Brisa menatap layar ponselnya, jari-jarinya gemetar saat hendak menekan tombol panggilan. Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, ia menekan tombol hijau.
"Halo, Van?" sapa Brisa dengan suara lirih. "Brisa, kamu kenapa sih?" tanya Ivana khawatir. Brisa menarik napas dalam-dalam. "Van, aku... aku hamil." Seketika terdengar suara teriak dari ujung telepon. "Apa? Kamu hamil? Seriusan, Brisa?" Brisa mengangguk, meskipun Ivana tidak bisa melihatnya. "Iya, Van. Aku beneran hamil." "Tapi siapa ayahnya, Brisa? Kamu harus jujur sama aku," desak Ivana. Brisa terdiam sejenak. "Aku nggak tahu, Van. Aku beneran nggak tahu siapa ayahnya." "Hah? Kamu nggak tahu? Maksudnya gimana?" tanya Ivana tak percaya. "Aku belum pernah tidur sama siapapun, Van," jawab Brisa dengan suara bergetar. "Brisa, kamu jangan bohong. Masa iya kamu nggak tahu siapa ayahnya?" "Aku beneran nggak bohong, Van. Aku nggak pernah melakukan hal yang macam-macam. Aku masih perawan." Ivana terdiam sejenak. Ia mengenal Brisa dengan sangat baik. Brisa memang bukan tipe cewek yang suka gonta-ganti pacar atau suka bergaul dengan orang-orang yang tidak jelas. "Oke, aku percaya sama kamu, Brisa," ujar Ivana akhirnya. "Tapi, gimana sama orang tuamu? Mereka pasti marah banget." "Iya, mereka marah banget. Papa nggak percaya kalau aku belum pernah berhubungan intim," jawab Brisa sedih. "Tenang aja, Brisa. Aku akan bantu kamu," kata Ivana. "Gimana kalau kita coba tes keperawanan? Biar Papa kamu percaya kalau kamu masih perawan." "Tes keperawanan?" tanya Brisa ragu-ragu. "Iya, itu satu-satunya cara untuk membuktikan kalau kamu nggak bohong," jawab Ivana. "Lagian, kalau kamu masih perawan, itu artinya ada yang aneh kenapa kamu bisa hamil." Brisa berpikir sejenak. Ia merasa ide Ivana cukup masuk akal. "Oke, aku akan coba," ujar Brisa akhirnya. "Bagus. Nanti aku carikan dokter kandungan yang terpercaya," kata Ivana. "Makasih banyak, Van. Aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu," ucap Brisa terharu. "Sama-sama, Brisa. Kita kan sahabat," jawab Ivana. Setelah menutup telepon, Brisa merasa sedikit lebih tenang. Ia masih merasa sangat bingung dan sedih, tapi setidaknya ia punya Ivana yang selalu ada untuknya. *** Cahaya senja merembes lembut menembus jendela kamar Brisa, membingkai siluet gadis itu yang duduk termenung di tepi ranjang. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta embun sejuk yang tak mampu mendinginkan bara kecemasan yang berkobar di dalam hatinya. Brisa menatap ke luar jendela, matanya menerawang jauh. Kota London yang selama ini menjadi mimpi indahnya kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Gambar-gambar tentang dirinya yang sedang berjalan-jalan di tepi Sungai Thames, menikmati secangkir teh hangat di kedai kecil, atau berkeliling di British Museum kini hanya menjadi bayangan samar. Kuliah ke Inggris dan masa depan yang cerah bersama Ivana kini juga terasa begitu jauh. "Kenapa harus aku, Van?" gumamnya lirih pada Ivana yang tiba-tiba datang sejam kemudian setelah panggilan telepon mereka berakhir, suaranya teredam oleh isak tangis. Ivana, sahabatnya, hanya bisa memeluk Brisa erat. Air mata mereka mengalir bersamaan, membasahi bahu satu sama lain. Ivana yang sedang duduk di samping ranjang Brisa hanya bisa mengelus lembut rambut sahabatnya. Ia tahu betul betapa hancur hati Brisa saat ini. "Aku nggak nyangka hidupku bisa berubah drastis seperti ini," lanjut Brisa, suaranya bergetar. "Semua rencanaku hancur berantakan. Dulu, kita selalu bermimpi untuk kuliah di Inggris bersama. Kita sudah merencanakan semuanya." "Aku tahu, Brisa," sahut Ivana, suaranya juga bergetar. "Aku juga nggak nyangka ini akan terjadi sama kamu. Kita berdua udah kerja keras banget buat nyiapin semuanya." Brisa teringat akan semua perjuangannya selama ini dan bahkan rela mengurangi waktu istirahatnya demi meraih mimpinya. Namun, semua itu kini terasa sia-sia. "Aku merasa seperti hidupku sudah berakhir, Van," ucap Brisa dengan nada putus asa. "Aku nggak tahu harus gimana lagi." Ivana berusaha menenangkan sahabatnya. "Jangan ngomong gitu, Brisa. Kamu masih punya banyak waktu untuk mengejar mimpimu. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari babak baru dalam hidupmu." Brisa menggelengkan kepala. "Aku nggak bisa melanjutkan kuliah sekarang, Van. Aku harus mengurus anakku." "Kamu bisa kuliah meskipun sedang hamil." "Tapi Papa tidak mengizinkan aku kuliah, Papaku malu kalau aku hamil di luar nikah. Selain itu Papa juga bersikeras menjodohkan aku dengan salah satu putra dari keluarga Hendratama." "Papamu ternyata belum menyerah menjodohkanmu dengan pria yang bahkan tidak kamu kenal. Papamu terlalu kolot, tapi kamu nggak harus menyerah pada mimpimu sepenuhnya," bujuk Ivana. "Aku nggak tahu harus gimana, Van," ulang Brisa lagi. "Aku bingung, aku takut." *** Cahaya matahari pagi membangunkan Ivana dari mimpi. Pikirannya langsung tertuju pada Brisa, sahabatnya yang sedang dilanda masalah berat. Sejak kemarin, ia tidak berhenti memikirkan bagaimana cara membantu Brisa keluar dari situasi sulit ini. Ivana segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajarnya. Ia meraih ponselnya dan menghubungi dokter kandungan. Setelah menjelaskan situasi Brisa, dokter itu menyarankan agar Brisa segera melakukan pemeriksaan lengkap, termasuk tes keperawanan. Ivana kemudian menelepon Brisa. "Brisa, kamu harus segera periksa ke dokter," ujar Ivana saat menelepon Brisa. "Aku sudah dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus. Beliau sangat berpengalaman dan bisa dipercaya." Brisa terdengar ragu-ragu. "Tapi, Van, bagaimana dengan Papa? Aku tidak yakin dia akan mengizinkanku keluar selain pergi bekerja." "Tenang saja, Brisa. Aku akan bicara sama Papa kamu. Aku akan bilang kalau kamu sakit dan perlu diperiksa oleh dokter," bujuk Ivana. "Tapi, kalau Papa tahu kalau aku mau tes keperawanan, dia pasti marah besar," ucap Brisa cemas. "Aku tahu kamu takut, tapi ini satu-satunya cara untuk membuktikan kalau kamu tidak berbohong. Lagipula, kalau memang ada yang tidak beres dengan tubuhmu, kan lebih baik kalau segera diketahui," ujar Ivana lembut. Brisa terdiam sejenak, menimbang-nimbang perkataan Ivana. Akhirnya, ia mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan melakukan apa saja asalkan masalah ini bisa selesai." "Bagus sekali, Brisa," puji Ivana. "Pagi ini kita ke rumah sakit ya." Setelah menutup telepon, Ivana kembali berpikir keras. Ia masih penasaran dengan bagaimana Brisa bisa hamil. Selama ini, Brisa dikenal sebagai gadis yang baik dan penurut. Mustahil baginya untuk melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. *** Sinar matahari pagi menari-nari di atas permukaan meja makan, menerangi wajah tegang Pak Aryan. Di hadapannya, Brisa duduk dengan kepala menunduk, jari-jarinya bertaut erat. Di sampingnya, Ivana berusaha memberikan senyuman yang menenangkan. Ivana datang ke rumah Brisa beberapa menit yang lalu sebelum sarapan pagi dimulai. "Jadi, kamu mau ke dokter?" tanya Pak Aryan, suaranya datar. Brisa mengangguk pelan. "Iya, Pa. Aku merasa tidak enak badan." "Apa kamu juga akan periksa kehamilanmu itu?" "Tidak," jawab Brisa ragu-ragu. Pak Aryan menatap Brisa curiga. "Jangan bohong, Brisa. Ada apa sebenarnya?" Brisa menghela napas panjang. "Sebenarnya, Pa, aku ingin melakukan tes keperawanan." Kalimat Brisa bagaikan petir menyambar. Pak Aryan terbelalak kaget. "Apa katamu? Tes keperawanan?""Iya, Pa. Ivana menyarankan agar aku melakukan tes itu," jawab Brisa."Untuk apa kamu melakukan tes itu?" tanya Pak Aryan, suaranya meninggi."Aku ingin membuktikan pada Papa kalau aku masih perawan," jawab Brisa.Pak Aryan terdiam sejenak, pikirannya berkecamuk. Ia tidak menyangka putrinya akan meminta untuk melakukan tes seperti itu."Tidak perlu," ujar Pak Aryan."Tapi, Pa....""Sudah, tidak usah diperpanjang lagi," potong Pak Aryan.Bu Tara yang sedari tadi mengamati mereka, akhirnya angkat bicara. "Aryan, biarkan saja Brisa melakukan tes itu. Ini penting untuk membuktikan bahwa dia tidak berbohong."Pak Aryan menatap istrinya, kemudian kembali menatap Brisa. "Baiklah, kalau itu maumu, tapi ingat, jangan pernah berbohong lagi."Brisa merasa lega mendengar persetujuan ayahnya. Ia segera memeluk ayahnya erat. "Terima kasih, Pa!"Setelah sarapan, Brisa dan Ivana berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Brisa merasa gugup dan cemas, sedangkan Ivana ber
Sinar mentari sore menyisir lembut rambut gadis itu, menciptakan halo emas di sekeliling wajahnya yang sayu. Pria itu terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Sejak pandangan pertama, ia tahu bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.Gadis itu duduk di bangku taman, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Angin sore menghembus lembut, membolak-balik halaman buku itu. Mata pria itu tak berkedip, mengamati setiap gerakan gadis itu. Rambutnya yang terurai bebas tertiup angin, matanya yang berkilau seakan menyimpan sejuta rahasia, dan senyum tipis yang sesekali menghiasi bibirnya membuat pria itu terpukau.Sejak dulu, pria itu bukanlah tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Tatapannya yang dalam seolah menembus jiwa, aura misterius yang mengelilinginya, dan kecantikannya yang alami membuatnya merasa tertarik secara mendalam.Dengan hati berdebar, pria itu mendekati gadis itu. Ia ragu-ragu sejenak, lalu me
Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini."Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan."Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melan
Brisa dan Sagara saling berpandangan, keheningan di antara mereka begitu pekat. Pernyataan Pak Raditya barusan masih menggantung di udara, menggetarkan hati Brisa. "Bolehkah kami diberi waktu untuk lebih saling mengenal?" pinta Brisa, suaranya lirih namun penuh keteguhan. Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandang, mencoba membaca pikiran satu sama lain. Mereka tahu, memaksakan kehendak bukanlah jawabannya. "Tentu saja, Nak," ujar Pak Raditya akhirnya. "Kami hanya berharap, kalian bisa segera mengambil keputusan yang terbaik." Brisa mengangguk pelan. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, meskipun kebimbangan tetap menyelimutinya. Setelah makan siang usai, Brisa dan Sagara menyendiri di sudut ruangan, duduk berseberangan. "Terima kasih!" Suara Sagara terdengar begitu tulus. "Terima kasih karena sudah mau menerima perjodohan ini." Brisa tersenyum kecil, meskipun hatinya masih dipenuhi tanya. "Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat." Sagara menatapnya, sorot matan
Sementara itu, Mattheo, pria yang namanya kini tertera pada tabung kosong di tangannya adalah seseorang yang tidak terlalu ia kenal secara pribadi. Yang ia tahu, pria itu adalah pejuang yang baru saja memenangkan pertarungannya melawan kanker darah. Sebelum menjalani pengobatan, Mattheo menyimpan spermanya di bank sperma, berjaga-jaga kalau terapi yang ia jalani akan membuatnya mandul. Dan sekarang, pria itu tanpa sepengetahuannya telah menjadi ayah dari seorang anak yang bahkan tidak pernah ia rencanakan. Tangan dokter Angga bergetar semakin hebat. Ia harus segera bertindak. Dengan napas memburu, ia meraih ponselnya dan mencari kontak Mattheo. Setelah menemukannya, jemarinya yang basah oleh keringat mulai mengetik pesan. "Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan." Jantungnya berdebar kencang saat menunggu balasan. Waktu terasa berjalan lambat. Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. "Ada apa, Dok? Ada masal
Brisa sedang asyik membaca buku di kamarnya ketika ponselnya bergetar. Nama Sagara muncul di layar, membuatnya tersenyum tipis. Jantungnya berdebar pelan saat ia membuka pesan tersebut."Hai Sayang, lagi ngapain? Aku kepikiran kamu nih. Udah makan belum? Jangan lupa jaga kesehatan ya. Love you."Brisa menggigit bibirnya, merasakan kehangatan menyelinap ke dalam hatinya. Namun sebelum ia sempat membalas, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, pesan suara.Dengan sedikit ragu, ia menekan tombol play."Halo Sayang, dengerin ya. Aku kangen banget sama kamu. Aku pengen cepet-cepet ketemu. Malam ini, mau nggak kalau kita jalan-jalan di pantai? Aku udah pesenin tempat yang bagus kok. Aku tunggu jawaban kamu, ya."Senyumnya melebar. Sagara selalu tahu cara membuatnya merasa spesial. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas layar."Terima kasih sudah membuat hariku lebih berwarna, Sagara! Aku juga kangen banget sama kamu. Nanti malam aku free kok. Aku tunggu di tempat yang kamu bilang ya."Tak
Tangannya gemetar sedikit saat ia mencoba tersenyum. "Sagara, aku sangat senang kamu mengatakan itu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkannya." Sagara tak menunjukkan kekecewaan. Ia justru tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Sayang. Aku akan memberimu waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu aku mencintaimu dan aku akan selalu ada untukmu." Brisa menatapnya dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Sagara lebih erat. Malam ini, di bawah langit yang dihiasi bintang, Brisa merasakan betapa tulusnya cinta Sagara. Namun, di balik itu semua, hatinya tetap dipenuhi ketakutan. Brisa tersenyum bahagia ketika Sagara meraih tangannya dengan lembut. Matanya membulat saat melihat sebuah kotak beludru kecil di tangan pria itu. Dengan hati-hati, Sagara membukanya, memperlihatkan gelang berlian yang berkilauan di bawah cahaya malam. Gelang itu luar biasa. Bertabur berlian langka berwarna merah
Senja mulai turun saat Brisa duduk di sudut kafe, tatapannya menerawang ke luar jendela. Langit Jakarta mulai berpendar keemasan, menciptakan siluet kota yang muram. Tangannya yang menggenggam cangkir teh sedikit bergetar. Sudah satu jam sejak ia tiba, tapi sosok dokter yang ditunggunya tak juga muncul.Ia mengingat kembali telepon yang ia terima tadi siang. "Bu Brisa, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan Anda. Mari bertemu di Kafe Mediteranian pukul 16.00."Tanpa penjelasan. Tanpa petunjuk. Hanya pesan penuh misteri yang kini membebani dadanya. Penasaran? Ya. Tapi yang lebih kuat kini adalah rasa cemas yang perlahan merayapi pikirannya.Ia menghela napas, lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya dengan cepat mencari kontak yang baru saja menghubunginya siang tadi. Ia menekan tombol panggil.Nada sambung. Sekali. Dua kali. Lalu mati.Brisa mencoba lagi. Tetap tak tersambung.Jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Tangan kanannya mengepal di atas meja. Ada apa ini?Di luar, huj
Bu Tara mengangguk kecil sambil melepas kacamata hitamnya. "Terima kasih, Mbak Ani. Semua baik-baik saja, kan?" Mbak Ani tersenyum canggung. "Semuanya baik-baik saja, Bu." Pak Aryan ikut masuk, meletakkan koper di dekat sofa. Ia memutar lehernya ke kanan dan kiri, lalu bertanya dengan suara yang khas, dalam dan tenang, "Tidak ada masalah selama kami pergi?" Mbak Ani sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Tidak ada, Pak. Rumah baik-baik saja. Hanya kemarin...." Bu Tara yang baru saja duduk di sofa, menoleh cepat. "Kemarin? Ada apa?" Mbak Ani mengatupkan tangan di depan perutnya, menunduk sedikit. "Mas Brian sempat datang ke rumah." Keduanya saling pandang seketika. Wajah Pak Aryan yang biasanya tenang, tampak berubah. Matanya mengeras. Sementara Bu Tara mengerutkan kening, terlihat cemas. "Brian?" ulang Pak Aryan, nadanya berat. "Apa yang kamu katakan padanya?" Mbak Ani menelan ludah. "Saya bilang kalau Bapak dan Ibu sedang pergi ke luar negeri." Pak Aryan memicingkan mata, se
"Pergi? Ke mana?" "Keluar negeri, Mas. Sudah tiga hari yang lalu." Deg. Brian mengerutkan kening. "Keluar negeri? Serius? Brisa juga ikut?" Mbak Ani mengangguk pelan. "Iya, Mas. Bertiga. Ibu, Bapak, sama Mbak Brisa. Mereka nggak bilang pergi ke mana secara spesifik, cuma bilang mereka akan tinggal cukup lama di luar negeri." Brian mundur satu langkah, kepalanya mendadak ringan, seperti darah mengalir terlalu cepat ke ubun-ubun. "Mereka ninggalin Indonesia dan nggak bilang apa-apa ke aku?" Mbak Ani tampak canggung. "Maaf, Mas. Saya juga nggak tahu banyak. Saya hanya diberi tugas menjaga rumah sementara. Mereka cuma bilang bahwa mereka pergi untuk waktu yang belum bisa dipastikan." "Nggak ninggalin pesan? Nggak ada surat buat aku? Nggak ada kabar?" Mbak Ani menggeleng pelan. Brian terdiam beberapa saat. Matanya memerah, rahangnya mengeras. "Mbak, Brisa nggak bilang apa-apa sebelum pergi? Tentang aku? Tentang bayi kami?" "Saya benar-benar nggak tahu, Mas. Maaf. Mb
