ia akan bertemu dengan calon istrinya yang telah dijodohkan. Dengan perasaan yang campur aduk, Sagara bangkit dari tempat tidur.

Di depan cermin, ia mengamati penampilannya. Stelan jas hitam membuatnya terlihat lebih dewasa dan tampan. Rambutnya yang hitam disisir rapi menggunakan gel, memberikan kesan rapi dan elegan. Namun, di balik penampilan yang sempurna itu, Sagara merasa hampa. Ia sama sekali tidak merasakan antusiasme untuk bertemu dengan calon istrinya.

Setelah bersiap-siap, Sagara turun ke lantai bawah. Ayahnya, Pak Raditya, dan ibunya, Bu Arini, sudah menunggu di ruang tamu. Mereka bertiga kemudian berangkat menuju hotel tempat pertemuan akan berlangsung.

Sesampainya di hotel, mereka disambut hangat oleh manajer hotel. Dengan ramah, sang manajer mengantar mereka ke sebuah ruangan VVIP yang mewah. Pak Raditya menjelaskan bahwa hotel ini adalah milik keluarga Sanjaya. Sagara hanya mengangguk tanpa minat.

Sagara duduk di sofa, matanya terus tertuju pada pintu ruangan. Ia merasa sangat tegang. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan orang yang ditunggu-tunggu oleh Sagara dan keluarganya memasuki ruangan. Sagara langsung terpaku di tempatnya.

Pintu ruangan terbuka lebar, memperlihatkan sosok Brisa yang anggun dalam balutan gaun indah berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang terurai bebas, berkilau di bawah cahaya lampu. Sagara tertegun sejenak, matanya tak berkedip menatap gadis di hadapannya.

Pak Aryan dan Bu Tara saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka sudah menduga bahwa Sagara akan terpukau melihat kecantikan Brisa.

"Sagara, kenalkan ini Brisa, calon istrimu," ujar Pak Raditya sambil memperkenalkan Brisa kepada putranya. "Brisa, ini Sagara."

Sagara masih terdiam, tak mampu berkata-kata. Brisa tersenyum tipis, matanya bertemu dengan mata Sagara. Pria yang dihadapannya sekarang adalah pria yg sam di taman kota dan sekarang ia tahu nama pria itu "Sagara Hendratama".

"Senang bertemu denganmu lagi, Sagara," sapa Brisa lembut.

"Eh apa? Aku juga senang bertemu denganmu, Brisa," jawab Sagara akhirnya. Suaranya terdengar sedikit gemetar.

Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandangan. Mereka senang melihat Sagara dan Brisa terlihat cocok satu sama lain. Brisa juga tampak senang melihat Sagara. Wajahnya memerah dan tersipu malu.

"Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?" tanya Bu Arini penasaran.

Brisa mengangguk. "Iya, Bu. Saya pernah bertemu dengan Sagara di taman kota kemarin."

Sagara yang terkejut dan nampak bingung, lalu mengangguk membenarkan. "Iya, Bu. Kami sempat mengobrol sebentar."

Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. "Wah, ternyata kalian sudah saling mengenal. Ini bagus sekali," ujar Pak Raditya.

Brisa dan Sagara saling menatap dalam-dalam. Keduanya sama-sama merasa bingung dan tidak percaya. Suasana di ruangan itu menjadi hening. Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka merasa rencana mereka telah berhasil.

Sagara mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin merusak suasana. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sangat bahagia. Ia tidak menyangka akan bertemu wanita secantik Brisa sebagai calon istrinya.

Mereka melanjutkan makan siang sambil mengobrol santai. Percakapan mengalir dengan lancar. Sagara dan Brisa sesekali saling melempar pandangan, senyum tipis terukir di bibir mereka.

Setelah makan siang selesai, Pak Raditya mengusulkan agar Sagara dan Brisa diberi waktu untuk saling mengenal lebih jauh.

"Bagaimana kalau kalian berdua jalan-jalan sebentar di sekitar hotel?" saran Pak Raditya.

Sagara dan Brisa saling berpandangan, lalu mengangguk setuju. Mereka berdua keluar dari ruangan dan berjalan-jalan di sekitar hotel.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," ujar Brisa memulai percakapan.

"Aku juga tidak," jawab Sagara.

"Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah pertemuan di taman itu."

Sagara tersenyum. "Ternyata takdir mempertemukan kita dan ternyata kita sudah dijodohkan oleh orang tua kita."

Brisa mengangguk.

Mereka terus berjalan sambil mengobrol. Sagara menceritakan tentang kehidupannya, begitu pula Brisa. Semakin lama mereka berbicara, semakin dekat perasaan mereka satu sama lain.

Sagara merasa jatuh cinta pada Brisa saat pertama kali melihatnya. Ia memutuskan untuk menerima perjodohan ini. Ia yakin bahwa bersama Brisa, ia akan menjalani kehidupan yang bahagia.

