Di sebuah ruang pertemuan yang megah dan gelap, seorang anak berlutut di hadapan ayahnya. "Kau memanggilku?" tanyanya, meski anak itu sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan bersama ayahnya.
Momen ini selalu menandakan masalah besar, atau lebih buruk—rencana licik yang melibatkan dirinya. "Waktunya sudah tiba. Kau harus menikahi Elara, putri Dewan Menteri. Aliansi ini akan memperkuat kekuasaan kita dan menjaga dominasi keluarga Thorn." Zane Alexander Thorn mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak perasaan yang membakar di dadanya. “Aku tidak akan melakukannya,” jawabnya tegas, suaranya tenang namun penuh tekad. The Dominion berdiri megah di atas perbukitan, menjulang sebagai simbol kekuasaan dan kendali di tengah kekacauan dunia luar. Dinding dan pintunya terbuat dari batu dengan teknologi tinggi. Gerbangnya tidak dapat ditembus, dan dijaga oleh pasukan bersenjata dengan armor canggih. Markas ini berada di bawah kekuasaan Marcus Thorn, Panglima Tertinggi yang memerintah dengan tangan besi. Marcus mengontrol setiap aspek kehidupan rakyatnya, termasuk keputusan pernikahan politik untuk putranya, Zane Thorn. Marcus mengangkat alis, terlihat terkejut dengan penolakan itu. “Ini bukan permintaan, Zane. Ini perintah. Sebagai penerusku, kau harus melakukan apa yang diperlukan untuk kekuatan Dominion.” Ya, disanalah, pria yang mengajarinya segala sesuatu tentang perang dan kekuasaan, menatapnya dari ujung meja panjang itu. Mata sang Panglima Tertinggi menyipit, penuh dengan harapan dingin dan rencana yang sudah ia atur sejak lama. Zane berdiri di ruang konferensi besar, mengenakan seragam Phantom Vanguard, pasukan elit yang ia pimpin. Wajahnya keras, matanya penuh bayangan kelam dari bertahun-tahun pertempuran. Tidak ada satu pun emosi yang terlihat di balik matanya yang tajam, kecuali amarah yang tersembunyi di balik ketenangan luar biasa. Zane menatap langsung ke mata ayahnya, tak gentar sedikit pun. “Aku sudah menjalani hidupku sesuai perintahmu, memerangi musuh-musuhmu, membalas dendam atas kematian yang kau anggap penting. Tapi pernikahan ini?” Zane berhenti sejenak, mengambil napas panjang. “Aku bersumpah, aku tidak akan menikahi siapapun kecuali orang yang aku cintai.” Marcus berdiri dari kursinya, dia tertawa. Tertawa kecil bahagia, seperti ratusan lonceng, menular sekaligus menakutkan. Namun, wajahnya dengan cepat berubah gelap. “Cinta?” ejeknya. “Cinta adalah kelemahan, Zane. Tidak ada tempat untuk itu di dunia ini. Kau akan mematuhi, atau kau akan hancur.” Zane mengepalkan tinjunya, merasakan kemarahan yang mendidih di dadanya. Hanya untuk kali ini, Zane menolak dikendalikan. Marcus tertawa lagi. Kali ini sangat keras. "Ya ampun." Dia tersenyum, cerah, hangat dan sangat tulus. Lalu menggelengkan kepalanya. "Lihatlah dirimu," katanya berteriak sambil menyeringai. "Kau seorang pembunuh yang sempurna.. Kau tidak butuh cinta, Zane—kau butuh kekuasaan. Dan pernikahan ini adalah jalan menuju kekuasaan yang lebih besar.” “Aku tidak akan tunduk pada perintah ini,” tegas Zane. “Jika kau ingin menikahkan Elara, carilah orang lain. Aku punya takdir sendiri.” Marcus menatap putranya dengan dingin, seolah-olah dia melihat seorang pemberontak, bukan darah dagingnya. “Jika kau menolak, maka kau akan melawan lebih dari sekadar musuh di luar sana. Kau akan melawan aku.” Zane merasa udara di dalam ruangan menjadi berat, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulut Marcus adalah batu yang menghempaskannya ke dasar laut. Dia tahu bahwa penolakan ini bukan hanya sebuah pernyataan; itu adalah deklarasi perang terhadap ayahnya. “Aku tidak akan menjadi alatmu lagi,” kata Zane, suaranya tegas dan tak terbantahkan. Dia berbalik, bersiap meninggalkan ruangan, tetapi Marcus memanggilnya dengan nada yang penuh ancaman. “Kau kira kau bisa melarikan diri dari tanggung jawabmu? Setiap langkah yang kau ambil, setiap pertempuran yang kau menangkan, semuanya untukku. Kau tidak akan pernah bisa membebaskan diri dari bayang-bayangku.” Zane berhenti sejenak, menyentuh pintu kayu yang berat sebelum berbalik. “Mungkin, tapi aku akan berjuang untuk menjadi diriku sendiri. Dan jika itu berarti menentangmu, maka aku akan melakukannya.” Zane melangkah keluar, meninggalkan ruang konferensi. Meninggalkan Marcus yang masih berdiri dengan ekspresi marah dan terkejut. Dia bisa merasakan tatapan ayahnya membakar punggungnya, tetapi dia tidak peduli. Di luar, seseorang sudah berdiri menunggunya. Seseorang yang sangat disukai Zane. “Mari, Tuan..” Zane mengangguk singkat dan berkata. "Mantel ku, Reed." Reed menunduk, tidak berani menatap atasannya alih-alih memberikan mantelnya. Kemudian ia mengikuti Zane dari belakang. Saat tiba di ruang kerjanya, kepala Zane merasa berat. Ia mengusap tengkuknya yang kaku, beban yang tak tertahankan mendorongnya untuk mencari jalan keluar. Pikirannya pun berputar, lumayan lama, dan tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. "Siapkan kendaraan." "Tapi.. Tuan," Reed terlihat panik, hendak mengutarakan sesuatu. "Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang, pergi!" "B...baik," katanya ragu-ragu. Reed segera melemparkan hormatnya kemudian melesat pergi. Hari ini juga Zane memutuskan untuk kembali ke pangkalan militernya. Ia tidak akan membiarkan tubuhnya tidur dibawah atap terkutuk ini. Tidak sebelum ayahnya menangkapnya, mengurungnya dan memberikan siksaan tanpa ampun. Zane berdiri dari kursi, menatap prajurit-prajurit yang masih tegang. Begitu mereka melangkah keluar, Zane memutuskan untuk mengambil jalur belakang markas, menghindari jalan utama di mana pengawal ayahnya mungkin berkumpul. Dia bergerak cepat, berusaha menyembunyikan diri di balik bayangan dan sudut-sudut gelap bangunan. Jantungnya berdegup kencang saat dia berlari, membayangkan wajah marah Marcus ketika dia tahu anaknya telah melarikan diri. Zane menekan pikirannya tentang konsekuensi, hanya fokus pada satu tujuan: keluar. Sesampainya di pintu belakang, Zane mengintip sekeliling. Tidak ada tanda-tanda pengawal, tapi dia tahu waktu tidak berpihak padanya. Dia melangkah keluar, berlari menyusuri koridor yang sepi. Begitu dia mencapai gerbang keluar, Zane merasakan getaran dalam dirinya, gelombang otoritas yang tak terhindarkan muncul. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, seolah-olah para prajurit yang menjaga gerbang dapat merasakan kehadirannya. “Jangan berhenti,” bisiknya pada dirinya sendiri. Dengan sekali langkah, dia berteriak, “Kau semua akan menghormati keputusanku! Beri aku jalan!” Seketika, para prajurit yang mengawasi gerbang menundukkan kepala, terpaksa mengikuti perintah yang datang begitu kuat. Mereka terdiam, terperangkap antara rasa hormat dan kebencian. Mengutuk diri mereka sendiri, karena setelah ini akan dihabisi oleh Marcus karena tak becus menangkap Zane. Zane berlari secepat mungkin, melewati batas markas. Lalu saat ia sampai di pintu belakang, Zane melihat Reed yang sudah menunggu di dekat kendaraan. Wajahnya memancarkan kelegaan. “Tuan!” seru Reed, menyambut Zane dengan penuh rasa hormat. “Kita harus pergi sebelum mereka kembali menghadangmu." Zane melangkah ke kendaraan, sambil mendengar bisikan prajurit di belakangnya. Reed membuka pintu, dan Zane melangkah masuk dengan cepat, memeriksa sekelilingnya, memastikan tidak ada ancaman. “Sekarang!” Zane memerintah, dan Reed segera menginjak gas. Kendaraan melaju, meninggalkan markas dengan beberapa pengawal yang mengejarnya. Dari dalam mobil, Zane bisa mendengar prajurit-prajurit itu mengumpat. Sesampainya di pangkalan militer miliknya, Zane disambut oleh prajurit-prajuritnya yang sudah berbaris rapi. Tubuh mereka tegang namun wajah mereka datar, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi ini. Zane, pemimpin mereka yang tak kenal ampun, berjalan bolak-balik di hadapan mereka dengan langkah berat, tatapan matanya dingin menembus barisan, meneliti setiap wajah. Keheningan yang menakutkan memenuhi udara. Mereka tahu apa yang akan datang. Zane berhenti tiba-tiba, lalu dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan pistol dari sarung di pinggangnya. "Siapa pun berdiri. Jadilah sasaran." suaranya begitu tenang namun menggema, memecah keheningan. Tidak ada satu pun yang bergerak. Zane, merasakan kemarahan yang membakar dalam dirinya. Ia sangat lelah, melewati satu hari saja seperti neraka. "Kalian prajurit pengecut! Tak tahu malu!" teriaknya, suaranya bagaikan petir di langit cerah. "Tidak ada yang berani?" suaranya rendah. Marah melihat ketidakberanian mereka, Zane mengangkat suaranya lagi. "Apakah kalian semua ingin mati dalam ketakutan?!" Suaranya menggema, membuat semua orang merinding. "Siap, tidak. Tuan!" "Di medan perang, hanya keberanian yang akan membawa kita hidup. Apa kalian ingin mati di tempat tanpa berjuang?!" "SIAP TIDAK TUAN!" Akhirnya salah satu prajurit mengangkat tangannya, wajahnya pucat, maju dengan ragu. Zane mengangkat alis, memperhatikan sikapnya dengan tajam. "Bagus," katanya, senyumnya tidak menjangkau matanya. Zane mengarahkan laras ke arah prajurit yang berdiri kaku. Suara pelatuk berbunyi, mengisi udara dengan ketegangan yang bisa dipotong dengan pisau. DUARRRRR DUARRRRR DUARRRRRRR Setiap peluru meleset dengan tepat, menimbulkan suara dentuman yang memekakkan telinga. Melihat prajurit tersebut berdiri tanpa cedera, Zane merasa sangat puas. Di saat ia menembak peluru terakhir, seolah waktu berhenti. Dalam keheningan yang menyakitkan, Zane menatap kosong ke depan, menyadari bahwa ia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ia perjuangkan. Segalanya terasa hampa, dan dengan satu langkah mundur, ia merasakan sesuatu dalam dirinya pecah. Tiba-tiba kegelapan menyelimutinya, dan seseorang memanggil namanya.Zane terbangun dengan perasaan berat di kepalanya. Suara yang memanggilnya semakin jelas, dan saat ia membuka matanya, ia melihat wajah khawatir Reed yang terlihat sangat cemas. "Tuan, bangunlah!" ucap Reed dengan nada panik.Pemandangan di sekelilingnya tampak samar, cahaya putih terang membuatnya sedikit silau. Dia berusaha duduk, namun rasanya tubuhnya sangat lemah. Zane mencoba mengingat peristiwa yang membawa dirinya ke titik ini, tetapi pikirannya masih kabur. Ia merasa terjebak dalam kekosongan, dan pertanyaan besar menggantung di benaknya. “Apa yang terjadi?”Reed menarik napas dalam-dalam, terlihat lega saat mendengar suara Zane. “Anda pingsan, Tuan. Ini pertama kalinya dalam 19 tahun hidupmu. Mereka membawamu ke sini untuk perawatan.”Zane berusaha untuk duduk, melihat para prajurit yang mondar-mandir diluar, menunggu panggilan.“Aku tahu aku pingsan, Reed." katanya, dengan nada lembut sedikit ditekan. "Aku tidak amnesia.” Seketika kebisingan pun menghilang. Semua praju
"Kau masih hidup ternyata," kata Zane sambil menjatuhkan senjatanya. Ia menyilangkan tangan di dadanya, suaranya dingin namun ada kehangatan samar di baliknya. Itu adalah sahabatnya, Kai. Yang tampak lebih ceria dari yang Zane ingat. Meskipun aura liciknya tak pernah hilang, dia selalu berhasil dengan ide-idenya yang brilian. Kai menyeringai lebar. Ia berjalan mendekati Zane sambil tangan terangkat keatas. “Sial, Zane! Kalian benar-benar ketinggalan berita. Aku baru saja menghabiskan waktu di tempat yang lebih menarik daripada markas kakekmu itu. Sungguh, suasananya membosankan!”Reed menodongkan pistolnya ke arah kepala Kai. "Maaf, Tuan. Dia adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Apa kau mengenalnya?"“Singkirkan tanganmu sekarang, Reed,” potong Zane, tanpa meninggalkan ruang untuk penolakan.Kai hanya menyeringai lebar, mata hitamnya berkilau nakal. "Oh, aku hanya ingin memastikan kau masih ingat bagaimana caranya menghindar dari ledakan tank."Zane mendengus, tidak bis
Ketika langkah kaki di luar semakin dekat, Kai bersiul pelan, matanya bersinar licik. Zane mengarahkan pandangannya ke pintu yang terbuka, tapi sebelum siapa pun masuk, Kai bergumam pelan, “Kau akan suka ideku yang satu ini, percayalah.”Reed muncul dari balik pintu, menghentikan percakapan mereka. Dia tampak agak ragu, seperti menilai situasi sebelum berbicara."Tuan, ada laporan penting yang perlu segera Anda lihat," kata Reed dengan sikap tegas, matanya sesekali melirik ke arah Kai, yang masih tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa.Zane berdiri, wajahnya berubah dingin dan serius dalam sekejap. "Lagi? Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar penuh kejengkelan. Ia lalu menatap Kai sejenak sebelum memberi tanda kepada Reed untuk keluar lagi.Kai, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan senyum setengah mengejek, tiba-tiba menyela. "Tentu saja, lagi. Tampaknya selalu ada 'sesuatu yang aneh' terjadi setiap kali kau mencoba mandi, Zane," katanya dengan nada bercanda, mesk
"Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan.Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya."Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK..Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. De
Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan
Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Kai terseret, terpincang-pincang, dengan desahan kesakitan setiap kali Zane menariknya terlalu keras. “Kawan, aku tahu aku brengsek, tapi kau tidak harus membuktikan itu pada setiap langkahku!” Zane mengabaikannya, membanting Kai ke kursi dan membuka kotak pertolongan pertama yang ia bawa. Kotak itu terlihat usang tapi lengkap, isinya rapi—tanda bahwa Zane selalu siap. “Dari mana kau dapat semua itu?” Kai meringis saat Zane mulai memotong kain yang melilit luka di lengannya. Zane tidak langsung menjawab, tangannya tetap mantap saat ia menarik peluru kecil yang bersarang di bahu Kai. Kai menjerit seperti anak kecil, tubuhnya menegang. “Berhenti berteriak. Kau membuat pekerjaanku lebih sulit,” Zane mengomel, tanpa melihat wajah Kai. “Berhenti berteriak?! Ada peluru keluar dari tubuhku, bro! Kau sadar itu sakit, kan?” Zane berhenti sejenak, menatap Kai dengan tajam sebelum melanjutkan pekerjaannya. “Aku belajar menjahit luka sendiri sejak umur sepuluh tahun,” katanya datar.
Zane bersembunyi di ruang penyimpanan senjata di salah satu bagian paling terpencil dari markas The Dominion. Meski jarang menginjakkan kaki di tempat ini, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat setiap lorong dan sudut yang pernah dilaluinya. Di ruangan sempit yang remang-remang itu, bau logam dan pelumas memenuhi udara. Zane menatap tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai dingin dengan lubang peluru tepat di jantungnya. Seharusnya pria itu sudah mati—tidak ada yang bisa bertahan setelah tembakan seperti itu. Namun, tugasnya belum selesai. Putri Aldrich, Elara, masih menjadi target berikutnya. Reed berdiri kaku di pintu, tatapannya terfokus pada tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya rendah dan hati-hati. “Tuan,” panggilnya, dengan penuh penghormatan. Reed terlihat gelisah. “Izinkan saya bertanya… apa yang akan selanjutnya Tuan lakukan?” Zane, yang sedang mengisi ulang peluru di pistolnya, melirik sekilas tanpa me
.... Zane berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh kebencian. Setengah berpakaian, tubuhnya masih dibalut celana seragam militer hitam dan kemeja putih yang belum terkancing. Ia merapikan kerahnya, pikirannya jauh melayang pada hari esok yang akan mengubah segalanya. Pernikahan yang dirancang oleh Marcus, ayahnya, adalah perangkap—tali pengikat yang akan membunuh sisa-sisa kebebasannya. Ketukan pelan di pintu menghentikan gerakannya. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka, dan Scarlett melangkah masuk. Mata Zane menyipit, napasnya tercekat. "Scarlett?" gadis yang seharusnya tidak berada di sini, berdiri di ambang pintu. “Apa yang kau lakukan di sini?” Scarlett menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan, matanya seperti kobaran api. Rambutnya yang panjang tergerai, berkilau di bawah cahaya redup ruangan. "Aku merindukanmu." katanya. Nadanya manja tetapi mengandung luka. Scarlett lalu menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke arah Zan
Zane menyeringai, bibirnya melengkung ke atas dengan kepercayaan diri yang mematikan. "Sebenarnya," katanya lembut namun penuh kemenangan. "Kami sudah tahu." Liam terdiam, ekspresinya berubah waspada saat Zane membalikkan badan dengan santai. Dengan gerakan yang mulus, Zane mengenakan kembali jasnya, merapikan lipatannya dengan ketelitian seorang pria yang tak terburu-buru. Langkahnya tegas saat ia mulai berjalan menjauh. "Pastikan orang-orang di sayap medis merawat Kai," katanya ke arah salah satu bawahannya tanpa melihat ke belakang. Liam mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan dorongan untuk menyerang, sebelum akhirnya berteriak, "Aku tahu! Aku tahu kau punya kekuatan supranatural juga. Kau bisa melihat emosi setiap orang, kan? Itu sebabnya kau selalu tahu apa yang kupikirkan!" Zane berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, hanya berdiri diam beberapa detik, menciptakan ketegangan yang menggantung di
Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap
"TAPI AKU TIDAK AKAN MUNDUR..""Tidak sekarang..."Kemudian suara dentuman keras mengguncang tanah dan membuat makhluk-makhluk kabut itu terhuyung... Ketika tank utama, yang dikendarai oleh Zane, Tank 007, dengan bendera hitam berlambang tengkorak dan pedang bersilang yang berkibar di sampingnya. Tank itu menembakkan pelurunya ke arah kumpulan Nyxian yang mendekat.BAMM..!BAMM..!BAMMMM..!Ledakan demi ledakan menghancurkan keheningan, meriam tank berputar perlahan, presisi dan penuh perhitungan. Di dalam kabin, mekanisme meriam terdengar menggeram.Raut wajah Zane menggelap, mata abu-abunya berubah menjadi dingin mematikan. Ia berubah menjadi pemburu. Pemburu mangsa dengan cuaca buruk yang tak terbendung.Setiap gerakan di layar ia pantau dengan ketelitian luar biasa, hingga urat nadinya menonjol, berdenyut seiring dorongan adrenalin yang meningkat. Jemarinya siap menekan tombol tembak, menghitung waktu yang tepat seiring alunan musik tempur yang hanya ia dengar di kepalanya. Ada
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett