Beranda / Romansa / Bayangan Kelam / Keputusan yang Salah

Share

Keputusan yang Salah

Penulis: Cancer Girl
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-23 06:50:33

Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza.

Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?"

“Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?”

Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi?

“Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia jauh dari baik-baik saja, tapi entah kenapa ia tak ingin terlihat lemah di depan Reza.

Ada keheningan canggung di antara mereka sebelum Reza akhirnya berkata, “Aku merasa kita perlu bicara. Ada banyak hal yang harus dijelaskan, banyak hal yang aku sesali.”

Kata-kata itu membuat Anisa merasa bingung sekaligus marah. Reza ingin bicara sekarang, setelah semua yang ia lakukan? Setelah ia meninggalkan Anisa tanpa penjelasan, tanpa peringatan?

“Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus,” jawab Anisa akhirnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. “Semua sudah berakhir, Reza.”

“Aku tahu, Nis. Aku tahu aku salah,” suara Reza terdengar penuh penyesalan. “Tapi aku ingin kita bicara, setidaknya untuk menutup bab ini dengan cara yang benar.”

Anisa menghela napas panjang. Mungkin Reza benar. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengakhiri semua perasaan yang masih menggantung. Tapi di dalam hatinya, Anisa tahu bahwa mendengar penjelasan Reza mungkin akan membuatnya semakin terluka.

“Baiklah,” jawabnya akhirnya. “Kapan dan di mana?”

Reza memberikan alamat sebuah kafe kecil di pusat kota dan waktu untuk bertemu. Setelah panggilan berakhir, Anisa merasa tubuhnya melemas. Ia duduk di tepi tempat tidur, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mengapa ia setuju? Apakah ini keputusan yang benar?

Hari itu terasa berjalan lambat. Pikiran Anisa terus-menerus terganggu oleh janji pertemuan dengan Reza. Setiap detik terasa seperti menambah beban di dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tapi ia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari. Bagaimanapun, ia butuh penjelasan.

Sore harinya, Anisa bersiap untuk pergi ke kafe tempat Reza menunggunya. Pakaian yang ia pilih sederhana, namun cukup rapi. Ia tidak ingin terlihat terlalu antusias, tapi juga tidak ingin terlihat acak-acakan. Ketika melihat dirinya di cermin, ia mencoba memberi dirinya dorongan semangat. "Kau bisa melakukannya, Nis," bisiknya pada bayangannya sendiri.

Kafe yang disebutkan Reza adalah tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Kenangan tentang masa-masa bahagia mereka berdua kembali menghantui saat ia melangkah masuk. Reza sudah duduk di salah satu meja di sudut ruangan, tampak sedikit gelisah. Saat melihat Anisa, ia berdiri dan tersenyum tipis, senyum yang dulu membuat hati Anisa luluh.

“Terima kasih sudah datang, Nis,” Reza menyapanya dengan suara lembut. Anisa hanya mengangguk, merasa terlalu bingung untuk berkata-kata. Mereka berdua duduk, dan keheningan yang canggung melingkupi mereka.

Reza memulai percakapan dengan basa-basi yang tidak berarti, seakan berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. Namun Anisa merasa semakin tidak nyaman. Semua ini terasa salah.

”Reza, kalau kamu ingin menjelaskan sesuatu, lebih baik langsung saja,” akhirnya Anisa berkata, suaranya dingin.

Reza terdiam sejenak, sebelum ia menghela napas panjang. “Kamu benar. Aku tidak akan bertele-tele. Aku meninggalkanmu, Nis, karena aku merasa terjebak. Bukan terjebak denganmu, tapi terjebak dengan diriku sendiri. Aku takut pada komitmen, takut pada apa yang mungkin terjadi di masa depan. Jadi aku memilih jalan yang pengecut, aku lari.”

Penjelasan itu menghantam Anisa seperti pukulan keras. Jadi semua ini bukan karena ada orang lain, bukan karena ia kurang baik. Itu semua karena ketakutan Reza sendiri. Meski merasa sedikit lega, perasaan marah dan kecewa masih menguasai dirinya.

“Dan kamu pikir dengan pergi begitu saja tanpa penjelasan itu hal yang benar?” Anisa bertanya, suaranya bergetar.

Reza menunduk, tak sanggup menatap mata Anisa. “Aku tahu itu salah. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus bagaimana.”

“Apa kamu tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja tanpa alasan?” Suara Anisa semakin meninggi. “Apa kamu tahu betapa hancurnya aku saat itu?”

Reza menggenggam tangan Anisa di atas meja, namun Anisa segera menarik tangannya. “Aku tahu aku salah, Nis. Aku hanya berharap kita bisa memperbaiki hubungan ini. Aku ingin memperbaikinya, jika kamu masih memberiku kesempatan.”

Anisa terpaku mendengar kata-kata Reza. Apakah ini yang ia inginkan? Sebuah kesempatan untuk kembali ke masa lalu? Bagian dari dirinya ingin berteriak “ya,” tapi bagian lain, bagian yang telah melalui begitu banyak rasa sakit, merasa ragu. Apakah Reza benar-benar layak untuk dimaafkan? Apakah dia akan bisa kembali mempercayai pria yang telah menghancurkan hatinya?

Keheningan panjang di antara mereka semakin menegangkan. Anisa merasa pikirannya dipenuhi dengan kekacauan, emosi yang bertabrakan satu sama lain tanpa ampun. Ia mencintai Reza, itu tak bisa dipungkiri. Tapi ia juga tahu bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang rapuh, dan sekali hancur, sulit untuk diperbaiki.

“Kamu minta kesempatan kedua, Reza,” Anisa akhirnya berbicara dengan suara pelan. “Tapi bagaimana aku bisa yakin bahwa kamu tidak akan mengulanginya? Bagaimana aku bisa percaya lagi?”

Reza terdiam, tak mampu menjawab. Matanya memancarkan rasa bersalah yang mendalam. “Aku tidak bisa memberimu jaminan, Nis. Aku hanya bisa berjanji bahwa aku akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak menyakitimu lagi.”

Kata-kata itu, meskipun tulus, tidak cukup bagi Anisa. “Aku butuh waktu,” katanya, berusaha menahan air matanya. “Aku tidak bisa membuat keputusan ini sekarang.”

Reza mengangguk pelan, tampak menerima. “Aku mengerti, Nis. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu.”

Anisa berdiri dari kursinya, merasa seluruh tubuhnya lelah. “Aku harus pergi, Reza. Aku butuh waktu untuk berpikir.”

Reza tidak menahannya. Ia hanya menatap Anisa dengan mata penuh harapan yang hancur. “Terima kasih karena sudah mendengarkanku,” katanya pelan.

Anisa hanya mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kafe itu. Udara malam yang dingin menyambutnya, namun hatinya terasa lebih dingin. Pertemuan itu seharusnya memberikan jawaban, tapi justru meninggalkan lebih banyak pertanyaan.

Saat berjalan pulang, Anisa merasa ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia masih mencintai Reza, tapi cinta itu kini tercampur dengan keraguan dan ketakutan. Apakah ia benar-benar bisa kembali ke pelukan pria yang telah menghancurkannya? Ataukah ini adalah keputusan yang salah?

Anisa tidak tahu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bayangan Kelam   Bayang-Bayang Masa Lalu

    Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan. Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyam

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • Bayangan Kelam   Jejak Kegelapan

    Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • Bayangan Kelam   Sebuah Ungkapan

    Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-23
  • Bayangan Kelam   Penyesalan yang Terlambat

    Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Bayangan Kelam   Di balik Kegelapan

    Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Bayangan Kelam   Titik Terendah

    Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Bayangan Kelam   Di Ambang Keputusan

    Anisa duduk di tepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hari-harinya kini dipenuhi dengan ketakutan, tidak ada lagi ketenangan yang ia rasakan sejak pertemuan terakhir dengan pria misterius itu. Kegelapan yang ia rasakan semakin menelan dirinya, dan ia merasa seperti di ujung jurang.Ponsel di tangannya tetap sunyi, tidak ada pesan atau panggilan dari Arya. Perasaan cemas yang terus melilit pikirannya membuatnya ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam kecemasan. Arya telah pergi, dan meninggalkannya dalam keadaan paling rapuh yang pernah ia alami. Pria yang katanya mencintainya kini entah berada di mana.“Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?” Anisa bergumam sendiri, mencoba memahami mengapa hidupnya berubah begitu drastis.Pikiran tentang ancaman yang ditujukan padanya terus membayang, membuatnya gelisah setiap kali ia mendengar suara aneh di luar rumah. Malam-malam terasa panjang dan mencekam, bahkan untuk menutup mata saja dia

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Bayangan Kelam   Kebenaran Terungkap

    Ketakutan merambat di sepanjang tulang punggung Anisa. Seluruh tubuhnya terasa beku di tengah kegelapan yang membungkus rumahnya. Ketukan di pintu yang semakin keras menandakan bahwa orang di luar sana tak akan menyerah sampai pintu terbuka. Satu-satunya yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah bertahan, meskipun naluri di dalam dirinya berteriak untuk berlari."Kamu harus tetap tenang, Anisa. Tetap tenang," ia mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun suaranya bergetar.Sambil menggigit bibir, Anisa meraih ponselnya yang sudah tergeletak di meja. Jemarinya gemetar saat ia mencoba menekan nomor darurat. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, ketukan di pintu mendadak berhenti. Keheningan yang tiba-tiba menegangkan atmosfir di sekelilingnya.Hatinya berdetak keras. Anisa berdiri terpaku, bingung apakah ia harus menghampiri pintu atau menunggu saja sampai sesuatu terjadi. Apakah orang di luar sana sudah pergi?**Beberapa menit berlalu dalam kesunyian yang mencekam. Anisa berusaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28

Bab terbaru

  • Bayangan Kelam   Bab 116 (tamat)

    Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Anisa berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah. Semua perhiasan yang dipilihnya dengan hati-hati kini menghiasi tubuhnya, memantulkan cahaya dari lampu yang menyinari ruang rias. Meskipun begitu, perasaan Anisa campur aduk. Ada kegembiraan, ada rasa takut, namun yang paling terasa adalah kekosongan yang mendalam. Rasanya, semuanya seperti sebuah mimpi, dan Anisa tidak tahu apakah dia siap atau tidak untuk melangkah lebih jauh dalam hidupnya.Di luar, para tamu undangan sudah mulai berdatangan, menyapa satu sama lain dengan tawa dan senyum. Suasana di gedung itu penuh dengan kegembiraan. Tidak hanya keluarga dan teman-teman Anisa yang hadir, tetapi juga sejumlah rekan kerja Adrian, termasuk Malik yang telah lama menjadi sahabat Adrian, serta Roy, yang meskipun menjadi bagian dari masa lalu Anisa, masih datang untuk memberi selamat.Namun meskipun semua tamu sudah hadir dan gedung sudah penuh dengan orang-orang,

  • Bayangan Kelam   Bab 115

    Hari-hari berlalu setelah lamaran Adrian yang penuh harapan. Anisa mencoba untuk menyibukkan dirinya, berusaha menenangkan pikirannya yang terus dipenuhi oleh perasaan bingung. Namun meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, bayangan Adrian tak bisa hilang begitu saja. Keberadaan pria itu yang tulus, yang tanpa henti berusaha mendekatkan diri, seolah menjadi cahaya yang sulit ia hindari.Anisa menundukkan kepalanya saat bekerja di restoran. Pelanggan datang dan pergi, namun hatinya masih terjebak pada satu hal. Adrian. Meski sudah berulang kali berkata pada dirinya sendiri bahwa ia butuh waktu, ia tahu bahwa perasaannya kepada Adrian tidak semudah itu dilupakan. Perasaan hangat yang diberikan Adrian saat bersama, ketulusan yang ada di mata pria itu, semuanya terasa begitu nyata.Setiap kali Adrian datang menemuinya di restoran, ia tidak bisa menahan senyumnya. Meskipun hanya sesederhana menyapa atau mengobrol ringan di sela-sela kesibukannya, itu cukup membuat hatinya merasa lebih

  • Bayangan Kelam   Bab 114

    Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Anisa baru saja selesai bekerja dan sedang merapikan meja ketika seorang pelayan mendekatinya dengan wajah ceria.“Anisa, kau dipanggil ke halaman belakang restoran,” kata pelayan itu sambil tersenyum penuh arti.Anisa mengerutkan kening. “Siapa yang memanggilku?”Pelayan itu hanya tersenyum misterius sebelum berlalu.Dengan rasa penasaran, Anisa melepas celemeknya dan berjalan menuju halaman belakang restoran. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung membelalak.Lampu-lampu kecil tergantung di antara pepohonan, menciptakan suasana hangat dan romantis. Di tengah halaman, sebuah meja kecil dengan dua kursi sudah tertata rapi, lengkap dengan lilin yang menyala lembut.Dan di sana, berdiri seseorang yang sangat dikenalnya.Adrian.Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan yang tergulung hingga siku. Wajahnya tampak sedikit tegang, tetapi matanya tetap memancarkan ketulusan yang selalu membuat Anisa merasa nyaman.“Adrian, apa ini?

  • Bayangan Kelam   Bab 113

    Setelah semua luka yang Anisa alami, ia akhirnya mulai menemukan sedikit ketenangan dalam hidupnya. Pekerjaannya di restoran asing membuatnya sibuk, dan ia menikmati rutinitas baru tanpa harus memikirkan masa lalunya yang kelam.Di tempat kerja, ia bertemu dengan Adrian, seorang kepala koki yang memiliki kepribadian hangat dan perhatian. Awalnya, Anisa tidak terlalu memedulikan kehadiran pria itu. Namun, seiring berjalannya waktu, perhatian kecil yang diberikan Adrian membuat Anisa perlahan membuka hatinya.Adrian selalu memastikan bahwa Anisa tidak bekerja terlalu keras. Ia sering meninggalkan secangkir teh hangat di meja Anisa ketika gadis itu terlihat kelelahan. Kadang-kadang, ia juga menyelipkan cokelat di loker Anisa dengan catatan kecil bertuliskan:“Jangan terlalu serius bekerja. Hidup juga butuh sedikit manis-manis.”Anisa tidak bisa memungkiri bahwa sikap Adrian membuatnya merasa nyaman. Tidak ada paksaan, tidak ada kebohongan, hanya ketulusan.Suatu malam, setelah restoran t

  • Bayangan Kelam   Bab 112

    Anisa menghela napas panjang saat melihat pantulan dirinya di cermin apartemen kecilnya. Sudah beberapa minggu sejak ia mulai mengenal Adrian, dan harus diakui, pria itu membawa warna baru dalam hidupnya. Tidak ada kesan terburu-buru atau tekanan dalam hubungan mereka. Adrian tidak pernah memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya, dan itu membuat Anisa merasa nyaman.Ia merapikan rambutnya lalu mengambil tas kecil sebelum keluar dari apartemen. Hari ini adalah hari liburnya, dan ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman kota. Tidak ada tujuan khusus, hanya ingin menikmati udara segar dan menenangkan pikirannya.Saat sampai di taman, ia memilih duduk di bangku dekat air mancur. Beberapa anak kecil berlarian, bermain bola, sementara pasangan muda duduk berdua di bawah pohon rindang. Anisa mengamati mereka dengan tatapan kosong, bertanya-tanya apakah ia masih bisa merasakan kebahagiaan seperti itu.“Sendirian lagi?”Suara itu membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat Adrian be

  • Bayangan Kelam   Bab 111

    Anisa duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar apartemennya yang sederhana. Setelah pertemuan dengan Roy tadi malam, ia merasa lega, tetapi juga ada sedikit perasaan hampa yang sulit ia jelaskan. Mungkin karena ini pertama kalinya ia benar-benar menutup pintu bagi seseorang yang pernah mengisi hatinya, meskipun kenyataannya pahit.Hari ini, Anisa berencana untuk menghabiskan waktu sendiri. Ia ingin pergi ke tepi pantai yang tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar satu jam perjalanan dengan bus. Ia butuh udara segar, butuh ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat mendengar suara ombak dan angin laut.Setelah bersiap-siap, ia mengenakan dress berwarna krem dan membawa tas kecil berisi buku dan air minum. Anisa selalu merasa nyaman dengan membaca, seolah-olah dunia dalam buku bisa membantunya melupakan kenyataan yang kadang terlalu menyakitkan.Saat tiba di halte bus, ia duduk sambil menunggu kendaraan yang akan membawanya ke pantai. Cuaca hari ini cukup cerah, de

  • Bayangan Kelam   Bab 110

    Anisa menatap ke luar jendela kamar apartemennya yang kecil. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam bertiup pelan, menyelinap masuk melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Ini adalah tempat tinggal barunya, jauh dari tempat lama yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit.Sudah dua minggu sejak dia menjual rumah peninggalan orang tuanya. Rumah yang dulu penuh dengan canda tawa, berubah menjadi tempat yang hanya membuatnya terjebak dalam kenangan yang menyakitkan. Anisa tahu, jika ia ingin benar-benar melanjutkan hidup, ia harus meninggalkan semua itu dan memulai kembali dari nol.Dia kini bekerja di sebuah restoran asing yang cukup terkenal. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi setidaknya membuatnya sibuk dan tidak punya waktu untuk memikirkan masa lalu. Ia mengisi harinya dengan memasak, melayani pelanggan, dan berbincang dengan rekan kerja barunya.Namun, malam ini, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak siang tadi, ia merasa seperti a

  • Bayangan Kelam   Bab 109

    Setelah beberapa bulan berlalu sejak kepindahannya ke kota baru, Anisa mulai terbiasa dengan ritme kehidupannya yang sekarang. Ia sudah tidak lagi merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan pekerjaannya di restoran asing membuatnya semakin sibuk hingga perlahan-lahan bisa melupakan luka-luka masa lalunya. Meskipun kadang-kadang kenangan tentang Roy masih menghantui pikirannya, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu lagi.Namun suatu hari, Anisa mengalami sesuatu yang membuatnya kembali mempertanyakan kehidupannya. Hari itu, restoran tempatnya bekerja sedang ramai karena ada acara perayaan ulang tahun dari pelanggan tetap mereka. Anisa yang bertugas di bagian pelayanan sibuk bolak-balik mengantar pesanan makanan dan memastikan semua pelanggan mendapatkan pelayanan terbaik.Saat ia sedang mengambil pesanan dari meja pelanggan, seorang pria memasuki restoran. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, terlihat rapi dan elegan. Anisa tidak terlalu memperh

  • Bayangan Kelam   Bab 108

    Waktu berjalan semakin cepat, dan Anisa merasa hidupnya seperti berputar dalam lingkaran tanpa akhir. Meski hubungan dengan Roy tampak menyenangkan di awal, semakin lama ia merasa ada sesuatu yang tak beres. Meskipun Roy selalu memberikan perhatian yang penuh, Anisa merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Kadang, ada hal-hal kecil yang membuatnya curiga, meski ia mencoba untuk mengabaikannya.Hari itu, seperti biasa, Roy menjemput Anisa di rumahnya untuk makan malam bersama. Anisa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu. Roy selalu berusaha menyenangkan hati Anisa dengan cara-cara sederhana, tetapi yang terkadang membuatnya merasa aneh adalah cara Roy selalu menghindari topik-topik pribadi. Ia tidak pernah membahas keluarga, masa lalunya, atau apapun yang bersifat pribadi. Ketika Anisa menanyakan sesuatu tentang dirinya, Roy selalu mengubah topik dengan alasan yang terkesan canggung.“Roy, aku sudah lama ingin tahu lebih banyak tentangmu,” ujar Anisa suatu malam saat mereka duduk di r

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status