Anisa duduk di sudut kamarnya, tangan gemetar memegang ponsel yang baru saja berdering. Nama Arya terpampang jelas di layar, tapi kali ini ia ragu untuk mengangkatnya. Sudah terlalu banyak kebohongan yang ia terima, terlalu banyak rasa sakit yang menggores hatinya.Arya, di sisi lain, tak henti-hentinya mencoba menghubungi. Setiap panggilan yang tidak terjawab membuat dadanya semakin sesak. Ia tahu dirinya bersalah, tapi rasa cintanya pada Anisa lebih besar dari apa pun. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan adalah sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa diterima Anisa, tetapi ia harus mencoba menjelaskan."Apa yang harus kulakukan?" Anisa berbicara kepada dirinya sendiri, suaranya serak karena menangis. Ia memikirkan semua kenangan indah yang mereka lalui bersama, semua janji-janji manis yang pernah Arya ucapkan. Tapi di balik itu, selalu ada sesuatu yang terasa salah, sesuatu yang kini mulai terungkap.Suara ketukan pelan di pintu kamar mengejutkannya. Yasmin berdiri di ambang
Anisa duduk diam di tepi tempat tidurnya, tangannya memegang foto Arya yang tersimpan di dompet kecilnya. Senyumnya dalam foto itu kini terasa jauh, tak lagi memberikan rasa aman seperti dulu. Segalanya berubah dengan cepat. Hubungan yang awalnya penuh kehangatan kini dipenuhi kebohongan dan rahasia yang menghancurkan.Pikirannya melayang kembali pada peristiwa beberapa hari terakhir. Arya, pria yang ia cintai dengan segenap hati, telah membuka pintu gelap yang selama ini ia sembunyikan. Setiap hari, Anisa merasa dirinya semakin terjebak di dalam pusaran masalah yang tak ia ciptakan, tetapi harus ia hadapi.Sore itu, suara ponselnya memecah keheningan. Nama Arya muncul di layar, namun Anisa ragu untuk mengangkatnya. Ia butuh waktu untuk berpikir, tapi Arya tampaknya tak memberinya ruang.“Anisa, aku butuh bicara. Tolong jawab teleponku,” pesan suara Arya terdengar begitu mendesak. Anisa bisa mendengar kepanikan di balik suara tenang yang biasanya ia kenal.Akhirnya, dengan berat hati,
Hari-hari berlalu sejak kepergian Arya, tetapi Anisa masih belum menemukan kedamaian. Kepergiannya meninggalkan luka yang mendalam, seakan-akan sebuah bagian dari dirinya telah hilang bersama pria yang ia cintai. Namun, rasa cemas tak kunjung hilang. Setiap langkah yang ia ambil selalu dibayangi oleh rasa takut dan kekhawatiran tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.Anisa mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Namun, meskipun begitu, Arya selalu hadir di dalam pikirannya. Semua kenangan mereka bersama terus-menerus menghantuinya. Dia terus bertanya-tanya apakah Arya baik-baik saja, atau apakah ia telah menyerahkan dirinya seperti yang ia katakan.Di saat yang bersamaan, Anisa merasakan sesuatu yang berbeda. Sejak Arya pergi, ia sering merasa seperti sedang diawasi. Ketika berjalan di jalan, ia merasa ada seseorang yang selalu memperhatikannya dari kejauhan. Ketika di rumah, terkadang terdengar suara-suara aneh ya
Pintu depan rumah Anisa terhempas terbuka oleh angin malam yang dingin. Di hadapannya berdiri pria asing itu, matanya bersinar gelap di bawah lampu jalan yang redup. Suaranya yang dingin dan mengancam masih terngiang di telinga Anisa, menggetarkan tulang-tulangnya. Tubuh Anisa menegang, naluri untuk bertahan hidup mulai mengambil alih, namun kakinya terpaku di tempat.Pria itu melangkah maju, membuat Anisa mundur beberapa langkah ke dalam rumah. “Aku tanya sekali lagi. Mau ke mana, Anisa?” suaranya lebih lembut sekarang, namun tak kalah mengancam.“Apa yang kalian mau dariku?” Anisa berusaha keras menahan suaranya agar tidak bergetar, meskipun tubuhnya bergetar hebat.Pria itu tersenyum tipis, berjalan lebih dekat. "Aku cuma pembawa pesan. Ada yang ingin bertemu denganmu."“Siapa?” Anisa bertanya, namun di dalam hati, ia sudah bisa menebak. Pikirannya langsung terarah pada Arya. Apakah semua ini adalah bagian dari rahasia gelap yang Arya sembunyikan? Apakah ini ada hubungannya dengan
