Ding!Suara lift bergema hingga ke ujung lorong. Zane menggesekkan kartu identitasnya dan melangkah masuk ke ruangan pesta yang telah dipenuhi tamu undangan dari seluruh sektor The Dominion. Di depan matanya terbentang sebuah karpet merah panjang, membentang lurus di tengah ruangan hingga mencapai meja utama di mana Elara dan ayahnya, Dewan Menteri Aldrich, serta staf mereka telah duduk dengan anggun. Ruang makan ini begitu luas hingga mungkin cukup untuk menampung ribuan anak yatim, namun malam itu hanya dihuni oleh kalangan terpilih; 20 meja perjamuan berjajar rapi, masing-masing berlapis kain sutra biru dengan tampilan yang begitu menawan. Di atas setiap meja terletak vas kristal yang megah, diisi anggrek segar dan bunga lili stargazer, sementara mangkuk kaca yang lebih kecil di sekelilingnya dipenuhi kelopak gardenia yang memancarkan pesona tersendiri.Zane mengamati bunga-bunga itu dengan seksama. Sulit dipercaya. Dunia telah hancur bertahun-tahun lalu, hampir semua tanaman pun
Kai meletakkan tangan di bahu Zane. "Kendalikan dirimu, Zane. Jangan biarkan dia membuatmu lepas kendali di depan semua orang," kata Kai dengan nada tenang namun tegas. Zane menghela napas, tetapi tetap menatap lurus ke depan, kesal. Kai mengambil sapu tangan dari seorang pelayan yang sedang lewat dan menyerahkannya pada Zane. Tanpa bicara, Zane membersihkan darah dari tangannya dan memegangi perban sementara dari sapu tangan itu. Sesaat, dia memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Lalu, Kai berbisik lembut, “Ingat, malam ini adalah bagian dari rencana kita. Terlihat damai dan menerima semua ini adalah langkah yang harus kita ambil.” Zane mengangguk, meskipun terlihat jelas ia enggan menerima kenyataan ini. Lalu, ia melirik Elara, perempuan yang dipilihkan ayahnya sebagai calon pasangan—perjodohan yang tak pernah ia inginkan. Namun, untuk saat ini, dia tak punya pilihan selain memainkan peran ini dengan baik. Perlahan, Zane mendekati Elara yang sedang berdiri
Zane jarang mencari pelarian, apalagi di bar militer yang ramai. Namun malam ini. Di malam pesta yang kacau ini, pikirannya terlalu penuh. Biasanya, jika ada beban yang ingin dibicarakan, Reed selalu ada. Sayangnya, Reed masih dalam masa pemulihan setelah insiden dengan Liam, bocah dengan energi kinetik luar biasa yang Zane terpaksa tahan. Dan yang membuatnya lebih sulit adalah fakta bahwa Liam bukan sembarang orang; dia teman dekat Scarlett. Zane tak tahu kapan Scarlett akan mengetahui bahwa dia menahan salah satu orang terdekatnya. Itu mengganggu pikirannya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Lalu, ada satu fakta lain juga ia dengar dari Voss, fakta yang entah bagaimana terasa lebih menghantui daripada pertempuran paling sengit sekalipun. Voss mengungkapkan bahwa Scarlett memiliki kakak laki-laki yang telah meninggal—dan tanpa disadari Zane, ternyata ia-lah yang bertanggung jawab atas kematiannya. Sesampainya di bar, Zane melangkah dengan aura yang dingin juga tegang.
"Calon istri? Kau satu-satunya yang berani berpikir seperti itu, Scarlett. Seolah aku pernah memilih yang lain..."Scarlett terdiam, dadanya berdegup kencang. Wajah Zane begitu dekat, mata merahnya menatapnya dengan intensitas yang menghanguskan. Ia bisa merasakan napasnya yang hangat dan bau alkohol yang samar, menciptakan kombinasi yang aneh namun membuatnya tergila-gila..Zane mengangkat tangan yang satunya, menyentuh pipi Scarlett dengan jemarinya yang hangat dan kasar. Perlahan, ia mendekat, hingga bibirnya hampir menyentuh telinganya.Zane berbisik, suaranya rendah dan lembut. "Scarlett... Kau tak perlu mengusirku. Aku tidak akan pergi ke tempat lain."Di tengah keheningan yang hampir mengantarkan mereka pada momen yang lebih dekat, suara pengumuman tiba-tiba terdengar di seluruh ruangan, nyaring dan formal:“Perhatian kepada seluruh personel Dominion: Besok pagi, Panglima Tertinggi akan mengunjungi pangkalan untuk inspeksi khusus."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong ba
Zane pun menatap balik Kai tajam. "Itulah sebabnya kita di sini.. Aku tidak punya waktu untuk spekulasi.""Kenapa?" Kata Kai menggoda. "Siapa tahu ini seperti ‘radio cinta’ yang disetel khusus untuk Scarlett!" Kata Kai sambil menyikut Zane."Atau jangan-jangan kau takut gelang ini bisa bikin Scarlett lebih ‘nyambung’ sama orang lain?" Kai tersenyum yang di balas tatapan kebencian dari Zane. "Kalau kau tak punya masukan yang berguna, kau lebih baik diam."Kai tertawa kecil. "Baiklah, baiklah, Jenderal. Serius.. Tapi dengar ini: kalau gelang ini benar-benar punya ‘kode akses’, itu artinya kita bisa main-main dengan energinya juga, kan? Mungkin aku bisa mencoba—"Tangan kekar Zane menghentikan Kai secara tiba-tiba. "Tidak ada yang ‘main-main’ di sini!""Gelang ini terbuat dari benda langka, dan kita butuh informasi konkret, bukan eksperimen gila."Dr. Harris menahan tawa kecil, tetapi mencoba tetap fokus pada monitornya."Apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan potensinya Dr. Harr
Salah satu prajurit elite Dominion berdiri di luar pintu kamar Jenderal Zane, posturnya kaku, ekspresi wajahnya penuh dengan sikap hormat yang terkesan dipaksakan. Zane melirik ke arahnya sekilas, cukup untuk menilai tanpa harus benar-benar peduli. “Katakan urusanmu, Prajurit,” ucapnya dingin. “Tuan,” prajurit itu menjawab dengan nada tegas, “Panglima tertinggi meminta kehadiran Anda di kediamannya untuk makan malam pada pukul delapan malam.” Zane mendengus pendek. “Anggap saja pesanmu sudah diterima,” balasnya, bergerak membuka pintu kamarnya. Namun, prajurit itu melangkah maju, dengan berani menghalangi jalannya. Mata Zane menyipit, memerhatikan pria yang kini berdiri tak sampai satu kaki darinya—sebuah tindakan yang terlalu berani, bahkan tidak dilakukan oleh tangan kanannya sendiri, Reed. Namun prajurit ini berbeda. Sebagai anggota pengawal ayahnya, ia merasa tak perlu tunduk pada Zane. Prajurit-prajurit elite yang mengelilingi ayahnya memang selalu merasa diri mereka lebi
Zane mengerjap pelan, menatap langit-langit dengan tatapan kabur, antara sadar dan tidak. Hawa dingin menyusup ke kulitnya, namun ikatan ketat di pergelangan tangan dan kakinya adalah yang membuatnya benar-benar tersadar. Seolah membuktikan bahwa ini bukan mimpi buruk. Marcus sudah berdiri di dekatnya, santai, mulutnya menyunggingkan senyum tipis penuh ejekan. “Oh, putraku sudah bangun rupanya,” katanya dengan nada mencemooh. Zane terbatuk, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Dia membuka mulutnya, suara serak keluar di antara tarikan napas yang berat. “Kelu…ar…” Marcus menunduk, memperhatikan wajah putranya yang tampak pucat. “Kau benar-benar berpikir aku tidak akan mengetahuinya, ya?” tanyanya, suaranya renyah dengan nada geli yang menusuk telinga. Ia mendekat, langkah sepatunya menggema menggiring setiap detik seperti hukuman. “Kau membuat Reed merengek minta maaf setelah terluka olehmu, memohon agar anak buahku tak menyalahkannya atas kunjungan kejutanmu ke s
Zane bergumam dua kata dengan sisa kekuatan yang ia miliki, “Keluar… dari sini.” Marcus tertawa lebih keras, mengangkat tangan seolah memperkenalkan Zane ke penonton yang tak terlihat. "Ini putraku! Anak bodoh yang lembek dan tak berguna. Terkadang aku muak! Sampai-sampai terpikir lebih baik aku menembaknya sendiri—tapi kemudian aku teringat betapa melelahkannya mengurus semua sisa pekerjaan yang seharusnya dia lakukan." Zane menatap kosong ke depan, jari-jarinya mengeras di atas kasur. Kemarahan dan kebencian mendidih di dalam dirinya, namun kata-kata Marcus hanya menusuk lebih dalam, tanpa henti. “Selanjutnya... jelaskan padaku,” suara Marcus menukik tajam, “apa yang terjadi dengan pasukanmu? Kenapa kau membiarkan seorang gadis masuk ke dalamnya?” Zane tetap diam, rahangnya mengeras, enggan memberi ayahnya sedikit pun jawaban. “Oh, begitu ya,” Marcus mendesis, menurunkan nada suaranya dengan cemoohan. “Terlalu malu untuk mengakui bahwa kau jatuh cinta pada pandangan per