Suara desiran angin yang menghantam tubuh mereka terasa semakin kuat saat Anisa dan Arya meluncur menuju jurang. Waktu seolah melambat, dan di antara detik-detik yang terasa abadi itu, hanya ada satu hal di kepala mereka—bagaimana ini akan berakhir? Meskipun tubuh mereka jatuh bebas, hati mereka masih terikat oleh satu keyakinan: mereka harus bertahan hidup, apa pun yang terjadi.Namun, hanya beberapa saat sebelum tubuh mereka menyentuh permukaan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Sebuah tonjolan tanah yang tidak terlihat sebelumnya menahan mereka, membuat mereka berguling-guling keras di lereng curam. Tubuh mereka terpental ke segala arah, dan rasa sakit menjalari setiap inci tubuh mereka.Arya terhempas lebih keras dari Anisa, kepalanya membentur batu dengan suara yang mengerikan. Seketika itu, dunia Arya berubah menjadi hitam pekat. Anisa, yang meskipun penuh luka, masih berusaha untuk tetap sadar. Dia merasakan tubuhnya yang penuh memar dan luka, namun pikiran pertamanya adalah Ar
Dingin menyelimuti udara ketika Anisa dan Arya terus berjalan menyusuri jalan terjal yang penuh dengan bebatuan tajam dan akar-akar pohon yang mencuat dari tanah. Langit yang semakin gelap membuat suasana semakin mencekam. Anisa berulang kali melirik Arya yang berjalan di belakangnya. Tubuh lelaki itu masih terlihat goyah, namun sorot mata Arya yang penuh tekad."Berapa jauh lagi kita harus berjalan?" Arya akhirnya bertanya, suaranya serak. Rasa sakit dari luka-lukanya semakin terasa setiap kali dia melangkah.Anisa berhenti sejenak, memandang ke depan. "Aku tidak tahu," jawabnya pelan, "Tapi kita tidak boleh berhenti sekarang. Jika kita kembali, kita mungkin tidak akan selamat."Arya mengangguk tanpa kata, meski kelelahan tampak jelas di wajahnya. Mereka kembali melanjutkan perjalanan, namun setiap langkah yang mereka ambil seolah menjadi beban yang semakin berat. Jalan yang mereka lalui semakin menyempit, dan suara langkah mereka bergema di antara pepohonan yang menjulang tinggi.Ma
Malam semakin larut, namun rasa dingin dan kecemasan terus menggerogoti Anisa dan Arya. Setelah pertemuan dengan lelaki tua yang penuh misteri di gua itu, pikiran mereka dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Mereka terus berjalan tanpa arah yang jelas, seolah terjebak dalam lingkaran tanpa akhir. Kegelapan yang menyelimuti hutan seakan-akan hidup, mempermainkan pikiran mereka, membuat mereka semakin waspada dan takut.“Arya, apa kau yakin kita tidak kembali ke tempat yang sama?” Anisa akhirnya bertanya dengan nada khawatir. Ia merasakan deja vu, seolah mereka sudah melewati pohon yang sama beberapa kali.“Aku tidak tahu lagi, Anisa,” jawab Arya dengan napas berat. “Semua tempat di sini terlihat sama. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus berjalan.”Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa putus asa yang mulai merayap di dalam hatinya. Dia tahu Arya juga lelah, tapi dia tidak ingin menambah beban dengan keluhannya. Namun, rasa tidak pasti dan kekosongan yang mereka hada
Matahari yang terik menghantam kulit Anisa dengan kasar saat ia membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, seakan seluruh energi tersedot keluar dari raganya. Di sampingnya, Arya tampak duduk bersandar pada batu besar, tangannya memegang pergelangan kakinya yang terluka. Cahaya terang dari langit yang kini terbuka jelas membuat mereka tersadar bahwa mereka tidak lagi berada di dalam hutan."Arya... di mana kita?" tanya Anisa dengan suara serak, mencoba bangun meski kepalanya masih terasa berdenyut hebat.Arya hanya bisa menggeleng pelan, wajahnya menunjukkan campuran ketakutan dan kebingungan. "Aku tidak tahu... sepertinya tempat ini bukan lagi hutan itu. Tapi apa yang baru saja terjadi? Cahaya itu... dan sekarang kita di sini."Anisa berdiri dengan susah payah, memandang sekeliling. Di depan mereka, hamparan dataran luas yang hampir tandus membentang. Jauh di sana, sebuah gunung yang puncaknya diselimuti kabut hitam menjulang tinggi, seperti penjaga yang dingin dan tanpa emosi."A
Malam itu, Anisa duduk di sudut kamar dengan pikiran yang kalut. Hatinya begitu hancur, terombang-ambing di antara rasa cinta dan kepedihan yang tak berujung. Hubungannya dengan Arya telah berubah drastis. Apa yang dulu terasa hangat dan penuh kasih, kini dipenuhi dengan kegelapan yang sulit dijelaskan. Rahasia-rahasia Arya yang dulu tak terlihat, kini perlahan mulai mengungkap diri, merenggut kedamaian yang sempat mereka ciptakan.Tatapan Anisa kosong, menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Udara malam yang dingin menyelinap masuk, seolah mengingatkan betapa dingin dan jauhnya Arya darinya. Meski Arya masih berada di dekatnya, namun ia merasa jauh, begitu jauh. Di dalam hatinya, Anisa mulai merasa terjebak, terperangkap dalam cinta yang ia pikir akan menyelamatkannya, tetapi justru membawanya lebih dalam ke jurang kehancuran.Ponsel Anisa bergetar di meja samping tempat tidur. Sebuah pesan dari Arya muncul, namun Anisa hanya menatapnya tanpa berniat membukanya. Akhir-akhir ini, se
Hari itu, langit mendung seperti mencerminkan suasana hati Anisa. Ia duduk di sudut ruangan, merasakan setiap detik yang berlalu seakan menjadi beban baru di pundaknya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Hubungannya dengan Arya kini terasa seperti sebuah ilusi, sesuatu yang dulu ia percayai dengan sepenuh hati, namun kini semakin samar.Anisa menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang terus menggerogoti ketenangannya. Sejak rahasia-rahasia Arya mulai terungkap, segalanya terasa semakin sulit. Cinta yang dulu membuatnya kuat kini berubah menjadi sesuatu yang rapuh, hampir tak lagi ia kenali.Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan dari Arya masuk, namun Anisa enggan membacanya. Ada sesuatu yang berbeda dari Arya belakangan ini, sesuatu yang membuat Anisa merasa takut. Dia tak lagi merasakan kehangatan dan perhatian yang dulu selalu mengisi hari-harinya. Sebaliknya, Arya kini lebih banyak menyimpan rahasia, menutup diri dari An
Anisa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan pandangan kosong. Wajahnya terlihat lelah, tak ada lagi kilau kebahagiaan yang dulu selalu menghiasi. Rambutnya tergerai acak, seolah tak ada lagi tenaga untuk sekadar merapikannya. Pikirannya berputar, mengulang-ulang percakapan semalam dengan Arya. Kata-katanya masih bergema, menyesakkan dadanya.Dia mencintai Arya, lebih dari yang bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, semakin lama dia merasa seperti hanyut dalam lautan yang gelap. Setiap keputusan yang diambil Arya, setiap rahasia yang ia simpan, seperti angin yang mengayunkan perahunya semakin jauh dari daratan. Ia terjebak di antara cinta dan kebohongan yang terus menghantuinya.Anisa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang bergemuruh di dalam dadanya. Tapi semuanya terasa sia-sia. Setiap kali dia ingin berbicara dengan Arya, ingin menuntut penjelasan, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi. Setiap kali mereka berdebat, Arya selalu punya c
Anisa duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela yang terbuka. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi tidak cukup untuk melenyapkan kekalutan yang menghimpit hatinya. Sejak malam ketika Arya menunjukkan cincin itu, perasaannya tidak pernah tenang. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan cincin itu muncul dalam benaknya, mengingatkannya pada rahasia gelap yang terus membayangi hubungan mereka.Arya sudah tertidur di sisi lain ranjang, napasnya tenang seperti tidak ada yang salah. Tapi Anisa tahu, di balik wajah damai itu, ada banyak ketakutan yang tak terucap. Mereka berdua terjebak dalam situasi yang semakin sulit dipahami."Kenapa semua ini terjadi?" gumam Anisa pelan, meskipun dia tahu Arya tidak akan menjawab. Dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari mereka akan menemukan jalan keluar dari semua ini.Ponsel Anisa tiba-tiba bergetar di atas meja, memecah keheningan malam. Ia mengambilnya dengan ragu, melihat nama yang muncul di layar: Raka. Jantung Anisa berde
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Ruang sidang terasa sunyi, meskipun di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Anisa duduk di salah satu bangku, menunduk dengan wajah yang sulit ditebak. Tangannya gemetar ringan, menggenggam map berisi dokumen perceraian yang akan segera disahkan. Di seberangnya, Arya duduk dengan wajah datar, namun mata yang kosong mengisyaratkan perasaan tertekan.Ini adalah hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang. Pernikahan yang dimulai dengan cinta yang besar kini harus diakhiri di ruang sidang ini. Sebuah keputusan yang berat, tetapi tak terhindarkan.“Sidang akan dimulai,” suara hakim memecah keheningan.Anisa mengangkat wajahnya, memaksakan diri untuk terlihat tegar. Ia merasa seperti batu besar sedang menekan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Di sampingnya, pengacaranya memberikan tatapan menenangkan, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, Anisa tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dalam s
Anisa duduk di tepi ranjang kamarnya, memandangi berkas-berkas yang baru saja ia ambil dari laci meja. Sebuah dokumen pengajuan perceraian tergeletak di hadapannya, belum ia isi. Jemarinya gemetar, sementara matanya nanar memandang kertas yang menjadi simbol keputusan besar dalam hidupnya.Sudah hampir dua minggu sejak ia meninggalkan rumah Arya. Selama itu, Anisa berusaha keras untuk merenungi semuanya. Namun, setiap kali ia berpikir, perasaan sakit, marah, dan kecewa selalu kembali menghantui.Ia mencintai Arya, itu tak dapat ia pungkiri. Namun, cinta itu kini terasa seperti pisau bermata dua, satu sisi memberi kebahagiaan, sisi lain melukai lebih dalam dari yang ia sangka.Ibunya mengetuk pintu dan masuk, membawa secangkir teh hangat. “Kamu belum makan apa-apa dari pagi, Nak. Mau Ibu bawakan makanan ke sini?”Anisa hanya menggeleng lemah, senyum kecil terpaksa terukir di wajahnya. “Nggak, Bu. Anisa nggak lapar.”Sang ibu meletakkan teh di atas meja dan duduk di samping Anisa. Ia me
Hari-hari tenang yang sempat tercipta antara Anisa dan Arya ternyata tak bertahan lama. Hubungan mereka kembali diterpa badai, kali ini lebih berat dari sebelumnya. Sebuah panggilan telepon misterius pada tengah malam menjadi awal dari konflik yang tak terhindarkan.Arya sedang di ruang tamu saat ponselnya berbunyi. Ia menatap layar, ragu untuk menjawab karena nama yang muncul di sana adalah “Citra.” Anisa, yang baru saja keluar dari kamar, melihat ekspresi gugup Arya dan mendekat dengan alis terangkat.“Siapa yang telepon malam-malam begini?” tanya Anisa curiga.“Ah, nggak penting. Cuma klien kantor,” jawab Arya buru-buru sambil mematikan panggilan.Namun, Anisa tidak mudah percaya. Ia meraih ponsel Arya dan memeriksa riwayat panggilannya. Ketika melihat nama Citra, jantungnya berdegup kencang. Nama itu bukan nama asing baginya. Citra adalah rekan kerja Arya yang sering disebut-sebut di masa lalu.“Citra? Jadi dia masih kontak sama kamu?” Anisa menatap Arya dengan sorot mata tajam.A
Malam itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Setelah perbincangan panjang mereka sebelumnya, baik Arya maupun Anisa tenggelam dalam pikiran masing-masing. Arya masih duduk di sofa ruang tamu, menggenggam telepon genggamnya dengan tangan gemetar. Ia ingin menelepon ibunya, ingin meminta ibunya berhenti mencampuri urusan rumah tangga mereka. Namun, bayangan kemarahan dan rasa kecewa sang ibu membuatnya bimbang.Di kamar, Anisa duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Hatinya masih berat, tetapi percakapan mereka tadi memberikan sedikit harapan. Ia mulai bertanya-tanya apakah Arya benar-benar bersedia berubah. Apakah pernikahan mereka masih bisa diselamatkan, atau ini hanyalah usaha terakhir yang akan berujung pada kekecewaan yang lebih dalam?Beberapa hari berlalu dengan keheningan yang canggung. Arya mulai menunjukkan usahanya untuk memperbaiki diri. Ia pulang lebih awal dari biasanya, menghabiskan waktu di rumah bersama Anisa. Namun, sikapnya yang canggung sering kali membua