***

Di ruang makan yang dihias dengan elegan, keluarga besar berkumpul. Pak Aryan, Bu Tara, Pak Raditya, dan Bu Arini mengamati Sagara dan Brisa yang baru saja kembali dari jalan-jalan di sekitar hotel. Senyum mengembang di wajah mereka saat melihat kedua anak muda itu saling berpandangan dengan hangat.

"Sepertinya mereka sangat cocok," ujar Bu Tara dengan nada gembira.

"Aku setuju," sahut Pak Aryan. "Sagara terlihat sangat bahagia bersama Brisa."

Pak Raditya dan Bu Arini hanya mengangguk setuju. Mereka merasa lega, karena rencana perjodohan ini berjalan sesuai harapan.

"Bagaimana perasaan kalian?" tanya Pak Aryan kepada Sagara dan Brisa.

Sagara tersenyum malu-malu. "Saya merasa sangat senang, Pak."

Brisa juga tersenyum. Dalam hati, ia masih merasa bingung dengan perasaannya. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada Sagara. Pria itu baik dan Brisa menyukai Sagara.

"Aku juga senang," jawab Brisa.

Melihat reaksi Sagara dan Brisa, Pak Raditya dan Bu Arini semakin yakin bahwa pernikahan ini akan membawa kebahagiaan bagi kedua anak mereka.

"Kalau begitu, kita akan segera mempersiapkan pernikahan kalian," ujar Pak Raditya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 6. kesalahan fatal

    Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa."Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan.Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya."Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik."Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya.Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan."Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini."Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat."Sagara menatapnya, sorot matanya dalam dan ha

    Last Updated : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 7. Kekeliruan yang tak termaafkan

    Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul.Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan.Tangan Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan."Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan."Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat.Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk."Ada apa, Dok? Ada masalah?"Angga menelan

    Last Updated : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 8. Undangan kencan

    Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut."Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you."Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara.Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play."Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya."Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar."Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya."Tak

    Last Updated : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 9. Panggilan telepon

    Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya." Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah

    Last Updated : 2025-03-12
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 10. Potongan Puzzle

    Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj

    Last Updated : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 11. Harapan dan rasa takut

    Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s

    Last Updated : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 12. Jejak yang lenyap

    Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar

    Last Updated : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 13. Jejak kebenaran yang terkubur

    Wanita di hadapannya masih menatapnya dengan sorot curiga. Matanya memperhatikan setiap ekspresi Brisa, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita itu akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk."Masuklah!"Brisa melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di ruang tamu yang terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai menceritakan semuanya tentang kehamilannya, tentang kesalahan prosedur inseminasi buatan, dan tentang kebingungannya yang terus menghantuinya.Wanita itu mendengarkan tanpa menyela, ekspresinya sulit terbaca. Lalu, setelah hening yang mencekam, ia akhirnya berbicara."Suami saya sudah meninggal dunia sebulan yang lalu."Napas Brisa tercekat, seolah udara tiba-tiba menghilang dari ruangan itu."Apa?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.Wanita itu mengangguk perlahan, sorot matanya dipenuhi kesedihan. "Say

    Last Updated : 2025-03-13

Latest chapter

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 23. Tidak bisa terus berbohong

    “Siapa sih pengirimnya? Jangan bikin penasaran, dong,” goda Rani dengan nada menggoda.Brisa hanya tersenyum tipis, matanya berbinar dengan kilau misterius saat ia menatap Kartika. “Seseorang yang baik,” jawabnya singkat.Kartika mengerjap, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Seseorang yang baik? Ah, jangan bikin penasaran! Ayo, spill dong!” desaknya sambil mencubit lengan Brisa pelan.Seketika, ruangan menjadi lebih ramai. Rekan-rekan kerja yang tadinya sibuk dengan pekerjaan mereka kini menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini, Brisa dikenal sebagai sosok mandiri, hampir tidak pernah terlihat dekat dengan pria mana pun. Maka, kemunculan buket mawar itu menjadi topik paling menarik hari ini.“Wah, ada yang lagi dimabuk cinta, nih,” seru Kartika, disambut tawa beberapa rekan kerja lainnya.“Siapa sih? Cowok ganteng, kan?” tanya Rani sambil mengangkat alis, penuh rasa ingin tahu.Brisa hanya tertawa kecil, pipinya mulai memanas. Ia tidak menyangka reaksi teman-temannya akan s

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 22. Buket bunga mawar

    “Terima kasih, Ma, Pa,” ucapnya lirih, penuh rasa syukur. Mereka bertiga lalu duduk bersama, mengobrol panjang lebar tentang pernikahan Brisa dan Sagara. Mereka membicarakan tanggal, tempat, dan segala persiapan yang diperlukan. Brisa mendengarkan dengan mata berbinar, hatinya terasa begitu ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebahagiaan yang utuh. *** Brisa duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jantungnya berdetak kencang saat melihat nama Sagara muncul di layar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan debaran di dadanya sebelum akhirnya menekan tombol hijau. “Halo, Sayang!” suara Sagara terdengar hangat, seperti pelukan di malam yang dingin. Brisa menggigit bibirnya, senyum tersungging di wajahnya. “Halo, Sagara!” Suaranya sedikit gemetar. “Aku mau bilang, aku terima lamaranmu.” Keheningan menyelimuti sejenak, hanya ada suara napas tertahan di ujung telepon. Lalu, tawa bahagia meledak dari seberang sana. “Benarkah, Sayang

