Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya.
Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari di bagian sejarah kota, berharap menemukan petunjuk tentang Arya atau hal-hal yang berhubungan dengan pria misterius itu. Ia membolak-balik halaman demi halaman buku-buku usang, mencari jejak apa pun yang bisa menghubungkan Arya dengan sesuatu yang gelap atau berbahaya. Namun, pencariannya sia-sia. Tidak ada catatan apa pun tentang Arya atau keluarga yang mungkin memiliki sejarah kelam. Frustrasi mulai merayapi dirinya, membuatnya merasa semakin putus asa. Tepat saat ia akan menyerah, seorang pria tua dengan rambut putih yang tipis dan mata penuh kebijaksanaan mendekatinya. "Apa yang kau cari, anak muda?" tanyanya dengan suara serak namun ramah. Anisa terkejut dengan kehadiran pria itu, tetapi sesuatu dalam dirinya merasa terdorong untuk berbicara. "Aku mencari informasi tentang seseorang," jawabnya pelan. "Seseorang yang mungkin memiliki hubungan dengan masa lalu yang kelam." Pria tua itu memandangnya dengan penuh perhatian, seolah-olah bisa melihat jauh ke dalam jiwa Anisa. "Orang yang kau cari... apakah dia memiliki nama yang menyeramkan? Atau mungkin, auranya yang menakutkan?" Anisa merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Ya... dia bernama Arya," katanya dengan ragu-ragu. "Dan aku tidak tahu siapa dia sebenarnya." Mata pria tua itu menyipit, seolah-olah nama itu mengingatkannya pada sesuatu. "Arya, katamu?" gumamnya, suaranya penuh dengan kekhawatiran. "Ada sebuah legenda lama di kota ini, tentang seseorang yang mungkin cocok dengan deskripsi itu." Anisa menahan napas. "Legenda apa? Tolong, ceritakan padaku." Pria tua itu mengangguk pelan, lalu mengambil tempat duduk di samping Anisa. "Legenda itu menceritakan tentang seorang pria yang dikenal sebagai 'Bayang Kegelapan.' Konon, pria ini memiliki kemampuan untuk memanipulasi orang-orang di sekitarnya, mengendalikan pikiran dan perasaan mereka. Dia bisa memikat siapa pun yang dia inginkan, menjebak mereka dalam jaringnya tanpa mereka sadari." "Bayang Kegelapan?" Anisa mengulanginya dengan suara pelan, merasa ngeri dengan sebutan itu. "Apakah ini hanya dongeng, atau ada kebenaran di baliknya?" Pria tua itu menghela napas panjang. "Tidak ada yang tahu pasti. Beberapa percaya bahwa itu hanyalah kisah untuk menakut-nakuti anak-anak, tetapi yang lain terutama mereka yang pernah bertemu dengan seseorang seperti Arya percaya bahwa pria itu memang ada. Mereka mengatakan bahwa dia selalu muncul dalam kehidupan orang-orang yang sedang rapuh, yang mudah dipengaruhi." Anisa merasa bulu kuduknya meremang. Kata-kata pria tua itu seolah-olah menjelaskan apa yang ia rasakan tentang Arya, bahwa ada sesuatu yang gelap dan mengancam di balik pesonanya yang menawan. "Apa yang terjadi pada orang-orang yang terjebak dalam jaring Bayang Kegelapan itu?" tanya Anisa, suaranya bergetar. Pria tua itu menatap Anisa dengan pandangan penuh rasa iba. "Mereka kehilangan diri mereka sendiri, terperangkap dalam kegelapan yang tak terlihat. Mereka menjadi boneka yang tak berdaya, melakukan apa pun yang diperintahkan oleh Bayang Kegelapan tanpa pertimbangan atau penyesalan." Kata-kata itu menghantam Anisa seperti badai. Ia merasa seperti sedang melangkah ke dalam sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan, sesuatu yang bisa menghancurkannya jika ia tidak berhati-hati. "Bagaimana cara melindungi diri dari dia?" tanyanya dengan panik. "Apa yang harus aku lakukan?" Pria tua itu terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Tidak mudah melawan Bayang Kegelapan," katanya akhirnya. "Tapi ada satu hal yang bisa kau lakukan, jangan biarkan dirimu terbawa oleh pesonanya. Jangan pernah memberikan kepercayaan penuh padanya, dan selalu ingat siapa dirimu. Hanya dengan begitu kau bisa melawan pengaruhnya." Anisa merasa sedikit lega mendengar saran itu, tetapi ketakutan masih menguasai dirinya. "Terima kasih, Pak," katanya pelan. "Aku akan mencoba." Pria tua itu tersenyum lembut, seolah-olah ia telah melihat banyak hal dalam hidupnya. "Hati-hati, anak muda," katanya sebelum berdiri dan berjalan menjauh, meninggalkan Anisa dengan pikirannya yang berputar-putar. Setelah meninggalkan perpustakaan, Anisa memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman kota. Udara dingin yang menyelimuti sore hari seharusnya bisa menenangkan pikirannya, tetapi perasaan cemas tidak kunjung hilang. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengawasinya, mengikuti setiap langkahnya. Saat tiba di sudut taman yang sepi, Anisa merasakan getaran aneh di ponselnya. Ia mengeluarkannya dari tas, dan sekali lagi, nama Arya muncul di layar. Kali ini, ia ragu-ragu untuk menjawabnya. Peringatan pria tua itu masih terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya sadar bahwa setiap interaksi dengan Arya bisa membawa bahaya. Namun, rasa penasaran dan perasaan aneh yang menyelimuti dirinya membuat Anisa akhirnya menjawab panggilan itu. "Halo, Arya," katanya dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya. "Aku senang kau menjawab," kata Arya, suaranya terdengar tenang seperti biasa. "Aku ingin bertemu denganmu malam ini, Anisa. Ada sesuatu yang penting yang harus kubicarakan." Anisa merasakan debaran jantungnya semakin kencang. "Apa itu?" tanyanya, berusaha terdengar tidak terlalu tertarik, tetapi perasaan waspada tetap ada. "Ini tentang masa laluku," jawab Arya dengan nada misterius. "Aku rasa kau perlu tahu, jika kita akan melanjutkan ini." Kata-kata itu membuat Anisa semakin penasaran. Mungkinkah ini kesempatan untuk mengetahui kebenaran tentang Arya? Atau apakah ini hanya jebakan lain yang akan menyeretnya lebih dalam ke dalam kegelapan? Ia tidak bisa memutuskan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Anisa akhirnya berkata, "Baiklah, Arya. Di mana kita bisa bertemu?" Arya memberikan lokasi yang tak jauh dari taman tempat Anisa berada, sebuah bangunan tua yang sudah lama tidak digunakan. Anisa merasa ragu sejenak, tetapi akhirnya ia setuju. Ia tahu bahwa keputusan ini mungkin berbahaya, tetapi rasa ingin tahunya terlalu kuat untuk diabaikan. Ketika malam semakin larut, Anisa berjalan menuju bangunan tua itu. Suasana di sekitarnya terasa mencekam, dan setiap langkah yang ia ambil membuatnya merasa semakin dekat dengan sesuatu yang gelap dan berbahaya. Namun, ia tidak mundur. Ia tahu bahwa malam ini akan mengubah segalanya. Saat tiba di depan bangunan itu, Anisa melihat Arya berdiri di sana, menunggunya. Cahaya bulan yang redup menyinari wajahnya, memberikan kesan misterius yang membuat Anisa merasa semakin waspada. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Arya yang membuat Anisa tetap tertarik, seolah-olah ia tidak bisa menolak pesonanya. "Terima kasih karena datang," kata Arya dengan senyum yang tak bisa ditebak. "Aku janji, apa yang akan kau dengar malam ini akan menjawab semua pertanyaanmu." Anisa hanya mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya berdebar-debar, dan ketakutan yang tadi menghantuinya kini bercampur dengan rasa penasaran yang tak tertahankan. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam bangunan tua itu.Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw
Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K
Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me
Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi
Anisa duduk di tepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hari-harinya kini dipenuhi dengan ketakutan, tidak ada lagi ketenangan yang ia rasakan sejak pertemuan terakhir dengan pria misterius itu. Kegelapan yang ia rasakan semakin menelan dirinya, dan ia merasa seperti di ujung jurang.Ponsel di tangannya tetap sunyi, tidak ada pesan atau panggilan dari Arya. Perasaan cemas yang terus melilit pikirannya membuatnya ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam kecemasan. Arya telah pergi, dan meninggalkannya dalam keadaan paling rapuh yang pernah ia alami. Pria yang katanya mencintainya kini entah berada di mana.“Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?” Anisa bergumam sendiri, mencoba memahami mengapa hidupnya berubah begitu drastis.Pikiran tentang ancaman yang ditujukan padanya terus membayang, membuatnya gelisah setiap kali ia mendengar suara aneh di luar rumah. Malam-malam terasa panjang dan mencekam, bahkan untuk menutup mata saja dia
Ketakutan merambat di sepanjang tulang punggung Anisa. Seluruh tubuhnya terasa beku di tengah kegelapan yang membungkus rumahnya. Ketukan di pintu yang semakin keras menandakan bahwa orang di luar sana tak akan menyerah sampai pintu terbuka. Satu-satunya yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah bertahan, meskipun naluri di dalam dirinya berteriak untuk berlari."Kamu harus tetap tenang, Anisa. Tetap tenang," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun suaranya bergetar.Sambil menggigit bibir, Anisa meraih ponselnya yang sudah tergeletak di meja. Jemarinya gemetar saat ia mencoba menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, ketukan di pintu mendadak berhenti. Keheningan yang tiba-tiba menegangkan atmosfir di sekelilingnya.Hatinya berdetak keras. Anisa berdiri terpaku, bingung apakah ia harus menghampiri pintu atau menunggu saja sampai sesuatu terjadi. Apakah orang di luar sana sudah pergi?**Beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Anisa berusaha
Angin dingin malam itu merayap pelan di sepanjang jalan setapak yang dilalui Anisa. Langkahnya terburu-buru, meski di dalam hati, rasa takut terus membayang. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik kerudung hitam yang ia kenakan. Tas kecil yang menggantung di pundaknya terasa berat, meskipun hanya berisi beberapa barang penting yang ia bawa untuk berjaga-jaga.Surat itu masih ada di dalam tasnya, terlipat rapi, tetapi ancamannya terus terngiang-ngiang di kepalanya. "Jangan beritahu siapa pun, atau kami akan memastikan kamu tidak akan pernah melihatnya lagi." Pesan itu jelas dan tegas. Mereka mengancam nyawa Arya, pria yang ia cintai dan ingin ia selamatkan. Meski ketakutan terus menghantuinya, Anisa tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan Arya. Namun, ada bagian kecil dalam dirinya yang ragu, bertanya-tanya apakah ia membuat keputusan yang benar.Tiba di alamat yang tertulis di surat itu, Anisa mendapati dirinya berdiri di depan sebuah gudang tua
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Seolah-olah langit menolak memberikan cahaya bulan untuk menerangi langkah Anisa yang terseok-seok keluar dari gudang tua itu. Hati dan pikirannya kacau balau. Setiap tarikan napas terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Keputusan yang ia buat beberapa saat lalu mengguncang hidupnya, seperti runtuhan yang tak bisa disatukan kembali. Ia telah melepaskan Arya, pria yang ia cintai, demi keselamatannya. Tapi di balik semua itu, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti jiwanya.Perasaan hampa menyelimuti Anisa. Angin malam yang dingin tak mampu membekukan luka di hatinya. Jalan setapak yang dilaluinya terasa semakin panjang, seperti tiada akhir. Kakinya gemetar, hampir tak mampu menopang tubuhnya. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya, seakan dunia tidak menginginkan dia terus berjalan.Setibanya di depan apartemennya yang kecil dan sederhana, Anisa berdiri di depan pintu, dia tak langsung masuk. Tempat itu sekarang hanya rumah
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,
Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih
Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?
Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t
Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be
Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de
Anisa menatap ke luar jendela kamar apartemennya yang kecil. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam bertiup pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ini adalah tempat tinggal barunya, jauh dari tempat lama yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Sudah dua minggu sejak dia menjual rumah peninggalan orang tuanya. Rumah yang dulu penuh dengan canda tawa, berubah menjadi tempat yang hanya membuatnya terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Anisa tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali dari nol.Dia kini bekerja di sebuah restoran asing yang cukup terkenal. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi setidaknya membuatnya sibuk dan tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu. Ia mengisi harinya dengan memasak, melayani pelanggan, dan berbincang dengan rekan kerja barunya.Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak siang tadi, ia merasa seperti a
Setelah beberapa bulan berlalu sejak kepindahannya ke kota baru, Anisa mulai terbiasa dengan ritme kehidupannya yang sekarang. Ia sudah tidak lagi merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan pekerjaannya di restoran asing membuatnya semakin sibuk hingga perlahan-lahan bisa melupakan luka-luka masa lalunya. Meskipun kadang-kadang kenangan tentang Roy masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi.Namun suatu hari, Anisa mengalami sesuatu yang membuatnya kembali mempertanyakan kehidupannya. Hari itu, restoran tempatnya bekerja sedang ramai karena ada acara perayaan ulang tahun dari pelanggan tetap mereka. Anisa yang bertugas di bagian pelayanan sibuk bolak-balik mengantar pesanan makanan dan memastikan semua pelanggan mendapatkan pelayanan terbaik.Saat ia sedang mengambil pesanan dari meja pelanggan, seorang pria memasuki restoran. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat rapi dan elegan. Anisa tidak terlalu memperh
Waktu berjalan semakin cepat, dan Anisa merasa hidupnya seperti berputar dalam lingkaran tanpa akhir. Meski hubungan dengan Roy tampak menyenangkan di awal, semakin lama ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Meskipun Roy selalu memberikan perhatian yang penuh, Anisa merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Kadang, ada hal-hal kecil yang membuatnya curiga, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.Hari itu, seperti biasa, Roy menjemput Anisa di rumahnya untuk makan malam bersama. Anisa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Roy selalu berusaha menyenangkan hati Anisa dengan cara-cara sederhana, tetapi yang terkadang membuatnya merasa aneh adalah cara Roy selalu menghindari topik-topik pribadi. Ia tidak pernah membahas keluarga, masa lalunya, atau apapun yang bersifat pribadi. Ketika Anisa menanyakan sesuatu tentang dirinya, Roy selalu mengubah topik dengan alasan yang terkesan canggung.“Roy, aku sudah lama ingin tahu lebih banyak tentangmu,” ujar Anisa suatu malam saat mereka duduk di r