Malam itu, setelah semua tenang dan lampu ruangan dipadamkan, Brisa duduk sendiri di depan jendela. Di luar, salju tipis mulai turun, menyelimuti halaman rumah Bibi Rika. Ia memeluk bantal kecil sambil mengusap perutnya. “Hari pertama kita di tempat yang baru, Nak,” bisiknya lembut. “Maaf, kalau dunia belum terlalu ramah padamu, tapi Ibu janji, kita akan cari tempat yang bisa jadi rumah. Rumah yang sesungguhnya.” *** Hari-hari selanjutnya berlalu dalam keheningan yang menyembuhkan. Bibi Rika mengajaknya berjalan pagi ke taman kecil dekat kuil, mengajarkan Brisa cara membuat onigiri, dan memperkenalkan berbagai teh herbal yang bisa membuatnya rileks. Brisa mulai menulis lagi. Ia membuka laptop tuanya dan mulai mengetik catatan harian, entah untuk dirinya sendiri, untuk anaknya, atau untuk masa depannya. Pagi hari rumah itu dipenuhi aroma teh chamomile. Siang hari, suara radio Jepang mengalun pelan, kadang lagu lama, kadang sekadar berita. Malam hari, rumah itu senyap kecuali detak
Brisa duduk di dekat jendela. Tangannya mengelus perutnya yang membuncit. Di sampingnya, Bu Tara duduk dengan kepala bersandar, tertidur. Pak Aryan di sisi lain, memejamkan mata meski jelas tak benar-benar tidur. Brisa melihat ke jendela kecil pesawat dan menatap ke luar. Di ketinggian itu, awan terlihat seperti hamparan kapas tak berujung. Dunia di bawah sana tidak terlihat. Seolah semuanya lenyap. Kenangan, luka, air mata, semua ditinggalkan di tanah yang menjauh. Ia menghela napas pelan. Tangan kirinya menyentuh kaca jendela. “Aku nggak tahu masa depanku akan seperti apa, tapi aku akan berusaha demi anak ini.” Tangannya mengusap lembut perutnya. “Dan demi diriku sendiri.” Sementara itu, di rumah yang ditinggalkan, di kamar Brisa terasa hampa. Boneka-boneka kecil, beberapa bingkai foto, dan tirai warna putih masih tergantung. Di meja rias, ada secarik kertas yang tertinggal, ditulis Brisa semalam sebelum berangkat. Untuk diriku yang akan kembali. Jangan lupa bahwa kamu pernah
Langit di luar terminal masih abu-abu. Sisa gerimis semalam membuat lantai trotoar bandara licin dan berkilau samar tertimpa lampu kuning dari deretan tiang lampu. Di dalam terminal, keramaian bercampur dengan suara koper beroda yang bergesekan, pengumuman jadwal keberangkatan, dan langkah kaki orang-orang yang tergesa-gesa.Brisa berdiri diam di dekat pintu masuk keberangkatan internasional, jaket kremnya terlipat rapi di lengan. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada beban yang ia bawa, beban yang tak terlihat namun terasa beratnya di setiap tarikan napas.Di sampingnya, Bu Tara tengah memeriksa paspor dan dokumen, sedangkan Pak Aryan mengawasi koper yang sudah tersusun di troli. Mereka berdua tampak lelah, tapi jelas berusaha menyembunyikan perasaan agar Brisa tidak semakin terbebani.Arga datang tergesa dari arah pintu masuk, jaket denimnya setengah basah karena sempat terguyur hujan. Nafasnya sedikit terengah, rambutnya acak-acakan, tapi yang paling menc
Sore itu, rumah keluarga Brisa terasa lebih lengang dari biasanya. Udara sejuk dari jendela terbuka membawa aroma rumput basah dan rintik gerimis yang mulai turun perlahan.Brisa membuka pintu rumah dengan langkah pelan. Sepatu yang basah oleh gerimis meninggalkan jejak samar di lantai. Ibunya, Bu Tara, yang mendengar suara pintu segera keluar dari dapur.“Brisa, kamu sudah pulang?” Suaranya lembut namun sarat kecemasan.Pak Aryan muncul dari ruang kerja, menatap putrinya lekat-lekat.Brisa memaksakan senyum kecil. “Ma, Pa.”Bu Tara buru-buru menghampiri dan memeluknya erat. Pelukan itu hangat, lama, dan penuh rasa khawatir yang tak bisa diucapkan. “Kamu nggak apa-apa, kan?” bisiknya.Brisa mengangguk pelan. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menenangkan diri."Setelah itu mereka duduk bertiga di ruang keluarga. Tidak ada televisi menyala, tidak ada suara musik. Hanya keheningan yang mengendap di antara mereka.Pak Aryan bersandar di sofa, tangannya bertaut di depan dada, sedangkan
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Brisa terbuka. Brisa melangkah keluar dengan sebuah koper besar di tangannya. Ia tampak terkejut melihat Ivana masih duduk di ruang tamu.“Kamu masih di sini?” tanya Brisa, nada suaranya dingin.Ivana bangkit berdiri, matanya menatap koper besar itu. “Kamu… kamu mau pergi?”Brisa menunduk sejenak, lalu menatap Ivana lurus. “Iya. Aku nggak bisa tinggal di rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan buruk dan Sagara sudah tidak ada lagi di sini."Ivana membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya berdiri di tempat, tubuhnya terasa kaku. Ada perasaan bersalah yang menyelinap di hatinya, tapi ia menekannya dalam-dalam.Brisa menyeret kopernya ke dekat pintu. Ia mengambil jaket dari gantungan, lalu berbalik menatap Ivana sekali lagi.“Kalau kamu datang buat bicara soal hubunganmu dengan Brian, aku nggak tertarik. Kalian bisa melakukan apa pun yang kalian mau, tapi aku nggak akan tinggal di tengah drama kalian. La
Suasana di ruang tamu semakin hening, hanya terdengar detakan jam dinding yang seakan mengiringi kegelisahan di dalam dada Brian. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan tatapan dokter Angga yang masih menunggu reaksi selanjutnya.Brian menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu ini bukan saatnya emosi. Ia bertanya dengan nada pelan, "Apakah Brisa sudah tahu?" Dokter Angga menggeleng perlahan."Saya belum memberitahunya," ujar dokter Angga, suara berat dan penuh pertimbangan. "Itulah alasan saya datang ke sini. Saya ingin bicara langsung dengan Bu Brisa, menjelaskan semuanya dari awal."Brian menatap dokter Angga beberapa saat sebelum mengangguk. Tidak ada kata-kata lagi. Setelah berpamitan, dokter Angga pun pergi meninggalkan rumah yang kembali tenggelam dalam keheningan.Brian menatap pintu yang baru saja tertutup di belakang dokter Angga. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Ia mencoba menelepon Brisa. Sekali, dua kali. Tak dijawab. Ia mengirim pesan
Setelah rapat selesai, Brian berjalan keluar dari gedung kantor dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah bertekad untuk menjalankan tugasnya. Malam itu, setelah hari yang panjang, Brian kembali ke rumah Brisa dan Sagara. Begitu memasuki rumah, ia langsung merasakan kekosongan yang begitu mencengkeram. Ruang tamu sunyi hanya ada bayangan perabotan yang tampak seperti saksi bisu dari kebahagiaan yang dulu pernah ada. Rumah itu masih sama, tetapi rasanya berbeda. Seperti kehilangan jiwanya. Langkah Brian terasa berat saat ia berjalan ke dalam. Meja makan yang dulu sering mereka gunakan untuk berkumpul kini tertata rapi, tak tersentuh. Di sudut ruangan, foto pernikahan Sagara dan Brisa masih berdiri kokoh di atas meja kecil. Brian mengulurkan tangan, jemarinya menyentuh bingkai itu. Sagara tersenyum dalam foto itu, begitu bahagia, begitu hidup. Brian menarik napas dalam, mencoba menekan rasa kehilangan yang tiba-tiba menyerangnya. Hari-hari