Hari itu, langit mendung seperti mencerminkan suasana hati Anisa. Ia duduk di sudut ruangan, merasakan setiap detik yang berlalu seakan menjadi beban baru di pundaknya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Hubungannya dengan Arya kini terasa seperti sebuah ilusi, sesuatu yang dulu ia percayai dengan sepenuh hati, namun kini semakin samar.Anisa menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang terus menggerogoti ketenangannya. Sejak rahasia-rahasia Arya mulai terungkap, segalanya terasa semakin sulit. Cinta yang dulu membuatnya kuat kini berubah menjadi sesuatu yang rapuh, hampir tak lagi ia kenali.Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan dari Arya masuk, namun Anisa enggan membacanya. Ada sesuatu yang berbeda dari Arya belakangan ini, sesuatu yang membuat Anisa merasa takut. Dia tak lagi merasakan kehangatan dan perhatian yang dulu selalu mengisi hari-harinya. Sebaliknya, Arya kini lebih banyak menyimpan rahasia, menutup diri dari An
Anisa berdiri di depan cermin, menatap bayangannya dengan pandangan kosong. Wajahnya terlihat lelah, tak ada lagi kilau kebahagiaan yang dulu selalu menghiasi. Rambutnya tergerai acak, seolah tak ada lagi tenaga untuk sekadar merapikannya. Pikirannya berputar, mengulang-ulang percakapan semalam dengan Arya. Kata-katanya masih bergema, menyesakkan dadanya.Dia mencintai Arya, lebih dari yang bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Namun, semakin lama dia merasa seperti hanyut dalam lautan yang gelap. Setiap keputusan yang diambil Arya, setiap rahasia yang ia simpan, seperti angin yang mengayunkan perahunya semakin jauh dari daratan. Ia terjebak di antara cinta dan kebohongan yang terus menghantuinya.Anisa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang bergemuruh di dalam dadanya. Tapi semuanya terasa sia-sia. Setiap kali dia ingin berbicara dengan Arya, ingin menuntut penjelasan, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalangi. Setiap kali mereka berdebat, Arya selalu punya c
Anisa duduk di tepi ranjang, memandang kosong ke arah jendela yang terbuka. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi tidak cukup untuk melenyapkan kekalutan yang menghimpit hatinya. Sejak malam ketika Arya menunjukkan cincin itu, perasaannya tidak pernah tenang. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan cincin itu muncul dalam benaknya, mengingatkannya pada rahasia gelap yang terus membayangi hubungan mereka.Arya sudah tertidur di sisi lain ranjang, napasnya tenang seperti tidak ada yang salah. Tapi Anisa tahu, di balik wajah damai itu, ada banyak ketakutan yang tak terucap. Mereka berdua terjebak dalam situasi yang semakin sulit dipahami."Kenapa semua ini terjadi?" gumam Anisa pelan, meskipun dia tahu Arya tidak akan menjawab. Dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari mereka akan menemukan jalan keluar dari semua ini.Ponsel Anisa tiba-tiba bergetar di atas meja, memecah keheningan malam. Ia mengambilnya dengan ragu, melihat nama yang muncul di layar: Raka. Jantung Anisa berde
Waktu terus berjalan, dan hubungan Anisa dengan Arya berkembang dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan. Semakin hari, perasaan cinta mereka semakin dalam, tapi bersamaan dengan itu, bayang-bayang rahasia kelam Arya juga semakin terasa nyata. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap hangatnya, sesuatu yang membuat Anisa merasa terperangkap dalam ketergantungan yang berbahaya.Suatu sore, Anisa duduk di kamar apartemennya, memandangi ponselnya yang berdering berkali-kali. Nama Arya muncul di layar, tapi ia ragu untuk mengangkatnya. Perasaannya bercampur aduk. Di satu sisi, dia ingin mendengar suara Arya, mencari kenyamanan dalam suaranya seperti biasanya. Namun, di sisi lain, dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Aku tidak bisa terus begini,” gumamnya, tangan bergetar saat akhirnya dia menjawab panggilan itu. “Halo?”“Anisa,” suara Arya terdengar, lembut seperti biasanya, namun ada nada tegang yang sulit disembunyikan. “Aku butuh bicara sama kamu. Sekarang.”Jantung Anisa berde
Malam itu terasa mencekam, seolah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak dalam kekhawatiran yang semakin berat. Arya berdiri mematung di depan pintu apartemen, wajahnya tampak tegang, sementara peluh dingin membasahi pelipisnya. Anisa bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres, perasaan cemas yang tiba-tiba menyelimuti hati mereka berdua.Ketukan di pintu terdengar lagi, kali ini lebih keras, membuat jantung Anisa berdebar kencang. Dia melihat Arya berjalan perlahan menuju pintu, napasnya terdengar berat dan lambat.“Arya, tunggu,” Anisa menahan lengannya dengan cemas. “Siapa mereka? Apa yang akan terjadi kalau kamu membuka pintu itu?”Arya menggeleng, sorot matanya penuh kekhawatiran. “Aku sudah bilang, ini masalahku. Aku nggak mau kamu terlibat.”Anisa mengeratkan genggaman tangannya di lengan Arya. “Kita sudah terlalu jauh untuk bicara begitu. Aku nggak bisa meninggalkan kamu, Arya.”Arya menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang sebelum perlahan melepaskan genggama
Anisa duduk di tepi tempat tidur, pikirannya penuh dengan kekacauan. Suara langkah Arya yang mendekat tak bisa membuatnya tenang. Ia telah mendengar terlalu banyak rahasia yang mengguncang dirinya, membuat hati dan perasaannya tak menentu. Rasa sayang yang dulu begitu murni kini dipenuhi keraguan dan rasa sakit.Arya menatap Anisa, tubuhnya terasa lelah, tetapi ia tahu malam ini harus diselesaikan. "Aku tahu semua ini berat buat kamu, Nisa. Tapi aku mohon... kasih aku kesempatan untuk memperbaikinya."Anisa menarik napas dalam, lalu perlahan menatap Arya. "Kamu bilang cinta sama aku, tapi kamu menyimpan terlalu banyak rahasia. Setiap kali aku merasa kita akan baik-baik saja, selalu ada hal baru yang bikin semuanya makin rumit," katanya dengan nada sedih.Arya mendekat, duduk di sampingnya, mencoba meraih tangannya. Tapi Anisa menarik tangannya, membuat Arya terdiam sejenak. Ia tahu betapa dalam luka yang telah ia goreskan. "Aku nggak bermaksud menyakiti kamu," ucap Arya dengan suara p
Malam itu, Anisa duduk sendirian di balkon kamar apartemen Arya. Udara malam yang sejuk seharusnya menenangkan, namun hatinya terasa gelisah. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman yang muncul sejak Arya berjanji untuk berubah. Rasa ragu itu terus menghantuinya, seolah ada sesuatu yang masih disembunyikan, meskipun Arya sudah berjanji tidak ada lagi rahasia di antara mereka.Anisa menatap ke langit, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Ia ingin mempercayai Arya, tetapi setiap kali ia mencoba, ada bayangan kelam yang mengganggu pikirannya. Arya masih terlalu misterius, terlalu banyak hal yang belum ia ketahui tentang pria itu.Di dalam apartemen, Arya terlihat sedang sibuk dengan pekerjaannya di laptop, tetapi Anisa merasakan ada yang aneh. Gerak-gerik Arya lebih tertutup dari biasanya, dan sesekali, ia melihat Arya memeriksa teleponnya dengan cepat, seolah menyembunyikan sesuatu."Kenapa aku merasa seperti ini lagi?" gumam Anisa pelan pada dirinya sendiri.Tak
Anisa duduk di sudut kamarnya, tangan gemetar memegang ponsel yang baru saja berdering. Nama Arya terpampang jelas di layar, tapi kali ini ia ragu untuk mengangkatnya. Sudah terlalu banyak kebohongan yang ia terima, terlalu banyak rasa sakit yang menggores hatinya.Arya, di sisi lain, tak henti-hentinya mencoba menghubungi. Setiap panggilan yang tidak terjawab membuat dadanya semakin sesak. Ia tahu dirinya bersalah, tapi rasa cintanya pada Anisa lebih besar dari apa pun. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan adalah sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa diterima Anisa, tetapi ia harus mencoba menjelaskan."Apa yang harus kulakukan?" Anisa berbicara kepada dirinya sendiri, suaranya serak karena menangis. Ia memikirkan semua kenangan indah yang mereka lalui bersama, semua janji-janji manis yang pernah Arya ucapkan. Tapi di balik itu, selalu ada sesuatu yang terasa salah, sesuatu yang kini mulai terungkap.Suara ketukan pelan di pintu kamar mengejutkannya. Yasmin berdiri di ambang
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Ruang sidang terasa sunyi, meskipun di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Anisa duduk di salah satu bangku, menunduk dengan wajah yang sulit ditebak. Tangannya gemetar ringan, menggenggam map berisi dokumen perceraian yang akan segera disahkan. Di seberangnya, Arya duduk dengan wajah datar, namun mata yang kosong mengisyaratkan perasaan tertekan.Ini adalah hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang. Pernikahan yang dimulai dengan cinta yang besar kini harus diakhiri di ruang sidang ini. Sebuah keputusan yang berat, tetapi tak terhindarkan.“Sidang akan dimulai,” suara hakim memecah keheningan.Anisa mengangkat wajahnya, memaksakan diri untuk terlihat tegar. Ia merasa seperti batu besar sedang menekan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Di sampingnya, pengacaranya memberikan tatapan menenangkan, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, Anisa tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dalam s