Zane terhuyung, memegang tepi wastafel yang dingin. Tubuhnya bergetar saat muntahannya berlanjut, cengkraman tangan pada wastafel satu-satunya yang mencegahnya jatuh ke kegelapan kegelapan yang sama. Bayangan di sekelilingnya memantul samar di lantai, tampak seperti hantu dari seseorang yang ia takuti—dirinya sendiri. Keringat dingin membasahi dahi, menetes di dahi, dan Zane menghirup napas dalam-dalam, berusaha meredakan getaran di tubuhnya.Sudah dua tahun sejak Hari Pengorbanan—hari di mana darah para pemberontak membasahi tanah Sektor 7, hari yang sama di mana ayahnya mengangkatnya sebagai komandan sektor itu. Ayahnya, Marcus Thorn, melihat pembantaian itu sebagai ujian—dan Zane, yang masih muda dan buta akan kehormatan semu, mengiyakan dengan penuh keyakinan. Tapi malam-malam sunyi seperti ini, kengerian dari tindakan masa lalunya kembali menghantui.Dengan susah payah, Zane meraih handuk, menghapus sisa muntah dari bibirnya. Hembusan napasnya terdengar lirih, seolah setiap nap
Di ruangannya yang remang-remang dan sunyi, Zane duduk, menyandarkan kepala ke sandaran kursinya sambil memijit pelipis. Kecemasan bercampur rasa curiga bergolak di pikirannya—terutama tentang Voss, Reed telah mengkonfirmasi bahwa benar Voss adalah teman dari kakak Scarlett yang meninggal karena hari pembantaian dua tahun yang lalu. Kini seluruh detail pergerakan Voss seakan tak pernah lepas dari pandangan Zane.Voss sudah dibawa ke ruangan khusus untuk diinterogasi. Sekumpulan prajurit idiot yang berani menggoda Scarlett juga akhirnya disiplinkan. Zane tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang-orang di sekitarnya—bagi mereka, mungkin ini hanya lelucon yang tidak berbahaya, tetapi bagi Zane, ini adalah pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi. Baginya, Scarlett bukan hanya seorang prajurit; dia adalah miliknya. “Bermain-main dengan milikku, berarti mati,” begitu prinsip Zane yang mengakar kuat. Dia menganggap Scarlett sebagai bagian dari hidupnya yang harus dilindungi dengan car
Ding!Suara lift bergema hingga ke ujung lorong. Zane menggesekkan kartu identitasnya dan melangkah masuk ke ruangan pesta yang telah dipenuhi tamu undangan dari seluruh sektor The Dominion. Di depan matanya terbentang sebuah karpet merah panjang, membentang lurus di tengah ruangan hingga mencapai meja utama di mana Elara dan ayahnya, Dewan Menteri Aldrich, serta staf mereka telah duduk dengan anggun. Ruang makan ini begitu luas hingga mungkin cukup untuk menampung ribuan anak yatim, namun malam itu hanya dihuni oleh kalangan terpilih; 20 meja perjamuan berjajar rapi, masing-masing berlapis kain sutra biru dengan tampilan yang begitu menawan. Di atas setiap meja terletak vas kristal yang megah, diisi anggrek segar dan bunga lili stargazer, sementara mangkuk kaca yang lebih kecil di sekelilingnya dipenuhi kelopak gardenia yang memancarkan pesona tersendiri.Zane mengamati bunga-bunga itu dengan seksama. Sulit dipercaya. Dunia telah hancur bertahun-tahun lalu, hampir semua tanaman pun
Kai meletakkan tangan di bahu Zane. "Kendalikan dirimu, Zane. Jangan biarkan dia membuatmu lepas kendali di depan semua orang," kata Kai dengan nada tenang namun tegas. Zane menghela napas, tetapi tetap menatap lurus ke depan, kesal. Kai mengambil sapu tangan dari seorang pelayan yang sedang lewat dan menyerahkannya pada Zane. Tanpa bicara, Zane membersihkan darah dari tangannya dan memegangi perban sementara dari sapu tangan itu. Sesaat, dia memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Lalu, Kai berbisik lembut, “Ingat, malam ini adalah bagian dari rencana kita. Terlihat damai dan menerima semua ini adalah langkah yang harus kita ambil.” Zane mengangguk, meskipun terlihat jelas ia enggan menerima kenyataan ini. Lalu, ia melirik Elara, perempuan yang dipilihkan ayahnya sebagai calon pasangan—perjodohan yang tak pernah ia inginkan. Namun, untuk saat ini, dia tak punya pilihan selain memainkan peran ini dengan baik. Perlahan, Zane mendekati Elara yang sedang berdiri
Zane jarang mencari pelarian, apalagi di bar militer yang ramai. Namun malam ini. Di malam pesta yang kacau ini, pikirannya terlalu penuh. Biasanya, jika ada beban yang ingin dibicarakan, Reed selalu ada. Sayangnya, Reed masih dalam masa pemulihan setelah insiden dengan Liam, bocah dengan energi kinetik luar biasa yang Zane terpaksa tahan. Dan yang membuatnya lebih sulit adalah fakta bahwa Liam bukan sembarang orang; dia teman dekat Scarlett. Zane tak tahu kapan Scarlett akan mengetahui bahwa dia menahan salah satu orang terdekatnya. Itu mengganggu pikirannya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Lalu, ada satu fakta lain juga ia dengar dari Voss, fakta yang entah bagaimana terasa lebih menghantui daripada pertempuran paling sengit sekalipun. Voss mengungkapkan bahwa Scarlett memiliki kakak laki-laki yang telah meninggal—dan tanpa disadari Zane, ternyata ia-lah yang bertanggung jawab atas kematiannya. Sesampainya di bar, Zane melangkah dengan aura yang dingin juga tegang.