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 21. Keputusan penting

    Saat istirahat siang, Brisa memilih menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kantor. Ia berjalan tanpa tujuan di sekitar gedung, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang terasa hangat oleh kegelisahan. Rasanya sesak berada di dalam ruangan terlalu lama dengan pikiran yang terus berputar.Ia menemukan sebuah bangku taman yang sepi, lalu duduk dan mendongak menatap langit. Biru cerah membentang luas, seakan menawarkan ketenangan yang sulit ia genggam. Dalam diam, ia mengelus perutnya yang masih rata, hatinya dipenuhi kebimbangan.Setelah istirahat selesai, Brisa kembali ke meja kerjanya, mencoba membenamkan diri dalam rutinitas. Ia menyalakan komputer, membuka email, namun pikirannya masih melayang entah ke mana. Hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja.Nomor asing.Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. "Halo?""Brisa? Ini aku, Ivana!"Brisa terdiam sesaat, lalu matanya membesar. "Ivana?" suaranya hampir tercekat oleh keterkejutan. "Kamu?""Iya, ini aku! Astaga, aku kangen

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 20. Kehangatan yang menyelimuti hati

    Sesampainya di rumah, Brisa langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya masih tertinggal di rumah Sagara. Ia memikirkan segalanya—keluarga Sagara yang begitu hangat, obrolan mereka yang menyenangkan, dan tentu saja perasaan yang kini semakin nyata tumbuh di dalam hatinya. Namun, di antara semua itu, ada sesuatu yang terus menghantuinya. Percakapan tentang Brian. Tatapan enggan yang saling dilemparkan oleh Pak Raditya dan Bu Arini. Suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Apa yang sebenarnya terjadi? Brisa meraih ponselnya dan membuka galeri. Ia menelusuri foto-foto yang diambilnya bersama Sagara dan keluarganya tadi malam. Senyumnya terukir saat melihat momen-momen itu, tetapi rasa penasaran di hatinya tetap menggelayut. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana pagi yang hangat di ruang makan. Brisa duduk di meja, mengaduk minumannya pelan sambil sesekali melirik kedua orang tuanya yang tengah berbincang. "Bris

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 19. Masa lalu yang tak ingin diungkapkan

    "Sagara punya kakak laki-laki. Namanya Brian," suara Bu Arini terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang enggan terucap. "Tapi kakak Sagara sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia sekarang tinggal di Inggris." Brisa mengernyit. "Kenapa?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang. Sekilas, Brisa bisa melihat keraguan di mata mereka, seolah ada luka lama yang tersimpan di sana—luka yang terlalu perih untuk diungkit kembali. "Sudahlah, Nak. Itu sudah masa lalu," ujar Pak Raditya dengan nada yang berat, seakan kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Brisa. Keheningan menyelimuti ruangan. Brisa bisa merasakan sesuatu yang tidak diungkapkan, sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Ada cerita di balik nama Brian, cerita yang masih menghantui keluarga ini. Namun, ia tidak ingin memaksa mereka mengungkap luka yang belum sembuh. Jam dinding berdenting pelan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Brisa menarik napas, men

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 18. Taman kota

    Kembali ke kantor, Sagara langsung menuju ruang rapat. Sore ini, ia mengadakan pertemuan rutin dengan tim manajemen untuk membahas kinerja perusahaan secara keseluruhan."Bulan ini, kita berhasil menyelesaikan tiga proyek besar," kata Sagara membuka rapat. Nada suaranya tegas, mencerminkan kepemimpinannya yang solid. "Ini pencapaian luar biasa, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Kita harus terus berkembang."Satu per satu, para manajer memaparkan laporan mereka. Ada masalah yang perlu diatasi—keterlambatan pengiriman material, kurangnya tenaga kerja, hingga kendala teknis lainnya. Sagara menyimak dengan seksama, memberi masukan di setiap kesempatan. Namun, jauh di dalam benaknya, pikirannya melayang ke tempat lain.Ponselnya yang tergeletak di atas meja terasa begitu menggoda. Beberapa saat lalu, Brisa mengirim pesan—sesuatu yang sederhana, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar. Sejak itu, ia tak bisa sepenuhnya fokus. Setiap kali ada jeda dalam pembicaraan, matanya tak sadar

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 17. Rumah bagi hatinya sendiri

    Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 16. Pamit

    Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 15. Kafetaria

    Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status