Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur
Zane melangkah menembus lapisan prajurit yang sedang bekerja. Dia mengangkat tangan pada tentara yang bergegas maju saat dia membuka pintu. Hari ini waktunya pelaporan. Zane lalu duduk di kursi besar di ujung meja. Reed berhenti disampingnya. Zane melihat jari-jarinya mendorong tabung berisi cairan berwarna cerah. Zane menggelengkan kepala, "Menurutku," katanya, dengan lebih lembut. "Kau tak perlu menyajikan hal-hal yang tidak perlu." "Tentu saja, Tuan." Reed balas lebih seperti berbisik. Namun, Reed tak bisa menahan diri. Dia melihat betapa tidak terjaganya atasannya itu, bagaimana lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. “Tapi, Jenderal, ini bisa membantu—” “Tinggalkan suplemennya,” Zane memotong, suaranya lebih tegas. Reed menghela napas panjang. “Tetapi hanya jika Anda berubah pikiran…” suaranya pelan dan penuh harap. Zane pun mengangguk. "Panggil mereka." "Baik, Tuan." Tugasnya adalah memimpin. Namun, sejak Scarlett datang, Zane tidak bisa fokus dan jarang ti
Reed sudah berdiri menunggu, diam seperti biasanya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengikuti Zane dengan langkah yang cepat namun teratur. Dua langkah untuk setiap langkah panjang Jenderal. Reed dapat merasakan amarah yang membara di dalam Zane—tanda pasti dari kerutan yang dalam di keningnya, serta keheningan yang lebih berat dari biasanya.Zane menatap lurus ke depan, pikirannya berputar tajam. Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri. Ketika pintu tertutup di belakangnya, suasana di dalam ruangan itu langsung berubah. Dewan Menteri Aldrich.. pria berumur dengan rambut perak dan penampilan berwibawa, tersenyum lebar, sedangkan Sersan Elara, wanita muda yang berdiri di sampingnya, mengamati Zane dengan perhatian.Zane menghormati mereka dengan anggun. "Menteri Aldrich," ucapnya. Tegas dan penuh rasa hormat. Aldrich mengangguk pelan, matanya menyelidik, memandang Zane dengan sorot yang penuh perhitungan. "Jenderal Zane, senang akhirnya bisa berb
BRAKKKK Zane membanting gagang interkom dengan kesal, suara kerasnya menggema di ruangan yang tenang. Dengan gerakan cepat, ia memutar kursinya dan menghadap Reed, yang berdiri kaku di depan meja. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, kepalanya sedikit menunduk, menghindari tatapan langsung Zane.Aldrich dan Marcus tahu sesuatu tentang Scarlett, dan sekarang dia mengirim Elara ke markasnya. Ini bukan sekadar perjodohan politik. Ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik semua ini, dan Zane bertekad untuk mengungkap kebenarannya... dengan caranya sendiri.Reed mencuri pandang sekilas ke Zane, melihat atasannya menyisir rambutnya dengan jari, pertanda jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk. Reed mencoba membuka mulut untuk memulai percakapan, tapi Zane memotongnya dengan tajam.“Lupakan basa-basi. Ceritakan tentang Aldrich,” perintah Zane, suaranya dingin dan tegas, tatapannya menusuk Reed.Reed menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. "Aldrich mulai bergerak lagi,
"HOOOOAAAAMMM..."Kai menguap lebar, membuka pintu kamarnya dengan rambut berantakan, mengenakan celana training lusuh dan kaos oblong. Matanya setengah terpejam."Eh, hai, Zane..!!" katanya, membersihkan suara serak dari tenggorokannya. "Apa yang terjadi? Maaf... Ayo.. silakan masuk."Zane menatap Kai seperti baru saja melihat makhluk astral. Zane, yang selalu tampil rapi dan energik seperti layaknya seorang jenderal, tak bisa menyembunyikan kekagetannya melihat Kai yang baru bangun tidur di pukul tujuh pagi."Apakah kamu baru bangun?" tanya Zane sambil melirik penampilan Kai yang serampangan. "Semua orang di sayap ini bangun jam tujuh pagi. Kamu tak perlu terlihat begitu kecewa, Jenderal."Zane melirik ke dalam kamar Kai, sekilas melihat kekacauan di dalam—pakaian berserakan di kursi, cangkir kopi yang tak selesai di meja, dan kasur yang tak tersentuh rapi."Kai," Zane memulai dengan nada tenang namun tajam, "Jika aku menganggap standar biasa-biasa saja orang lain sebagai ukuran
Keheningan menggantung di antara mereka, tegang dan penuh dengan sesuatu yang tidak terucap. Scarlett hanya bisa menatapnya, tidak tahu harus merespons bagaimana, sementara Zane akhirnya melepaskan diri dari posisi dominannya, membiarkan Scarlett bernapas lega meski hatinya masih berdebar kencang.Zane perlahan menurunkan tubuh Scarlett dari cengkeramannya. Suara napas mereka masih terasa berat, seolah udara di ruangan itu menekan mereka. Zane berdeham, mencoba menguasai dirinya kembali.Zane melangkah mundur, lalu menoleh sejenak ke arah meja. Tangannya gemetar halus, namun ia berhasil menyembunyikannya. “Aku tahu kau membenciku... dan jujur saja, aku menganggapmu ancaman sampai saat ini. Kita belum selesai.”“Kau harus menganggapku ancaman,” Scarlett menyela, nadanya penuh sarkasme. “Karena memang itulah aku. Kau mungkin berhasil menahan tubuhku, tapi bukan pikiranku. Aku akan membalaskan dendamku.”“Oh, benarkah?” Zane menaikkan alis, tertarik. “Dendam apakah itu Sayang?”Scar
Cahaya dari lampu gantung yang berkilauan membentuk bayangan samar di sudut-sudut ruangan. Scarlett masih duduk di ranjang, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong yang tak pernah benar-benar menatapnya. Tubuh Zane menegang. Ia mendekati Scarlett perlahan. Hembusan napasnya berat, udara di sekitarnya seakan lebih tebal, setiap gerakan terasa sulit. Matanya melirik tubuh Scarlett, rambutnya yang kusut jatuh di wajahnya, bibirnya yang terlihat pucat. Ada aroma samar dari tubuhnya, campuran rasa getir dan wangi yang membuat Zane sedikit menahan napas. Dengan satu gerakan, Zane mencondongkan tubuhnya ke arah Scarlett. Ia mengendus tubuh gadis itu tanpa disadari, napasnya makin berat. Scarlett tersentak, matanya melotot dan tubuhnya menegang. "Kau bau," katanya. Scarlett sibuk memikirkan cara untuk kabur sejak kemarin, tidak ada waktu memikirkan mandi. Scarlett segera mundur, punggungnya menyentuh kaki tempat tidur saat Zane terus mendekat, senyum tipis terukir di b