Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur
Zane melangkah menembus lapisan prajurit yang sedang bekerja. Dia mengangkat tangan pada tentara yang bergegas maju saat dia membuka pintu. Hari ini waktunya pelaporan. Zane lalu duduk di kursi besar di ujung meja. Reed berhenti disampingnya. Zane melihat jari-jarinya mendorong tabung berisi cairan berwarna cerah. Zane menggelengkan kepala, "Menurutku," katanya, dengan lebih lembut. "Kau tak perlu menyajikan hal-hal yang tidak perlu." "Tentu saja, Tuan." Reed balas lebih seperti berbisik. Namun, Reed tak bisa menahan diri. Dia melihat betapa tidak terjaganya atasannya itu, bagaimana lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. “Tapi, Jenderal, ini bisa membantu—” “Tinggalkan suplemennya,” Zane memotong, suaranya lebih tegas. Reed menghela napas panjang. “Tetapi hanya jika Anda berubah pikiran…” suaranya pelan dan penuh harap. Zane pun mengangguk. "Panggil mereka." "Baik, Tuan." Tugasnya adalah memimpin. Namun, sejak Scarlett datang, Zane tidak bisa fokus dan jarang ti
Reed sudah berdiri menunggu, diam seperti biasanya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengikuti Zane dengan langkah yang cepat namun teratur. Dua langkah untuk setiap langkah panjang Jenderal. Reed dapat merasakan amarah yang membara di dalam Zane—tanda pasti dari kerutan yang dalam di keningnya, serta keheningan yang lebih berat dari biasanya.Zane menatap lurus ke depan, pikirannya berputar tajam. Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri. Ketika pintu tertutup di belakangnya, suasana di dalam ruangan itu langsung berubah. Dewan Menteri Aldrich.. pria berumur dengan rambut perak dan penampilan berwibawa, tersenyum lebar, sedangkan Sersan Elara, wanita muda yang berdiri di sampingnya, mengamati Zane dengan perhatian.Zane menghormati mereka dengan anggun. "Menteri Aldrich," ucapnya. Tegas dan penuh rasa hormat. Aldrich mengangguk pelan, matanya menyelidik, memandang Zane dengan sorot yang penuh perhitungan. "Jenderal Zane, senang akhirnya bisa berb
BRAKKKK Zane membanting gagang interkom dengan kesal, suara kerasnya menggema di ruangan yang tenang. Dengan gerakan cepat, ia memutar kursinya dan menghadap Reed, yang berdiri kaku di depan meja. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, kepalanya sedikit menunduk, menghindari tatapan langsung Zane.Aldrich dan Marcus tahu sesuatu tentang Scarlett, dan sekarang dia mengirim Elara ke markasnya. Ini bukan sekadar perjodohan politik. Ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik semua ini, dan Zane bertekad untuk mengungkap kebenarannya... dengan caranya sendiri.Reed mencuri pandang sekilas ke Zane, melihat atasannya menyisir rambutnya dengan jari, pertanda jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk. Reed mencoba membuka mulut untuk memulai percakapan, tapi Zane memotongnya dengan tajam.“Lupakan basa-basi. Ceritakan tentang Aldrich,” perintah Zane, suaranya dingin dan tegas, tatapannya menusuk Reed.Reed menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. "Aldrich mulai bergerak lagi,
"HOOOOAAAAMMM..."Kai menguap lebar, membuka pintu kamarnya dengan rambut berantakan, mengenakan celana training lusuh dan kaos oblong. Matanya setengah terpejam."Eh, hai, Zane..!!" katanya, membersihkan suara serak dari tenggorokannya. "Apa yang terjadi? Maaf... Ayo.. silakan masuk."Zane menatap Kai seperti baru saja melihat makhluk astral. Zane, yang selalu tampil rapi dan energik seperti layaknya seorang jenderal, tak bisa menyembunyikan kekagetannya melihat Kai yang baru bangun tidur di pukul tujuh pagi."Apakah kamu baru bangun?" tanya Zane sambil melirik penampilan Kai yang serampangan. "Semua orang di sayap ini bangun jam tujuh pagi. Kamu tak perlu terlihat begitu kecewa, Jenderal."Zane melirik ke dalam kamar Kai, sekilas melihat kekacauan di dalam—pakaian berserakan di kursi, cangkir kopi yang tak selesai di meja, dan kasur yang tak tersentuh rapi."Kai," Zane memulai dengan nada tenang namun tajam, "Jika aku menganggap standar biasa-biasa saja orang lain sebagai ukuran