"Calon istri? Kau satu-satunya yang berani berpikir seperti itu, Scarlett. Seolah aku pernah memilih yang lain..."Scarlett terdiam, dadanya berdegup kencang. Wajah Zane begitu dekat, mata merahnya menatapnya dengan intensitas yang menghanguskan. Ia bisa merasakan napasnya yang hangat dan bau alkohol yang samar, menciptakan kombinasi yang aneh namun membuatnya tergila-gila..Zane mengangkat tangan yang satunya, menyentuh pipi Scarlett dengan jemarinya yang hangat dan kasar. Perlahan, ia mendekat, hingga bibirnya hampir menyentuh telinganya.Zane berbisik, suaranya rendah dan lembut. "Scarlett... Kau tak perlu mengusirku. Aku tidak akan pergi ke tempat lain."Di tengah keheningan yang hampir mengantarkan mereka pada momen yang lebih dekat, suara pengumuman tiba-tiba terdengar di seluruh ruangan, nyaring dan formal:“Perhatian kepada seluruh personel Dominion: Besok pagi, Panglima Tertinggi akan mengunjungi pangkalan untuk inspeksi khusus."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong ba
Zane pun menatap balik Kai tajam. "Itulah sebabnya kita di sini.. Aku tidak punya waktu untuk spekulasi.""Kenapa?" Kata Kai menggoda. "Siapa tahu ini seperti ‘radio cinta’ yang disetel khusus untuk Scarlett!" Kata Kai sambil menyikut Zane."Atau jangan-jangan kau takut gelang ini bisa bikin Scarlett lebih ‘nyambung’ sama orang lain?" Kai tersenyum yang di balas tatapan kebencian dari Zane. "Kalau kau tak punya masukan yang berguna, kau lebih baik diam."Kai tertawa kecil. "Baiklah, baiklah, Jenderal. Serius.. Tapi dengar ini: kalau gelang ini benar-benar punya ‘kode akses’, itu artinya kita bisa main-main dengan energinya juga, kan? Mungkin aku bisa mencoba—"Tangan kekar Zane menghentikan Kai secara tiba-tiba. "Tidak ada yang ‘main-main’ di sini!""Gelang ini terbuat dari benda langka, dan kita butuh informasi konkret, bukan eksperimen gila."Dr. Harris menahan tawa kecil, tetapi mencoba tetap fokus pada monitornya."Apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan potensinya Dr. Harr
Salah satu prajurit elite Dominion berdiri di luar pintu kamar Jenderal Zane, posturnya kaku, ekspresi wajahnya penuh dengan sikap hormat yang terkesan dipaksakan. Zane melirik ke arahnya sekilas, cukup untuk menilai tanpa harus benar-benar peduli. “Katakan urusanmu, Prajurit,” ucapnya dingin. “Tuan,” prajurit itu menjawab dengan nada tegas, “Panglima tertinggi meminta kehadiran Anda di kediamannya untuk makan malam pada pukul delapan malam.” Zane mendengus pendek. “Anggap saja pesanmu sudah diterima,” balasnya, bergerak membuka pintu kamarnya. Namun, prajurit itu melangkah maju, dengan berani menghalangi jalannya. Mata Zane menyipit, memerhatikan pria yang kini berdiri tak sampai satu kaki darinya—sebuah tindakan yang terlalu berani, bahkan tidak dilakukan oleh tangan kanannya sendiri, Reed. Namun prajurit ini berbeda. Sebagai anggota pengawal ayahnya, ia merasa tak perlu tunduk pada Zane. Prajurit-prajurit elite yang mengelilingi ayahnya memang selalu merasa diri mereka lebi
Zane mengerjap pelan, menatap langit-langit dengan tatapan kabur, antara sadar dan tidak. Hawa dingin menyusup ke kulitnya, namun ikatan ketat di pergelangan tangan dan kakinya adalah yang membuatnya benar-benar tersadar. Seolah membuktikan bahwa ini bukan mimpi buruk. Marcus sudah berdiri di dekatnya, santai, mulutnya menyunggingkan senyum tipis penuh ejekan. “Oh, putraku sudah bangun rupanya,” katanya dengan nada mencemooh. Zane terbatuk, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Dia membuka mulutnya, suara serak keluar di antara tarikan napas yang berat. “Kelu…ar…” Marcus menunduk, memperhatikan wajah putranya yang tampak pucat. “Kau benar-benar berpikir aku tidak akan mengetahuinya, ya?” tanyanya, suaranya renyah dengan nada geli yang menusuk telinga. Ia mendekat, langkah sepatunya menggema menggiring setiap detik seperti hukuman. “Kau membuat Reed merengek minta maaf setelah terluka olehmu, memohon agar anak buahku tak menyalahkannya atas kunjungan kejutanmu ke s
Zane bergumam dua kata dengan sisa kekuatan yang ia miliki, “Keluar… dari sini.” Marcus tertawa lebih keras, mengangkat tangan seolah memperkenalkan Zane ke penonton yang tak terlihat. "Ini putraku! Anak bodoh yang lembek dan tak berguna. Terkadang aku muak! Sampai-sampai terpikir lebih baik aku menembaknya sendiri—tapi kemudian aku teringat betapa melelahkannya mengurus semua sisa pekerjaan yang seharusnya dia lakukan." Zane menatap kosong ke depan, jari-jarinya mengeras di atas kasur. Kemarahan dan kebencian mendidih di dalam dirinya, namun kata-kata Marcus hanya menusuk lebih dalam, tanpa henti. “Selanjutnya... jelaskan padaku,” suara Marcus menukik tajam, “apa yang terjadi dengan pasukanmu? Kenapa kau membiarkan seorang gadis masuk ke dalamnya?” Zane tetap diam, rahangnya mengeras, enggan memberi ayahnya sedikit pun jawaban. “Oh, begitu ya,” Marcus mendesis, menurunkan nada suaranya dengan cemoohan. “Terlalu malu untuk mengakui bahwa kau jatuh cinta pada pandangan per
“Ini semua salahmu.”“Kau hanya punya satu tugas,” Zane melanjutkan, suaranya rendah dan penuh kemarahan yang tertahan. “Menjaganya. Dan kau bahkan gagal melakukan itu.”Kai menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya, tatapannya tidak beralih dari Zane yang berdiri di atasnya, penuh amarah."Aku tahu… Aku tahu kau marah… Scarlett sudah lama jadi semacam—yah, gadis yang selalu menemani aku untuk secangkir kopi, kau tahu. Jadi maafkan aku, Zane. Tapi—ugh!" Belum sempat Kai menyelesaikan kata-katanya, Zane melayangkan pukulan lain, lebih keras, membuat Kai terhuyung dan jatuh kembali ke tanah.Para prajurit yang berjaga di sekitar mereka tampak terkejut, namun tidak ada yang berani mendekat. Setiap pukulan seolah menjadi pengingat betapa pentingnya gadis yang hilang itu bagi Zane.Sorot mata Zane dingin dan menusuk. "Gadis yang kau temui untuk ‘secangkir kopi’?" desisnya, suaranya rendah penuh amarah. "Scarlett lebih dari itu. Dia bukan seseorang yang bisa kau sebut sekenanya, apala
Tes..Tes...Tess..Air es menetes dari atas kepala Scarlett, membuatnya terbangun.DUNIA INI GELAP. GAUNGAN SENJATA DAN SUARA-SUARA KERAS..Kilasan ingatan kembali menyergap Scarlett. Wajah Kolonel Voss muncul dengan tatapan dingin dan penuh tipu daya, seperti sosok bayangan yang tersembunyi dalam gelap. Ia mengingat malam itu dengan begitu jelas—di dalam kamarnya, ketika ia baru saja mengganti seragam dan bersiap untuk tidur, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.Voss masuk dengan ekspresi yang tak biasa. Scarlett langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.“Kolonel? Ada yang bisa kubantu?” Scarlett bertanya, mencoba terdengar biasa saja meski detak jantungnya mulai berdebar tak menentu.Voss melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang dan menguncinya, seakan sengaja menciptakan keheningan tegang di ruangan itu. Dia mendekati Scarlett dengan langkah pelan, matanya menyipit tajam, penuh perhitungan. “Scarlett, ada yang perlu kita bicarakan... secara pribadi,” ujarnya dengan nada d
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett