Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap
Zane menyeringai, bibirnya melengkung ke atas dengan kepercayaan diri yang mematikan. "Sebenarnya," katanya lembut namun penuh kemenangan. "Aku sudah tahu." Liam terdiam, ekspresinya berubah waspada saat Zane membalikkan badan dengan santai. Dengan gerakan yang mulus, Zane mengenakan kembali jasnya, merapikan lipatannya dengan ketelitian seorang pria yang tak terburu-buru. Langkahnya tegas saat ia mulai berjalan menjauh. "Pastikan orang-orang di sayap medis merawat Kai," katanya ke arah salah satu bawahannya tanpa melihat ke belakang. Liam mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan dorongan untuk menyerang, sebelum akhirnya berteriak, "Aku tahu! Aku tahu kau punya kekuatan supranatural juga. Kau bisa melihat emosi setiap orang, kan? Itu sebabnya kau selalu tahu apa yang kupikirkan!" Zane berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, hanya berdiri diam beberapa detik, menciptakan ketegangan yang menggantung di udara
Di sebuah ruang pertemuan yang megah dan gelap, seorang anak berlutut di hadapan ayahnya. "Kau memanggilku?" tanyanya, meski anak itu sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan bersama ayahnya.Momen ini selalu menandakan masalah besar, atau lebih buruk—rencana licik yang melibatkan dirinya."Waktunya sudah tiba. Kau harus menikahi Elara, putri Dewan Menteri. Aliansi ini akan memperkuat kekuasaan kita dan menjaga dominasi keluarga Thorn."Zane Alexander Thorn mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, menahan gejolak perasaan yang membakar di dadanya. “Aku tidak akan melakukannya,” jawabnya tegas, suaranya tenang namun penuh tekad.The Dominion berdiri megah di atas perbukitan, menjulang sebagai simbol kekuasaan dan kendali di tengah kekacauan dunia luar. Dinding dan pintunya terbuat dari batu dengan teknologi tinggi. Gerbangnya tidak dapat ditembus, dan dijaga oleh pasukan bersenjata dengan armor canggih. Markas ini berada di bawah kekuasaan Marcus Thorn, Panglima Tertinggi yang meme
Zane terbangun dengan perasaan berat di kepalanya. Suara yang memanggilnya semakin jelas, dan saat ia membuka matanya, ia melihat wajah khawatir Reed yang terlihat sangat cemas. "Tuan, bangunlah!" ucap Reed dengan nada panik.Pemandangan di sekelilingnya tampak samar, cahaya putih terang membuatnya sedikit silau. Dia berusaha duduk, namun rasanya tubuhnya sangat lemah. Zane mencoba mengingat peristiwa yang membawa dirinya ke titik ini, tetapi pikirannya masih kabur. Ia merasa terjebak dalam kekosongan, dan pertanyaan besar menggantung di benaknya. “Apa yang terjadi?”Reed menarik napas dalam-dalam, terlihat lega saat mendengar suara Zane. “Anda pingsan, Tuan. Ini pertama kalinya dalam 19 tahun hidupmu. Mereka membawamu ke sini untuk perawatan.”Zane berusaha untuk duduk, melihat para prajurit yang mondar-mandir diluar, menunggu panggilan.“Aku tahu aku pingsan, Reed." katanya, dengan nada lembut sedikit ditekan. "Aku tidak amnesia.” Seketika kebisingan pun menghilang. Semua praju
"Kau masih hidup ternyata," kata Zane sambil menjatuhkan senjatanya. Ia menyilangkan tangan di dadanya, suaranya dingin namun ada kehangatan samar di baliknya. Itu adalah sahabatnya, Kai. Yang tampak lebih ceria dari yang Zane ingat. Meskipun aura liciknya tak pernah hilang, dia selalu berhasil dengan ide-idenya yang brilian. Kai menyeringai lebar. Ia berjalan mendekati Zane sambil tangan terangkat keatas. “Sial, Zane! Kalian benar-benar ketinggalan berita. Aku baru saja menghabiskan waktu di tempat yang lebih menarik daripada markas kakekmu itu. Sungguh, suasananya membosankan!”Reed menodongkan pistolnya ke arah kepala Kai. "Maaf, Tuan. Dia adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Apa kau mengenalnya?"“Singkirkan tanganmu sekarang, Reed,” potong Zane, tanpa meninggalkan ruang untuk penolakan.Kai hanya menyeringai lebar, mata hitamnya berkilau nakal. "Oh, aku hanya ingin memastikan kau masih ingat bagaimana caranya menghindar dari ledakan tank."Zane mendengus, tidak bis
Ketika langkah kaki di luar semakin dekat, Kai bersiul pelan, matanya bersinar licik. Zane mengarahkan pandangannya ke pintu yang terbuka, tapi sebelum siapa pun masuk, Kai bergumam pelan, “Kau akan suka ideku yang satu ini, percayalah.”Reed muncul dari balik pintu, menghentikan percakapan mereka. Dia tampak agak ragu, seperti menilai situasi sebelum berbicara."Tuan, ada laporan penting yang perlu segera Anda lihat," kata Reed dengan sikap tegas, matanya sesekali melirik ke arah Kai, yang masih tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa.Zane berdiri, wajahnya berubah dingin dan serius dalam sekejap. "Lagi? Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar penuh kejengkelan. Ia lalu menatap Kai sejenak sebelum memberi tanda kepada Reed untuk keluar lagi.Kai, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan senyum setengah mengejek, tiba-tiba menyela. "Tentu saja, lagi. Tampaknya selalu ada 'sesuatu yang aneh' terjadi setiap kali kau mencoba mandi, Zane," katanya dengan nada bercanda, mesk
"Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan.Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya."Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK..Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. De
Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan