Zane duduk di dalam ruang observasi militer di pangkalan Sektor 7. Dari sisi lain pintu kaca buram, ia dapat melihat sekelompok prajurit yang sedang menjalani latihan tempur. Mereka membentuk formasi. Dengan cepat, mereka mengisi peluru ke dalam magasin, mengunci senapan, kemudian menurunkannya ke posisi siaga, hanya untuk mengulanginya kembali dengan ritme yang teratur. Suara tembakan latihan berkali-kali memecah kesunyian. Pintu diketuk lembut, Kai masuk duduk di samping Zane. Dengan santai, dia mengeluarkan rokok dari saku dan mulai mengisapnya, membiarkan asap mengepul ke udara. "Zane, kau yakin mau melewatkan kesempatan ini?" Kai bertanya sambil mengangkat alisnya, melemparkan satu batang rokok ke arah Zane. Namun, Zane hanya mengabaikannya, untuk kesekian kalinya. "Aku tidak ingin membunuh diriku sendiri dengan mengisi paru-paruku dengan benda itu," jawab Zane tegas, matanya tetap tertuju ke arah prajurit yang berlatih. Kai tersenyum nakal, menggerakkan rokok di mulutnya.
“Aku tidak bekerja untuk Aldrich. Aku punya... alasanku sendiri.” Di dalam gudang gelap yang hanya diterangi satu lampu gantung suram, Zane berdiri di depan anak itu. Tubuhnya terikat kuat di bangku kayu, dengan tali yang kasar. Tangan dan mulutnya dibelenggu, mata tertutup kain rapat. Sepuluh buah jarum suntik bekas berisi cairan bius berserakan di lantai berdebu. Penderitaan yang baru saja dialaminya. Obat itu melemahkan tubuhnya, menyegel kekuatan kinetiknya yang tersisa. Zane melangkah mendekat, menaikkan alis dengan senyum yang tak lebih dari sekadar garis dingin di wajahnya. “Alasanmu sendiri?” katanya, tertawa pelan namun tajam. “Kau tak lebih dari alat bagi Aldrich, dan kau tahu itu. Kau takut. Bukan hanya padaku, tapi pada Aldrich juga. Percayalah, jika dia berniat menjebakku, kau hanya pion dalam rencana yang tak akan berakhir baik untukmu.” Anak itu terdiam mendengus. Akan tetapi napasnya semakin berat, kepanikan mulai terukir di wajahnya. Dia tahu Zane benar, ta
Orientasi itu, seperti yang sudah ia duga, benar-benar membosankan. Scarlett duduk di asrama, matanya menelusuri wajah-wajah tentara baru yang mengelilinginya sementara suara monoton pembicara terus terdengar tanpa henti. "Mungkin ada di antara mereka yang bersedia bekerja sama denganku?" Pikirannya beralih ke harapan yang selalu muncul di tempat-tempat baru.Bayangan sekilas tentang masa lalunya muncul dalam pikirannya. Saat itu, di Sektor 14, ia pernah memiliki teman-teman—meski hanya sedikit yang benar-benar tulus. Sayangnya, karena Scarlett selalu berada di peringkat pertama di lingkungan kumuh itu, di mana pendidikan hampir tak dianggap penting, teman-temannya semakin menjauh. Di sektor itu, para remaja pada akhirnya hanya akan dikirim untuk bekerja, dan sedikit saja yang bermimpi tentang hal lain. Sembilan menit sebelum pukul 11, perutnya mulai bergejolak karena lapar. Di sekelilingnya, tentara-tentara lainnya, kebanyakan pria bertubuh besar dengan tinggi rata-rata 190 cm, han
Zane terhuyung, memegang tepi wastafel yang dingin. Tubuhnya bergetar saat muntahannya berlanjut, cengkraman tangan pada wastafel satu-satunya yang mencegahnya jatuh ke kegelapan kegelapan yang sama. Bayangan di sekelilingnya memantul samar di lantai, tampak seperti hantu dari seseorang yang ia takuti—dirinya sendiri. Keringat dingin membasahi dahi, menetes di dahi, dan Zane menghirup napas dalam-dalam, berusaha meredakan getaran di tubuhnya.Sudah dua tahun sejak Hari Pengorbanan—hari di mana darah para pemberontak membasahi tanah Sektor 7, hari yang sama di mana ayahnya mengangkatnya sebagai komandan sektor itu. Ayahnya, Marcus Thorn, melihat pembantaian itu sebagai ujian—dan Zane, yang masih muda dan buta akan kehormatan semu, mengiyakan dengan penuh keyakinan. Tapi malam-malam sunyi seperti ini, kengerian dari tindakan masa lalunya kembali menghantui.Dengan susah payah, Zane meraih handuk, menghapus sisa muntah dari bibirnya. Hembusan napasnya terdengar lirih, seolah setiap nap
Di ruangannya yang remang-remang dan sunyi, Zane duduk, menyandarkan kepala ke sandaran kursinya sambil memijit pelipis. Kecemasan bercampur rasa curiga bergolak di pikirannya—terutama tentang Voss, Reed telah mengkonfirmasi bahwa benar Voss adalah teman dari kakak Scarlett yang meninggal karena hari pembantaian dua tahun yang lalu. Kini seluruh detail pergerakan Voss seakan tak pernah lepas dari pandangan Zane.Voss sudah dibawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Sekumpulan prajurit idiot yang berani menggoda Scarlett juga akhirnya disiplinkan. Zane tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya—bagi mereka, mungkin ini hanya lelucon yang tidak berbahaya, tetapi bagi Zane, ini adalah pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi. Baginya, Scarlett bukan hanya seorang prajurit; dia adalah miliknya. “Bermain-main dengan milikku, berarti mati,” begitu prinsip Zane yang mengakar kuat. Dia menganggap Scarlett sebagai bagian dari hidupnya yang harus dilindungi dengan car
Ding!Suara lift bergema hingga ke ujung lorong. Zane menggesekkan kartu identitasnya dan melangkah masuk ke ruangan pesta yang telah dipenuhi tamu undangan dari seluruh sektor The Dominion. Di depan matanya terbentang sebuah karpet merah panjang, membentang lurus di tengah ruangan hingga mencapai meja utama di mana Elara dan ayahnya, Dewan Menteri Aldrich, serta staf mereka telah duduk dengan anggun. Ruang makan ini begitu luas hingga mungkin cukup untuk menampung ribuan anak yatim, namun malam itu hanya dihuni oleh kalangan terpilih; 20 meja perjamuan berjajar rapi, masing-masing berlapis kain sutra biru dengan tampilan yang begitu menawan. Di atas setiap meja terletak vas kristal yang megah, diisi anggrek segar dan bunga lili stargazer, sementara mangkuk kaca yang lebih kecil di sekelilingnya dipenuhi kelopak gardenia yang memancarkan pesona tersendiri.Zane mengamati bunga-bunga itu dengan seksama. Sulit dipercaya. Dunia telah hancur bertahun-tahun lalu, hampir semua tanaman pun
Kai meletakkan tangan di bahu Zane. "Kendalikan dirimu, Zane. Jangan biarkan dia membuatmu lepas kendali di depan semua orang," kata Kai dengan nada tenang namun tegas. Zane menghela napas, tetapi tetap menatap lurus ke depan, kesal. Kai mengambil sapu tangan dari seorang pelayan yang sedang lewat dan menyerahkannya pada Zane. Tanpa bicara, Zane membersihkan darah dari tangannya dan memegangi perban sementara dari sapu tangan itu. Sesaat, dia memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Lalu, Kai berbisik lembut, “Ingat, malam ini adalah bagian dari rencana kita. Terlihat damai dan menerima semua ini adalah langkah yang harus kita ambil.” Zane mengangguk, meskipun terlihat jelas ia enggan menerima kenyataan ini. Lalu, ia melirik Elara, perempuan yang dipilihkan ayahnya sebagai calon pasangan—perjodohan yang tak pernah ia inginkan. Namun, untuk saat ini, dia tak punya pilihan selain memainkan peran ini dengan baik. Perlahan, Zane mendekati Elara yang sedang berdiri
Zane jarang mencari pelarian, apalagi di bar militer yang ramai. Namun malam ini. Di malam pesta yang kacau ini, pikirannya terlalu penuh. Biasanya, jika ada beban yang ingin dibicarakan, Reed selalu ada. Sayangnya, Reed masih dalam masa pemulihan setelah insiden dengan Liam, bocah dengan energi kinetik luar biasa yang Zane terpaksa tahan. Dan yang membuatnya lebih sulit adalah fakta bahwa Liam bukan sembarang orang; dia teman dekat Scarlett. Zane tak tahu kapan Scarlett akan mengetahui bahwa dia menahan salah satu orang terdekatnya. Itu mengganggu pikirannya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Lalu, ada satu fakta lain juga ia dengar dari Voss, fakta yang entah bagaimana terasa lebih menghantui daripada pertempuran paling sengit sekalipun. Voss mengungkapkan bahwa Scarlett memiliki kakak laki-laki yang telah meninggal—dan tanpa disadari Zane, ternyata ia-lah yang bertanggung jawab atas kematiannya. Sesampainya di bar, Zane melangkah dengan aura yang dingin juga tegang.