Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan.
Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyaman. Jaket hitamnya yang panjang memberikan kesan menakutkan, seolah-olah pria itu baru saja keluar dari bayang-bayang kegelapan. "Siapa ini?" Anisa bergumam pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Namun, ketika ia hendak mundur, ketukan itu terdengar lagi, lebih keras kali ini, membuat Anisa tersentak. "Aku tahu kau di dalam, Anisa," suara pria itu terdengar dari luar, dalam dan serak. "Aku hanya ingin bicara. Ini penting." Anisa terdiam, merasa bingung dan was-was. Dari mana pria itu tahu namanya? Tanpa alasan yang jelas, pikirannya melayang ke Arya, pria misterius yang ditemuinya di taman malam itu. Apakah pria di luar ini ada hubungannya dengan Arya? Apakah ini jebakan? Setelah beberapa detik penuh keraguan, Anisa akhirnya membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah pria itu dengan lebih jelas. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada tegas, berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Pria itu menatapnya dengan mata yang dingin, seolah menembus jiwanya. "Namaku adalah Adrian," jawabnya singkat, "dan aku datang untuk memperingatkanmu." "Peringatan? Tentang apa?" Anisa mulai merasa aneh dengan situasi ini. Pria ini jelas bukan orang yang ia kenal, dan perasaan tidak nyaman terus menyelimutinya. Adrian menghela napas berat, seolah apa yang akan ia sampaikan membawa beban besar. "Arya, laki-laki yang kau temui di taman, bukan orang biasa. Dia lebih berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan. Jika kau terlibat dengannya, hidupmu tidak akan pernah sama lagi." Kata-kata Adrian membuat Anisa membeku. Bagaimana dia tahu tentang Arya? Apa yang dia maksud dengan 'berbahaya'? Segala hal yang terjadi terasa begitu cepat dan membingungkan. "Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak paham apa yang kau bicarakan," kata Anisa, berusaha menyembunyikan kegelisahan dalam suaranya. "Tentu saja kau tidak tahu," Adrian berkata dengan nada datar, namun ada sedikit kegeraman di balik kata-katanya. "Tapi dengarkan aku. Arya telah menghancurkan banyak kehidupan, dan jika kau tidak berhati-hati, kau bisa menjadi korban berikutnya." Hati Anisa mulai berpacu dengan cepat. "Menghancurkan hidup orang? Apa maksudmu? Apakah dia seorang kriminal?" Adrian terdiam sejenak, seolah-olah berpikir sebelum menjawab. "Lebih dari sekadar kriminal. Dia memiliki cara untuk mengendalikan orang, membuat mereka melakukan hal-hal yang tak terbayangkan. Dan sekali kau terjebak dalam permainannya, kau tidak akan pernah bisa keluar." Rasa takut yang menggelayuti hati Anisa semakin kuat. Siapa sebenarnya Arya? Dan mengapa dia merasa begitu tertarik pada pria itu meskipun ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman? Kata-kata Adrian seolah memicu serangkaian pertanyaan yang belum bisa ia jawab. "Kenapa kau memperingatkan aku?" tanya Anisa, suaranya sedikit bergetar. "Apa yang membuatmu peduli?" Adrian menatapnya dalam-dalam, dan Anisa merasakan ada sesuatu yang lebih besar di balik mata dingin pria itu. "Karena aku pernah berada di posisimu, Anisa. Aku pernah terjebak dalam jaringannya, dan aku tahu betapa sulitnya keluar. Tapi aku berhasil. Dan aku tidak ingin melihat orang lain mengalami hal yang sama." Anisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam pada cerita Adrian, namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Adrian melangkah mundur, bersiap untuk pergi. "Ingat, Anisa," katanya, dengan nada penuh kewaspadaan, "jika kau merasa sesuatu yang tidak beres, pergilah. Jangan tunggu sampai terlambat." Dengan kalimat terakhir itu, Adrian berbalik dan berjalan menjauh, menghilang di kegelapan malam. Anisa masih berdiri di ambang pintu, terpaku di tempatnya. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Keesokan harinya, Anisa bangun dengan perasaan yang aneh. Mimpi-mimpi buruk menghantui tidurnya, bayang-bayang Adrian dan Arya silih berganti muncul dalam ingatannya. Seolah-olah pikirannya sendiri sedang berperang, mencari kebenaran di tengah-tengah lautan kebingungan. Di tempat kerjanya, Anisa mencoba untuk fokus, tetapi pikirannya terus-menerus terganggu oleh pertemuan dengan Adrian. Siapa pria itu sebenarnya? Dan yang lebih penting, apakah ia harus mempercayai peringatannya? Pikiran tentang Arya kini diliputi oleh kecurigaan dan rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Malamnya, saat Anisa sedang duduk di sofa dengan segelas anggur di tangan, ponselnya berdering. Nama Arya muncul di layar, dan jantung Anisa berdetak kencang. Tiba-tiba, semua peringatan Adrian kembali terngiang di kepalanya. Ia ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. "Anisa," suara Arya terdengar di seberang sana, dalam dan tenang seperti biasa. Namun kali ini, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Anisa merasa tidak nyaman. "Halo, Arya," jawabnya dengan suara yang ia coba buat setenang mungkin. "Ada apa?" "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja," kata Arya, dan ada senyum yang bisa Anisa rasakan di balik suaranya. "Aku merasa kita belum selesai berbicara malam itu." Perasaan aneh menjalari tubuh Anisa. "Malam itu? Maksudmu, saat kita bertemu di taman?" "Ya," jawab Arya pelan, "malam itu adalah awal dari sesuatu yang penting, Anisa. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya, jika kau memberiku kesempatan." Kata-kata Arya, meskipun terdengar menggoda, kini terasa mengandung ancaman tersembunyi. Anisa terdiam sejenak, memikirkan peringatan Adrian dan kata-kata Arya yang penuh misteri. Dalam hatinya, ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, tidak tahu apakah ia harus melangkah maju atau mundur. "Aku tidak tahu, Arya," jawabnya akhirnya, dengan suara yang bergetar. "Aku butuh waktu untuk berpikir." "Ambil waktu yang kau butuhkan," kata Arya dengan nada yang lembut namun tegas. "Tapi ingatlah, Anisa, bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali." Panggilan berakhir, meninggalkan Anisa dalam keheningan yang menakutkan. Hatinya berdebar kencang, seolah-olah ia baru saja melangkah lebih dekat ke dalam jebakan yang tak terlihat. Ia tahu bahwa keputusannya selanjutnya bisa mengubah hidupnya selamanya baik atau buruk, ia belum bisa memastikan. Anisa duduk di sofa, memandangi gelas anggur yang ada di tangannya. Hidupnya, yang dulu begitu biasa dan tenang, kini berubah menjadi permainan yang penuh dengan misteri dan bayang-bayang masa lalu yang gelap.Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari
Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw
Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K
Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me
Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi
Anisa duduk di tepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hari-harinya kini dipenuhi dengan ketakutan, tidak ada lagi ketenangan yang ia rasakan sejak pertemuan terakhir dengan pria misterius itu. Kegelapan yang ia rasakan semakin menelan dirinya, dan ia merasa seperti di ujung jurang.Ponsel di tangannya tetap sunyi, tidak ada pesan atau panggilan dari Arya. Perasaan cemas yang terus melilit pikirannya membuatnya ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam kecemasan. Arya telah pergi, dan meninggalkannya dalam keadaan paling rapuh yang pernah ia alami. Pria yang katanya mencintainya kini entah berada di mana.“Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?” Anisa bergumam sendiri, mencoba memahami mengapa hidupnya berubah begitu drastis.Pikiran tentang ancaman yang ditujukan padanya terus membayang, membuatnya gelisah setiap kali ia mendengar suara aneh di luar rumah. Malam-malam terasa panjang dan mencekam, bahkan untuk menutup mata saja dia
Ketakutan merambat di sepanjang tulang punggung Anisa. Seluruh tubuhnya terasa beku di tengah kegelapan yang membungkus rumahnya. Ketukan di pintu yang semakin keras menandakan bahwa orang di luar sana tak akan menyerah sampai pintu terbuka. Satu-satunya yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah bertahan, meskipun naluri di dalam dirinya berteriak untuk berlari."Kamu harus tetap tenang, Anisa. Tetap tenang," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun suaranya bergetar.Sambil menggigit bibir, Anisa meraih ponselnya yang sudah tergeletak di meja. Jemarinya gemetar saat ia mencoba menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, ketukan di pintu mendadak berhenti. Keheningan yang tiba-tiba menegangkan atmosfir di sekelilingnya.Hatinya berdetak keras. Anisa berdiri terpaku, bingung apakah ia harus menghampiri pintu atau menunggu saja sampai sesuatu terjadi. Apakah orang di luar sana sudah pergi?**Beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Anisa berusaha
Angin dingin malam itu merayap pelan di sepanjang jalan setapak yang dilalui Anisa. Langkahnya terburu-buru, meski di dalam hati, rasa takut terus membayang. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik kerudung hitam yang ia kenakan. Tas kecil yang menggantung di pundaknya terasa berat, meskipun hanya berisi beberapa barang penting yang ia bawa untuk berjaga-jaga.Surat itu masih ada di dalam tasnya, terlipat rapi, tetapi ancamannya terus terngiang-ngiang di kepalanya. "Jangan beritahu siapa pun, atau kami akan memastikan kamu tidak akan pernah melihatnya lagi." Pesan itu jelas dan tegas. Mereka mengancam nyawa Arya, pria yang ia cintai dan ingin ia selamatkan. Meski ketakutan terus menghantuinya, Anisa tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan Arya. Namun, ada bagian kecil dalam dirinya yang ragu, bertanya-tanya apakah ia membuat keputusan yang benar.Tiba di alamat yang tertulis di surat itu, Anisa mendapati dirinya berdiri di depan sebuah gudang tua
Hari itu, Anisa sedang beristirahat di kamar setelah melewati pagi yang cukup melelahkan. Malik, seperti biasanya, ada di ruang kerja, menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Kehidupan mereka berangsur membaik sejak usia kandungan Anisa memasuki bulan keempat, meskipun Anisa masih sering mengalami rasa lelah.Namun ketenangan itu tiba-tiba berubah menjadi kegemparan ketika telepon rumah berdering dengan suara yang memecah keheningan. Malik yang pertama kali mengangkatnya. Wajahnya yang awalnya tenang mendadak pucat setelah mendengar suara di seberang.“Anisa!” panggilnya sambil berlari ke kamar.Anisa, yang sedang membaca buku, menatap Malik dengan kebingungan. “Ada apa, Malik? Kenapa kamu terlihat panik?”Malik menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menyampaikan kabar buruk itu. “Rumah orang tuamu... kebakaran.”Kata-kata itu seperti petir di siang bolong bagi Anisa. Tubuhnya lemas, dan buku yang ia pegang terjatuh ke lantai. “Apa? Bagaimana bisa? Apa mereka selama
Empat bulan telah berlalu sejak Anisa dinyatakan hamil. Perutnya mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan, dan hal itu membawa kebahagiaan tersendiri bagi Malik. Ia selalu mencium perut Anisa setiap pagi sebelum berangkat kerja, berbicara pada bayi mereka dengan penuh kasih sayang.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada kekhawatiran yang mulai muncul. Selama seminggu terakhir, Anisa sering merasakan kram di bagian bawah perutnya. Awalnya ia mengabaikannya, menganggap itu bagian dari kehamilan. Tetapi, rasa kram itu semakin sering datang, terutama ketika ia terlalu lama berdiri atau berjalan.Suatu pagi, setelah selesai sarapan, Anisa mencoba membereskan meja makan. Baru beberapa menit ia berdiri, rasa kram itu datang lagi, kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Anisa terhuyung dan segera duduk di kursi terdekat, menahan perutnya sambil meringis kesakitan.“Anisa, kamu kenapa?” tanya Malik yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat istrinya dalam keadaan seperti itu, ia segera m