Anisa berdiri terpaku di depan bangunan tua yang seolah telah dilupakan oleh waktu. Udara malam yang dingin menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya gemetar. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari makna dari semua yang baru saja ia alami. Johan, Arya, rahasia kelam yang selama ini disembunyikan, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.Dengan langkah berat, Anisa memutuskan untuk masuk ke dalam bangunan itu. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendekati pintu depan yang berderit ketika dibuka. Aroma kayu tua dan debu menyeruak, mengingatkannya pada sebuah tempat yang sudah lama ditinggalkan. Suasana di dalam begitu sunyi, hanya suara langkah kaki Anisa yang bergema di sepanjang lorong.Di tengah ruangan, ia melihat meja kayu panjang dengan beberapa kursi yang tampak usang. Di sudut ruangan, cahaya remang-remang dari lampu gantung yang berayun pelan, menambah kesan misterius tempat ini. Anisa merasa bulu kuduknya meremang, tapi ia tahu bahwa di s
Anisa duduk di sofa ruang tamu apartemen Arya, perasaannya campur aduk. Pertemuannya dengan Arya kali ini berbeda, semakin dalam ia mengenal Arya, semakin sulit baginya untuk memahami keputusan yang harus ia ambil. Arya berdiri tak jauh darinya, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tatapan tajam yang selalu mampu menembus hati Anisa.“Anisa, aku tidak ingin kamu salah paham,” ujar Arya, suaranya rendah dan berat, seolah menanggung beban yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Anisa hanya diam, matanya terpaku pada Arya, mencari kejujuran yang mungkin tersembunyi di balik sikap dinginnya. Dalam dirinya, Anisa berjuang antara keinginannya untuk tetap bersama Arya dan kenyataan bahwa pria itu menyembunyikan begitu banyak hal darinya.“Aku tahu, ada banyak hal yang belum kujelaskan padamu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu satu hal...” Arya mendekat, berjalan perlahan menuju Anisa, setiap langkahnya terasa berat dan penuh makna. Saat Arya berdiri di depannya, ia menunduk sedikit, menatap
Anisa menatap ponselnya yang masih bergetar di atas meja. Nama Arya muncul berkali-kali di layar, namun Anisa tidak lagi bergegas untuk mengangkatnya. Hatinya masih berperang, antara hasrat untuk kembali memeluk Arya dan keinginan untuk menyelamatkan dirinya dari hubungan yang semakin tidak sehat.Ia memutar kenangan-kenangan mereka di pikirannya. Ciuman lembut yang pernah membuatnya merasa aman, sentuhan hangat Arya yang dulu membuat dunia seakan berhenti. Namun, seiring waktu, ia menyadari bahwa semua itu hanyalah ilusi. Arya mungkin mencintainya, tapi cinta itu terbalut dengan rahasia gelap yang semakin menyesakkan.Anisa mendesah, lalu akhirnya mengambil ponselnya dan melihat pesan yang masuk dari Arya. Pesan yang penuh dengan kata-kata manis, meminta maaf atas segala kebohongan dan memohon kesempatan lagi."Haruskah aku kembali padanya?" gumam Anisa pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Ia memikirkan percakapan terakhir mereka. Bagaimana Arya berusaha menjelaskan alasan di balik k
Anisa sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan ketika secara tak sengaja ia melihat sosok yang tak asing. Langkahnya terhenti sejenak saat matanya menangkap pria dengan postur yang dulu begitu ia kenal, namun kini terlihat berbeda. Reza. Mantan kekasihnya itu berdiri di dekat salah satu kios, tapi ada sesuatu yang tak biasa dari penampilannya. Tubuhnya jauh lebih kurus, wajahnya pucat, dan rambutnya tampak berantakan. Anisa mengerutkan kening, merasa iba melihat keadaan Reza yang tampak begitu tidak terurus."Reza?" Anisa bergumam pelan, namun Reza tampak mendengarnya. Ia menoleh, dan begitu melihat Anisa, ekspresinya berubah seketika. Ada campuran keterkejutan dan kelegaan di matanya. Tanpa menunggu lebih lama, Reza melangkah mendekatinya."Anisa... ini benar kamu?" suara Reza terdengar serak, seperti orang yang sudah lama tidak berbicara dengan penuh emosi. Anisa hanya bisa mengangguk, menatap pria yang dulu pernah sangat ia cintai."Reza... apa kabar?" tanya Anisa pelan, meski d
Pesta pernikahan Anisa dan Malik tengah berlangsung meriah di sebuah gedung mewah yang dipenuhi dengan bunga-bunga indah dan dekorasi yang sempurna. Para tamu berbondong-bondong datang, berbincang hangat, dan menikmati suasana bahagia yang tercipta. Anisa, dengan gaun pengantin putih yang bersinar, tampak cantik di hadapan semua orang. Malam itu, semua mata tertuju padanya dan Malik, yang tampak sangat bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan yang melingkupi mereka, sesuatu yang tak terduga terjadi.Arya yang sejak beberapa minggu lalu tidak terlihat oleh Anisa, tiba-tiba muncul di pintu masuk dengan wajah yang penuh emosi. Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak saat melihatnya. Para tamu terperangah, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa. Anisa yang sedang tersenyum lebar menatap wajahnya, merasa seolah ada yang terhenti di dalam dadanya. Dia tidak percaya Arya benar-benar datang ke pesta pernikahannya."Anisa," Arya menyebut namanya dengan suara berat, hampir seperti desahan. "
Bab 74: Langkah Menuju PernikahanSetelah melewati berbagai tantangan bersama, Anisa dan Malik akhirnya merasa yakin bahwa mereka siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk direncanakan, tetapi bagi mereka, ini adalah babak baru yang ingin dijalani dengan sepenuh hati.Malik memulai pembicaraan tentang pernikahan saat mereka menikmati makan malam bersama di sebuah restoran favorit mereka. Dengan suasana yang romantis, Malik menggenggam tangan Anisa dan berkata dengan lembut, "Nisa, aku tahu kita telah melalui banyak hal bersama. Aku merasa, ini saat yang tepat untuk kita melangkah lebih jauh. Apa kamu siap menjadi bagian dari hidupku selamanya?"Anisa terkejut mendengar kata-kata Malik. Hatinya berdebar, tetapi senyuman perlahan muncul di wajahnya. "Aku juga sudah memikirkan ini, Malik. Aku ingin bersama kamu, menjalani hidup dan menghadapi apa pun yang datang bersama-sama."Mendengar jawaban itu, Malik merasa lega dan bahagia. Malam it
Hubungan Anisa dan Malik berkembang pesat. Meskipun bayang-bayang masa lalu masih sering menghantui, mereka terus berusaha memperkuat fondasi cinta yang mereka bangun bersama. Namun, dalam setiap hubungan yang semakin serius, selalu ada tantangan yang harus dihadapi.Anisa terbangun pagi itu dengan perasaan hangat. Matahari menyelinap melalui celah-celah tirai, menciptakan bayangan lembut di dinding kamar. Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan dari Malik."Pagi, Nisa. Aku ada kejutan untukmu hari ini. Jemput kamu jam 10, ya?"Anisa tersenyum kecil. Malik memang pandai membuatnya merasa istimewa. Ia segera bangkit, bersiap-siap dengan hati yang berbunga-bunga. Pukul 10 tepat, suara klakson terdengar dari luar rumah. Anisa keluar dan melihat Malik berdiri di samping mobilnya dengan senyuman lebar."Kita mau ke mana?" tanya Anisa begitu ia masuk ke dalam mobil."Rahasia," jawab Malik sambil mengedipkan mata. "Tapi aku yakin kamu akan suka."
Hubungan Anisa dan Malik semakin erat. Hari-hari mereka dipenuhi dengan percakapan panjang, tawa ringan, dan diskusi mendalam tentang masa depan. Anisa merasa nyaman bersama Malik, tetapi di balik kebahagiaan yang perlahan ia rasakan, ada bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Pagi itu, Malik mengajak Anisa ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Tempatnya sederhana tetapi penuh kehangatan, dengan aroma kopi yang menyapa begitu pintu dibuka. Mereka memilih duduk di sudut yang sedikit tersembunyi, memberikan privasi untuk percakapan yang akan mereka lakukan."Ada yang ingin aku bicarakan, Nisa," kata Malik, memecah keheningan setelah pelayan membawa kopi mereka.Anisa menatap Malik dengan penasaran. "Apa itu? Kelihatannya serius."Malik mengambil napas panjang, jemarinya menggenggam cangkir kopi erat-erat. "Aku ingin kamu tahu sesuatu tentang aku. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah cara kamu melihat aku."Jantung Anisa berdetak lebih cepat. "Apa maksudmu, Malik? Kamu bikin aku
Pagi itu, Anisa membuka matanya dan menemukan dirinya tersenyum tanpa sadar. Ia memikirkan percakapan panjang yang ia dan Malik miliki semalam. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil hingga mimpi-mimpi yang ingin mereka capai di masa depan. Malik memiliki cara untuk membuatnya merasa didengar dan dipahami, sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya.Saat sedang menyesap kopi di balkon apartemennya, telepon Anisa berdering. Nama Malik muncul di layar.“Halo?” Anisa menjawab dengan nada lembut.“Selamat pagi, Nisa. Aku harap aku nggak ganggu waktu tenangmu,” kata Malik di ujung sana.“Nggak, kok. Ada apa?”“Aku lagi di kafe dekat apartemenmu. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu sarapan.”Anisa tersenyum. “Baiklah, beri aku lima belas menit.”Setelah bersiap-siap, Anisa melangkah keluar dan menemukan Malik menunggunya di sebuah meja di sudut kafe. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, terlihat santai tetapi tetap rapi. Ketika
Anisa menatap layar ponselnya dengan ragu. Pesan dari Malik masih terpampang jelas di sana."Aku serius sama kamu, Nis. Aku harap kita bisa lanjut ke tahap yang lebih baik." Malik tidak pernah mendesak, tetapi Anisa tahu bahwa ia perlu membuat keputusan. Hatinya sudah mulai membuka diri, tetapi luka-luka masa lalunya masih membuatnya bimbang.Namun, malam itu, dengan keberanian yang terkumpul, Anisa mengetikkan balasan singkat. ”Kita coba jalani, ya.”Pagi berikutnya, Malik langsung menghubungi Anisa. Suaranya terdengar penuh semangat di telepon. “Aku nggak bisa berhenti senyum sejak baca pesan kamu semalam,” katanya dengan nada ceria.Anisa tertawa kecil, merasa malu tapi juga senang. “Kamu ini lebay,” balasnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.“Serius, Nis. Aku pengin ketemu kamu hari ini. Ada waktu?”Anisa berpikir sejenak. Hari Minggu itu ia memang tidak punya rencana apa-apa. “Boleh. Tapi jangan di tempat yang terlalu ramai, ya.”“Setuju. Aku jemput kamu jam sebelas, ya.”Ke
Hari-hari Anisa mulai terasa lebih ringan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Lia, ia mencoba membuka diri terhadap kehadiran Malik. Meskipun masih ada bayangan masa lalu yang mengintip dari sela-sela pikirannya, kehangatan yang ditawarkan Malik membuatnya perlahan melangkah maju.Malam itu, Malik mengundang Anisa untuk makan malam bersama. Ia memilih restoran kecil dengan suasana yang nyaman, tidak terlalu ramai, dan memiliki pemandangan taman yang indah. Malik mengenakan kemeja biru langit, sementara Anisa tampil sederhana dengan blouse putih dan celana kain hitam. Saat Anisa tiba, Malik berdiri dan membukakan kursi untuknya, sesuatu yang membuat hati Anisa terasa hangat.“Makasih, Malik. Kamu nggak perlu repot-repot ngajak makan di tempat begini,” kata Anisa sambil tersenyum canggung.“Kenapa nggak? Kamu pantas mendapat sesuatu yang spesial,” jawab Malik sambil tersenyum.Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Malik selalu tahu bagaimana membuat Anisa merasa nyaman. Ia tidak pe
Matahari bersinar cerah di luar jendela, tetapi bagi Anisa, hari itu terasa kelabu. Baru beberapa hari sejak perceraian resminya dengan Arya, dan perasaan campur aduk terus menghantui pikirannya. Ia mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru, tetapi luka yang Arya tinggalkan masih terasa segar.Anisa sedang duduk di sofa apartemen kecilnya ketika ponselnya berbunyi. Nama Lia muncul di layar. Teman dekatnya itu terus memastikan Anisa tidak merasa sendiri sejak perceraiannya.“Lagi apa, Nis?” tanya Lia setelah Anisa menjawab panggilannya.“Enggak ngapa-ngapain. Cuma duduk aja, mikir.”“Mikirin apa?”Anisa terdiam sejenak. “Mikirin... apa aku udah buat keputusan yang benar. Perceraian ini... aku nggak tahu, Lia. Kadang aku merasa lega, tapi di sisi lain, aku juga merasa kosong.”“Itu wajar, Nis,” jawab Lia dengan nada lembut. “Kamu baru saja keluar dari hubungan yang penuh konflik. Kamu butuh waktu untuk menemukan dirimu lagi.”“Kadang aku merasa gagal,” ujar Anisa pelan. “A
Ruang sidang terasa sunyi, meskipun di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Anisa duduk di salah satu bangku, menunduk dengan wajah yang sulit ditebak. Tangannya gemetar ringan, menggenggam map berisi dokumen perceraian yang akan segera disahkan. Di seberangnya, Arya duduk dengan wajah datar, namun mata yang kosong mengisyaratkan perasaan tertekan.Ini adalah hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan datang. Pernikahan yang dimulai dengan cinta yang besar kini harus diakhiri di ruang sidang ini. Sebuah keputusan yang berat, tetapi tak terhindarkan.“Sidang akan dimulai,” suara hakim memecah keheningan.Anisa mengangkat wajahnya, memaksakan diri untuk terlihat tegar. Ia merasa seperti batu besar sedang menekan dadanya, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Di sampingnya, pengacaranya memberikan tatapan menenangkan, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, Anisa tahu, tidak ada yang benar-benar baik-baik saja dalam s