Share

Bab 5. Pertemuan

Penulis: Miarosa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-14 07:25:51

Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini.

"Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.

Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."

Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan.

"Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.

Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melanjutkan hubungan ini."

Brisa merasa sedikit lega mendengar penjelasan ayahnya. "Jadi, aku boleh menolak jika tidak cocok?"

"Tentu saja," jawab Pak Aryan. "Papa tidak ingin memaksamu untuk menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai. Jika kamu tidak bisa menikah dengannya dengan terpaksa, ayah harus menyembunyikanmu sampai melahirkan. Papa sudah memikirkan hal ini beberapa hari terakhir."

Brisa mengangguk. Ia memutuskan untuk mengikuti pertemuan itu. Toh, tidak ada salahnya untuk mencoba mengenal calon suaminya lebih dulu. Siapa tahu, ia bisa menemukan kecocokan dengan pria itu.

"Baiklah, Pa. Aku akan ikut," kata Brisa.

"Bagus," ujar Pak Aryan. "Pakailah pakaian terbaikmu."

Brisa mengangguk patuh. Ia merasa seperti boneka yang sedang diatur-atur. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan besok akan berjalan lancar.

***

Cahaya matahari pagi menyinari kamar Sagara, perlahan menariknya dari mimpi. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari di mana ia akan bertemu dengan calon istrinya yang telah dijodohkan. Dengan perasaan yang campur aduk, Sagara bangkit dari tempat tidur.

Di depan cermin, ia mengamati penampilannya. Stelan jas hitam membuatnya terlihat lebih dewasa dan tampan. Rambutnya yang hitam disisir rapi menggunakan gel, memberikan kesan rapi dan elegan. Namun, di balik penampilan yang sempurna itu, Sagara merasa hampa. Ia sama sekali tidak merasakan antusiasme untuk bertemu dengan calon istrinya.

Setelah bersiap-siap, Sagara turun ke lantai bawah. Ayahnya, Pak Raditya, dan ibunya, Bu Arini, sudah menunggu di ruang tamu. Mereka bertiga kemudian berangkat menuju hotel tempat pertemuan akan berlangsung.

Sesampainya di hotel, mereka disambut hangat oleh manajer hotel. Dengan ramah, sang manajer mengantar mereka ke sebuah ruangan VVIP yang mewah. Pak Raditya menjelaskan bahwa hotel ini adalah milik keluarga Sanjaya. Sagara hanya mengangguk tanpa minat.

Sagara duduk di sofa, matanya terus tertuju pada pintu ruangan. Ia merasa sangat tegang. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan orang yang ditunggu-tunggu oleh Sagara dan keluarganya memasuki ruangan. Sagara langsung terpaku di tempatnya.

Pintu ruangan terbuka lebar, memperlihatkan sosok Brisa yang anggun dalam balutan gaun indah berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang terurai bebas, berkilau di bawah cahaya lampu. Sagara tertegun sejenak, matanya tak berkedip menatap gadis di hadapannya.

Pak Aryan dan Bu Tara saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka sudah menduga bahwa Sagara akan terpukau melihat kecantikan Brisa.

"Sagara, kenalkan ini Brisa, calon istrimu," ujar Pak Raditya sambil memperkenalkan Brisa kepada putranya. "Brisa, ini Sagara."

Sagara masih terdiam, tak mampu berkata-kata. Brisa tersenyum tipis, matanya bertemu dengan mata Sagara. Pria yang dihadapannya sekarang adalah pria yg sam di taman kota dan sekarang ia tahu nama pria itu "Sagara Hendratama".

"Senang bertemu denganmu lagi, Sagara," sapa Brisa lembut.

"Eh apa? Aku juga senang bertemu denganmu, Brisa," jawab Sagara akhirnya. Suaranya terdengar sedikit gemetar.

Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandangan. Mereka senang melihat Sagara dan Brisa terlihat cocok satu sama lain. Brisa juga tampak senang melihat Sagara. Wajahnya memerah dan tersipu malu.

"Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?" tanya Bu Arini penasaran.

Brisa mengangguk. "Iya, Bu. Saya pernah bertemu dengan Sagara di taman kota kemarin."

Sagara yang terkejut dan nampak bingung, lalu mengangguk membenarkan. "Iya, Bu. Kami sempat mengobrol sebentar."

Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. "Wah, ternyata kalian sudah saling mengenal. Ini bagus sekali," ujar Pak Raditya.

Brisa dan Sagara saling menatap dalam-dalam. Keduanya sama-sama merasa bingung dan tidak percaya. Suasana di ruangan itu menjadi hening. Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka merasa rencana mereka telah berhasil.

Sagara mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin merusak suasana. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sangat bahagia. Ia tidak menyangka akan bertemu wanita secantik Brisa sebagai calon istrinya.

Mereka melanjutkan makan siang sambil mengobrol santai. Percakapan mengalir dengan lancar. Sagara dan Brisa sesekali saling melempar pandangan, senyum tipis terukir di bibir mereka.

Setelah makan siang selesai, Pak Raditya mengusulkan agar Sagara dan Brisa diberi waktu untuk saling mengenal lebih jauh.

"Bagaimana kalau kalian berdua jalan-jalan sebentar di sekitar hotel?" saran Pak Raditya.

Sagara dan Brisa saling berpandangan, lalu mengangguk setuju. Mereka berdua keluar dari ruangan dan berjalan-jalan di sekitar hotel.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," ujar Brisa memulai percakapan.

"Aku juga tidak," jawab Sagara.

"Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah pertemuan di taman itu."

Sagara tersenyum. "Ternyata takdir mempertemukan kita dan ternyata kita sudah dijodohkan oleh orang tua kita."

Brisa mengangguk.

Mereka terus berjalan sambil mengobrol. Sagara menceritakan tentang kehidupannya, begitu pula Brisa. Semakin lama mereka berbicara, semakin dekat perasaan mereka satu sama lain.

Sagara merasa jatuh cinta pada Brisa saat pertama kali melihatnya. Ia memutuskan untuk menerima perjodohan ini. Ia yakin bahwa bersama Brisa, ia akan menjalani kehidupan yang bahagia.

***

Di ruang makan yang dihias dengan elegan, keluarga besar berkumpul. Pak Aryan, Bu Tara, Pak Raditya, dan Bu Arini mengamati Sagara dan Brisa yang baru saja kembali dari jalan-jalan di sekitar hotel. Senyum mengembang di wajah mereka saat melihat kedua anak muda itu saling berpandangan dengan hangat.

"Sepertinya mereka sangat cocok," ujar Bu Tara dengan nada gembira.

"Aku setuju," sahut Pak Aryan. "Sagara terlihat sangat bahagia bersama Brisa."

Pak Raditya dan Bu Arini hanya mengangguk setuju. Mereka merasa lega, karena rencana perjodohan ini berjalan sesuai harapan.

"Bagaimana perasaan kalian?" tanya Pak Aryan kepada Sagara dan Brisa.

Sagara tersenyum malu-malu. "Saya merasa sangat senang, Pak."

Brisa juga tersenyum. Dalam hati, ia masih merasa bingung dengan perasaannya. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada Sagara. Pria itu baik dan Brisa menyukai Sagara.

"Aku juga senang," jawab Brisa.

Melihat reaksi Sagara dan Brisa, Pak Raditya dan Bu Arini semakin yakin bahwa pernikahan ini akan membawa kebahagiaan bagi kedua anak mereka.

"Kalau begitu, kita akan segera mempersiapkan pernikahan kalian," ujar Pak Raditya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 6. kesalahan fatal

    Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa. "Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya. "Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik." Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya. Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan. "Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini." Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat." Sagara menatapnya, sorot matan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 7. Kekeliruan yang tak termaafkan

    Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul. Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan. Tangan dokter Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan. "Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan." Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat. Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ada apa, Dok? Ada masal

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 8. Undangan kencan

    Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut."Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you."Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara.Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play."Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya."Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar."Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya."Tak

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-03
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 9. Panggilan telepon

    Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya." Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 10. Potongan Puzzle

    Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 11. Harapan dan rasa takut

    Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 12. Jejak yang lenyap

    Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 13. Jejak kebenaran yang terkubur

    Wanita di hadapannya masih menatapnya dengan sorot curiga. Matanya memperhatikan setiap ekspresi Brisa, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita itu akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk."Masuklah!"Brisa melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di ruang tamu yang terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai menceritakan semuanya tentang kehamilannya, tentang kesalahan prosedur inseminasi buatan, dan tentang kebingungannya yang terus menghantuinya.Wanita itu mendengarkan tanpa menyela, ekspresinya sulit terbaca. Lalu, setelah hening yang mencekam, ia akhirnya berbicara."Suami saya sudah meninggal dunia sebulan yang lalu."Napas Brisa tercekat, seolah udara tiba-tiba menghilang dari ruangan itu."Apa?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.Wanita itu mengangguk perlahan, sorot matanya dipenuhi kesedihan. "Say

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13

Bab terbaru

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 101. Ketegangan yang nyata

    Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 100. Tidak ada kehangatan

    "Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 99. Langit sore yang kelabu

    Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 98. Bibi Rika

    Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 97. Bandara

    Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 96. Pergi

    Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 95. Pergi dari rumah

    Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 94. Surat untuk Brisa

    Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 93. Penerima donor

    Setelah rapat selesai, Brian berjalan keluar dari gedung kantor dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah bertekad untuk menjalankan tugasnya. Malam itu, setelah hari yang panjang, Brian kembali ke rumah Brisa dan Sagara. Begitu memasuki rumah, ia langsung merasakan kekosongan yang begitu mencengkeram. Ruang tamu sunyi hanya ada bayangan perabotan yang tampak seperti saksi bisu dari kebahagiaan yang dulu pernah ada. Rumah itu masih sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti kehilangan jiwanya. Langkah Brian terasa berat saat ia berjalan ke dalam. Meja makan yang dulu sering mereka gunakan untuk berkumpul kini tertata rapi, tak tersentuh. Di sudut ruangan, foto pernikahan Sagara dan Brisa masih berdiri kokoh di atas meja kecil. Brian mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh bingkai itu. Sagara tersenyum dalam foto itu, begitu bahagia, begitu hidup. Brian menarik napas dalam, mencoba menekan rasa kehilangan yang tiba-tiba menyerangnya. Hari-hari

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status