Seminggu setelah dokter mengonfirmasi kehamilan Anisa, kehidupan mereka berubah menjadi serangkaian momen yang dipenuhi kebahagiaan. Anisa dan Malik mulai merencanakan masa depan dengan antusias. Malik, yang selalu menjadi pendamping setia, bahkan mulai mengurangi jam kerjanya agar bisa lebih banyak berada di rumah untuk menemani istrinya.Namun, kebahagiaan itu mulai terusik suatu pagi ketika Anisa merasakan kram yang tidak biasa di bagian bawah perutnya. Awalnya ia menganggap itu hanya gejala kehamilan biasa, seperti yang pernah ia baca di buku-buku kehamilan. Tetapi saat rasa sakit itu datang kembali dengan intensitas yang lebih kuat, kekhawatiran mulai merayapi dirinya.“Malik, aku merasa ada yang tidak beres,” ucap Anisa dengan suara pelan saat mereka sedang sarapan pagi. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya gemetar saat memegang cangkir teh hangat.Malik segera meletakkan sendoknya dan menatap istrinya dengan serius. “Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apa perutmu sakit lagi?” tanya
Sudah sebulan sejak Anisa dan Malik melanjutkan hidup mereka sebagai pasangan suami istri. Setiap hari, mereka semakin merasakan kedalaman cinta yang terjalin di antara mereka. Setiap percakapan, setiap senyum, bahkan setiap sentuhan terasa lebih berarti. Mereka merasa bahwa hidup mereka penuh dengan kebahagiaan yang terus tumbuh.Namun, pada pagi yang cerah itu, Anisa merasa ada yang berbeda. Ada rasa mual yang tiba-tiba datang dan perutnya terasa tidak enak. Ia merasa lelah meskipun baru saja bangun dari tidur. Tetapi, ia mencoba mengabaikannya, berpikir itu hanya efek samping dari kelelahan beberapa hari terakhir karena kesibukan mereka yang semakin padat.Pagi itu, Malik juga merasa ada yang sedikit aneh dengan Anisa. Dia memperhatikan bahwa istrinya tampak pucat dan kurang bersemangat. Biasanya, Anisa selalu penuh energi, tetapi hari itu, ia terlihat berbeda. Malik memutuskan untuk tidak bertanya lebih dulu, namun perasaan cemas mulai menghinggapi dirinya."Apa kau merasa baik-ba
Malam itu adalah salah satu malam yang tidak akan pernah dilupakan oleh Anisa. Setelah seharian mereka sibuk mendiskusikan rencana pembangunan rumah impian mereka, Malik mengajaknya untuk menghabiskan malam dengan santai di rumah. Tidak ada rencana besar, hanya kebersamaan sederhana yang penuh cinta.Anisa mengenakan gaun tidur berwarna pastel yang ia pilih karena kelembutannya. Ia berjalan menuju ruang tamu, di mana Malik sudah menunggunya dengan sebotol anggur dan dua gelas.“Anggur?” tanya Anisa, sedikit terkejut. “Apa kita sedang merayakan sesuatu?”Malik tersenyum lembut. “Tidak perlu alasan besar untuk merayakan cinta kita, kan?”Anisa duduk di sofa, bersebelahan dengan Malik. Ia menerima gelas anggur yang disodorkan Malik dan menyesapnya perlahan. Rasa manis bercampur pahit menyentuh lidahnya, seperti mengingatkannya pada perjalanan panjang mereka hingga sampai ke titik ini.“Terima kasih, Malik,” kata Anisa tiba-tiba.“Untuk apa?” Malik menatapnya dengan penuh perhatian.“Untu
Hari-hari bersama Malik berlalu dengan penuh kedamaian. Anisa mulai merasakan bahwa hidupnya kembali berjalan di jalur yang benar. Setelah semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya, akhirnya ia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya tanpa syarat. Malik bukan hanya suami, tapi juga sahabat, pelindung, dan pendamping yang setia.Namun, pagi itu, Anisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, mendapati Malik masih tertidur pulas di sampingnya. Wajah Malik terlihat tenang, seolah tidak ada beban yang membayangi pikirannya. Anisa tersenyum kecil, lalu menyentuh wajah Malik dengan lembut, menelusuri garis rahangnya yang tegas.“Terima kasih, Malik,” bisik Anisa pelan, meski ia tahu Malik tak akan mendengar. “Untuk segalanya.”Anisa turun dari ranjang dan melangkah menuju dapur. Ia memutuskan untuk membuatkan sarapan sederhana sebagai kejutan untuk Malik. Dalam hati, Anisa mulai memikirkan hal-hal yang ingin ia lakukan bersama Malik.“Aku ingin memu
Malam itu, suasana rumah mereka terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil di sudut ruang tamu memancarkan cahaya temaram yang menciptakan nuansa intim. Anisa sedang duduk di sofa dengan selimut di pangkuannya, menonton film romantis yang disukai Malik. Meski perhatian Anisa tertuju pada layar, pikirannya melayang pada pria yang sedang menyiapkan teh di dapur.Malik berjalan mendekat dengan dua cangkir teh hangat. Senyum lembutnya menyambut tatapan Anisa. Ia menyerahkan cangkir itu dengan penuh perhatian, duduk di sampingnya, dan merangkul bahu Anisa dengan hangat.“Malam ini terasa spesial,” gumam Malik sambil menatap wajah istrinya.Anisa mengangguk, menyandarkan kepala di bahu Malik. “Karena kita akhirnya punya waktu untuk berdua. Tanpa pekerjaan, tanpa gangguan.”Mereka larut dalam keheningan yang nyaman, menikmati kebersamaan yang jarang mereka dapatkan belakangan ini. Malik memainkan jemari Anisa, seolah ingin menghafal setiap lekuk dan garis tangannya.“Kau tahu?” bis
Anisa terbangun di pagi yang tenang dengan perasaan yang berbeda. Semalam, setelah berbicara dengan Malik dan Arya, ia merasa seolah menemukan secercah terang di tengah kegelapan yang menyelimuti hatinya. Ia telah memutuskan untuk menghentikan semua kebimbangan dan memilih jalan yang paling masuk akal, ia akan bersama Malik, pria yang telah mencintainya dengan tulus dan tanpa syarat.Ia menatap Malik yang masih tertidur di sampingnya. Wajah suaminya terlihat begitu damai, seakan tidak ada beban yang mengusik. Anisa tersenyum kecil. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya tentang perasaannya, tetapi juga tentang membangun masa depan yang penuh komitmen dan saling mendukung.Malik terbangun tidak lama kemudian dan tersenyum hangat pada Anisa. “Pagi, istriku. Apa kau tidur nyenyak?” tanyanya lembut.Anisa mengangguk. “Aku tidur nyenyak, Malik. Dan pagi ini, aku merasa lebih baik.”Malik meraih tangan Anisa, menggenggamnya erat. “Apa kau sudah memutuskan?” tanyanya hati-hati, tidak ingin
Pagi itu, matahari memancarkan sinarnya yang hangat, tetapi suasana hati Anisa tetap kelam. Setelah pertemuannya dengan Arya di taman semalam, pikirannya terus bergemuruh. Ia kembali ke hotel menjelang subuh dan mendapati Malik masih tertidur. Wajah suaminya tampak damai, kontras dengan kekacauan yang ia rasakan dalam hatinya.Anisa menatap Malik cukup lama, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya. Ia tahu bahwa Malik adalah pria yang sempurna di atas kertas, stabil, baik hati, dan mencintainya dengan tulus. Tapi mengapa hatinya terus-menerus memanggil nama Arya?Saat Malik terbangun, dia menyambut Anisa dengan senyum hangat. "Selamat pagi, istriku," katanya sambil menggenggam tangan Anisa.Anisa memaksakan senyum. "Selamat pagi," jawabnya singkat, meskipun suaranya terdengar datar.Malik menyadari perubahan pada Anisa, tetapi ia memilih untuk tidak menanyakannya langsung. Ia tahu bahwa memberikan ruang bagi Anisa adalah langkah terbaik untuk saat ini. Namun, di dalam hatinya, ia