Cahaya dari lampu gantung yang berkilauan membentuk bayangan samar di sudut-sudut ruangan. Scarlett masih duduk di ranjang, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong yang tak pernah benar-benar menatapnya. Tubuh Zane menegang. Ia mendekati Scarlett perlahan. Hembusan napasnya berat, udara di sekitarnya seakan lebih tebal, setiap gerakan terasa sulit. Matanya melirik tubuh Scarlett, rambutnya yang kusut jatuh di wajahnya, bibirnya yang terlihat pucat. Ada aroma samar dari tubuhnya, campuran rasa getir dan wangi yang membuat Zane sedikit menahan napas. Dengan satu gerakan, Zane mencondongkan tubuhnya ke arah Scarlett. Ia mengendus tubuh gadis itu tanpa disadari, napasnya makin berat. Scarlett tersentak, matanya melotot dan tubuhnya menegang. "Kau bau," katanya. Scarlett sibuk memikirkan cara untuk kabur sejak kemarin, tidak ada waktu memikirkan mandi. Scarlett segera mundur, punggungnya menyentuh kaki tempat tidur saat Zane terus mendekat, senyum tipis terukir di b
Scarlett mengumpulkan energi di ujung jari-jarinya saat cahaya ultraviolet mulai bersinar, menghangatkan udara di sekitarnya.Tapi tiba-tiba, tawa yang menggema di tengah keheningan mengejutkan mereka. Kai muncul, berjalan dengan penuh percaya diri dalam seragam lengkap, berbeda jauh dari penampilannya yang berantakan saat bertemu Zane pagi tadi. Senyumnya lebar, seolah dunia berada dalam kendalinya.“Wah, Zane! Sialan! Kau memanggilku kemari hanya untuk melihat kau mencium seorang gadis?” Kai bertepuk tangan, wajahnya ceria saat mendekat dan berkacak pinggang, bersikap seperti tidak ada yang bisa menghentikannya.Zane menatapnya dengan tatapan membunuh, aura dinginnya semakin terasa. “Persetan."Tawa Kai semakin keras saat ia mendekat, langkahnya santai dan penuh percaya diri. Wajah Scarlett memerah, gelisah dengan situasi yang baru saja muncul."Keluar dari sini, atau aku tidak segan-segan untuk membunuhmu," ancam Zane, nadanya tajam."Ah, jangan begitu. Momen seperti ini jaran
Ruang kontrol Kai selalu terasa dingin, seperti sang pemilik yang duduk dengan santai di kursinya, memutar pena kecil di antara jari-jarinya. Di hadapannya, Zane berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Wajahnya tegas, matanya terfokus pada Scarlett yang berdiri di dekat pintu. Tidak ada banyak gerakan dari Zane—dia adalah Jenderal. Selama Kai tidak menyakiti Scarlett, dia akan tetap diam, menyaksikan.Kai memecah keheningan dengan senyum menyeringai. "Jadi, Scarlett," katanya, nada suaranya penuh ejekan."Waktu itu kau kan, yang menyebabkan aku hampir dibunuh. Karena dicurigai mengganggu waktu mandi Jenderal Zane kita yang terhormat." Kai berjalan mondar-mandir di depannya."Kurasa ledakan itu bukan hal yang sering terjadi, ya?"Scarlett mengangkat bahu, tatapannya tetap dingin. "Ledakan itu bukan kemauanku," jawabnya datar, tak sedikitpun terdengar rasa bersalah.Langkah Kai mendekatkan dirinya ke meja, ia menyandarkan dagunya di tangannya."Oh, benar begitu?" Dia menyilangkan lenga
Seluruh tubuh Zane menegang, otot-ototnya bergetar halus saat tangannya bersiaga di pistolnya sendiri. Namun, Scarlett sudah mendahuluinya, senjata Kai kini berada kokoh dalam genggamannya, tanpa sedikit pun keraguan atau ketakutan di matanya. Zane bukan satu-satunya yang terpaku menatapnya. Kai berkata tenang, mendesah sambil bersiul pelan, "Wow, kau cepat juga." Teman lamanya itu mengendurkan tubuh, lalu merosot santai ke kursi terdekat, tanpa pernah mengalihkan pandangannya dari Scarlett. Ada kilatan tantangan dalam mata Scarlett saat dia memutar senjata di jarinya dengan mudah. Ujung larasnya tertangkap antara jemarinya yang ramping sebelum dia dengan tenang mengembalikan senjata itu kepada Kai—gagang terlebih dahulu, tanpa sepatah kata pun. Gerakannya begitu anggun dan percaya diri, membuktikan bahwa dia bukan pemula. Zane mengamati dengan penuh curiga. Ada firasat kuat yang muncul saat pertama kali dia menemukannya di hutan, dan kini semakin jelas bahwa gadis ini
Di dalam mobil dinas yang menderu, Zane menatap kertas di tangannya, lalu membacakan isi dokumen dengan suara pelan. “Scarlett Eve Celestia.” Namanya meluncur dari bibirnya, mengingatkannya pada sosok manis yang menghuni pikirannya. Gadis yang begitu berani di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia mereka. Kai sudah setuju untuk penyerahan Scarlett ke tim pelatihannya. Hari ini adalah hari pertama gadis itu. Sayang sekali Zane tidak bisa menyaksikan secara langsung bagaimana dia bersinar sebagai salah satu tentaranya. Ia membayangkan Scarlett, tubuh mungilnya dibalut seragam militer yang ketat dan anggun, dengan pelindung tubuh yang terpasang di sana-sini. Wajahnya yang berani dan penuh semangat tidak pernah menunjukkan rasa takut, bahkan saat menghadapi tantangan terberat sekalipun. Mata birunya berkilau penuh tekad, seolah ia siap menaklukkan dunia. Zane tak sadar sedikit tersenyum saat membayangkan bagaimana Scarlett akan bergerak, lincah dan penuh percaya diri, menant
Suara rendah seorang anak laki-laki memecah keheningan lorong kumuh."Dia sedang bersembunyi," suaranya licik, terdengar samar, nyaris seperti bisikan yang mengambang di udara.Zane menyipitkan mata, tatapannya tajam menyisir kegelapan. “Siapa di sana?” suaranya rendah, tapi tegas. “Bersembunyi dari apa?”Namun, jawaban tak pernah datang. Sebaliknya, suara tawa kecil menggema, memantul di antara dinding-dinding kumuh yang lembap. Dalam sekejap, anak itu berbalik dan melesat ke dalam kegelapan seperti bayangan yang lenyap ditelan malam. Pintu besi di ujung lorong menutup dengan keras, suaranya bergema.Zane tidak menunggu lama. Dengan gerakan cepat, ia mencabut pistol dari sarung di pinggangnya. Matanya menyala dengan tekad dingin.“Tangkap bocah aneh itu!” suaranya menggelegar di udara, menggema di lorong-lorong gelap.Reed, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, langsung bereaksi. “Siap, Jenderal!” Reed berteriak, sebelum berlari menyusul.Mereka mengejar, Zane berada di dep
Zane duduk di dalam ruang observasi militer di pangkalan Sektor 7. Dari sisi lain pintu kaca buram, ia dapat melihat sekelompok prajurit yang sedang menjalani latihan tempur. Mereka membentuk formasi. Dengan cepat, mereka mengisi peluru ke dalam magasin, mengunci senapan, kemudian menurunkannya ke posisi siaga, hanya untuk mengulanginya kembali dengan ritme yang teratur. Suara tembakan latihan berkali-kali memecah kesunyian. Pintu diketuk lembut, Kai masuk duduk di samping Zane. Dengan santai, dia mengeluarkan rokok dari saku dan mulai mengisapnya, membiarkan asap mengepul ke udara. "Zane, kau yakin mau melewatkan kesempatan ini?" Kai bertanya sambil mengangkat alisnya, melemparkan satu batang rokok ke arah Zane. Namun, Zane hanya mengabaikannya, untuk kesekian kalinya. "Aku tidak ingin membunuh diriku sendiri dengan mengisi paru-paruku dengan benda itu," jawab Zane tegas, matanya tetap tertuju ke arah prajurit yang berlatih. Kai tersenyum nakal, menggerakkan rokok di mulutnya.
“Aku tidak bekerja untuk Aldrich. Aku punya... alasanku sendiri.” Di dalam gudang gelap yang hanya diterangi satu lampu gantung suram, Zane berdiri di depan anak itu. Tubuhnya terikat kuat di bangku kayu, dengan tali yang kasar. Tangan dan mulutnya dibelenggu, mata tertutup kain rapat. Sepuluh buah jarum suntik bekas berisi cairan bius berserakan di lantai berdebu. Penderitaan yang baru saja dialaminya. Obat itu melemahkan tubuhnya, menyegel kekuatan kinetiknya yang tersisa. Zane melangkah mendekat, menaikkan alis dengan senyum yang tak lebih dari sekadar garis dingin di wajahnya. “Alasanmu sendiri?” katanya, tertawa pelan namun tajam. “Kau tak lebih dari alat bagi Aldrich, dan kau tahu itu. Kau takut. Bukan hanya padaku, tapi pada Aldrich juga. Percayalah, jika dia berniat menjebakku, kau hanya pion dalam rencana yang tak akan berakhir baik untukmu.” Anak itu terdiam mendengus. Akan tetapi napasnya semakin berat, kepanikan mulai terukir di wajahnya. Dia tahu Zane benar, ta