Ketakutan merambat di sepanjang tulang punggung Anisa. Seluruh tubuhnya terasa beku di tengah kegelapan yang membungkus rumahnya. Ketukan di pintu yang semakin keras menandakan bahwa orang di luar sana tak akan menyerah sampai pintu terbuka. Satu-satunya yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah bertahan, meskipun naluri di dalam dirinya berteriak untuk berlari."Kamu harus tetap tenang, Anisa. Tetap tenang," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun suaranya bergetar.Sambil menggigit bibir, Anisa meraih ponselnya yang sudah tergeletak di meja. Jemarinya gemetar saat ia mencoba menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, ketukan di pintu mendadak berhenti. Keheningan yang tiba-tiba menegangkan atmosfir di sekelilingnya.Hatinya berdetak keras. Anisa berdiri terpaku, bingung apakah ia harus menghampiri pintu atau menunggu saja sampai sesuatu terjadi. Apakah orang di luar sana sudah pergi?**Beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Anisa berusaha
Angin dingin malam itu merayap pelan di sepanjang jalan setapak yang dilalui Anisa. Langkahnya terburu-buru, meski di dalam hati, rasa takut terus membayang. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan wajah di balik kerudung hitam yang ia kenakan. Tas kecil yang menggantung di pundaknya terasa berat, meskipun hanya berisi beberapa barang penting yang ia bawa untuk berjaga-jaga.Surat itu masih ada di dalam tasnya, terlipat rapi, tetapi ancamannya terus terngiang-ngiang di kepalanya. "Jangan beritahu siapa pun, atau kami akan memastikan kamu tidak akan pernah melihatnya lagi." Pesan itu jelas dan tegas. Mereka mengancam nyawa Arya, pria yang ia cintai dan ingin ia selamatkan. Meski ketakutan terus menghantuinya, Anisa tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menyelamatkan Arya. Namun, ada bagian kecil dalam dirinya yang ragu, bertanya-tanya apakah ia membuat keputusan yang benar.Tiba di alamat yang tertulis di surat itu, Anisa mendapati dirinya berdiri di depan sebuah gudang tua
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Seolah-olah langit menolak memberikan cahaya bulan untuk menerangi langkah Anisa yang terseok-seok keluar dari gudang tua itu. Hati dan pikirannya kacau balau. Setiap tarikan napas terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. Keputusan yang ia buat beberapa saat lalu mengguncang hidupnya, seperti runtuhan yang tak bisa disatukan kembali. Ia telah melepaskan Arya, pria yang ia cintai, demi keselamatannya. Tapi di balik semua itu, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti jiwanya.Perasaan hampa menyelimuti Anisa. Angin malam yang dingin tak mampu membekukan luka di hatinya. Jalan setapak yang dilaluinya terasa semakin panjang, seperti tiada akhir. Kakinya gemetar, hampir tak mampu menopang tubuhnya. Setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya, seakan dunia tidak menginginkan dia terus berjalan.Setibanya di depan apartemennya yang kecil dan sederhana, Anisa berdiri di depan pintu, dia tak langsung masuk. Tempat itu sekarang hanya rumah
Pagi itu, udara dingin menyelimuti seluruh kota, membawa kabut tipis yang menambah kesuraman suasana hati Anisa. Hari-hari berlalu dengan keheningan yang menyiksa. Namun, setelah pertemuannya dengan pria misterius di taman, pikirannya tak pernah bisa beristirahat. Ia tak bisa mengabaikan peringatan yang diberikan pria itu tentang rahasia besar yang bisa menghancurkan semuanya, termasuk hidup Arya. Setiap kali ia mencoba melupakannya, bayangan pria itu kembali menghantuinya.Saat ia duduk di meja makan yang kosong, Anisa menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Secangkir kopi yang sudah dingin tergeletak di depannya, tak tersentuh. Segala sesuatu yang dulu berarti kini terasa hampa. Hidupnya berubah drastis sejak Arya terjebak dalam masalah ini, dan sekarang, ancaman itu juga menggantung di atas kepalanya. Anisa merasakan ketakutan yang membara di dadanya. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Saat itulah ponselnya bergetar, mengalihkan perhatiannya. Nomor tak diken
Malam kembali merayap seperti selimut hitam yang pekat, menutupi kota dengan hawa dingin dan suasana mencekam. Anisa berdiri di sudut apartemennya yang remang-remang, menatap jam di dinding yang jarumnya seakan bergerak lebih lambat dari biasanya. Rasa cemas yang menekan dadanya membuatnya sulit bernapas. Ia tahu bahwa malam ini mungkin akan mengubah segalanya.Sejak pertemuannya dengan Raka dan pria misterius itu, Anisa tak bisa berhenti berpikir tentang langkah selanjutnya. Segala rencana yang telah disusun, setiap detil kecil yang dipertimbangkan, seolah menjadi beban berat yang tak terangkat dari pundaknya. Di satu sisi, ia merasa yakin bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arya, tapi di sisi lain, bayang-bayang kegagalan terus menghantui pikirannya.Terdengar ketukan pelan di pintu. Anisa tersentak, jantungnya berdegup kencang. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu dan mengintip melalui lubang kecil. Sosok pria misterius itu berdiri di sana, mengenakan jaket
Malam mulai merayap dengan pelan, membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di dalam sebuah rumah kecil, suasana tegang menyelimuti. Anisa berdiri di dekat jendela, mengawasi setiap gerakan di luar. Hatinya berdebar tak karuan, sementara pikirannya berputar-putar memikirkan cara keluar dari situasi yang rumit ini. Di sudut ruangan, Arya duduk bersandar di dinding. Wajahnya pucat dan tubuhnya lemah akibat kelelahan yang berkepanjangan. Anisa mencoba menenangkan diri, namun kegelisahan semakin menyergap. Mereka terjebak dalam situasi yang kian sulit, tanpa tahu kapan ini akan berakhir. Langkah kaki yang terdengar dari luar membuat Anisa berjaga. Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria dengan wajah tegang masuk ke dalam ruangan. Tatapannya dingin dan tidak bersahabat. “Kau pikir bisa lari dari masalah ini begitu saja?” suara pria itu rendah dan penuh ancaman. Anisa menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menjaga ketenangannya meski di dalam dirinya, ia dipenuhi rasa takut
Udara pagi mulai menghembuskan kesejukan yang tajam saat Anisa dan Arya bersembunyi di balik pepohonan rimbun. Hutan di sekitar mereka masih diselimuti kegelapan, namun perlahan-lahan cahaya matahari mulai menembus celah-celah daun, menandakan bahwa hari baru telah tiba. Anisa memandangi wajah Arya yang masih pucat, seakan-akan setiap gerak napasnya begitu berat. “Kau pasti bisa, Arya. Kau harus bertahan sedikit lebih lama lagi,” bisik Anisa sambil menyeka keringat dingin yang mengalir di pelipis Arya. Arya membuka matanya perlahan, menatap Anisa dengan pandangan lemah. “Aku... aku tidak tahu, Anisa. Rasanya terlalu berat. Aku bahkan tak yakin bisa berjalan lagi.” Anisa menggenggam tangan Arya erat-erat. Ia tahu keadaan semakin memburuk, tetapi ia juga tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. “Kita sudah sampai sejauh ini, Arya. Kita tidak boleh berhenti sekarang. Mereka akan segera menemukan kita jika kita tidak terus bergerak.” Namun, kata-kata itu terasa lebih seperti dorongan
Suara langkah kaki terdengar samar di kejauhan, nyaris tenggelam dalam keremangan hutan yang semakin gelap. Anisa terus berlari, menarik Arya dengan sisa-sisa kekuatannya. Hutan yang dulu tampak begitu luas kini terasa semakin sempit, seolah menutup diri, mengurung mereka di dalamnya."Kita sudah dekat," bisik Anisa, meskipun dia sendiri tak yakin dengan kata-kata itu. Dia mencoba meyakinkan Arya, atau mungkin dirinya sendiri. Tekanan yang mereka alami itu semakin berat, seperti sebuah beban yang menghimpit setiap inci tubuh mereka berdua.Arya hanya bisa merespon dengan anggukan lemah. Matanya sayu, wajahnya pucat pasi seperti tak ada lagi kehidupan yang tersisa dalam dirinya. Kelelahan tampak begitu jelas di wajahnya. Namun, dia tetap mengikuti Anisa, seakan kepercayaan sepenuhnya terletak pada perempuan itu.Mereka telah melewati terlalu banyak penderitaan, dan menghadapi berbagai macam cobaan, tetapi Anisa tahu bahwa ujian terbesar mereka belum berakhir. Justru, apa yang mereka ha
Pagi itu, Anisa bangun dengan perasaan berat. Sudah beberapa hari terakhir, Arya hampir tidak berbicara dengannya, dan keheningan di antara mereka semakin terasa menyesakkan. Di sisi lain, ibu Arya terus-menerus mendesaknya melalui telepon, mencoba menanamkan pikiran-pikiran buruk tentang Anisa di kepala Arya."Perempuan itu nggak pantas untuk kamu, Arya," suara ibunya bergema di kepala Arya setiap kali ia melihat Anisa. "Dia cuma beban. Kamu lihat sendiri, anak kalian nggak bertahan, dan sekarang hidupmu malah semakin berantakan."Arya mulai merasa terpengaruh. Meski hatinya masih menyimpan cinta untuk Anisa, ia mulai meragukan apakah pernikahan mereka adalah keputusan yang tepat.Hari itu, Anisa mencoba berbicara dengan Arya di meja makan. Ia sudah menyiapkan sarapan favorit Arya, berharap bisa mencairkan suasana."Arya, ayo makan dulu. Aku masak nasi goreng seperti yang kamu suka," kata Anisa dengan senyum kecil.Namun, Arya hanya melirik sepiring nasi goreng itu tanpa minat. "Aku
Waktu terus berlalu, tetapi luka di hati Anisa semakin menganga. Sikap Arya yang semakin dingin, ditambah tekanan dari ibu mertuanya, membuat Anisa merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. Hubungannya dengan Arya seperti berada di ujung tanduk, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memperbaikinya.Suatu malam, ketika Anisa mencoba menyiapkan makan malam spesial untuk Arya, lelaki itu pulang dengan wajah muram. Anisa menyambutnya dengan senyuman kecil, meskipun dalam hati ia penuh kekhawatiran."Kamu pulang tepat waktu malam ini. Aku masak makanan kesukaanmu," ujar Anisa, berusaha terdengar ceria.Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Aku nggak lapar," jawabnya singkat, lalu langsung menuju kamar tanpa menghiraukan Anisa yang berdiri terpaku di ruang makan.Anisa mengepalkan tangannya di sisi meja, berusaha menahan air mata. Ia telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat makan malam itu, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka, tetapi usahanya kembali sia-sia.Setelah m
Hari-hari berlalu, dan Anisa mulai menyadari bahwa Arya semakin berbeda. Sikapnya yang dulu penuh perhatian kini terasa dingin dan berjarak. Tidak ada lagi canda ringan di pagi hari atau pelukan hangat sebelum tidur. Sebaliknya, Arya lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, entah dengan alasan pekerjaan atau sekadar "butuh udara segar."Anisa mencoba mencari penjelasan, meskipun hatinya merasa takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Di meja makan suatu malam, Anisa mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Arya, akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan nada hati-hati.Arya mendongak dari piringnya, lalu menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.“Tapi aku merasa kamu semakin jauh,” ujar Anisa, suaranya sedikit bergetar.Arya menaruh sendoknya dengan sedikit kasar di atas meja. "Aku cuma butuh waktu, Anisa. Jangan terlalu menekan aku," ucapnya tegas, membuat Anisa
Anisa terbaring lemah di rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang terasa sunyi. Kabar kegugurannya begitu menghantamnya dengan keras, membuat hatinya hancur dan tubuhnya terasa lelah. Sementara itu, Arya berdiri di sampingnya, namun sikapnya terlihat dingin. Tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan datar yang seolah-olah menyalahkan Anisa atas apa yang terjadi. Ketika ibunya datang, bukannya memberi dukungan, justru cemoohan yang keluar dari mulutnya. "Kamu ini perempuan macam apa, sampai nggak bisa menjaga kandungan sendiri," ucapnya dengan nada penuh kemarahan. "Bagaimana Arya bisa punya masa depan dengan istri seperti kamu?" Anisa hanya bisa diam. Hatinya teriris mendengar kata-kata kasar itu, terlebih di saat ia merasa sangat rapuh dan membutuhkan dukungan. Ia mencoba menahan air matanya, namun tidak bisa. Rasa sakit yang ia alami, baik fisik maupun batin, begitu menyesakkan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud seperti i
Pagi itu, sinar matahari menyelusup melalui celah-celah tirai kamar. Anisa membuka matanya dengan perasaan yang sedikit lega setelah hari-hari yang melelahkan. Semalam ia memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran dan mulai mengisi harinya dengan harapan baru. Arya masih tertidur di sampingnya, dengan wajah yang tampak damai. Anisa tersenyum, menyadari betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Arya yang selalu ada di sisinya, walau banyak cobaan yang menghampiri.Setelah berdiam sejenak, Anisa memutuskan untuk bangkit lebih dulu. Ia melangkah perlahan ke dapur, menyiapkan sarapan kecil untuk mereka. Saat ia sedang menggoreng telur, Arya tiba-tiba muncul dari belakang dan memeluknya. Kehangatan pelukan Arya seolah memberinya energi tambahan."Selamat pagi, Sayang," Arya membisikkan dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi juga," jawab Anisa sambil tersenyum. "Kamu tidur nyenyak?"Arya mengangguk. "Lebih nyenyak setelah melewati hari kemarin denga
Pagi itu, Anisa terbangun dengan perasaan lebih lega setelah dukungan Arya malam sebelumnya. Namun, bayangan tentang tekanan yang ia alami dari keluarga Arya tetap menghantuinya. Apalagi saat mengingat peristiwa pendarahan yang hampir saja merenggut kebahagiaannya menjadi calon ibu.Anisa memandang keluar jendela, melihat sinar matahari yang perlahan menerangi kota. Ia sadar, dirinya tak bisa terus-menerus terpuruk. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat demi bayi yang dikandungnya, meski dukungan dari keluarga Arya terasa berat untuk didapatkan.Di sisi lain, Arya sedang menyiapkan sarapan di dapur. Ia ingin memberikan perhatian ekstra pada Anisa, terlebih setelah kejadian-kejadian terakhir yang menimpa mereka. Ia ingin Anisa merasa diperhatikan dan dicintai, agar semangatnya kembali pulih.Ketika Anisa melangkah masuk ke dapur, Arya tersenyum lebar. “Selamat pagi, sayang. Sarapan spesial untuk istri tercinta hari ini,” ujarnya sambil menyiapkan secangkir teh hangat untuk A
Beberapa minggu setelah peristiwa yang mengguncang hubungan Anisa dengan ibu Arya, keadaan mulai sedikit tenang. Arya, yang terus berada di sisi Anisa, mengupayakan segala hal untuk membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, masih ada perasaan bersalah dalam dirinya karena ia belum bisa sepenuhnya menenangkan Anisa dari tekanan keluarganya, terutama ibunya yang selalu memandang sinis dan menyalahkan Anisa atas kondisi kesehatan yang dialaminya selama kehamilan.Sejak kejadian pendarahan itu, Anisa banyak menghabiskan waktu di rumah dan terpaksa meninggalkan beberapa pekerjaan sampingan yang dulu sering ia lakukan. Ia kini lebih fokus menjaga kehamilannya, meskipun terkadang ia merasa kehilangan kegiatan yang dulu mengisi harinya. Arya selalu berusaha menghiburnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi mereka semakin terasa sulit dan melelahkan.Pada suatu sore, ketika Arya tengah menyiapkan makanan untuk Anisa di dapur, ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari ibunya."Arya, kamu
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pernikahan mereka. Anisa dan Arya kini memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari mudah. Kehidupan pernikahan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, kini menghadapi tantangan baru yang tak terduga. Meskipun demikian, mereka berdua terus berusaha untuk mempertahankan cinta mereka dan menjaga kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.Kehamilan Anisa semakin berkembang, dan tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang semakin jelas. Ia merasakan sedikit kelelahan, tetapi di sisi lain, ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan saat memikirkan bahwa ia akan segera menjadi ibu. Arya selalu ada di sisinya, membantu mengurus segala kebutuhan, dan memberikan dukungan penuh. Meskipun keluarganya, terutama ibunya, masih menentang pernikahan mereka, Arya tidak pernah ragu untuk mempertahankan Anisa dan anak yang sedang dikandungnya.Suatu sore, saat Arya pulang kerja, ia melihat Anisa duduk di s
Sejak beberapa minggu terakhir, Anisa merasa ada yang berbeda dalam tubuhnya. Rasa mual yang datang hampir setiap pagi, kelelahan yang tidak biasa, dan perubahan suasana hati yang terasa makin intens membuatnya curiga. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berharap itu hanya akibat dari kelelahan atau perubahan hormon sementara. Namun, semakin lama, semakin yakin bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.Akhirnya, Anisa memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan. Kalau waktu itu Anisa tes ditemani Arya, maka kali ini dia akan mengetes sendiri. Pagi itu, ia menunggu dengan gugup sambil memegang alat tes yang menunjukkan dua garis merah. Perasaan campur aduk menyelimutinya antara bahagia, khawatir, dan takut. Ia tahu, hidupnya akan berubah drastis setelah ini.Malam itu, Anisa menelepon Arya dan memintanya untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang biasanya mereka datangi. Arya, yang tidak tahu alasan di balik permintaan mendadak itu, menyetujui dengan suara yang terdengar agak p