Zane bergumam dua kata dengan sisa kekuatan yang ia miliki, “Keluar… dari sini.” Marcus tertawa lebih keras, mengangkat tangan seolah memperkenalkan Zane ke penonton yang tak terlihat. "Ini putraku! Anak bodoh yang lembek dan tak berguna. Terkadang aku muak! Sampai-sampai terpikir lebih baik aku menembaknya sendiri—tapi kemudian aku teringat betapa melelahkannya mengurus semua sisa pekerjaan yang seharusnya dia lakukan." Zane menatap kosong ke depan, jari-jarinya mengeras di atas kasur. Kemarahan dan kebencian mendidih di dalam dirinya, namun kata-kata Marcus hanya menusuk lebih dalam, tanpa henti. “Selanjutnya... jelaskan padaku,” suara Marcus menukik tajam, “apa yang terjadi dengan pasukanmu? Kenapa kau membiarkan seorang gadis masuk ke dalamnya?” Zane tetap diam, rahangnya mengeras, enggan memberi ayahnya sedikit pun jawaban. “Oh, begitu ya,” Marcus mendesis, menurunkan nada suaranya dengan cemoohan. “Terlalu malu untuk mengakui bahwa kau jatuh cinta pada pandangan per
“Ini semua salahmu.”“Kau hanya punya satu tugas,” Zane melanjutkan, suaranya rendah dan penuh kemarahan yang tertahan. “Menjaganya. Dan kau bahkan gagal melakukan itu.”Kai menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya, tatapannya tidak beralih dari Zane yang berdiri di atasnya, penuh amarah."Aku tahu… Aku tahu kau marah… Scarlett sudah lama jadi semacam—yah, gadis yang selalu menemani aku untuk secangkir kopi, kau tahu. Jadi maafkan aku, Zane. Tapi—ugh!" Belum sempat Kai menyelesaikan kata-katanya, Zane melayangkan pukulan lain, lebih keras, membuat Kai terhuyung dan jatuh kembali ke tanah.Para prajurit yang berjaga di sekitar mereka tampak terkejut, namun tidak ada yang berani mendekat. Setiap pukulan seolah menjadi pengingat betapa pentingnya gadis yang hilang itu bagi Zane.Sorot mata Zane dingin dan menusuk. "Gadis yang kau temui untuk ‘secangkir kopi’?" desisnya, suaranya rendah penuh amarah. "Scarlett lebih dari itu. Dia bukan seseorang yang bisa kau sebut sekenanya, apala
Tes..Tes...Tess..Air es menetes dari atas kepala Scarlett, membuatnya terbangun.DUNIA INI GELAP. GAUNGAN SENJATA DAN SUARA-SUARA KERAS..Kilasan ingatan kembali menyergap Scarlett. Wajah Kolonel Voss muncul dengan tatapan dingin dan penuh tipu daya, seperti sosok bayangan yang tersembunyi dalam gelap. Ia mengingat malam itu dengan begitu jelas—di dalam kamarnya, ketika ia baru saja mengganti seragam dan bersiap untuk tidur, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.Voss masuk dengan ekspresi yang tak biasa. Scarlett langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.“Kolonel? Ada yang bisa kubantu?” Scarlett bertanya, mencoba terdengar biasa saja meski detak jantungnya mulai berdebar tak menentu.Voss melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang dan menguncinya, seakan sengaja menciptakan keheningan tegang di ruangan itu. Dia mendekati Scarlett dengan langkah pelan, matanya menyipit tajam, penuh perhitungan. “Scarlett, ada yang perlu kita bicarakan... secara pribadi,” ujarnya dengan nada d
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah
"TAPI AKU TIDAK AKAN MUNDUR..""Tidak sekarang..."Kemudian suara dentuman keras mengguncang tanah dan membuat makhluk-makhluk kabut itu terhuyung... Ketika tank utama, yang dikendarai oleh Zane, Tank 007, dengan bendera hitam berlambang tengkorak dan pedang bersilang yang berkibar di sampingnya. Tank itu menembakkan pelurunya ke arah kumpulan Nyxian yang mendekat.BAMM..!BAMM..!BAMMMM..!Ledakan demi ledakan menghancurkan keheningan, meriam tank berputar perlahan, presisi dan penuh perhitungan. Di dalam kabin, mekanisme meriam terdengar menggeram.Raut wajah Zane menggelap, mata abu-abunya berubah menjadi dingin mematikan. Ia berubah menjadi pemburu. Pemburu mangsa dengan cuaca buruk yang tak terbendung.Setiap gerakan di layar ia pantau dengan ketelitian luar biasa, hingga urat nadinya menonjol, berdenyut seiring dorongan adrenalin yang meningkat. Jemarinya siap menekan tombol tembak, menghitung waktu yang tepat seiring alunan musik tempur yang hanya ia dengar di kepalanya. Ada
Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap