Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza.
Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?" “Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?” Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi? “Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia jauh dari baik-baik saja, tapi entah kenapa ia tak ingin terlihat lemah di depan Reza. Ada keheningan canggung di antara mereka sebelum Reza akhirnya berkata, “Aku merasa kita perlu bicara. Ada banyak hal yang harus dijelaskan, banyak hal yang aku sesali.” Kata-kata itu membuat Anisa merasa bingung sekaligus marah. Reza ingin bicara sekarang, setelah semua yang ia lakukan? Setelah ia meninggalkan Anisa tanpa penjelasan, tanpa peringatan? “Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus,” jawab Anisa akhirnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Semua sudah berakhir, Reza.” “Aku tahu, Nis. Aku tahu aku salah,” suara Reza terdengar penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kita bicara, setidaknya untuk menutup bab ini dengan cara yang benar.” Anisa menghela napas panjang. Mungkin Reza benar. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengakhiri semua perasaan yang masih menggantung. Tapi di dalam hatinya, Anisa tahu bahwa mendengar penjelasan Reza mungkin akan membuatnya semakin terluka. “Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Kapan dan di mana?” Reza memberikan alamat sebuah kafe kecil di pusat kota dan waktu untuk bertemu. Setelah panggilan berakhir, Anisa merasa tubuhnya melemas. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mengapa ia setuju? Apakah ini keputusan yang benar? Hari itu terasa berjalan lambat. Pikiran Anisa terus-menerus terganggu oleh janji pertemuan dengan Reza. Setiap detik terasa seperti menambah beban di dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tapi ia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari. Bagaimanapun, ia butuh penjelasan. Sore harinya, Anisa bersiap untuk pergi ke kafe tempat Reza menunggunya. Pakaian yang ia pilih sederhana, namun cukup rapi. Ia tidak ingin terlihat terlalu antusias, tapi juga tidak ingin terlihat acak-acakan. Ketika melihat dirinya di cermin, ia mencoba memberi dirinya dorongan semangat. "Kau bisa melakukannya, Nis," bisiknya pada bayangannya sendiri. Kafe yang disebutkan Reza adalah tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Kenangan tentang masa-masa bahagia mereka berdua kembali menghantui saat ia melangkah masuk. Reza sudah duduk di salah satu meja di sudut ruangan, tampak sedikit gelisah. Saat melihat Anisa, ia berdiri dan tersenyum tipis, senyum yang dulu membuat hati Anisa luluh. “Terima kasih sudah datang, Nis,” Reza menyapanya dengan suara lembut. Anisa hanya mengangguk, merasa terlalu bingung untuk berkata-kata. Mereka berdua duduk, dan keheningan yang canggung melingkupi mereka. Reza memulai percakapan dengan basa-basi yang tidak berarti, seakan berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Namun Anisa merasa semakin tidak nyaman. Semua ini terasa salah. ”Reza, kalau kamu ingin menjelaskan sesuatu, lebih baik langsung saja,” akhirnya Anisa berkata, suaranya dingin. Reza terdiam sejenak, sebelum ia menghela napas panjang. “Kamu benar. Aku tidak akan bertele-tele. Aku meninggalkanmu, Nis, karena aku merasa terjebak. Bukan terjebak denganmu, tapi terjebak dengan diriku sendiri. Aku takut pada komitmen, takut pada apa yang mungkin terjadi di masa depan. Jadi aku memilih jalan yang pengecut, aku lari.” Penjelasan itu menghantam Anisa seperti pukulan keras. Jadi semua ini bukan karena ada orang lain, bukan karena ia kurang baik. Itu semua karena ketakutan Reza sendiri. Meski merasa sedikit lega, perasaan marah dan kecewa masih menguasai dirinya. “Dan kamu pikir dengan pergi begitu saja tanpa penjelasan itu hal yang benar?” Anisa bertanya, suaranya bergetar. Reza menunduk, tak sanggup menatap mata Anisa. “Aku tahu itu salah. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus bagaimana.” “Apa kamu tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja tanpa alasan?” Suara Anisa semakin meninggi. “Apa kamu tahu betapa hancurnya aku saat itu?” Reza menggenggam tangan Anisa di atas meja, namun Anisa segera menarik tangannya. “Aku tahu aku salah, Nis. Aku hanya berharap kita bisa memperbaiki hubungan ini. Aku ingin memperbaikinya, jika kamu masih memberiku kesempatan.” Anisa terpaku mendengar kata-kata Reza. Apakah ini yang ia inginkan? Sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Bagian dari dirinya ingin berteriak “ya,” tapi bagian lain, bagian yang telah melalui begitu banyak rasa sakit, merasa ragu. Apakah Reza benar-benar layak untuk dimaafkan? Apakah dia akan bisa kembali mempercayai pria yang telah menghancurkan hatinya? Keheningan panjang di antara mereka semakin menegangkan. Anisa merasa pikirannya dipenuhi dengan kekacauan, emosi yang bertabrakan satu sama lain tanpa ampun. Ia mencintai Reza, itu tak bisa dipungkiri. Tapi ia juga tahu bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh, dan sekali hancur, sulit untuk diperbaiki. “Kamu minta kesempatan kedua, Reza,” Anisa akhirnya berbicara dengan suara pelan. “Tapi bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak akan mengulanginya? Bagaimana aku bisa percaya lagi?” Reza terdiam, tak mampu menjawab. Matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. “Aku tidak bisa memberimu jaminan, Nis. Aku hanya bisa berjanji bahwa aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyakitimu lagi.” Kata-kata itu, meskipun tulus, tidak cukup bagi Anisa. “Aku butuh waktu,” katanya, berusaha menahan air matanya. “Aku tidak bisa membuat keputusan ini sekarang.” Reza mengangguk pelan, tampak menerima. “Aku mengerti, Nis. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu.” Anisa berdiri dari kursinya, merasa seluruh tubuhnya lelah. “Aku harus pergi, Reza. Aku butuh waktu untuk berpikir.” Reza tidak menahannya. Ia hanya menatap Anisa dengan mata penuh harapan yang hancur. “Terima kasih karena sudah mendengarkanku,” katanya pelan. Anisa hanya mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kafe itu. Udara malam yang dingin menyambutnya, namun hatinya terasa lebih dingin. Pertemuan itu seharusnya memberikan jawaban, tapi justru meninggalkan lebih banyak pertanyaan. Saat berjalan pulang, Anisa merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia masih mencintai Reza, tapi cinta itu kini tercampur dengan keraguan dan ketakutan. Apakah ia benar-benar bisa kembali ke pelukan pria yang telah menghancurkannya? Ataukah ini adalah keputusan yang salah? Anisa tidak tahu.Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan. Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyam
Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari
Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw
Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K
Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me
Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi
Anisa duduk di tepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hari-harinya kini dipenuhi dengan ketakutan, tidak ada lagi ketenangan yang ia rasakan sejak pertemuan terakhir dengan pria misterius itu. Kegelapan yang ia rasakan semakin menelan dirinya, dan ia merasa seperti di ujung jurang.Ponsel di tangannya tetap sunyi, tidak ada pesan atau panggilan dari Arya. Perasaan cemas yang terus melilit pikirannya membuatnya ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam kecemasan. Arya telah pergi, dan meninggalkannya dalam keadaan paling rapuh yang pernah ia alami. Pria yang katanya mencintainya kini entah berada di mana.“Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?” Anisa bergumam sendiri, mencoba memahami mengapa hidupnya berubah begitu drastis.Pikiran tentang ancaman yang ditujukan padanya terus membayang, membuatnya gelisah setiap kali ia mendengar suara aneh di luar rumah. Malam-malam terasa panjang dan mencekam, bahkan untuk menutup mata saja dia
Ketakutan merambat di sepanjang tulang punggung Anisa. Seluruh tubuhnya terasa beku di tengah kegelapan yang membungkus rumahnya. Ketukan di pintu yang semakin keras menandakan bahwa orang di luar sana tak akan menyerah sampai pintu terbuka. Satu-satunya yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah bertahan, meskipun naluri di dalam dirinya berteriak untuk berlari."Kamu harus tetap tenang, Anisa. Tetap tenang," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun suaranya bergetar.Sambil menggigit bibir, Anisa meraih ponselnya yang sudah tergeletak di meja. Jemarinya gemetar saat ia mencoba menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, ketukan di pintu mendadak berhenti. Keheningan yang tiba-tiba menegangkan atmosfir di sekelilingnya.Hatinya berdetak keras. Anisa berdiri terpaku, bingung apakah ia harus menghampiri pintu atau menunggu saja sampai sesuatu terjadi. Apakah orang di luar sana sudah pergi?**Beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Anisa berusaha
Pagi itu, Anisa bangun dengan perasaan berat. Sudah beberapa hari terakhir, Arya hampir tidak berbicara dengannya, dan keheningan di antara mereka semakin terasa menyesakkan. Di sisi lain, ibu Arya terus-menerus mendesaknya melalui telepon, mencoba menanamkan pikiran-pikiran buruk tentang Anisa di kepala Arya."Perempuan itu nggak pantas untuk kamu, Arya," suara ibunya bergema di kepala Arya setiap kali ia melihat Anisa. "Dia cuma beban. Kamu lihat sendiri, anak kalian nggak bertahan, dan sekarang hidupmu malah semakin berantakan."Arya mulai merasa terpengaruh. Meski hatinya masih menyimpan cinta untuk Anisa, ia mulai meragukan apakah pernikahan mereka adalah keputusan yang tepat.Hari itu, Anisa mencoba berbicara dengan Arya di meja makan. Ia sudah menyiapkan sarapan favorit Arya, berharap bisa mencairkan suasana."Arya, ayo makan dulu. Aku masak nasi goreng seperti yang kamu suka," kata Anisa dengan senyum kecil.Namun, Arya hanya melirik sepiring nasi goreng itu tanpa minat. "Aku
Waktu terus berlalu, tetapi luka di hati Anisa semakin menganga. Sikap Arya yang semakin dingin, ditambah tekanan dari ibu mertuanya, membuat Anisa merasa seperti tidak memiliki tempat di dunia ini. Hubungannya dengan Arya seperti berada di ujung tanduk, tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memperbaikinya.Suatu malam, ketika Anisa mencoba menyiapkan makan malam spesial untuk Arya, lelaki itu pulang dengan wajah muram. Anisa menyambutnya dengan senyuman kecil, meskipun dalam hati ia penuh kekhawatiran."Kamu pulang tepat waktu malam ini. Aku masak makanan kesukaanmu," ujar Anisa, berusaha terdengar ceria.Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi. "Aku nggak lapar," jawabnya singkat, lalu langsung menuju kamar tanpa menghiraukan Anisa yang berdiri terpaku di ruang makan.Anisa mengepalkan tangannya di sisi meja, berusaha menahan air mata. Ia telah menghabiskan waktu seharian untuk membuat makan malam itu, berharap bisa memperbaiki hubungan mereka, tetapi usahanya kembali sia-sia.Setelah m
Hari-hari berlalu, dan Anisa mulai menyadari bahwa Arya semakin berbeda. Sikapnya yang dulu penuh perhatian kini terasa dingin dan berjarak. Tidak ada lagi canda ringan di pagi hari atau pelukan hangat sebelum tidur. Sebaliknya, Arya lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, entah dengan alasan pekerjaan atau sekadar "butuh udara segar."Anisa mencoba mencari penjelasan, meskipun hatinya merasa takut dengan apa yang mungkin ia temukan. Di meja makan suatu malam, Anisa mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Arya, akhir-akhir ini kamu kelihatan sibuk banget. Apa ada yang terjadi?" tanyanya dengan nada hati-hati.Arya mendongak dari piringnya, lalu menghela napas panjang. "Nggak ada apa-apa, Nis. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawabnya singkat, tanpa ekspresi.“Tapi aku merasa kamu semakin jauh,” ujar Anisa, suaranya sedikit bergetar.Arya menaruh sendoknya dengan sedikit kasar di atas meja. "Aku cuma butuh waktu, Anisa. Jangan terlalu menekan aku," ucapnya tegas, membuat Anisa
Anisa terbaring lemah di rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap langit-langit ruangan yang terasa sunyi. Kabar kegugurannya begitu menghantamnya dengan keras, membuat hatinya hancur dan tubuhnya terasa lelah. Sementara itu, Arya berdiri di sampingnya, namun sikapnya terlihat dingin. Tidak ada kata-kata penghiburan yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan datar yang seolah-olah menyalahkan Anisa atas apa yang terjadi. Ketika ibunya datang, bukannya memberi dukungan, justru cemoohan yang keluar dari mulutnya. "Kamu ini perempuan macam apa, sampai nggak bisa menjaga kandungan sendiri," ucapnya dengan nada penuh kemarahan. "Bagaimana Arya bisa punya masa depan dengan istri seperti kamu?" Anisa hanya bisa diam. Hatinya teriris mendengar kata-kata kasar itu, terlebih di saat ia merasa sangat rapuh dan membutuhkan dukungan. Ia mencoba menahan air matanya, namun tidak bisa. Rasa sakit yang ia alami, baik fisik maupun batin, begitu menyesakkan. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud seperti i
Pagi itu, sinar matahari menyelusup melalui celah-celah tirai kamar. Anisa membuka matanya dengan perasaan yang sedikit lega setelah hari-hari yang melelahkan. Semalam ia memutuskan untuk melepaskan semua beban pikiran dan mulai mengisi harinya dengan harapan baru. Arya masih tertidur di sampingnya, dengan wajah yang tampak damai. Anisa tersenyum, menyadari betapa beruntungnya ia memiliki seseorang seperti Arya yang selalu ada di sisinya, walau banyak cobaan yang menghampiri.Setelah berdiam sejenak, Anisa memutuskan untuk bangkit lebih dulu. Ia melangkah perlahan ke dapur, menyiapkan sarapan kecil untuk mereka. Saat ia sedang menggoreng telur, Arya tiba-tiba muncul dari belakang dan memeluknya. Kehangatan pelukan Arya seolah memberinya energi tambahan."Selamat pagi, Sayang," Arya membisikkan dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur."Selamat pagi juga," jawab Anisa sambil tersenyum. "Kamu tidur nyenyak?"Arya mengangguk. "Lebih nyenyak setelah melewati hari kemarin denga
Pagi itu, Anisa terbangun dengan perasaan lebih lega setelah dukungan Arya malam sebelumnya. Namun, bayangan tentang tekanan yang ia alami dari keluarga Arya tetap menghantuinya. Apalagi saat mengingat peristiwa pendarahan yang hampir saja merenggut kebahagiaannya menjadi calon ibu.Anisa memandang keluar jendela, melihat sinar matahari yang perlahan menerangi kota. Ia sadar, dirinya tak bisa terus-menerus terpuruk. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi lebih kuat demi bayi yang dikandungnya, meski dukungan dari keluarga Arya terasa berat untuk didapatkan.Di sisi lain, Arya sedang menyiapkan sarapan di dapur. Ia ingin memberikan perhatian ekstra pada Anisa, terlebih setelah kejadian-kejadian terakhir yang menimpa mereka. Ia ingin Anisa merasa diperhatikan dan dicintai, agar semangatnya kembali pulih.Ketika Anisa melangkah masuk ke dapur, Arya tersenyum lebar. “Selamat pagi, sayang. Sarapan spesial untuk istri tercinta hari ini,” ujarnya sambil menyiapkan secangkir teh hangat untuk A
Beberapa minggu setelah peristiwa yang mengguncang hubungan Anisa dengan ibu Arya, keadaan mulai sedikit tenang. Arya, yang terus berada di sisi Anisa, mengupayakan segala hal untuk membuatnya merasa nyaman dan aman. Namun, masih ada perasaan bersalah dalam dirinya karena ia belum bisa sepenuhnya menenangkan Anisa dari tekanan keluarganya, terutama ibunya yang selalu memandang sinis dan menyalahkan Anisa atas kondisi kesehatan yang dialaminya selama kehamilan.Sejak kejadian pendarahan itu, Anisa banyak menghabiskan waktu di rumah dan terpaksa meninggalkan beberapa pekerjaan sampingan yang dulu sering ia lakukan. Ia kini lebih fokus menjaga kehamilannya, meskipun terkadang ia merasa kehilangan kegiatan yang dulu mengisi harinya. Arya selalu berusaha menghiburnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa kondisi mereka semakin terasa sulit dan melelahkan.Pada suatu sore, ketika Arya tengah menyiapkan makanan untuk Anisa di dapur, ponselnya berdering. Itu adalah telepon dari ibunya."Arya, kamu
Hari-hari berlalu begitu cepat sejak pernikahan mereka. Anisa dan Arya kini memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri, meskipun perjalanan mereka masih jauh dari mudah. Kehidupan pernikahan yang awalnya penuh dengan kebahagiaan dan harapan, kini menghadapi tantangan baru yang tak terduga. Meskipun demikian, mereka berdua terus berusaha untuk mempertahankan cinta mereka dan menjaga kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama.Kehamilan Anisa semakin berkembang, dan tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang semakin jelas. Ia merasakan sedikit kelelahan, tetapi di sisi lain, ada kebahagiaan yang tak bisa digambarkan saat memikirkan bahwa ia akan segera menjadi ibu. Arya selalu ada di sisinya, membantu mengurus segala kebutuhan, dan memberikan dukungan penuh. Meskipun keluarganya, terutama ibunya, masih menentang pernikahan mereka, Arya tidak pernah ragu untuk mempertahankan Anisa dan anak yang sedang dikandungnya.Suatu sore, saat Arya pulang kerja, ia melihat Anisa duduk di s
Sejak beberapa minggu terakhir, Anisa merasa ada yang berbeda dalam tubuhnya. Rasa mual yang datang hampir setiap pagi, kelelahan yang tidak biasa, dan perubahan suasana hati yang terasa makin intens membuatnya curiga. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berharap itu hanya akibat dari kelelahan atau perubahan hormon sementara. Namun, semakin lama, semakin yakin bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.Akhirnya, Anisa memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan. Kalau waktu itu Anisa tes ditemani Arya, maka kali ini dia akan mengetes sendiri. Pagi itu, ia menunggu dengan gugup sambil memegang alat tes yang menunjukkan dua garis merah. Perasaan campur aduk menyelimutinya antara bahagia, khawatir, dan takut. Ia tahu, hidupnya akan berubah drastis setelah ini.Malam itu, Anisa menelepon Arya dan memintanya untuk bertemu di sebuah kafe kecil yang biasanya mereka datangi. Arya, yang tidak tahu alasan di balik permintaan mendadak itu, menyetujui dengan suara yang terdengar agak p