Share

Bab 9. Panggilan telepon

Penulis: Miarosa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 17:22:12

Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya."

Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu."

Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat.

Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan.

Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam.

Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah muda dan biru, dengan sebuah berlian berbentuk hati yang lebih besar di tengahnya, memancarkan kilauan magis yang memukau.

"Brisa, ini untukmu," ujar Sagara dengan suara lembut, sambil menyematkan gelang itu di pergelangan tangan Brisa.

Brisa menatap perhiasan indah itu dengan mata berbinar. "Ini... ini 'The Constellation of Love'! Gelang langka yang hanya ada lima di dunia. Aku tidak percaya kamu memberiku sesuatu yang seberharga ini!"

Sagara tersenyum hangat. "Benar. Gelang ini dipercaya membawa keberuntungan bagi pemiliknya dalam hal cinta. Aku ingin kamu memilikinya, karena bagiku, kamu adalah takdirku."

Brisa tertegun, hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Ia mengusap permukaan berlian dengan jemarinya, merasakan kilaunya yang dingin dan sempurna.

"Aku sering melihat gelang ini di katalog perhiasan, tapi harganya sangat mahal. Aku tak pernah membayangkan akan memilikinya."

Sagara menangkup tangannya. "Tak ada harga yang terlalu mahal untuk kebahagiaanmu, Brisa. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum."

Mata Brisa berkaca-kaca. Ia menatap pria di hadapannya dengan penuh haru. Tanpa ragu, ia merengkuh tangan Sagara lebih erat.

Malam itu, di bawah langit berbintang, Brisa merasa dicintai lebih dari sebelumnya.

***

Keesokan paginya, Bu Tara duduk di ruang tamu, menunggu Brisa dengan perasaan tak menentu.

Saat putrinya keluar dari kamar dengan wajah berbinar, Bu Tara tak bisa menahan senyum. "Bagaimana kencanmu dengan Sagara semalam?" tanyanya lembut.

Brisa tersenyum lebar. "Sangat menyenangkan, Ma. Sagara benar-benar perhatian dan membuatku merasa spesial."

Bu Tara mengangguk lega, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Dengan suara hati-hati, ia bertanya, "Kamu sudah siap menikah dengan Sagara?"

Brisa terdiam. Senyum di wajahnya perlahan menghilang, digantikan dengan keraguan.

"Aku... Aku tidak tahu, Ma," suaranya melemah. "Di satu sisi, aku sangat menyukai Sagara. Dia begitu baik dan tulus. Tapi di sisi lain, aku takut. Bagaimana kalau dia tidak bisa menerimaku?"

Bu Tara menarik putrinya ke dalam pelukannya, membiarkan Brisa menemukan ketenangan di dekapannya. "Mama mengerti, Sayang, tapi apa pun keputusanmu, Mama dan Papa selalu ada di sisimu. Kamu tidak sendirian."

Air mata Brisa mengalir. Ia membenamkan wajahnya di bahu ibunya, membiarkan semua ketakutannya luruh dalam pelukan hangat itu.

***

Di tempat lain, Dokter Angga berjuang melawan waktu. Ia tahu satu-satunya cara untuk memperbaiki kesalahannya adalah menemukan wanita itu—wanita yang telah menerima inseminasi dengan sperma yang salah.

Dengan langkah cepat, ia memasuki rumah sakit tempatnya dulu bekerja. Di sana, di antara tumpukan dokumen, tersembunyi jawaban yang ia cari.

Setelah berjam-jam menelusuri buku registrasi pasien, jemarinya akhirnya berhenti di satu nama.

Brisa Sanjaya.

Nama itu terasa asing, namun kini menjadi pusat dari segalanya. Jantungnya berdegup kencang saat membaca detailnya. Brisa telah dijadwalkan untuk pemeriksaan kandungan.

Dengan tangan gemetar, ia mencatat alamat dan nomor telepon Brisa. Ia tahu, ia tak bisa menunda lebih lama.

Mengambil napas dalam, ia mengangkat ponselnya dan mulai mengetik pesan.

"Halo, Bu Brisa. Saya Dokter Angga. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan. Bisakah kita bertemu?"

Tangannya berkeringat saat menekan tombol kirim.

Sekarang, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu dan berharap semuanya belum terlambat.

"Halo, Bu Brisa? Saya Dokter Angga Diaksara. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang sesuatu yang sangat penting."

Suara di ujung telepon terdengar tegas, namun ada nada mendesak yang tak bisa diabaikan. Brisa mengernyit, jantungnya berdegup lebih cepat. Nama itu terasa asing di telinganya. Dokter Angga Diaksara? Siapa dia? Kenapa tiba-tiba menghubunginya?

"Ada apa, Dok?" tanyanya, mencoba menutupi kegelisahannya.

Hening sesaat. Lalu, suara Dokter Angga kembali terdengar, lebih berat kali ini. "Bisakah kita bertemu langsung? Saya tidak bisa menjelaskannya di telepon."

Brisa menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadanya berdebar tak nyaman. Namun, ia mengiyakan.

Tak lama setelah panggilan berakhir, Dokter Angga mengirimkan pesan singkat pada Mattheo. "Saya sudah menemukan wanita itu. Dia kemungkinan besar penerima donor sperma Anda. Akan saya kabarkan lebih lanjut setelah bertemu dengannya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 10. Potongan Puzzle

    Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 11. Harapan dan rasa takut

    Cahaya rembulan menyelinap melalui jendela kamar Brisa, menciptakan bayangan lembut di dinding. Malam begitu sunyi hanya suara detak jam yang terdengar samar, mengikuti irama debaran jantungnya. Brisa merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ponselnya menyala terang di genggaman. Satu notifikasi muncul. Sagara. Sudut bibirnya terangkat tipis saat ia membuka pesannya. "Bintang di langit malam ini sepertinya iri melihat kita yang sedang kasmaran. Kamu tahu, Sayang? Setiap kali aku melihat bulan, aku selalu teringat padamu. Cahayamu selalu menerangi hidupku." Dada Brisa menghangat. Jari-jarinya gemetar pelan saat membalas pesan itu. "Aku juga selalu memikirkanmu, Sagara. Rasanya dunia ini jauh lebih indah saat bersamamu. Terima kasih sudah selalu ada untukku." Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti aliran sungai yang tenang namun tak pernah berhenti. Setiap pesan yang masuk dari Sagara membuatnya tersenyum, membuat hatinya melayang di antara bintang-bintang. "Aku ingin kita s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 12. Jejak yang lenyap

    Satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya kini tak sadarkan diri. Harapannya seakan runtuh dalam sekejap, meninggalkan kehampaan yang menggerogoti hatinya."Tidak...," bisik Brisa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak mungkin. Ini tidak boleh terjadi."Brisa hampir tidak bisa merasakan apa pun selain kekacauan di dalam dirinya."Dokter, apakah ada kemungkinan untuk bertemu dengan perawat yang membantu dokter Angga saat itu?" tanyanya dengan suara lemah.Dokter Andra tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Ayo, kita temui dia!"Brisa mengikuti dokter Andra menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya berdebar begitu kencang, tangannya gemetar. Ia tidak tahu apakah pertemuan ini akan membawanya lebih dekat ke jawaban yang ia cari atau justru semakin menjauhkannya.Di ruang perawat, dokter Andra mendekati seorang wanita paruh baya yang sedang duduk sambil merapikan berkas."Suster Ani, apakah Anda ada waktu untuk berbicar

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 13. Jejak kebenaran yang terkubur

    Wanita di hadapannya masih menatapnya dengan sorot curiga. Matanya memperhatikan setiap ekspresi Brisa, seolah mencari kebenaran di balik kata-katanya. Namun, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, wanita itu akhirnya menghela napas pelan dan mengangguk."Masuklah!"Brisa melangkah masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di ruang tamu yang terasa begitu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Hatinya berdebar kencang saat ia mulai menceritakan semuanya tentang kehamilannya, tentang kesalahan prosedur inseminasi buatan, dan tentang kebingungannya yang terus menghantuinya.Wanita itu mendengarkan tanpa menyela, ekspresinya sulit terbaca. Lalu, setelah hening yang mencekam, ia akhirnya berbicara."Suami saya sudah meninggal dunia sebulan yang lalu."Napas Brisa tercekat, seolah udara tiba-tiba menghilang dari ruangan itu."Apa?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.Wanita itu mengangguk perlahan, sorot matanya dipenuhi kesedihan. "Say

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 14. Ikatan yang telah lama direncanakan

    Brisa menggigit bibirnya. Sudah lama ia tidak melakukan presentasi, dan ini bukan hanya pertemuan biasa. Ini adalah proyek besar, sesuatu yang bisa berdampak besar pada perusahaan ayahnya."Baiklah, Pa. Aku akan coba," ucapnya lirih, meski keraguan masih menggelayut di dadanya.Pak Aryan tersenyum, lalu mendekat dan duduk di sampingnya. "Ayo kita bahas bersama. Ini proposal yang sangat penting, dan kita harus bisa meyakinkan klien bahwa kita adalah pilihan terbaik."Dengan penuh kesabaran, Pak Aryan menjelaskan setiap detail dalam proposal. Ia berbicara tentang desain hotel yang modern dan mewah, konsep perumahan yang ramah lingkungan, hingga strategi pembangunan yang efisien dan inovatif."Yang paling penting, Brisa," ujar Pak Aryan dengan nada serius, "kamu harus bisa menunjukkan bahwa kita memiliki tim profesional dan berpengalaman. Klien harus yakin bahwa proyek ini akan selesai tepat waktu dengan kualitas terbaik."Brisa menyimak setiap kata ayahnya, mencatat poin-poin penting, m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 15. Kafetaria

    Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 16. Pamit

    Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 17. Rumah bagi hatinya sendiri

    Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13

Bab terbaru

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 23. Tidak bisa terus berbohong

    “Siapa sih pengirimnya? Jangan bikin penasaran, dong,” goda Rani dengan nada menggoda.Brisa hanya tersenyum tipis, matanya berbinar dengan kilau misterius saat ia menatap Kartika. “Seseorang yang baik,” jawabnya singkat.Kartika mengerjap, jelas tidak puas dengan jawaban itu. “Seseorang yang baik? Ah, jangan bikin penasaran! Ayo, spill dong!” desaknya sambil mencubit lengan Brisa pelan.Seketika, ruangan menjadi lebih ramai. Rekan-rekan kerja yang tadinya sibuk dengan pekerjaan mereka kini menoleh dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini, Brisa dikenal sebagai sosok mandiri, hampir tidak pernah terlihat dekat dengan pria mana pun. Maka, kemunculan buket mawar itu menjadi topik paling menarik hari ini.“Wah, ada yang lagi dimabuk cinta, nih,” seru Kartika, disambut tawa beberapa rekan kerja lainnya.“Siapa sih? Cowok ganteng, kan?” tanya Rani sambil mengangkat alis, penuh rasa ingin tahu.Brisa hanya tertawa kecil, pipinya mulai memanas. Ia tidak menyangka reaksi teman-temannya akan s

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 22. Buket bunga mawar

    “Terima kasih, Ma, Pa,” ucapnya lirih, penuh rasa syukur. Mereka bertiga lalu duduk bersama, mengobrol panjang lebar tentang pernikahan Brisa dan Sagara. Mereka membicarakan tanggal, tempat, dan segala persiapan yang diperlukan. Brisa mendengarkan dengan mata berbinar, hatinya terasa begitu ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasakan kebahagiaan yang utuh. *** Brisa duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Jantungnya berdetak kencang saat melihat nama Sagara muncul di layar. Ia menarik napas dalam, mencoba mengendalikan debaran di dadanya sebelum akhirnya menekan tombol hijau. “Halo, Sayang!” suara Sagara terdengar hangat, seperti pelukan di malam yang dingin. Brisa menggigit bibirnya, senyum tersungging di wajahnya. “Halo, Sagara!” Suaranya sedikit gemetar. “Aku mau bilang, aku terima lamaranmu.” Keheningan menyelimuti sejenak, hanya ada suara napas tertahan di ujung telepon. Lalu, tawa bahagia meledak dari seberang sana. “Benarkah, Sayang

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 21. Keputusan penting

    Saat istirahat siang, Brisa memilih menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kantor. Ia berjalan tanpa tujuan di sekitar gedung, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya yang terasa hangat oleh kegelisahan. Rasanya sesak berada di dalam ruangan terlalu lama dengan pikiran yang terus berputar.Ia menemukan sebuah bangku taman yang sepi, lalu duduk dan mendongak menatap langit. Biru cerah membentang luas, seakan menawarkan ketenangan yang sulit ia genggam. Dalam diam, ia mengelus perutnya yang masih rata, hatinya dipenuhi kebimbangan.Setelah istirahat selesai, Brisa kembali ke meja kerjanya, mencoba membenamkan diri dalam rutinitas. Ia menyalakan komputer, membuka email, namun pikirannya masih melayang entah ke mana. Hingga tiba-tiba, ponselnya bergetar di atas meja.Nomor asing.Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. "Halo?""Brisa? Ini aku, Ivana!"Brisa terdiam sesaat, lalu matanya membesar. "Ivana?" suaranya hampir tercekat oleh keterkejutan. "Kamu?""Iya, ini aku! Astaga, aku kangen

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 20. Kehangatan yang menyelimuti hati

    Sesampainya di rumah, Brisa langsung menjatuhkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit, tetapi pikirannya masih tertinggal di rumah Sagara. Ia memikirkan segalanya—keluarga Sagara yang begitu hangat, obrolan mereka yang menyenangkan, dan tentu saja perasaan yang kini semakin nyata tumbuh di dalam hatinya. Namun, di antara semua itu, ada sesuatu yang terus menghantuinya. Percakapan tentang Brian. Tatapan enggan yang saling dilemparkan oleh Pak Raditya dan Bu Arini. Suasana yang tiba-tiba berubah tegang. Apa yang sebenarnya terjadi? Brisa meraih ponselnya dan membuka galeri. Ia menelusuri foto-foto yang diambilnya bersama Sagara dan keluarganya tadi malam. Senyumnya terukir saat melihat momen-momen itu, tetapi rasa penasaran di hatinya tetap menggelayut. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, menciptakan suasana pagi yang hangat di ruang makan. Brisa duduk di meja, mengaduk minumannya pelan sambil sesekali melirik kedua orang tuanya yang tengah berbincang. "Bris

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 19. Masa lalu yang tak ingin diungkapkan

    "Sagara punya kakak laki-laki. Namanya Brian," suara Bu Arini terdengar pelan, hampir seperti bisikan yang enggan terucap. "Tapi kakak Sagara sudah tidak tinggal bersama kami lagi. Dia sekarang tinggal di Inggris." Brisa mengernyit. "Kenapa?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang. Sekilas, Brisa bisa melihat keraguan di mata mereka, seolah ada luka lama yang tersimpan di sana—luka yang terlalu perih untuk diungkit kembali. "Sudahlah, Nak. Itu sudah masa lalu," ujar Pak Raditya dengan nada yang berat, seakan kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada untuk Brisa. Keheningan menyelimuti ruangan. Brisa bisa merasakan sesuatu yang tidak diungkapkan, sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Ada cerita di balik nama Brian, cerita yang masih menghantui keluarga ini. Namun, ia tidak ingin memaksa mereka mengungkap luka yang belum sembuh. Jam dinding berdenting pelan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Brisa menarik napas, men

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 18. Taman kota

    Kembali ke kantor, Sagara langsung menuju ruang rapat. Sore ini, ia mengadakan pertemuan rutin dengan tim manajemen untuk membahas kinerja perusahaan secara keseluruhan."Bulan ini, kita berhasil menyelesaikan tiga proyek besar," kata Sagara membuka rapat. Nada suaranya tegas, mencerminkan kepemimpinannya yang solid. "Ini pencapaian luar biasa, tapi kita tidak boleh berpuas diri. Kita harus terus berkembang."Satu per satu, para manajer memaparkan laporan mereka. Ada masalah yang perlu diatasi—keterlambatan pengiriman material, kurangnya tenaga kerja, hingga kendala teknis lainnya. Sagara menyimak dengan seksama, memberi masukan di setiap kesempatan. Namun, jauh di dalam benaknya, pikirannya melayang ke tempat lain.Ponselnya yang tergeletak di atas meja terasa begitu menggoda. Beberapa saat lalu, Brisa mengirim pesan—sesuatu yang sederhana, namun cukup untuk membuat jantungnya berdebar. Sejak itu, ia tak bisa sepenuhnya fokus. Setiap kali ada jeda dalam pembicaraan, matanya tak sadar

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 17. Rumah bagi hatinya sendiri

    Sagara melangkah mantap menuju ruang kerjanya, seperti seorang raja yang tengah melewati singgasananya. Sorak sorai dan bisikan para karyawan wanita menyambutnya, seperti biasa. Tatapan penuh kagum tertuju padanya—CEO muda yang tak hanya tampan dan karismatik, tetapi juga begitu sulit untuk diabaikan. Namun, hari ini, perhatian itu tak berarti apa-apa baginya.Setibanya di ruang kerja, Sagara berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Cahaya pagi membias lembut di balik kaca, melukis bayangan gedung pencakar langit menjadi lukisan abstrak yang seharusnya menenangkan. Namun, keindahan itu gagal meredakan kegelisahan yang terus berkecamuk dalam dadanya. Pikirannya masih terpaku pada satu nama—Brisa.Kemarin siang, pertemuan mereka masih membekas di benaknya. Brisa, dengan presentasinya yang begitu percaya diri, tampak begitu berkilau di matanya. Namun, di balik senyuman tipisnya, ada sesuatu yang mengusik hati Sagara—seberkas kesedihan yang tak bisa ia abaikan. Itu bukan han

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 16. Pamit

    Ivana mengangguk. "Iya, aku akan berangkat besok. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan Anda, Pak Sagara. Aku sudah tidak sabar untuk memulai hidup baru di sana." Brisa menoleh ke arah Sagara, yang hanya mengangguk mengerti. "Ivana akan melanjutkan kuliah di sana," jelas Brisa dengan suara yang mulai bergetar. Hati Brisa terasa mencelos. Ada kehangatan yang tiba-tiba menghilang dari dadanya, digantikan oleh rasa kehilangan yang menyelinap tanpa izin. "Aku sangat sedih kamu harus pergi," ujar Brisa jujur. "Aku akan sangat merindukanmu." Ivana tersenyum lembut. "Aku juga akan merindukanmu, Brisa," katanya. "Penerbanganku besok pagi." Brisa terdiam sejenak, merasa dadanya semakin sesak. "Besok pagi?" ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. Ivana mengangguk. "Penerbanganku cukup pagi, jadi aku harus berangkat lebih awal. Aku tidak mau terlambat," jelasnya dengan nada ringan, meski Brisa tahu sahabatnya itu juga menyembunyikan perasaan yang sama. Brisa menundukka

  • Bayi Miliarder Yang Tak Terduga   Bab 15. Kafetaria

    Siang itu, di kafetaria perusahaan, Sagara duduk santai menikmati makan siangnya bersama Brisa. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar membelai wajahnya, menonjolkan garis rahangnya yang tegas. Beberapa wanita di ruangan itu melirik ke arahnya, berbisik-bisik dengan tatapan penuh kekaguman. Sagara memang memiliki daya tarik alami—karismatik, tenang, dan penuh wibawa. Namun, saat bersama Brisa, ada sisi lain darinya yang jarang terlihat oleh orang lain. Mereka mengobrol santai, membahas banyak hal mulai dari pekerjaan hingga rencana-rencana masa depan. "Brisa, kamu tahu, aku sangat mengagumi kamu," ujar Sagara tiba-tiba, menatapnya dengan intens. "Kamu cerdas, berbakat, dan penuh semangat. Aku yakin kamu akan mencapai banyak hal dalam hidup." Brisa merasa wajahnya menghangat. Kata-kata Sagara membuat hatinya berdesir, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Terima kasih, Sagara! Kamu juga luar biasa," balasnya dengan senyum malu. Sagara hanya tersenyum tipis, tetapi m

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status