Share

Sebuah Ungkapan

Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya.

“Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan hawa dingin yang menyusup ke tulang.

“Aku senang kau datang,” suara Arya terdengar tenang, tapi ada sesuatu yang lain dalam nada bicaranya kali ini sebuah ketegangan yang belum pernah Anisa rasakan sebelumnya.

Anisa menelan ludah, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. “Apa yang ingin kau ceritakan padaku, Arya?” tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.

Arya berjalan mendekat, langkahnya begitu ringan dan tidak terdengar, seolah-olah ia melayang di atas lantai yang berdebu. “Aku tahu kau punya banyak pertanyaan, Anisa. Tentang siapa aku, tentang masa laluku. Dan malam ini, aku akan memberitahumu semuanya,” katanya, suaranya berubah menjadi bisikan misterius.

Anisa tidak bisa menahan rasa takut yang mulai menguasainya, tapi ia juga tahu bahwa inilah satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran. Ia mengangguk perlahan, menunggu Arya melanjutkan.

Arya mengambil nafas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku tidak selalu seperti ini, Anisa. Dulu, aku adalah seseorang yang normal, seperti orang lain. Tapi semua berubah ketika aku menemukan sesuatu yang seharusnya tidak pernah kulihat,” katanya dengan nada yang lebih dalam.

Anisa mengerutkan kening. “Apa yang kau temukan?” tanyanya, suaranya penuh dengan rasa penasaran dan ketakutan yang bercampur.

“Aku menemukan sebuah kekuatan, sebuah kekuatan yang begitu besar dan kuat, namun sangat berbahaya,” jawab Arya dengan nada penuh rahasia. “Kekuatan itu memberikan aku kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, mengendalikan mereka dengan cara yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh manusia biasa. Aku bisa membuat mereka melakukan apa saja yang kuinginkan, tanpa mereka sadari. Tapi kekuatan itu juga membawa kutukan.”

Anisa menahan nafasnya, merasa bahwa setiap kata yang keluar dari mulut Arya semakin mendekatkan dirinya ke sesuatu yang mengerikan. “Kutukan? Apa yang kau maksud?” tanya Anisa, suaranya hampir tidak terdengar.

Arya menatap Anisa dengan mata yang penuh dengan bayangan masa lalu. “Kekuatan itu membawaku ke dalam kegelapan, Anisa. Setiap kali aku menggunakannya, aku kehilangan sedikit dari diriku sendiri. Aku menjadi seseorang yang tidak lagi mengenal siapa aku sebenarnya. Aku berubah menjadi Bayang Kegelapan, sosok yang hanya ada untuk menghancurkan hidup orang lain demi kepuasan yang tidak pernah bisa terpuaskan,” katanya dengan nada yang getir.

Anisa merasa tubuhnya gemetar. Peringatan dari Adrian dan pria tua di perpustakaan bergema di benaknya. Kini, semuanya mulai masuk akal, kenapa ia selalu merasa ada yang salah setiap kali berada di dekat Arya. Kenapa Adrian begitu bersikeras agar Anisa menjauh. “Lalu, kenapa kau mendekatiku, Arya? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dengan suara yang penuh kecemasan.

Arya menundukkan kepalanya sejenak, seolah-olah sedang berjuang melawan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. “Aku tidak tahu, Anisa. Mungkin aku mencari seseorang yang bisa mengerti siapa aku sebenarnya, atau mungkin aku hanya ingin merasakan kehidupan yang nyata lagi, walaupun itu hanya sebentar. Tapi aku tahu, setiap kali aku mendekat, aku membawa kegelapan bersamaku. Dan aku takut, aku akan menghancurkanmu seperti yang telah kulakukan pada orang lain,” jawabnya dengan suara yang lemah.

Anisa merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Ada sesuatu dalam cara Arya berbicara yang membuatnya merasa iba, tapi juga membuatnya sadar bahwa ia sedang berada dalam bahaya yang lebih besar dari yang ia duga. “Kau tahu bahwa aku harus menjauh darimu, Arya. Tapi kenapa aku tidak bisa melakukannya? Kenapa aku tetap merasa terikat padamu?” tanya Anisa, berusaha mencari jawaban.

Arya mendekati Anisa dan meraih tangannya. Sentuhannya dingin, tapi ada kehangatan yang samar, seolah-olah bagian kecil dari dirinya yang masih manusia mencoba untuk berhubungan dengan Anisa. “Karena itulah kutukan dari kekuatan ini, Anisa. Sekali kau terjerat, sulit untuk melepaskan diri. Tapi aku tidak ingin kau bernasib sama sepertiku. Aku tidak ingin kau menjadi bagian dari kegelapan ini,” katanya dengan tulus.

Anisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengambil keputusan. Ia tahu bahwa meskipun ada bagian dari dirinya yang ingin tetap bersama Arya, ia harus berpikir rasional. “Apa yang harus kulakukan, Arya? Bagaimana aku bisa lepas dari ini?” tanyanya dengan suara yang hampir putus asa.

Arya menatap Anisa dengan intensitas yang menakutkan, seolah-olah ini adalah perpisahan yang tak terhindarkan. “Kau harus pergi, Anisa. Pergi sejauh mungkin dariku. Jangan pernah melihat kembali. Lupakan aku dan semua yang terjadi di antara kita. Itu satu-satunya cara kau bisa selamat,” jawabnya dengan nada penuh kesedihan.

Anisa tahu bahwa ini adalah momen yang menentukan. Ia bisa merasakan betapa sulitnya bagi Arya untuk mengucapkan kata-kata itu, betapa ia sedang berjuang melawan kegelapan di dalam dirinya untuk membiarkan Anisa pergi. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus melakukannya. Jika ia tetap di sini, ia akan kehilangan dirinya sendiri, seperti yang telah terjadi pada banyak orang lain sebelum dirinya.

Dengan air mata yang mengalir di pipinya, Anisa melepaskan tangan Arya dan mundur perlahan. “Aku akan pergi, Arya. Tapi aku tidak akan pernah melupakanmu,” katanya dengan suara yang bergetar.

Arya hanya mengangguk, wajahnya dipenuhi dengan rasa sakit yang mendalam. “Dan aku tidak akan pernah melupakanmu, Anisa. Kau adalah satu-satunya yang bisa membuatku merasakan sedikit cahaya di tengah kegelapan ini,” katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.

Dengan langkah berat, Anisa berbalik dan meninggalkan bangunan tua itu. Setiap langkah terasa seperti mengoyak hatinya, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan. Ketika ia keluar dari pintu, malam yang dingin menyambutnya, dan Anisa merasa seolah-olah beban yang sangat berat telah terangkat dari pundaknya.

Namun, ketika ia berjalan menjauh, bayangan Arya terus menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa meskipun ia telah memutuskan untuk pergi, bagian dari dirinya akan selalu terikat dengan sosok misterius itu. Dan meskipun ia mungkin tidak akan pernah bertemu Arya lagi, Anisa merasa bahwa pertemuan mereka telah mengubah hidupnya.

"Apakah aku tidak akan lagi menemui Arya?" lirihnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status