Home / Fantasi / Bayang Hitam Sang Jenderal Tirani / Perjodohan Keluarga Thorn 

Share

Bayang Hitam Sang Jenderal Tirani
Bayang Hitam Sang Jenderal Tirani
Author: Bibiefenimmm

Perjodohan Keluarga Thorn 

Di sebuah ruang pertemuan yang megah dan gelap, seorang anak berlutut di hadapan ayahnya. "Kau memanggilku?" tanyanya, meski anak itu sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan bersama ayahnya.

Momen ini selalu menandakan masalah besar, atau lebih buruk—rencana licik yang melibatkan dirinya.

"Waktunya sudah tiba. Kau harus menikahi Elara, putri Dewan Menteri. Aliansi ini akan memperkuat kekuasaan kita dan menjaga dominasi keluarga Thorn."

Zane Alexander Thorn mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak perasaan yang membakar di dadanya. “Aku tidak akan melakukannya,” jawabnya tegas, suaranya tenang namun penuh tekad.

The Dominion berdiri megah di atas perbukitan, menjulang sebagai simbol kekuasaan dan kendali di tengah kekacauan dunia luar. Dinding dan pintunya terbuat dari batu dengan teknologi tinggi. Gerbangnya tidak dapat ditembus, dan dijaga oleh pasukan bersenjata dengan armor canggih. 

Markas ini berada di bawah kekuasaan Marcus Thorn, Panglima Tertinggi yang memerintah dengan tangan besi. Marcus mengontrol setiap aspek kehidupan rakyatnya, termasuk keputusan pernikahan politik untuk putranya, Zane Thorn.

Marcus mengangkat alis, terlihat terkejut dengan penolakan itu. “Ini bukan permintaan, Zane. Ini perintah. Sebagai penerusku, kau harus melakukan apa yang diperlukan untuk kekuatan Dominion.”

Ya, disanalah, pria yang mengajarinya segala sesuatu tentang perang dan kekuasaan, menatapnya dari ujung meja panjang itu. Mata sang Panglima Tertinggi menyipit, penuh dengan harapan dingin dan rencana yang sudah ia atur sejak lama.

Zane berdiri di ruang konferensi besar, mengenakan seragam Phantom Vanguard, pasukan elit yang ia pimpin. Wajahnya keras, matanya penuh bayangan kelam dari bertahun-tahun pertempuran. Tidak ada satu pun emosi yang terlihat di balik matanya yang tajam, kecuali amarah yang tersembunyi di balik ketenangan luar biasa.

Zane menatap langsung ke mata ayahnya, tak gentar sedikit pun. 

“Aku sudah menjalani hidupku sesuai perintahmu, memerangi musuh-musuhmu, membalas dendam atas kematian yang kau anggap penting. Tapi pernikahan ini?” Zane berhenti sejenak, mengambil napas panjang.

“Aku bersumpah, aku tidak akan menikahi siapapun kecuali orang yang aku cintai.”

Marcus berdiri dari kursinya, dia tertawa. Tertawa kecil bahagia, seperti ratusan lonceng, menular sekaligus menakutkan. Namun, wajahnya dengan cepat berubah gelap.

“Cinta?” ejeknya. “Cinta adalah kelemahan, Zane. Tidak ada tempat untuk itu di dunia ini. Kau akan mematuhi, atau kau akan hancur.”

Zane mengepalkan tinjunya, merasakan kemarahan yang mendidih di dadanya. Hanya untuk kali ini, Zane menolak dikendalikan.

Marcus tertawa lagi. Kali ini sangat keras. "Ya ampun." Dia tersenyum, cerah, hangat dan sangat tulus. Lalu menggelengkan kepalanya.

"Lihatlah dirimu," katanya berteriak sambil menyeringai.

"Kau seorang pembunuh yang sempurna.. Kau tidak butuh cinta, Zane—kau butuh kekuasaan. Dan pernikahan ini adalah jalan menuju kekuasaan yang lebih besar.”

“Aku tidak akan tunduk pada perintah ini,” tegas Zane. “Jika kau ingin menikahkan Elara, carilah orang lain. Aku punya takdir sendiri.”

Marcus menatap putranya dengan dingin, seolah-olah dia melihat seorang pemberontak, bukan darah dagingnya. 

“Jika kau menolak, maka kau akan melawan lebih dari sekadar musuh di luar sana. Kau akan melawan aku.”

Zane merasa udara di dalam ruangan menjadi berat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulut Marcus adalah batu yang menghempaskannya ke dasar laut. Dia tahu bahwa penolakan ini bukan hanya sebuah pernyataan; itu adalah deklarasi perang terhadap ayahnya.

“Aku tidak akan menjadi alatmu lagi,” kata Zane, suaranya tegas dan tak terbantahkan. Dia berbalik, bersiap meninggalkan ruangan, tetapi Marcus memanggilnya dengan nada yang penuh ancaman.

“Kau kira kau bisa melarikan diri dari tanggung jawabmu? Setiap langkah yang kau ambil, setiap pertempuran yang kau menangkan, semuanya untukku. Kau tidak akan pernah bisa membebaskan diri dari bayang-bayangku.”

Zane berhenti sejenak, menyentuh pintu kayu yang berat sebelum berbalik. 

“Mungkin, tapi aku akan berjuang untuk menjadi diriku sendiri. Dan jika itu berarti menentangmu, maka aku akan melakukannya.”

Zane melangkah keluar, meninggalkan ruang konferensi. Meninggalkan Marcus yang masih berdiri dengan ekspresi marah dan terkejut. Dia bisa merasakan tatapan ayahnya membakar punggungnya, tetapi dia tidak peduli. 

Di luar, seseorang sudah berdiri menunggunya. Seseorang yang sangat disukai Zane. “Mari, Tuan..” 

Zane mengangguk singkat dan berkata. "Mantel ku, Reed." 

Reed menunduk, tidak berani menatap atasannya alih-alih memberikan mantelnya. Kemudian ia mengikuti Zane dari belakang.

Saat tiba di ruang kerjanya, kepala Zane merasa berat. Ia mengusap tengkuknya yang kaku, beban yang tak tertahankan mendorongnya untuk mencari jalan keluar. Pikirannya pun berputar, lumayan lama, dan tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu.

"Siapkan kendaraan."

"Tapi.. Tuan," Reed terlihat panik, hendak mengutarakan sesuatu.

"Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang, pergi!"

"B...baik," katanya ragu-ragu. Reed segera melemparkan hormatnya kemudian melesat pergi.

Hari ini juga Zane memutuskan untuk kembali ke pangkalan militernya. Ia tidak akan membiarkan tubuhnya tidur dibawah atap terkutuk ini. Tidak sebelum ayahnya menangkapnya, mengurungnya dan memberikan siksaan tanpa ampun.

Zane berdiri dari kursi, menatap prajurit-prajurit yang masih tegang.

Begitu mereka melangkah keluar, Zane memutuskan untuk mengambil jalur belakang markas, menghindari jalan utama di mana pengawal ayahnya mungkin berkumpul. Dia bergerak cepat, berusaha menyembunyikan diri di balik bayangan dan sudut-sudut gelap bangunan.

Jantungnya berdegup kencang saat dia berlari, membayangkan wajah marah Marcus ketika dia tahu anaknya telah melarikan diri. Zane menekan pikirannya tentang konsekuensi, hanya fokus pada satu tujuan: keluar.

Sesampainya di pintu belakang, Zane mengintip sekeliling. Tidak ada tanda-tanda pengawal, tapi dia tahu waktu tidak berpihak padanya. Dia melangkah keluar, berlari menyusuri koridor yang sepi.

Begitu dia mencapai gerbang keluar, Zane merasakan getaran dalam dirinya, gelombang otoritas yang tak terhindarkan muncul. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, seolah-olah para prajurit yang menjaga gerbang dapat merasakan kehadirannya. “Jangan berhenti,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Dengan sekali langkah, dia berteriak, “Kau semua akan menghormati keputusanku! Beri aku jalan!”

Seketika, para prajurit yang mengawasi gerbang menundukkan kepala, terpaksa mengikuti perintah yang datang begitu kuat. Mereka terdiam, terperangkap antara rasa hormat dan kebencian. Mengutuk diri mereka sendiri, karena setelah ini akan dihabisi oleh Marcus karena tak becus menangkap Zane.

Zane berlari secepat mungkin, melewati batas markas. Lalu saat ia sampai di pintu belakang, Zane melihat Reed yang sudah menunggu di dekat kendaraan. Wajahnya memancarkan kelegaan.

“Tuan!” seru Reed, menyambut Zane dengan penuh rasa hormat. “Kita harus pergi sebelum mereka kembali menghadangmu."

Zane melangkah ke kendaraan, sambil mendengar bisikan prajurit di belakangnya. Reed membuka pintu, dan Zane melangkah masuk dengan cepat, memeriksa sekelilingnya, memastikan tidak ada ancaman.

“Sekarang!” Zane memerintah, dan Reed segera menginjak gas. 

Kendaraan melaju, meninggalkan markas dengan beberapa pengawal yang mengejarnya. Dari dalam mobil, Zane bisa mendengar prajurit-prajurit itu mengumpat.

Sesampainya di pangkalan militer miliknya, Zane disambut oleh prajurit-prajuritnya yang sudah berbaris rapi.

Tubuh mereka tegang namun wajah mereka datar, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi ini. Zane, pemimpin mereka yang tak kenal ampun, berjalan bolak-balik di hadapan mereka dengan langkah berat, tatapan matanya dingin menembus barisan, meneliti setiap wajah. Keheningan yang menakutkan memenuhi udara. Mereka tahu apa yang akan datang.

Zane berhenti tiba-tiba, lalu dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan pistol dari sarung di pinggangnya. 

"Siapa pun berdiri. Jadilah sasaran." suaranya begitu tenang namun menggema, memecah keheningan.

Tidak ada satu pun yang bergerak. Zane, merasakan kemarahan yang membakar dalam dirinya. Ia sangat lelah, melewati satu hari saja seperti neraka.

"Kalian prajurit pengecut! Tak tahu malu!" teriaknya, suaranya bagaikan petir di langit cerah. 

"Tidak ada yang berani?" suaranya rendah. Marah melihat ketidakberanian mereka, Zane mengangkat suaranya lagi. 

"Apakah kalian semua ingin mati dalam ketakutan?!" Suaranya menggema, membuat semua orang merinding.

"Siap, tidak. Tuan!"

"Di medan perang, hanya keberanian yang akan membawa kita hidup. Apa kalian ingin mati di tempat tanpa berjuang?!"

"SIAP TIDAK TUAN!"

Akhirnya salah satu prajurit mengangkat tangannya, wajahnya pucat, maju dengan ragu. Zane mengangkat alis, memperhatikan sikapnya dengan tajam.

"Bagus," katanya, senyumnya tidak menjangkau matanya. Zane mengarahkan laras ke arah prajurit yang berdiri kaku. 

Suara pelatuk berbunyi, mengisi udara dengan ketegangan yang bisa dipotong dengan pisau.

DUARRRRR

DUARRRRR

DUARRRRRRR

Setiap peluru meleset dengan tepat, menimbulkan suara dentuman yang memekakkan telinga. 

Melihat prajurit tersebut berdiri tanpa cedera, Zane merasa sangat puas.

Di saat ia menembak peluru terakhir, seolah waktu berhenti. Dalam keheningan yang menyakitkan, Zane menatap kosong ke depan, menyadari bahwa ia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ia perjuangkan.

Segalanya terasa hampa, dan dengan satu langkah mundur, ia merasakan sesuatu dalam dirinya pecah. 

Tiba-tiba kegelapan menyelimutinya, dan seseorang memanggil namanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status