Anisa memandangi cermin di depannya. Wajah yang dulu ia kenali kini tampak seperti milik orang asing. Mata yang dulunya bersinar penuh harapan, pun kini kehilangan kilauan, hanya menyisakan kekosongan dan kelelahan yang begitu dalam. Di bawah matanya, lingkaran hitam terlihat menebal, mengisyaratkan malam-malam tanpa tidur yang telah menjadi rutinitas.
“Kenapa semua ini terjadi padaku? Apa salahku?” Anisa berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan kamar kecilnya. Tak ada yang menjawab, hanya bayangannya di cermin yang kembali menatap, seolah mengejek kelemahannya. Tiga bulan yang lalu, hidup Anisa berada di puncak. Karirnya sebagai desainer grafis sedang menanjak, dan ia baru saja mendapatkan kontrak besar dengan perusahaan ternama. Kekasihnya, Reza, juga tampak sebagai pasangan yang sempurna, penyayang, perhatian, dan selalu ada di sampingnya. Tapi semua itu harus berakhir dalam sekejap. Reza, yang selama ini menjadi tumpuan harapannya, tiba-tiba memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas. Dan yang lebih menyakitkan lagi, hanya berselang seminggu setelah itu, Anisa mengetahui bahwa kontrak besar yang ia banggakan dicabut secara sepihak. Perusahaan yang awalnya begitu memujanya kini bahkan tidak sudi memberikan penjelasan kepadanya. Anisa merasa seluruh dunianya telah runtuh. Hidupnya pun hancur. Kehilangan pekerjaan dan juga kekasih dalam waktu yang begitu singkat membuat Anisa terpuruk. Tapi ia tidak tinggal diam, ia mulai mencoba mencari pekerjaan baru, namun setiap pintu yang ia ketuk seolah-olah tertutup rapat. Uang simpanannya selama ini juga mulai menipis, dan setiap malam ia selalu bergulat dengan perasaan putus asa yang semakin menghimpit. Malam-malam panjang dihabiskan dengan menangis di sudut kamar, memeluk lutut, dan bertanya-tanya apa yang salah dalam hidupnya selama ini. Hari ini, Anisa merasa hidupnya lebih hancur daripada sebelumnya. Ia telah menghabiskan hari dengan mengirimkan lamaran kerja ke puluhan perusahaan, hanya untuk mendapatkan balasan yang sama. Yaitu penolakan. “Kami menghargai minat Anda, namun kami telah memilih kandidat lain,” begitu bunyi kalimat yang terus menghantui dirinya. Anisa berjalan perlahan menuju jendela kecil di sudut kamarnya, wanita berwajah tirus dan beriris mata coklat muda itu menyingkap tirai dan memandang keluar. Kota ini, yang dulu ia cintai dengan segala kebisingan dan hiruk-pikuknya, kini terasa sangat sepi seperti penjara. Setiap orang yang ia lihat tampak bahagia dan bergerak dengan tujuan pasti, sementara ia terjebak dalam lingkaran setan ketidakberdayaan. Tiba-tiba ponselnya berdering, memecah lamunan kelam yang menyelimutinya. Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, berharap-harap cemas. Mungkin ini kabar baik, pikirnya. Namun, ketika melihat nama yang tertera di layar, hatinya semakin tenggelam. Bank. Dengan berat hati, Anisa menjawab panggilan itu. Suara di seberang sana begitu formal dan dingin, menyampaikan kabar yang sudah ia duga namun tetap menghantamnya keras. “Ibu Anisa, kami ingin mengingatkan bahwa Anda memiliki tunggakan yang harus segera dilunasi. Jika tidak, kami terpaksa akan mengambil tindakan lebih lanjut.” Kata-kata itu berputar di kepalanya, menguatkan perasaan bahwa ia sedang terjerumus semakin dalam ke dalam lubang yang tak berdasar. “Saya ... saya akan berusaha secepat mungkin,” jawabnya, suaranya bergetar. Tetapi ia tahu, tak ada yang tersisa untuk diusahakan. Simpanan uangnya hampir habis, dan tak ada pekerjaan di depan mata. Setelah menutup telepon, Anisa merasa pusing dan sesak. Ia duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya yang mulai bergetar. Apa lagi yang harus ia lakukan? Tidak ada yang peduli, tidak ada yang datang untuk menolong. Semua orang yang dulu ada di sisinya perlahan-lahan menghilang, seolah-olah masalahnya adalah penyakit menular yang harus dihindari. Tak tahan dengan kesunyian yang menyiksa, Anisa meraih jaketnya dan keluar dari apartemen. Ia berjalan tanpa tujuan di jalanan yang mulai sepi. Angin malam yang dingin menampar wajahnya, namun ia tidak peduli dengan hal itu. Baginya, rasa dingin itu lebih baik daripada rasa mati rasa yang telah lama menghuni hatinya. Tanpa sadar, langkahnya membawa wanita itu ke sebuah taman kecil yang terletak di pusat kota. Taman itu biasanya dipenuhi anak-anak yang bermain atau pasangan yang duduk di bangku-bangku sambil berbicara pelan. Tapi malam ini, taman itu kosong. Hanya ada suara gemerisik dedaunan yang diterpa angin dan bayang-bayang pohon yang bergerak perlahan. Anisa duduk di salah satu bangku, membiarkan pikirannya melayang jauh. Ia mengingat semua mimpinya yang hancur, semua harapan yang pupus, dan rasa sakit yang tak kunjung reda. Ia ingin menangis, tapi air matanya sudah habis. Hatinya terlalu lelah untuk menangis lagi. Di tengah keheningan itu, Anisa merasakan kehadiran seseorang. Ia menoleh dan melihat seorang pria duduk di bangku di seberang taman, menatapnya dengan mata yang penuh rasa penasaran. Pria itu tampak tinggi dengan jaket hitam yang membungkus tubuhnya, memberikan aura misterius. Meskipun jarak mereka cukup jauh, Anisa bisa merasakan tatapan pria itu menembus jiwanya, seolah-olah pria itu bisa melihat semua kesedihan yang berusaha ia sembunyikan. Merasa tidak nyaman, Anisa akhirnya berdiri dan berjalan pergi, berharap pria itu tidak mengikutinya. Tapi langkah kakinya terasa berat, dan sebelum ia sadar, pria itu sudah berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lakukan di sini sendirian, Nona?” suara pria itu dalam dan tenang, namun ada sesuatu di balik nada suaranya yang membuat Anisa merinding. Anisa menoleh dan melihat pria itu lebih dekat. Wajahnya tampan, namun ada kelelahan yang terukir di sana, seolah-olah pria itu membawa beban yang sama beratnya dengan yang Anisa rasakan. “Aku hanya ... butuh udara segar,” jawabnya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Pria itu mengangguk pelan, seolah memahami perasaannya tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. “Terkadang udara segar tidak cukup untuk mengusir semua masalah kita,” katanya, pandangannya tetap tertuju pada Anisa. “Sepertinya kau butuh sesuatu yang lebih.” Anisa merasa ada sesuatu dalam kata-kata pria itu yang menyentuh hatinya. Ia ingin tahu lebih banyak, tapi ketakutan dan keraguan menghentikannya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, pria itu tersenyum tipis dan berkata, “Jika kau butuh seseorang untuk mendengarkan, aku ada di sini.” Pria itu kemudian melangkah pergi, meninggalkan Anisa yang masih terdiam, memikirkan kata-kata yang baru saja didengarnya. Ada sesuatu tentang pria itu yang berbeda. Ia tidak tahu apa, tapi ia merasakan dorongan untuk mengikutinya, meski hanya untuk mencari tahu lebih lanjut. Namun, Anisa tetap berada di tempatnya, membiarkan pria itu menghilang di balik bayang-bayang malam.Keesokan hari, Anisa terbangun dengan kepala yang berdenyut, tanda bahwa tidur semalam tak memberikan kedamaian yang ia harapkan. Saat ia mencoba duduk, ponselnya yang tergeletak di samping tempat tidur berdering. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya berdebar, Reza. Dengan tangan yang gemetar, Anisa menekan tombol jawab. "Halo?" “Halo, Nis,” suara Reza terdengar di seberang, penuh dengan kehangatan yang dulu selalu menenangkan hatinya. Namun kini, suaranya justru mengingatkan Anisa pada rasa sakit yang ia rasakan sejak kepergian pria itu. “Bagaimana kabarmu?” Anisa terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan, namun tak satu pun yang mampu keluar dari mulutnya. Mengapa Reza menelepon sekarang? Setelah semua yang terjadi, kenapa ia harus mendengar suaranya lagi? “Aku... baik-baik saja,” akhirnya Anisa berbohong. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Dalam hatinya, ia merasa muak pada dirinya sendiri karena kebohongan itu. Ia jauh
Langit malam sudah gelap ketika Anisa kembali ke apartemennya. Namun, hati dan pikirannya masih penuh dengan keraguan dan ketidakpastian. Pertemuan dengan Reza hanya menambah berat beban di dadanya, seolah-olah ada sesuatu yang menggerogoti perasaannya, membuatnya semakin terpuruk dalam kegelapan. Ketika membuka pintu apartemen, ia mendapati ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Anisa menghela napas panjang, mengaktifkan lampu-lampu di sekitarnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju dapur, berharap secangkir teh hangat bisa sedikit meredakan ketegangan yang menyelimuti dirinya. Namun, sebelum sempat ia mencapai dapur, sebuah ketukan keras terdengar dari pintu. Anisa terkejut, tubuhnya menegang. Siapa yang datang malam-malam begini? Pikirnya, cemas. Dengan langkah hati-hati, ia menuju pintu, mengintip dari lubang kecil yang terpasang di sana. Di luar, berdiri seorang pria yang tak ia kenali. Wajahnya tirus, dengan tatapan mata tajam yang membuat Anisa merasa tidak nyam
Anisa terbangun dengan rasa cemas yang menggantung di benaknya. Malam tadi, mimpi-mimpi buruk terus mengganggu tidurnya, bayangan Adrian, Arya, dan kegelapan yang mengepungnya seakan menjadi satu dengan kehidupannya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar sedang terjadi, sesuatu yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Saat menyiapkan sarapan, Anisa tidak bisa menyingkirkan pikiran tentang Arya dan peringatan Adrian. Siapa sebenarnya Arya? Apa yang ia sembunyikan di balik sikapnya yang menawan dan tenang? Dan mengapa Adrian begitu ingin memperingatkan dirinya? Semua pertanyaan ini terus-menerus berputar di kepalanya, menciptakan perasaan cemas yang tak berkesudahan. Selesai sarapan, Anisa memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan kota. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan siapa Arya sebenarnya. Perpustakaan itu adalah tempat yang tenang dan sepi, tetapi hari ini, bahkan suasana yang biasanya menenangkan itu tidak bisa meredakan ketegangannya. Anisa mulai mencari
Anisa berdiri diam di depan pintu bangunan tua itu. Jantungnya berdebar kencang, dan kakinya terasa berat, seolah enggan melangkah lebih jauh. Tapi sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk terus maju. Arya sudah menunggunya di dalam. Pikirannya berputar-putar antara ketakutan dan rasa ingin tahu yang membara, memunculkan kembali peringatan pria tua di perpustakaan dan Adrian yang terus-menerus memperingatkannya. “Sudahlah, tidak ada jalan kembali,” bisik Anisa pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu itu. Dengan gemuruh keras, pintu tua itu berderit, mengeluarkan suara yang seakan membawa Anisa lebih dalam ke dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Di dalam, ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh sedikit cahaya yang masuk dari celah-celah di dinding yang sudah rapuh. Arya berdiri di sudut, mengenakan pakaian serba hitam yang tampak menyatu dengan bayang-bayang di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam langsung mengunci Anisa, membuatnya merasakan haw
Malam itu, hujan turun begitu deras. Rintik-rintiknya menghantam genting, menciptakan irama yang membisu di tengah kesunyian. Di dalam kamar yang gelap, Anisa duduk memeluk lututnya di sudut tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat, air mata tak kunjung berhenti mengalir.Arya telah pergi. Keputusannya yang mendadak menghantam Anisa seperti badai, menghancurkan semua harapan yang selama ini ia bangun.Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Jenny, sahabat sekaligus satu-satunya tempat Anisa bisa berbagi, membuka pintu dengan hati-hati. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anisa dengan cemas."Anisa...," suara Jenny terdengar lembut, nyaris seperti bisikan.Anisa tidak merespon. Tatapannya kosong, menembus dinding di depannya. Rasa sakit yang ia rasakan begitu dalam, hingga ia merasa kebas, seolah jiwanya sudah hilang.Jenny mendekat, duduk di sebelah Anisa, lalu menggenggam tangannya. "Kau tidak bisa seperti ini terus. Arya mungkin sudah pergi, tapi hidupmu tidak berhenti di sini. K
Anisa melangkah masuk ke dalam rumah Arya dengan perasaan campur aduk. Ruangan yang dulunya dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa asing dan dingin. Bau kayu dan debu menyelimuti suasana, seolah rumah ini telah lama ditinggalkan. Arya menutup pintu di belakangnya, dan sejenak mereka hanya berdiri di ruang tamu yang kosong."Aku tidak tahu harus mulai dari mana," kata Arya, suaranya bergetar. Ia terlihat ragu, seperti seseorang yang berusaha mempersiapkan diri untuk mengungkapkan rahasia terdalam.Anisa memutuskan untuk duduk di sofa yang tampak usang. "Kau bisa mulai dengan menjelaskan kenapa kau pergi tanpa memberitahuku apa pun. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebohongan."Arya mengangguk pelan, duduk di seberang Anisa. "Aku tahu, dan aku minta maaf. Tapi... ada banyak hal yang terjadi yang tidak bisa kukatakan. Hal-hal yang lebih besar dari kita."Anisa menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi. "Kau sudah menyakiti aku, Arya. Mengapa kau tidak memberitahuku saja? Kita bisa me
Malam itu, Anisa duduk di kamarnya, merenung di bawah sinar lampu temaram. Sejak kepergian Arya, kehidupannya terasa seperti tidak lagi berarti. Setiap kali dia menutup mata, bayangan pria itu terus menghantui pikirannya. Arya telah pergi, meninggalkan lubang besar di hatinya yang sepertinya tak akan pernah bisa terisi. Namun, dia tahu, ada sesuatu yang lebih besar di balik perpisahan mereka, sesuatu yang Arya belum sepenuhnya ungkapkan.Ketukan di pintu mengejutkan Anisa. Ia bergegas membuka pintu, berharap menemukan seseorang yang bisa memberinya sedikit jawaban atas kegelapan yang melingkupi hidupnya. Namun, alih-alih Arya atau seseorang yang ia kenal, berdiri di ambang pintu adalah sosok asing yang tampak mencurigakan. Pria itu berjaket kulit hitam, dengan tatapan tajam yang langsung membuat Anisa merasa tidak nyaman."Anisa, kan?" Suaranya dalam dan terdengar dingin."Iya, siapa Anda?" Anisa bertanya dengan hati-hati."Namaku bukan hal yang penting. Yang penting adalah kita berbi
Anisa duduk di tepi ranjangnya, pandangannya kosong menatap jendela. Hari-harinya kini dipenuhi dengan ketakutan, tidak ada lagi ketenangan yang ia rasakan sejak pertemuan terakhir dengan pria misterius itu. Kegelapan yang ia rasakan semakin menelan dirinya, dan ia merasa seperti di ujung jurang.Ponsel di tangannya tetap sunyi, tidak ada pesan atau panggilan dari Arya. Perasaan cemas yang terus melilit pikirannya membuatnya ingin berteriak, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam kecemasan. Arya telah pergi, dan meninggalkannya dalam keadaan paling rapuh yang pernah ia alami. Pria yang katanya mencintainya kini entah berada di mana.“Kenapa aku harus terjebak dalam situasi ini?” Anisa bergumam sendiri, mencoba memahami mengapa hidupnya berubah begitu drastis.Pikiran tentang ancaman yang ditujukan padanya terus membayang, membuatnya gelisah setiap kali ia mendengar suara aneh di luar rumah. Malam-malam terasa panjang dan mencekam, bahkan untuk menutup mata saja dia