"Calon istri? Kau satu-satunya yang berani berpikir seperti itu, Scarlett. Seolah aku pernah memilih yang lain..."Scarlett terdiam, dadanya berdegup kencang. Wajah Zane begitu dekat, mata merahnya menatapnya dengan intensitas yang menghanguskan. Ia bisa merasakan napasnya yang hangat dan bau alkohol yang samar, menciptakan kombinasi yang aneh namun membuatnya tergila-gila..Zane mengangkat tangan yang satunya, menyentuh pipi Scarlett dengan jemarinya yang hangat dan kasar. Perlahan, ia mendekat, hingga bibirnya hampir menyentuh telinganya.Zane berbisik, suaranya rendah dan lembut. "Scarlett... Kau tak perlu mengusirku. Aku tidak akan pergi ke tempat lain."Di tengah keheningan yang hampir mengantarkan mereka pada momen yang lebih dekat, suara pengumuman tiba-tiba terdengar di seluruh ruangan, nyaring dan formal:“Perhatian kepada seluruh personel Dominion: Besok pagi, Panglima Tertinggi akan mengunjungi pangkalan untuk inspeksi khusus."Kata-kata itu seperti petir di siang bolong ba
Zane pun menatap balik Kai tajam. "Itulah sebabnya kita di sini.. Aku tidak punya waktu untuk spekulasi.""Kenapa?" Kata Kai menggoda. "Siapa tahu ini seperti ‘radio cinta’ yang disetel khusus untuk Scarlett!" Kata Kai sambil menyikut Zane."Atau jangan-jangan kau takut gelang ini bisa bikin Scarlett lebih ‘nyambung’ sama orang lain?" Kai tersenyum yang di balas tatapan kebencian dari Zane. "Kalau kau tak punya masukan yang berguna, kau lebih baik diam."Kai tertawa kecil. "Baiklah, baiklah, Jenderal. Serius.. Tapi dengar ini: kalau gelang ini benar-benar punya ‘kode akses’, itu artinya kita bisa main-main dengan energinya juga, kan? Mungkin aku bisa mencoba—"Tangan kekar Zane menghentikan Kai secara tiba-tiba. "Tidak ada yang ‘main-main’ di sini!""Gelang ini terbuat dari benda langka, dan kita butuh informasi konkret, bukan eksperimen gila."Dr. Harris menahan tawa kecil, tetapi mencoba tetap fokus pada monitornya."Apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan potensinya Dr. Harr
Salah satu prajurit elite Dominion berdiri di luar pintu kamar Jenderal Zane, posturnya kaku, ekspresi wajahnya penuh dengan sikap hormat yang terkesan dipaksakan. Zane melirik ke arahnya sekilas, cukup untuk menilai tanpa harus benar-benar peduli. “Katakan urusanmu, Prajurit,” ucapnya dingin. “Tuan,” prajurit itu menjawab dengan nada tegas, “Panglima tertinggi meminta kehadiran Anda di kediamannya untuk makan malam pada pukul delapan malam.” Zane mendengus pendek. “Anggap saja pesanmu sudah diterima,” balasnya, bergerak membuka pintu kamarnya. Namun, prajurit itu melangkah maju, dengan berani menghalangi jalannya. Mata Zane menyipit, memerhatikan pria yang kini berdiri tak sampai satu kaki darinya—sebuah tindakan yang terlalu berani, bahkan tidak dilakukan oleh tangan kanannya sendiri, Reed. Namun prajurit ini berbeda. Sebagai anggota pengawal ayahnya, ia merasa tak perlu tunduk pada Zane. Prajurit-prajurit elite yang mengelilingi ayahnya memang selalu merasa diri mereka lebi
Kai terseret, terpincang-pincang, dengan desahan kesakitan setiap kali Zane menariknya terlalu keras. “Kawan, aku tahu aku brengsek, tapi kau tidak harus membuktikan itu pada setiap langkahku!” Zane mengabaikannya, membanting Kai ke kursi dan membuka kotak pertolongan pertama yang ia bawa. Kotak itu terlihat usang tapi lengkap, isinya rapi—tanda bahwa Zane selalu siap. “Dari mana kau dapat semua itu?” Kai meringis saat Zane mulai memotong kain yang melilit luka di lengannya. Zane tidak langsung menjawab, tangannya tetap mantap saat ia menarik peluru kecil yang bersarang di bahu Kai. Kai menjerit seperti anak kecil, tubuhnya menegang. “Berhenti berteriak. Kau membuat pekerjaanku lebih sulit,” Zane mengomel, tanpa melihat wajah Kai. “Berhenti berteriak?! Ada peluru keluar dari tubuhku, bro! Kau sadar itu sakit, kan?” Zane berhenti sejenak, menatap Kai dengan tajam sebelum melanjutkan pekerjaannya. “Aku belajar menjahit luka sendiri sejak umur sepuluh tahun,” katanya datar.
Zane bersembunyi di ruang penyimpanan senjata di salah satu bagian paling terpencil dari markas The Dominion. Meski jarang menginjakkan kaki di tempat ini, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat setiap lorong dan sudut yang pernah dilaluinya. Di ruangan sempit yang remang-remang itu, bau logam dan pelumas memenuhi udara. Zane menatap tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai dingin dengan lubang peluru tepat di jantungnya. Seharusnya pria itu sudah mati—tidak ada yang bisa bertahan setelah tembakan seperti itu. Namun, tugasnya belum selesai. Putri Aldrich, Elara, masih menjadi target berikutnya. Reed berdiri kaku di pintu, tatapannya terfokus pada tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya rendah dan hati-hati. “Tuan,” panggilnya, dengan penuh penghormatan. Reed terlihat gelisah. “Izinkan saya bertanya… apa yang akan selanjutnya Tuan lakukan?” Zane, yang sedang mengisi ulang peluru di pistolnya, melirik sekilas tanpa me
.... Zane berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh kebencian. Setengah berpakaian, tubuhnya masih dibalut celana seragam militer hitam dan kemeja putih yang belum terkancing. Ia merapikan kerahnya, pikirannya jauh melayang pada hari esok yang akan mengubah segalanya. Pernikahan yang dirancang oleh Marcus, ayahnya, adalah perangkap—tali pengikat yang akan membunuh sisa-sisa kebebasannya. Ketukan pelan di pintu menghentikan gerakannya. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka, dan Scarlett melangkah masuk. Mata Zane menyipit, napasnya tercekat. "Scarlett?" gadis yang seharusnya tidak berada di sini, berdiri di ambang pintu. “Apa yang kau lakukan di sini?” Scarlett menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan, matanya seperti kobaran api. Rambutnya yang panjang tergerai, berkilau di bawah cahaya redup ruangan. "Aku merindukanmu." katanya. Nadanya manja tetapi mengandung luka. Scarlett lalu menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke arah Zan
Zane menyeringai, bibirnya melengkung ke atas dengan kepercayaan diri yang mematikan. "Sebenarnya," katanya lembut namun penuh kemenangan. "Kami sudah tahu." Liam terdiam, ekspresinya berubah waspada saat Zane membalikkan badan dengan santai. Dengan gerakan yang mulus, Zane mengenakan kembali jasnya, merapikan lipatannya dengan ketelitian seorang pria yang tak terburu-buru. Langkahnya tegas saat ia mulai berjalan menjauh. "Pastikan orang-orang di sayap medis merawat Kai," katanya ke arah salah satu bawahannya tanpa melihat ke belakang. Liam mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan dorongan untuk menyerang, sebelum akhirnya berteriak, "Aku tahu! Aku tahu kau punya kekuatan supranatural juga. Kau bisa melihat emosi setiap orang, kan? Itu sebabnya kau selalu tahu apa yang kupikirkan!" Zane berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, hanya berdiri diam beberapa detik, menciptakan ketegangan yang menggantung di
Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap
"TAPI AKU TIDAK AKAN MUNDUR..""Tidak sekarang..."Kemudian suara dentuman keras mengguncang tanah dan membuat makhluk-makhluk kabut itu terhuyung... Ketika tank utama, yang dikendarai oleh Zane, Tank 007, dengan bendera hitam berlambang tengkorak dan pedang bersilang yang berkibar di sampingnya. Tank itu menembakkan pelurunya ke arah kumpulan Nyxian yang mendekat.BAMM..!BAMM..!BAMMMM..!Ledakan demi ledakan menghancurkan keheningan, meriam tank berputar perlahan, presisi dan penuh perhitungan. Di dalam kabin, mekanisme meriam terdengar menggeram.Raut wajah Zane menggelap, mata abu-abunya berubah menjadi dingin mematikan. Ia berubah menjadi pemburu. Pemburu mangsa dengan cuaca buruk yang tak terbendung.Setiap gerakan di layar ia pantau dengan ketelitian luar biasa, hingga urat nadinya menonjol, berdenyut seiring dorongan adrenalin yang meningkat. Jemarinya siap menekan tombol tembak, menghitung waktu yang tepat seiring alunan musik tempur yang hanya ia dengar di kepalanya. Ada
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett