Share

Keputusan yang Salah

Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza.

Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?"

“Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?”

Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi?

“Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia jauh dari baik-baik saja, tapi entah kenapa ia tak ingin terlihat lemah di depan Reza.

Ada keheningan canggung di antara mereka sebelum Reza akhirnya berkata, “Aku merasa kita perlu bicara. Ada banyak hal yang harus dijelaskan, banyak hal yang aku sesali.”

Kata-kata itu membuat Anisa merasa bingung sekaligus marah. Reza ingin bicara sekarang, setelah semua yang ia lakukan? Setelah ia meninggalkan Anisa tanpa penjelasan, tanpa peringatan?

“Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus,” jawab Anisa akhirnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Semua sudah berakhir, Reza.”

“Aku tahu, Nis. Aku tahu aku salah,” suara Reza terdengar penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kita bicara, setidaknya untuk menutup bab ini dengan cara yang benar.”

Anisa menghela napas panjang. Mungkin Reza benar. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengakhiri semua perasaan yang masih menggantung. Tapi di dalam hatinya, Anisa tahu bahwa mendengar penjelasan Reza mungkin akan membuatnya semakin terluka.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Kapan dan di mana?”

Reza memberikan alamat sebuah kafe kecil di pusat kota dan waktu untuk bertemu. Setelah panggilan berakhir, Anisa merasa tubuhnya melemas. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mengapa ia setuju? Apakah ini keputusan yang benar?

Hari itu terasa berjalan lambat. Pikiran Anisa terus-menerus terganggu oleh janji pertemuan dengan Reza. Setiap detik terasa seperti menambah beban di dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tapi ia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari. Bagaimanapun, ia butuh penjelasan.

Sore harinya, Anisa bersiap untuk pergi ke kafe tempat Reza menunggunya. Pakaian yang ia pilih sederhana, namun cukup rapi. Ia tidak ingin terlihat terlalu antusias, tapi juga tidak ingin terlihat acak-acakan. Ketika melihat dirinya di cermin, ia mencoba memberi dirinya dorongan semangat. "Kau bisa melakukannya, Nis," bisiknya pada bayangannya sendiri.

Kafe yang disebutkan Reza adalah tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Kenangan tentang masa-masa bahagia mereka berdua kembali menghantui saat ia melangkah masuk. Reza sudah duduk di salah satu meja di sudut ruangan, tampak sedikit gelisah. Saat melihat Anisa, ia berdiri dan tersenyum tipis, senyum yang dulu membuat hati Anisa luluh.

“Terima kasih sudah datang, Nis,” Reza menyapanya dengan suara lembut. Anisa hanya mengangguk, merasa terlalu bingung untuk berkata-kata. Mereka berdua duduk, dan keheningan yang canggung melingkupi mereka.

Reza memulai percakapan dengan basa-basi yang tidak berarti, seakan berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Namun Anisa merasa semakin tidak nyaman. Semua ini terasa salah. “Reza, kalau kamu ingin menjelaskan sesuatu, lebih baik langsung saja,” akhirnya Anisa berkata, suaranya dingin.

Reza terdiam sejenak, sebelum ia menghela napas panjang. “Kamu benar. Aku tidak akan bertele-tele. Aku meninggalkanmu, Nis, karena aku merasa terjebak. Bukan terjebak denganmu, tapi terjebak dengan diriku sendiri. Aku takut pada komitmen, takut pada apa yang mungkin terjadi di masa depan. Jadi aku memilih jalan yang pengecut—aku lari.”

Penjelasan itu menghantam Anisa seperti pukulan keras. Jadi semua ini bukan karena ada orang lain, bukan karena ia kurang baik. Itu semua karena ketakutan Reza sendiri. Meski merasa sedikit lega, perasaan marah dan kecewa masih menguasai dirinya.

“Dan kamu pikir dengan pergi begitu saja tanpa penjelasan itu hal yang benar?” Anisa bertanya, suaranya bergetar.

Reza menunduk, tak sanggup menatap mata Anisa. “Aku tahu itu salah. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus bagaimana.”

“Apa kamu tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja tanpa alasan?” Suara Anisa semakin meninggi. “Apa kamu tahu betapa hancurnya aku saat itu?”

Reza menggenggam tangan Anisa di atas meja, namun Anisa segera menarik tangannya. “Aku tahu aku salah, Nis. Aku hanya berharap kita bisa memperbaiki hubungan ini. Aku ingin memperbaikinya, jika kamu masih memberiku kesempatan.”

Anisa terpaku mendengar kata-kata Reza. Apakah ini yang ia inginkan? Sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Bagian dari dirinya ingin berteriak “ya,” tapi bagian lain, bagian yang telah melalui begitu banyak rasa sakit, merasa ragu. Apakah Reza benar-benar layak untuk dimaafkan? Apakah dia akan bisa kembali mempercayai pria yang telah menghancurkan hatinya?

Keheningan panjang di antara mereka semakin menegangkan. Anisa merasa pikirannya dipenuhi dengan kekacauan, emosi yang bertabrakan satu sama lain tanpa ampun. Ia mencintai Reza, itu tak bisa dipungkiri. Tapi ia juga tahu bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh, dan sekali hancur, sulit untuk diperbaiki.

“Kamu minta kesempatan kedua, Reza,” Anisa akhirnya berbicara dengan suara pelan. “Tapi bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak akan mengulanginya? Bagaimana aku bisa percaya lagi?”

Reza terdiam, tak mampu menjawab. Matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. “Aku tidak bisa memberimu jaminan, Nis. Aku hanya bisa berjanji bahwa aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyakitimu lagi.”

Kata-kata itu, meskipun tulus, tidak cukup bagi Anisa. “Aku butuh waktu,” katanya, berusaha menahan air matanya. “Aku tidak bisa membuat keputusan ini sekarang.”

Reza mengangguk pelan, tampak menerima. “Aku mengerti, Nis. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu.”

Anisa berdiri dari kursinya, merasa seluruh tubuhnya lelah. “Aku harus pergi, Reza. Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Reza tidak menahannya. Ia hanya menatap Anisa dengan mata penuh harapan yang hancur. “Terima kasih karena sudah mendengarkanku,” katanya pelan.

Anisa hanya mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kafe itu. Udara malam yang dingin menyambutnya, namun hatinya terasa lebih dingin. Pertemuan itu seharusnya memberikan jawaban, tapi justru meninggalkan lebih banyak pertanyaan.

Saat berjalan pulang, Anisa merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia masih mencintai Reza, tapi cinta itu kini tercampur dengan keraguan dan ketakutan. Apakah ia benar-benar bisa kembali ke pelukan pria yang telah menghancurkannya? Ataukah ini adalah keputusan yang salah?

Anisa tidak tahu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status