Salah satu prajurit elite Dominion berdiri di luar pintu kamar Jenderal Zane, posturnya kaku, ekspresi wajahnya penuh dengan sikap hormat yang terkesan dipaksakan. Zane melirik ke arahnya sekilas, cukup untuk menilai tanpa harus benar-benar peduli. “Katakan urusanmu, Prajurit,” ucapnya dingin. “Tuan,” prajurit itu menjawab dengan nada tegas, “Panglima tertinggi meminta kehadiran Anda di kediamannya untuk makan malam pada pukul delapan malam.” Zane mendengus pendek. “Anggap saja pesanmu sudah diterima,” balasnya, bergerak membuka pintu kamarnya. Namun, prajurit itu melangkah maju, dengan berani menghalangi jalannya. Mata Zane menyipit, memerhatikan pria yang kini berdiri tak sampai satu kaki darinya—sebuah tindakan yang terlalu berani, bahkan tidak dilakukan oleh tangan kanannya sendiri, Reed. Namun prajurit ini berbeda. Sebagai anggota pengawal ayahnya, ia merasa tak perlu tunduk pada Zane. Prajurit-prajurit elite yang mengelilingi ayahnya memang selalu merasa diri mereka lebi
Zane mengerjap pelan, menatap langit-langit dengan tatapan kabur, antara sadar dan tidak. Hawa dingin menyusup ke kulitnya, namun ikatan ketat di pergelangan tangan dan kakinya adalah yang membuatnya benar-benar tersadar. Seolah membuktikan bahwa ini bukan mimpi buruk. Marcus sudah berdiri di dekatnya, santai, mulutnya menyunggingkan senyum tipis penuh ejekan. “Oh, putraku sudah bangun rupanya,” katanya dengan nada mencemooh. Zane terbatuk, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Dia membuka mulutnya, suara serak keluar di antara tarikan napas yang berat. “Kelu…ar…” Marcus menunduk, memperhatikan wajah putranya yang tampak pucat. “Kau benar-benar berpikir aku tidak akan mengetahuinya, ya?” tanyanya, suaranya renyah dengan nada geli yang menusuk telinga. Ia mendekat, langkah sepatunya menggema menggiring setiap detik seperti hukuman. “Kau membuat Reed merengek minta maaf setelah terluka olehmu, memohon agar anak buahku tak menyalahkannya atas kunjungan kejutanmu ke s
Zane bergumam dua kata dengan sisa kekuatan yang ia miliki, “Keluar… dari sini.” Marcus tertawa lebih keras, mengangkat tangan seolah memperkenalkan Zane ke penonton yang tak terlihat. "Ini putraku! Anak bodoh yang lembek dan tak berguna. Terkadang aku muak! Sampai-sampai terpikir lebih baik aku menembaknya sendiri—tapi kemudian aku teringat betapa melelahkannya mengurus semua sisa pekerjaan yang seharusnya dia lakukan." Zane menatap kosong ke depan, jari-jarinya mengeras di atas kasur. Kemarahan dan kebencian mendidih di dalam dirinya, namun kata-kata Marcus hanya menusuk lebih dalam, tanpa henti. “Selanjutnya... jelaskan padaku,” suara Marcus menukik tajam, “apa yang terjadi dengan pasukanmu? Kenapa kau membiarkan seorang gadis masuk ke dalamnya?” Zane tetap diam, rahangnya mengeras, enggan memberi ayahnya sedikit pun jawaban. “Oh, begitu ya,” Marcus mendesis, menurunkan nada suaranya dengan cemoohan. “Terlalu malu untuk mengakui bahwa kau jatuh cinta pada pandangan per
“Ini semua salahmu.”“Kau hanya punya satu tugas,” Zane melanjutkan, suaranya rendah dan penuh kemarahan yang tertahan. “Menjaganya. Dan kau bahkan gagal melakukan itu.”Kai menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya, tatapannya tidak beralih dari Zane yang berdiri di atasnya, penuh amarah."Aku tahu… Aku tahu kau marah… Scarlett sudah lama jadi semacam—yah, gadis yang selalu menemani aku untuk secangkir kopi, kau tahu. Jadi maafkan aku, Zane. Tapi—ugh!" Belum sempat Kai menyelesaikan kata-katanya, Zane melayangkan pukulan lain, lebih keras, membuat Kai terhuyung dan jatuh kembali ke tanah.Para prajurit yang berjaga di sekitar mereka tampak terkejut, namun tidak ada yang berani mendekat. Setiap pukulan seolah menjadi pengingat betapa pentingnya gadis yang hilang itu bagi Zane.Sorot mata Zane dingin dan menusuk. "Gadis yang kau temui untuk ‘secangkir kopi’?" desisnya, suaranya rendah penuh amarah. "Scarlett lebih dari itu. Dia bukan seseorang yang bisa kau sebut sekenanya, apala
Tes..Tes...Tess..Air es menetes dari atas kepala Scarlett, membuatnya terbangun.DUNIA INI GELAP. GAUNGAN SENJATA DAN SUARA-SUARA KERAS..Kilasan ingatan kembali menyergap Scarlett. Wajah Kolonel Voss muncul dengan tatapan dingin dan penuh tipu daya, seperti sosok bayangan yang tersembunyi dalam gelap. Ia mengingat malam itu dengan begitu jelas—di dalam kamarnya, ketika ia baru saja mengganti seragam dan bersiap untuk tidur, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.Voss masuk dengan ekspresi yang tak biasa. Scarlett langsung merasakan sesuatu yang tidak beres.“Kolonel? Ada yang bisa kubantu?” Scarlett bertanya, mencoba terdengar biasa saja meski detak jantungnya mulai berdebar tak menentu.Voss melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang dan menguncinya, seakan sengaja menciptakan keheningan tegang di ruangan itu. Dia mendekati Scarlett dengan langkah pelan, matanya menyipit tajam, penuh perhitungan. “Scarlett, ada yang perlu kita bicarakan... secara pribadi,” ujarnya dengan nada d
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah