Zane terbangun dengan perasaan berat di kepalanya. Suara yang memanggilnya semakin jelas, dan saat ia membuka matanya, ia melihat wajah khawatir Reed yang terlihat sangat cemas. "Tuan, bangunlah!" ucap Reed dengan nada panik.
Pemandangan di sekelilingnya tampak samar, cahaya putih terang membuatnya sedikit silau. Dia berusaha duduk, namun rasanya tubuhnya sangat lemah. Zane mencoba mengingat peristiwa yang membawa dirinya ke titik ini, tetapi pikirannya masih kabur. Ia merasa terjebak dalam kekosongan, dan pertanyaan besar menggantung di benaknya. “Apa yang terjadi?” Reed menarik napas dalam-dalam, terlihat lega saat mendengar suara Zane. “Anda pingsan, Tuan. Ini pertama kalinya dalam 19 tahun hidupmu. Mereka membawamu ke sini untuk perawatan.” Zane berusaha untuk duduk, melihat para prajurit yang mondar-mandir diluar, menunggu panggilan. “Aku tahu aku pingsan, Reed." katanya, dengan nada lembut sedikit ditekan. "Aku tidak amnesia.” Seketika kebisingan pun menghilang. Semua prajurit tutup mulut. Reed menatapnya dengan prihatin. “Tuan, bahkan, pria terkuat pun bisa terjatuh. Tapi ini mungkin lebih dari sekadar kelelahan fisik. Terkadang, tekanan emosional bisa sangat mempengaruhi tubuh.” Zane menggigit bibirnya, merasakan kepahitan dalam hatinya. Dia merasa Reed kali ini berkata benar. Zane tidak pernah merasa lemah seperti ini sebelumnya. Hanya menembakkan peluru saja bisa membuatnya pingsan? “Itu karena Anda kelelahan. Stres yang Anda alami.." Zane melihat ke atas, matanya dingin. Memberi Reed tanda untuk tidak melanjutkan kata-katanya. "...sangat berat, Tuan” jawab Reed ragu-ragu. Tangannya bergetar menyodorkan nampan yang berisi pil berbentuk oval dan segelas air kepada Zane. “Saya kira.. Anda harus meminum ini, Tuan. Dua butir dalam dua puluh empat jam.” Zane langsung meraihnya lalu memakan pil itu. Ia tidak perlu minum, bahkan langsung mengunyahnya dengan cepat. Setelah rasa sakitnya sudah sedikit hilang, Zane kembali menyenderkan kepalanya ke ranjang. Ia benci kelemahan, ia benci merasa kotor. Ia perlu membersihkan diri. “Aku tak bisa berada disini,” ujarnya, lebih pada dirinya sendiri. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. “Aku akan berada di kamarku dan menemuimu di ruang pertemuan dalam waktu empat jam." "Tapi Tuan," katanya, mata Reed tertuju padaku, "Disini medis akan membantumu. Anda juga harus memberi diri sendiri sedikit waktu untuk pulih. Ini adalah-" "Komando selesai." Dia ragu-ragu. Lalu, "Baik, Tuan." Reed membantu Zane untuk berdiri dan mengantarnya ke keluar dari ruang perawatan. Pintu terbuka, dan aroma dingin menyapa wajahnya. Zane akhirnya sampai di kamarnya yang luas dan megah. Nuansa didalamnya hitam legam, dan ada beberapa perabotan seperti meja besar dari kayu eboni berdiri di tengah, dikelilingi layar monitor dan rak buku strategi yang tampak tak tersentuh. Ranjang hitam rapi di sudut ruangan yang terasa asing, seolah tak pernah digunakan untuk beristirahat. Kamar itu sangat dingin. Mencerminkan hati pemiliknya yang kosong dan hampa, seolah-olah kebesaran jabatannya tidak mampu mengisi kehampaan yang ada dalam dirinya. Zane masuk ke kamar mandi, menyalakan shower. Ia mengusap wajah, dan menggosok lehernya, melawan kelemahan yang ia rasakan di tiap tulangnya. Mandi selalu menjadi ritual Zane, saat di mana ia merasa bisa membersihkan semua kotoran dan dosa yang mengikutinya. Saat air hangat mengalir, Zane merasakan beban di bahunya sedikit berkurang. Setiap tetes air seolah menghapus jejak-jejak kejahatan yang telah ia lakukan. Ia mengingat wajah-wajah orang yang ia bunuh, dan rasa bersalah itu membanjiri pikirannya. Zane menutup matanya, membiarkan air menutupi wajahnya, berharap bisa melupakan semua yang telah terjadi. Tetapi tiba-tiba, shower yang ia gunakan macet, dan lampu di kamarnya padam, Zane menarik napas dalam-dalam, baru saja ingin mengumpat akan tetapi.. KRINGGGGG Ia mendengar interkom berbunyi. "Demi tuhan.." Dengan kasar Zane menutup handuk di pinggangnya dan bergegas keluar, air masih menetes dari rambutnya. "Ya?" "Tuan," "Katakan padaku, kau belum memanggil teknisi untuk memperbaiki saluran air di kamarku," suaranya terdengar tegas meski baru selesai mandi. "Tuan, maaf... Kita butuh Anda sekarang," kata Reed, suaranya terdengar mendesak. Jantung Zane mulai berdegup. "Ada laporan penting. Sepertinya sesuatu baru saja terjadi." Reed selalu tahu bahwa jam-jam ini adalah jam privat untuk Zane. Semua orang disini tidak akan ada yang berani menggangu, terkecuali jika ada panggilan seperti ini. Bisa berarti sesuatu yang serius. "Aku akan segera datang," jawabnya sebelum meletakkan gagang interkom. Saat keluar dari kamar Reed ternyata sudah menjemputnya, mereka berdua bergegas menuju lokasi tim yang memberi laporan. Ternyata laporan itu berasal dari ruang intel. Reed membukakan pintu, suasana kacau langsung menyambutnya. "Apa yang terjadi... hingga aku harus mengorbankan waktu mandiku yang berharga?" Tatapan Zane menyapu seluruh ruangan. Tak bisa disembunyikan lagi jika semua orang disana langsung terpaku. Zane berkacak pinggang di depan pintu dengan ekspresinya yang begitu tenang. “Lanjutkan pekerjaan kalian! Aku hanya butuh seseorang yang bertanggung jawab disini datang padaku!” bentaknya, suaranya dalam dan tegas. Mereka kembali bekerja. Telepon berdering tiada henti, suara teriakan dan perintah saling tumpang tindih, menciptakan simfoni panik yang mengerikan. Di tengah semua itu, Dr. Asher yang sedang berdiri di depan monitor, langsung kaget dan berlari ke arahnya, wajahnya tampak sangat ketakutan. "Pak.., mohon..mohon maafkan saya!" serunya, suaranya serak. Napasnya ngos-ngosan. "Ada sinyal energi yang mengacaukan sistem kami." Zane mengangguk, matanya tajam meneliti situasi. "Kumpulkan semua data yang bisa kita dapatkan. Kita butuh informasi yang jelas." Dr. Asher mengangguk, segera memerintahkan anggota timnya untuk bekerja. Zane bisa merasakan ketegangan di udara, namun ia berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahan. Finn, salah satu anggota tim, melangkah maju. "Kami tidak tahu, Pak. Tetapi setengah jam yang lalu ledakan terdengar dari luar. Tim patroli terputus dari komunikasi." "Sistem komunikasi kami lumpuh total," lanjut Dr. Asher, nada suaranya penuh kecemasan. "Ledakan kedua terjadi lagi tidak jauh dari pangkalan, dan itu membuat semua terputus. Kami bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan tim patroli!" Seseorang menambahkan. Satu per satu, anggota tim berusaha menanggapi telepon yang terus berbunyi. Zane merasakan ketidakberdayaan mulai menjalar di dalam dirinya. "Panik bukanlah pilihan! Kita harus segera ke lokasi ledakan. Tim ini membutuhkan pemimpin, bukan ketakutan." Zane merasakan ketidakpastian mengintai. Ini sangat aneh. Dia pun memandang Reed. "Tetap di sini dan awasi komunikasi. Jika ada yang mencurigakan, laporkan segera." Reed mengangguk, sementara Zane berlari keluar dari ruangan. Setiap langkahnya penuh ketegasan, mengabaikan rasa cemas yang merayapi pikirannya. Suara sirene yang menggema. Asap hitam membubung, dan api berkobar. Terlihat lima orang prajurit membidik senjatanya dari kejauhan. Dan prajurit lainnya berusaha mengatur diri, mereka berjalan pelan menuju sumber cahaya yang misterius. "Apa yang terjadi?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Ketika Zane berusaha menstabilkan situasi, cahaya itu semakin terang di kejauhan. Tiba-tiba sebuah getaran mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Zane merasakan dorongan energi yang kuat, dan seketika, rasa was-was membanjirinya.. "Tank baja!" "Bersiaplah!" teriaknya, meskipun suara itu tenggelam dalam keributan. BAMMMMM! Ledakan kecil mengguncang tanah, dan debu menyelimuti sekeliling. Zane hampir terjatuh, berjuang untuk stabil. Ia melihat sekelebat bayangan bergerak menuju mereka dari arah cahaya. Zane mengambil langkah maju. "Siapa disana?!" teriaknya, tidak ada jawaban yang datang. Malam itu masih diselimuti ketegangan saat Zane menatap sosok yang baru saja muncul. Reed melangkah maju, siap untuk bereaksi jika sesuatu terjadi. Namun, Zane mengangkat tangannya, menghentikan mereka. Ada kilatan di matanya, tanda bahwa sosok ini bukanlah ancaman langsung—setidaknya, bukan untuk saat ini. Sosok itu mendekat, wajahnya kini terlihat jelas. Dengan rambut yang berantakan dan senyuman licik, siapakah dia? Dalam hening yang menyelimuti, rasa cemas terus menyergapnya, ia merasakan ancaman yang lebih besar semakin mendekat. Dengan perasaan terombang-ambing, Zane tahu satu hal: semua ini baru permulaan, dan ancaman yang mengintai di balik bayang-bayang belum terungkap."Kau masih hidup ternyata," kata Zane sambil menjatuhkan senjatanya. Ia menyilangkan tangan di dadanya, suaranya dingin namun ada kehangatan samar di baliknya. Itu adalah sahabatnya, Kai. Yang tampak lebih ceria dari yang Zane ingat. Meskipun aura liciknya tak pernah hilang, dia selalu berhasil dengan ide-idenya yang brilian. Kai menyeringai lebar. Ia berjalan mendekati Zane sambil tangan terangkat keatas. “Sial, Zane! Kalian benar-benar ketinggalan berita. Aku baru saja menghabiskan waktu di tempat yang lebih menarik daripada markas kakekmu itu. Sungguh, suasananya membosankan!”Reed menodongkan pistolnya ke arah kepala Kai. "Maaf, Tuan. Dia adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Apa kau mengenalnya?"“Singkirkan tanganmu sekarang, Reed,” potong Zane, tanpa meninggalkan ruang untuk penolakan.Kai hanya menyeringai lebar, mata hitamnya berkilau nakal. "Oh, aku hanya ingin memastikan kau masih ingat bagaimana caranya menghindar dari ledakan tank."Zane mendengus, tidak bis
Ketika langkah kaki di luar semakin dekat, Kai bersiul pelan, matanya bersinar licik. Zane mengarahkan pandangannya ke pintu yang terbuka, tapi sebelum siapa pun masuk, Kai bergumam pelan, “Kau akan suka ideku yang satu ini, percayalah.”Reed muncul dari balik pintu, menghentikan percakapan mereka. Dia tampak agak ragu, seperti menilai situasi sebelum berbicara."Tuan, ada laporan penting yang perlu segera Anda lihat," kata Reed dengan sikap tegas, matanya sesekali melirik ke arah Kai, yang masih tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa.Zane berdiri, wajahnya berubah dingin dan serius dalam sekejap. "Lagi? Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar penuh kejengkelan. Ia lalu menatap Kai sejenak sebelum memberi tanda kepada Reed untuk keluar lagi.Kai, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan senyum setengah mengejek, tiba-tiba menyela. "Tentu saja, lagi. Tampaknya selalu ada 'sesuatu yang aneh' terjadi setiap kali kau mencoba mandi, Zane," katanya dengan nada bercanda, mesk
"Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan.Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya."Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK..Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. De
Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan
Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur