Seluruh tubuh Zane menegang, otot-ototnya bergetar halus saat tangannya bersiaga di pistolnya sendiri. Namun, Scarlett sudah mendahuluinya, senjata Kai kini berada kokoh dalam genggamannya, tanpa sedikit pun keraguan atau ketakutan di matanya. Zane bukan satu-satunya yang terpaku menatapnya. Kai berkata tenang, mendesah sambil bersiul pelan, "Wow, kau cepat juga." Teman lamanya itu mengendurkan tubuh, lalu merosot santai ke kursi terdekat, tanpa pernah mengalihkan pandangannya dari Scarlett. Ada kilatan tantangan dalam mata Scarlett saat dia memutar senjata di jarinya dengan mudah. Ujung larasnya tertangkap antara jemarinya yang ramping sebelum dia dengan tenang mengembalikan senjata itu kepada Kai—gagang terlebih dahulu, tanpa sepatah kata pun. Gerakannya begitu anggun dan percaya diri, membuktikan bahwa dia bukan pemula. Zane mengamati dengan penuh curiga. Ada firasat kuat yang muncul saat pertama kali dia menemukannya di hutan, dan kini semakin jelas bahwa gadis ini
Di dalam mobil dinas yang menderu, Zane menatap kertas di tangannya, lalu membacakan isi dokumen dengan suara pelan. “Scarlett Eve Celestia.” Namanya meluncur dari bibirnya, mengingatkannya pada sosok manis yang menghuni pikirannya. Gadis yang begitu berani di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia mereka. Kai sudah setuju untuk penyerahan Scarlett ke tim pelatihannya. Hari ini adalah hari pertama gadis itu. Sayang sekali Zane tidak bisa menyaksikan secara langsung bagaimana dia bersinar sebagai salah satu tentaranya. Ia membayangkan Scarlett, tubuh mungilnya dibalut seragam militer yang ketat dan anggun, dengan pelindung tubuh yang terpasang di sana-sini. Wajahnya yang berani dan penuh semangat tidak pernah menunjukkan rasa takut, bahkan saat menghadapi tantangan terberat sekalipun. Mata birunya berkilau penuh tekad, seolah ia siap menaklukkan dunia. Zane tak sadar sedikit tersenyum saat membayangkan bagaimana Scarlett akan bergerak, lincah dan penuh percaya diri, menant
Suara rendah seorang anak laki-laki memecah keheningan lorong kumuh."Dia sedang bersembunyi," suaranya licik, terdengar samar, nyaris seperti bisikan yang mengambang di udara.Zane menyipitkan mata, tatapannya tajam menyisir kegelapan. “Siapa di sana?” suaranya rendah, tapi tegas. “Bersembunyi dari apa?”Namun, jawaban tak pernah datang. Sebaliknya, suara tawa kecil menggema, memantul di antara dinding-dinding kumuh yang lembap. Dalam sekejap, anak itu berbalik dan melesat ke dalam kegelapan seperti bayangan yang lenyap ditelan malam. Pintu besi di ujung lorong menutup dengan keras, suaranya bergema.Zane tidak menunggu lama. Dengan gerakan cepat, ia mencabut pistol dari sarung di pinggangnya. Matanya menyala dengan tekad dingin.“Tangkap bocah aneh itu!” suaranya menggelegar di udara, menggema di lorong-lorong gelap.Reed, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, langsung bereaksi. “Siap, Jenderal!” Reed berteriak, sebelum berlari menyusul.Mereka mengejar, Zane berada di dep
Zane duduk di dalam ruang observasi militer di pangkalan Sektor 7. Dari sisi lain pintu kaca buram, ia dapat melihat sekelompok prajurit yang sedang menjalani latihan tempur. Mereka membentuk formasi. Dengan cepat, mereka mengisi peluru ke dalam magasin, mengunci senapan, kemudian menurunkannya ke posisi siaga, hanya untuk mengulanginya kembali dengan ritme yang teratur. Suara tembakan latihan berkali-kali memecah kesunyian. Pintu diketuk lembut, Kai masuk duduk di samping Zane. Dengan santai, dia mengeluarkan rokok dari saku dan mulai mengisapnya, membiarkan asap mengepul ke udara. "Zane, kau yakin mau melewatkan kesempatan ini?" Kai bertanya sambil mengangkat alisnya, melemparkan satu batang rokok ke arah Zane. Namun, Zane hanya mengabaikannya, untuk kesekian kalinya. "Aku tidak ingin membunuh diriku sendiri dengan mengisi paru-paruku dengan benda itu," jawab Zane tegas, matanya tetap tertuju ke arah prajurit yang berlatih. Kai tersenyum nakal, menggerakkan rokok di mulutnya.
“Aku tidak bekerja untuk Aldrich. Aku punya... alasanku sendiri.” Di dalam gudang gelap yang hanya diterangi satu lampu gantung suram, Zane berdiri di depan anak itu. Tubuhnya terikat kuat di bangku kayu, dengan tali yang kasar. Tangan dan mulutnya dibelenggu, mata tertutup kain rapat. Sepuluh buah jarum suntik bekas berisi cairan bius berserakan di lantai berdebu. Penderitaan yang baru saja dialaminya. Obat itu melemahkan tubuhnya, menyegel kekuatan kinetiknya yang tersisa. Zane melangkah mendekat, menaikkan alis dengan senyum yang tak lebih dari sekadar garis dingin di wajahnya. “Alasanmu sendiri?” katanya, tertawa pelan namun tajam. “Kau tak lebih dari alat bagi Aldrich, dan kau tahu itu. Kau takut. Bukan hanya padaku, tapi pada Aldrich juga. Percayalah, jika dia berniat menjebakku, kau hanya pion dalam rencana yang tak akan berakhir baik untukmu.” Anak itu terdiam mendengus. Akan tetapi napasnya semakin berat, kepanikan mulai terukir di wajahnya. Dia tahu Zane benar, ta
Orientasi itu, seperti yang sudah ia duga, benar-benar membosankan. Scarlett duduk di asrama, matanya menelusuri wajah-wajah tentara baru yang mengelilinginya sementara suara monoton pembicara terus terdengar tanpa henti. "Mungkin ada di antara mereka yang bersedia bekerja sama denganku?" Pikirannya beralih ke harapan yang selalu muncul di tempat-tempat baru.Bayangan sekilas tentang masa lalunya muncul dalam pikirannya. Saat itu, di Sektor 14, ia pernah memiliki teman-teman—meski hanya sedikit yang benar-benar tulus. Sayangnya, karena Scarlett selalu berada di peringkat pertama di lingkungan kumuh itu, di mana pendidikan hampir tak dianggap penting, teman-temannya semakin menjauh. Di sektor itu, para remaja pada akhirnya hanya akan dikirim untuk bekerja, dan sedikit saja yang bermimpi tentang hal lain. Sembilan menit sebelum pukul 11, perutnya mulai bergejolak karena lapar. Di sekelilingnya, tentara-tentara lainnya, kebanyakan pria bertubuh besar dengan tinggi rata-rata 190 cm, han
Zane terhuyung, memegang tepi wastafel yang dingin. Tubuhnya bergetar saat muntahannya berlanjut, cengkraman tangan pada wastafel satu-satunya yang mencegahnya jatuh ke kegelapan kegelapan yang sama. Bayangan di sekelilingnya memantul samar di lantai, tampak seperti hantu dari seseorang yang ia takuti—dirinya sendiri. Keringat dingin membasahi dahi, menetes di dahi, dan Zane menghirup napas dalam-dalam, berusaha meredakan getaran di tubuhnya.Sudah dua tahun sejak Hari Pengorbanan—hari di mana darah para pemberontak membasahi tanah Sektor 7, hari yang sama di mana ayahnya mengangkatnya sebagai komandan sektor itu. Ayahnya, Marcus Thorn, melihat pembantaian itu sebagai ujian—dan Zane, yang masih muda dan buta akan kehormatan semu, mengiyakan dengan penuh keyakinan. Tapi malam-malam sunyi seperti ini, kengerian dari tindakan masa lalunya kembali menghantui.Dengan susah payah, Zane meraih handuk, menghapus sisa muntah dari bibirnya. Hembusan napasnya terdengar lirih, seolah setiap nap
Di ruangannya yang remang-remang dan sunyi, Zane duduk, menyandarkan kepala ke sandaran kursinya sambil memijit pelipis. Kecemasan bercampur rasa curiga bergolak di pikirannya—terutama tentang Voss, Reed telah mengkonfirmasi bahwa benar Voss adalah teman dari kakak Scarlett yang meninggal karena hari pembantaian dua tahun yang lalu. Kini seluruh detail pergerakan Voss seakan tak pernah lepas dari pandangan Zane.Voss sudah dibawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Sekumpulan prajurit idiot yang berani menggoda Scarlett juga akhirnya disiplinkan. Zane tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya—bagi mereka, mungkin ini hanya lelucon yang tidak berbahaya, tetapi bagi Zane, ini adalah pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi. Baginya, Scarlett bukan hanya seorang prajurit; dia adalah miliknya. “Bermain-main dengan milikku, berarti mati,” begitu prinsip Zane yang mengakar kuat. Dia menganggap Scarlett sebagai bagian dari hidupnya yang harus dilindungi dengan car