BRAKKKK Zane membanting gagang interkom dengan kesal, suara kerasnya menggema di ruangan yang tenang. Dengan gerakan cepat, ia memutar kursinya dan menghadap Reed, yang berdiri kaku di depan meja. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, kepalanya sedikit menunduk, menghindari tatapan langsung Zane.Aldrich dan Marcus tahu sesuatu tentang Scarlett, dan sekarang dia mengirim Elara ke markasnya. Ini bukan sekadar perjodohan politik. Ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik semua ini, dan Zane bertekad untuk mengungkap kebenarannya... dengan caranya sendiri.Reed mencuri pandang sekilas ke Zane, melihat atasannya menyisir rambutnya dengan jari, pertanda jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk. Reed mencoba membuka mulut untuk memulai percakapan, tapi Zane memotongnya dengan tajam.“Lupakan basa-basi. Ceritakan tentang Aldrich,” perintah Zane, suaranya dingin dan tegas, tatapannya menusuk Reed.Reed menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. "Aldrich mulai bergerak lagi,
"HOOOOAAAAMMM..."Kai menguap lebar, membuka pintu kamarnya dengan rambut berantakan, mengenakan celana training lusuh dan kaos oblong. Matanya setengah terpejam."Eh, hai, Zane..!!" katanya, membersihkan suara serak dari tenggorokannya. "Apa yang terjadi? Maaf... Ayo.. silakan masuk."Zane menatap Kai seperti baru saja melihat makhluk astral. Zane, yang selalu tampil rapi dan energik seperti layaknya seorang jenderal, tak bisa menyembunyikan kekagetannya melihat Kai yang baru bangun tidur di pukul tujuh pagi."Apakah kamu baru bangun?" tanya Zane sambil melirik penampilan Kai yang serampangan. "Semua orang di sayap ini bangun jam tujuh pagi. Kamu tak perlu terlihat begitu kecewa, Jenderal."Zane melirik ke dalam kamar Kai, sekilas melihat kekacauan di dalam—pakaian berserakan di kursi, cangkir kopi yang tak selesai di meja, dan kasur yang tak tersentuh rapi."Kai," Zane memulai dengan nada tenang namun tajam, "Jika aku menganggap standar biasa-biasa saja orang lain sebagai ukuran
Keheningan menggantung di antara mereka, tegang dan penuh dengan sesuatu yang tidak terucap. Scarlett hanya bisa menatapnya, tidak tahu harus merespons bagaimana, sementara Zane akhirnya melepaskan diri dari posisi dominannya, membiarkan Scarlett bernapas lega meski hatinya masih berdebar kencang.Zane perlahan menurunkan tubuh Scarlett dari cengkeramannya. Suara napas mereka masih terasa berat, seolah udara di ruangan itu menekan mereka. Zane berdeham, mencoba menguasai dirinya kembali.Zane melangkah mundur, lalu menoleh sejenak ke arah meja. Tangannya gemetar halus, namun ia berhasil menyembunyikannya. “Aku tahu kau membenciku... dan jujur saja, aku menganggapmu ancaman sampai saat ini. Kita belum selesai.”“Kau harus menganggapku ancaman,” Scarlett menyela, nadanya penuh sarkasme. “Karena memang itulah aku. Kau mungkin berhasil menahan tubuhku, tapi bukan pikiranku. Aku akan membalaskan dendamku.”“Oh, benarkah?” Zane menaikkan alis, tertarik. “Dendam apakah itu Sayang?”Scar
Cahaya dari lampu gantung yang berkilauan membentuk bayangan samar di sudut-sudut ruangan. Scarlett masih duduk di ranjang, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong yang tak pernah benar-benar menatapnya. Tubuh Zane menegang. Ia mendekati Scarlett perlahan. Hembusan napasnya berat, udara di sekitarnya seakan lebih tebal, setiap gerakan terasa sulit. Matanya melirik tubuh Scarlett, rambutnya yang kusut jatuh di wajahnya, bibirnya yang terlihat pucat. Ada aroma samar dari tubuhnya, campuran rasa getir dan wangi yang membuat Zane sedikit menahan napas. Dengan satu gerakan, Zane mencondongkan tubuhnya ke arah Scarlett. Ia mengendus tubuh gadis itu tanpa disadari, napasnya makin berat. Scarlett tersentak, matanya melotot dan tubuhnya menegang. "Kau bau," katanya. Scarlett sibuk memikirkan cara untuk kabur sejak kemarin, tidak ada waktu memikirkan mandi. Scarlett segera mundur, punggungnya menyentuh kaki tempat tidur saat Zane terus mendekat, senyum tipis terukir di b
Scarlett mengumpulkan energi di ujung jari-jarinya saat cahaya ultraviolet mulai bersinar, menghangatkan udara di sekitarnya.Tapi tiba-tiba, tawa yang menggema di tengah keheningan mengejutkan mereka. Kai muncul, berjalan dengan penuh percaya diri dalam seragam lengkap, berbeda jauh dari penampilannya yang berantakan saat bertemu Zane pagi tadi. Senyumnya lebar, seolah dunia berada dalam kendalinya.“Wah, Zane! Sialan! Kau memanggilku kemari hanya untuk melihat kau mencium seorang gadis?” Kai bertepuk tangan, wajahnya ceria saat mendekat dan berkacak pinggang, bersikap seperti tidak ada yang bisa menghentikannya.Zane menatapnya dengan tatapan membunuh, aura dinginnya semakin terasa. “Persetan."Tawa Kai semakin keras saat ia mendekat, langkahnya santai dan penuh percaya diri. Wajah Scarlett memerah, gelisah dengan situasi yang baru saja muncul."Keluar dari sini, atau aku tidak segan-segan untuk membunuhmu," ancam Zane, nadanya tajam."Ah, jangan begitu. Momen seperti ini jaran
Ruang kontrol Kai selalu terasa dingin, seperti sang pemilik yang duduk dengan santai di kursinya, memutar pena kecil di antara jari-jarinya. Di hadapannya, Zane berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Wajahnya tegas, matanya terfokus pada Scarlett yang berdiri di dekat pintu. Tidak ada banyak gerakan dari Zane—dia adalah Jenderal. Selama Kai tidak menyakiti Scarlett, dia akan tetap diam, menyaksikan.Kai memecah keheningan dengan senyum menyeringai. "Jadi, Scarlett," katanya, nada suaranya penuh ejekan."Waktu itu kau kan, yang menyebabkan aku hampir dibunuh. Karena dicurigai mengganggu waktu mandi Jenderal Zane kita yang terhormat." Kai berjalan mondar-mandir di depannya."Kurasa ledakan itu bukan hal yang sering terjadi, ya?"Scarlett mengangkat bahu, tatapannya tetap dingin. "Ledakan itu bukan kemauanku," jawabnya datar, tak sedikitpun terdengar rasa bersalah.Langkah Kai mendekatkan dirinya ke meja, ia menyandarkan dagunya di tangannya."Oh, benar begitu?" Dia menyilangkan lenga
Seluruh tubuh Zane menegang, otot-ototnya bergetar halus saat tangannya bersiaga di pistolnya sendiri. Namun, Scarlett sudah mendahuluinya, senjata Kai kini berada kokoh dalam genggamannya, tanpa sedikit pun keraguan atau ketakutan di matanya. Zane bukan satu-satunya yang terpaku menatapnya. Kai berkata tenang, mendesah sambil bersiul pelan, "Wow, kau cepat juga." Teman lamanya itu mengendurkan tubuh, lalu merosot santai ke kursi terdekat, tanpa pernah mengalihkan pandangannya dari Scarlett. Ada kilatan tantangan dalam mata Scarlett saat dia memutar senjata di jarinya dengan mudah. Ujung larasnya tertangkap antara jemarinya yang ramping sebelum dia dengan tenang mengembalikan senjata itu kepada Kai—gagang terlebih dahulu, tanpa sepatah kata pun. Gerakannya begitu anggun dan percaya diri, membuktikan bahwa dia bukan pemula. Zane mengamati dengan penuh curiga. Ada firasat kuat yang muncul saat pertama kali dia menemukannya di hutan, dan kini semakin jelas bahwa gadis ini
Di dalam mobil dinas yang menderu, Zane menatap kertas di tangannya, lalu membacakan isi dokumen dengan suara pelan. “Scarlett Eve Celestia.” Namanya meluncur dari bibirnya, mengingatkannya pada sosok manis yang menghuni pikirannya. Gadis yang begitu berani di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia mereka. Kai sudah setuju untuk penyerahan Scarlett ke tim pelatihannya. Hari ini adalah hari pertama gadis itu. Sayang sekali Zane tidak bisa menyaksikan secara langsung bagaimana dia bersinar sebagai salah satu tentaranya. Ia membayangkan Scarlett, tubuh mungilnya dibalut seragam militer yang ketat dan anggun, dengan pelindung tubuh yang terpasang di sana-sini. Wajahnya yang berani dan penuh semangat tidak pernah menunjukkan rasa takut, bahkan saat menghadapi tantangan terberat sekalipun. Mata birunya berkilau penuh tekad, seolah ia siap menaklukkan dunia. Zane tak sadar sedikit tersenyum saat membayangkan bagaimana Scarlett akan bergerak, lincah dan penuh percaya diri, menant