Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah muda dan biru, dengan sebuah berlian berbentuk hati yang lebih besar di tengahnya, memancarkan kilauan magis yang memukau. "Brisa, ini untukmu," ujar Sagara dengan suara lembut, sambil menyematkan gelang itu di pergelangan tangan Brisa. Brisa menatap perhiasan indah itu dengan mata berbinar. "Ini... ini 'The Constellation of Love'! Gelang langka yang hanya ada lima di dunia. Aku tidak percaya kamu memberiku sesuatu yang seberharga ini!" Sagara tersenyum hangat. "Benar. Gelang ini dipercaya membawa keberuntungan bagi pemiliknya dalam hal cinta. Aku ingin kamu memilikinya, karena bagiku, kamu adalah takdirku." Brisa tertegun, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia mengusap permukaan berlian dengan jemarinya, merasakan kilaunya yang dingin dan sempurna. "Aku sering melihat gelang ini di katalog perhiasan, tapi harganya sangat mahal. Aku tak pernah membayangkan akan memilikinya." Sagara menangkup tangannya. "Tak ada harga yang terlalu mahal untuk kebahagiaanmu, Brisa. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum." Mata Brisa berkaca-kaca. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh haru. Tanpa ragu, ia merengkuh tangan Sagara lebih erat. Malam itu, di bawah langit berbintang, Brisa merasa dicintai lebih dari sebelumnya. *** Keesokan paginya, Bu Tara duduk di ruang tamu, menunggu Brisa dengan perasaan tak menentu. Saat putrinya keluar dari kamar dengan wajah berbinar, Bu Tara tak bisa menahan senyum. "Bagaimana kencanmu dengan Sagara semalam?" tanyanya lembut. Brisa tersenyum lebar. "Sangat menyenangkan, Ma. Sagara benar-benar perhatian dan membuatku merasa spesial." Bu Tara mengangguk lega, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Dengan suara hati-hati, ia bertanya, "Kamu sudah siap menikah dengan Sagara?" Brisa terdiam. Senyum di wajahnya perlahan menghilang, digantikan dengan keraguan. "Aku... Aku tidak tahu, Ma," suaranya melemah. "Di satu sisi, aku sangat menyukai Sagara. Dia begitu baik dan tulus. Tapi di sisi lain, aku takut. Bagaimana kalau dia tidak bisa menerimaku?" Bu Tara menarik putrinya ke dalam pelukannya, membiarkan Brisa menemukan ketenangan di dekapannya. "Mama mengerti, Sayang, tapi apa pun keputusanmu, Mama dan Papa selalu ada di sisimu. Kamu tidak sendirian." Air mata Brisa mengalir. Ia membenamkan wajahnya di bahu ibunya, membiarkan semua ketakutannya luruh dalam pelukan hangat itu. *** Di tempat lain, Dokter Angga berjuang melawan waktu. Ia tahu satu-satunya cara untuk memperbaiki kesalahannya adalah menemukan wanita itu—wanita yang telah menerima inseminasi dengan sperma yang salah. Dengan langkah cepat, ia memasuki rumah sakit tempatnya dulu bekerja. Di sana, di antara tumpukan dokumen, tersembunyi jawaban yang ia cari. Setelah berjam-jam menelusuri buku registrasi pasien, jemarinya akhirnya berhenti di satu nama. Brisa Sanjaya. Nama itu terasa asing, namun kini menjadi pusat dari segalanya. Jantungnya berdegup kencang saat membaca detailnya. Brisa telah dijadwalkan untuk pemeriksaan kandungan. Dengan tangan gemetar, ia mencatat alamat dan nomor telepon Brisa. Ia tahu, ia tak bisa menunda lebih lama. Mengambil napas dalam, ia mengangkat ponselnya dan mulai mengetik pesan. "Halo, Bu Brisa. Saya Dokter Angga. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan. Bisakah kita bertemu?" Tangannya berkeringat saat menekan tombol kirim. Sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap semuanya belum terlambat. "Halo, Bu Brisa? Saya Dokter Angga Diaksara. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang sangat penting." Suara di ujung telepon terdengar tegas, namun ada nada mendesak yang tak bisa diabaikan. Brisa mengernyit, jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu terasa asing di telinganya. Dokter Angga Diaksara? Siapa dia? Kenapa tiba-tiba menghubunginya? "Ada apa, Dok?" tanyanya, mencoba menutupi kegelisahannya. Hening sesaat. Lalu, suara Dokter Angga kembali terdengar, lebih berat kali ini. "Bisakah kita bertemu langsung? Saya tidak bisa menjelaskannya di telepon." Brisa menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadanya berdebar tak nyaman. Namun, ia mengiyakan. Tak lama setelah panggilan berakhir, Dokter Angga mengirimkan pesan singkat pada Mattheo. "Saya sudah menemukan wanita itu. Dia kemungkinan besar penerima donor sperma Anda. Akan saya kabarkan lebih lanjut setelah bertemu dengannya."Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj
Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s
Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar
Wanita di hadapannya masih menatapnya dengan sorot curiga. Matanya memperhatikan setiap ekspresi Brisa, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita itu akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk."Masuklah!"Brisa melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di ruang tamu yang terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai menceritakan semuanya tentang kehamilannya, tentang kesalahan prosedur inseminasi buatan, dan tentang kebingungannya yang terus menghantuinya.Wanita itu mendengarkan tanpa menyela, ekspresinya sulit terbaca. Lalu, setelah hening yang mencekam, ia akhirnya berbicara."Suami saya sudah meninggal dunia sebulan yang lalu."Napas Brisa tercekat, seolah udara tiba-tiba menghilang dari ruangan itu."Apa?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.Wanita itu mengangguk perlahan, sorot matanya dipenuhi kesedihan. "Say
Brisa menggigit bibirnya. Sudah lama ia tidak melakukan presentasi, dan ini bukan hanya pertemuan biasa. Ini adalah proyek besar, sesuatu yang bisa berdampak besar pada perusahaan ayahnya."Baiklah, Pa. Aku akan coba," ucapnya lirih, meski keraguan masih menggelayut di dadanya.Pak Aryan tersenyum, lalu mendekat dan duduk di sampingnya. "Ayo kita bahas bersama. Ini proposal yang sangat penting, dan kita harus bisa meyakinkan klien bahwa kita adalah pilihan terbaik."Dengan penuh kesabaran, Pak Aryan menjelaskan setiap detail dalam proposal. Ia berbicara tentang desain hotel yang modern dan mewah, konsep perumahan yang ramah lingkungan, hingga strategi pembangunan yang efisien dan inovatif."Yang paling penting, Brisa," ujar Pak Aryan dengan nada serius, "kamu harus bisa menunjukkan bahwa kita memiliki tim profesional dan berpengalaman. Klien harus yakin bahwa proyek ini akan selesai tepat waktu dengan kualitas terbaik."Brisa menyimak setiap kata ayahnya, mencatat poin-poin penting, m
Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m
Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka
Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han
Pukul lima sore, suasana kantor pusat milik keluarga Hendratama tampak sedikit berbeda dari biasanya. Lantai tertinggi yang biasanya sibuk dengan lalu-lalang staf kini terasa lebih tenang, namun tetap formal. Penerangan hangat menyinari lorong menuju ruang CEO, dan dua staf keamanan berjaga di depan pintu utama.Pak Aryan dan Bu Tara berdiri di hadapan pintu kayu tinggi bertuliskan nama lengkap Brian Hendratama. Pak Aryan melirik jam tangannya, kemudian mengetuk pelan."Silakan masuk!" terdengar suara dari dalam.Saat pintu dibuka, Brian berdiri dari balik mejanya. Jasnya sudah dilepas, menyisakan kemeja putih yang masih rapi dengan lengan tergulung. Rambutnya sedikit berantakan, tanda ia sibuk sejak pagi, tapi matanya menyiratkan harapan."Pak Aryan, Bu Tara, silakan duduk! Saya senang sekali Bapak dan Ibu datang."Mereka bertiga duduk di sofa panjang dekat jendela besar. Kopi dan teh sudah disiapkan oleh sekretaris Brian, tapi tak satu pun dari mereka menyentuhnya.Pak Aryan memulai
Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se
"Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb
Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak
Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah
Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc
Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La
Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan