Ruang kontrol Kai selalu terasa dingin, seperti sang pemilik yang duduk dengan santai di kursinya, memutar pena kecil di antara jari-jarinya. Di hadapannya, Zane berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Wajahnya tegas, matanya terfokus pada Scarlett yang berdiri di dekat pintu. Tidak ada banyak gerakan dari Zane—dia adalah Jenderal. Selama Kai tidak menyakiti Scarlett, dia akan tetap diam, menyaksikan.Kai memecah keheningan dengan senyum menyeringai. "Jadi, Scarlett," katanya, nada suaranya penuh ejekan."Waktu itu kau kan, yang menyebabkan aku hampir dibunuh. Karena dicurigai mengganggu waktu mandi Jenderal Zane kita yang terhormat." Kai berjalan mondar-mandir di depannya."Kurasa ledakan itu bukan hal yang sering terjadi, ya?"Scarlett mengangkat bahu, tatapannya tetap dingin. "Ledakan itu bukan kemauanku," jawabnya datar, tak sedikitpun terdengar rasa bersalah.Langkah Kai mendekatkan dirinya ke meja, ia menyandarkan dagunya di tangannya."Oh, benar begitu?" Dia menyilangkan lenga
Seluruh tubuh Zane menegang, otot-ototnya bergetar halus saat tangannya bersiaga di pistolnya sendiri. Namun, Scarlett sudah mendahuluinya, senjata Kai kini berada kokoh dalam genggamannya, tanpa sedikit pun keraguan atau ketakutan di matanya. Zane bukan satu-satunya yang terpaku menatapnya. Kai berkata tenang, mendesah sambil bersiul pelan, "Wow, kau cepat juga." Teman lamanya itu mengendurkan tubuh, lalu merosot santai ke kursi terdekat, tanpa pernah mengalihkan pandangannya dari Scarlett. Ada kilatan tantangan dalam mata Scarlett saat dia memutar senjata di jarinya dengan mudah. Ujung larasnya tertangkap antara jemarinya yang ramping sebelum dia dengan tenang mengembalikan senjata itu kepada Kai—gagang terlebih dahulu, tanpa sepatah kata pun. Gerakannya begitu anggun dan percaya diri, membuktikan bahwa dia bukan pemula. Zane mengamati dengan penuh curiga. Ada firasat kuat yang muncul saat pertama kali dia menemukannya di hutan, dan kini semakin jelas bahwa gadis ini
Di dalam mobil dinas yang menderu, Zane menatap kertas di tangannya, lalu membacakan isi dokumen dengan suara pelan. “Scarlett Eve Celestia.” Namanya meluncur dari bibirnya, mengingatkannya pada sosok manis yang menghuni pikirannya. Gadis yang begitu berani di tengah kegelapan yang menyelimuti dunia mereka. Kai sudah setuju untuk penyerahan Scarlett ke tim pelatihannya. Hari ini adalah hari pertama gadis itu. Sayang sekali Zane tidak bisa menyaksikan secara langsung bagaimana dia bersinar sebagai salah satu tentaranya. Ia membayangkan Scarlett, tubuh mungilnya dibalut seragam militer yang ketat dan anggun, dengan pelindung tubuh yang terpasang di sana-sini. Wajahnya yang berani dan penuh semangat tidak pernah menunjukkan rasa takut, bahkan saat menghadapi tantangan terberat sekalipun. Mata birunya berkilau penuh tekad, seolah ia siap menaklukkan dunia. Zane tak sadar sedikit tersenyum saat membayangkan bagaimana Scarlett akan bergerak, lincah dan penuh percaya diri, menant
Suara rendah seorang anak laki-laki memecah keheningan lorong kumuh."Dia sedang bersembunyi," suaranya licik, terdengar samar, nyaris seperti bisikan yang mengambang di udara.Zane menyipitkan mata, tatapannya tajam menyisir kegelapan. “Siapa di sana?” suaranya rendah, tapi tegas. “Bersembunyi dari apa?”Namun, jawaban tak pernah datang. Sebaliknya, suara tawa kecil menggema, memantul di antara dinding-dinding kumuh yang lembap. Dalam sekejap, anak itu berbalik dan melesat ke dalam kegelapan seperti bayangan yang lenyap ditelan malam. Pintu besi di ujung lorong menutup dengan keras, suaranya bergema.Zane tidak menunggu lama. Dengan gerakan cepat, ia mencabut pistol dari sarung di pinggangnya. Matanya menyala dengan tekad dingin.“Tangkap bocah aneh itu!” suaranya menggelegar di udara, menggema di lorong-lorong gelap.Reed, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, langsung bereaksi. “Siap, Jenderal!” Reed berteriak, sebelum berlari menyusul.Mereka mengejar, Zane berada di dep
Zane duduk di dalam ruang observasi militer di pangkalan Sektor 7. Dari sisi lain pintu kaca buram, ia dapat melihat sekelompok prajurit yang sedang menjalani latihan tempur. Mereka membentuk formasi. Dengan cepat, mereka mengisi peluru ke dalam magasin, mengunci senapan, kemudian menurunkannya ke posisi siaga, hanya untuk mengulanginya kembali dengan ritme yang teratur. Suara tembakan latihan berkali-kali memecah kesunyian. Pintu diketuk lembut, Kai masuk duduk di samping Zane. Dengan santai, dia mengeluarkan rokok dari saku dan mulai mengisapnya, membiarkan asap mengepul ke udara. "Zane, kau yakin mau melewatkan kesempatan ini?" Kai bertanya sambil mengangkat alisnya, melemparkan satu batang rokok ke arah Zane. Namun, Zane hanya mengabaikannya, untuk kesekian kalinya. "Aku tidak ingin membunuh diriku sendiri dengan mengisi paru-paruku dengan benda itu," jawab Zane tegas, matanya tetap tertuju ke arah prajurit yang berlatih. Kai tersenyum nakal, menggerakkan rokok di mulutnya.
“Aku tidak bekerja untuk Aldrich. Aku punya... alasanku sendiri.” Di dalam gudang gelap yang hanya diterangi satu lampu gantung suram, Zane berdiri di depan anak itu. Tubuhnya terikat kuat di bangku kayu, dengan tali yang kasar. Tangan dan mulutnya dibelenggu, mata tertutup kain rapat. Sepuluh buah jarum suntik bekas berisi cairan bius berserakan di lantai berdebu. Penderitaan yang baru saja dialaminya. Obat itu melemahkan tubuhnya, menyegel kekuatan kinetiknya yang tersisa. Zane melangkah mendekat, menaikkan alis dengan senyum yang tak lebih dari sekadar garis dingin di wajahnya. “Alasanmu sendiri?” katanya, tertawa pelan namun tajam. “Kau tak lebih dari alat bagi Aldrich, dan kau tahu itu. Kau takut. Bukan hanya padaku, tapi pada Aldrich juga. Percayalah, jika dia berniat menjebakku, kau hanya pion dalam rencana yang tak akan berakhir baik untukmu.” Anak itu terdiam mendengus. Akan tetapi napasnya semakin berat, kepanikan mulai terukir di wajahnya. Dia tahu Zane benar, ta
Orientasi itu, seperti yang sudah ia duga, benar-benar membosankan. Scarlett duduk di asrama, matanya menelusuri wajah-wajah tentara baru yang mengelilinginya sementara suara monoton pembicara terus terdengar tanpa henti. "Mungkin ada di antara mereka yang bersedia bekerja sama denganku?" Pikirannya beralih ke harapan yang selalu muncul di tempat-tempat baru.Bayangan sekilas tentang masa lalunya muncul dalam pikirannya. Saat itu, di Sektor 14, ia pernah memiliki teman-teman—meski hanya sedikit yang benar-benar tulus. Sayangnya, karena Scarlett selalu berada di peringkat pertama di lingkungan kumuh itu, di mana pendidikan hampir tak dianggap penting, teman-temannya semakin menjauh. Di sektor itu, para remaja pada akhirnya hanya akan dikirim untuk bekerja, dan sedikit saja yang bermimpi tentang hal lain. Sembilan menit sebelum pukul 11, perutnya mulai bergejolak karena lapar. Di sekelilingnya, tentara-tentara lainnya, kebanyakan pria bertubuh besar dengan tinggi rata-rata 190 cm, han
Zane terhuyung, memegang tepi wastafel yang dingin. Tubuhnya bergetar saat muntahannya berlanjut, cengkraman tangan pada wastafel satu-satunya yang mencegahnya jatuh ke kegelapan kegelapan yang sama. Bayangan di sekelilingnya memantul samar di lantai, tampak seperti hantu dari seseorang yang ia takuti—dirinya sendiri. Keringat dingin membasahi dahi, menetes di dahi, dan Zane menghirup napas dalam-dalam, berusaha meredakan getaran di tubuhnya.Sudah dua tahun sejak Hari Pengorbanan—hari di mana darah para pemberontak membasahi tanah Sektor 7, hari yang sama di mana ayahnya mengangkatnya sebagai komandan sektor itu. Ayahnya, Marcus Thorn, melihat pembantaian itu sebagai ujian—dan Zane, yang masih muda dan buta akan kehormatan semu, mengiyakan dengan penuh keyakinan. Tapi malam-malam sunyi seperti ini, kengerian dari tindakan masa lalunya kembali menghantui.Dengan susah payah, Zane meraih handuk, menghapus sisa muntah dari bibirnya. Hembusan napasnya terdengar lirih, seolah setiap nap
Kai terseret, terpincang-pincang, dengan desahan kesakitan setiap kali Zane menariknya terlalu keras. “Kawan, aku tahu aku brengsek, tapi kau tidak harus membuktikan itu pada setiap langkahku!” Zane mengabaikannya, membanting Kai ke kursi dan membuka kotak pertolongan pertama yang ia bawa. Kotak itu terlihat usang tapi lengkap, isinya rapi—tanda bahwa Zane selalu siap. “Dari mana kau dapat semua itu?” Kai meringis saat Zane mulai memotong kain yang melilit luka di lengannya. Zane tidak langsung menjawab, tangannya tetap mantap saat ia menarik peluru kecil yang bersarang di bahu Kai. Kai menjerit seperti anak kecil, tubuhnya menegang. “Berhenti berteriak. Kau membuat pekerjaanku lebih sulit,” Zane mengomel, tanpa melihat wajah Kai. “Berhenti berteriak?! Ada peluru keluar dari tubuhku, bro! Kau sadar itu sakit, kan?” Zane berhenti sejenak, menatap Kai dengan tajam sebelum melanjutkan pekerjaannya. “Aku belajar menjahit luka sendiri sejak umur sepuluh tahun,” katanya datar.
Zane bersembunyi di ruang penyimpanan senjata di salah satu bagian paling terpencil dari markas The Dominion. Meski jarang menginjakkan kaki di tempat ini, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat setiap lorong dan sudut yang pernah dilaluinya. Di ruangan sempit yang remang-remang itu, bau logam dan pelumas memenuhi udara. Zane menatap tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai dingin dengan lubang peluru tepat di jantungnya. Seharusnya pria itu sudah mati—tidak ada yang bisa bertahan setelah tembakan seperti itu. Namun, tugasnya belum selesai. Putri Aldrich, Elara, masih menjadi target berikutnya. Reed berdiri kaku di pintu, tatapannya terfokus pada tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya rendah dan hati-hati. “Tuan,” panggilnya, dengan penuh penghormatan. Reed terlihat gelisah. “Izinkan saya bertanya… apa yang akan selanjutnya Tuan lakukan?” Zane, yang sedang mengisi ulang peluru di pistolnya, melirik sekilas tanpa me
.... Zane berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh kebencian. Setengah berpakaian, tubuhnya masih dibalut celana seragam militer hitam dan kemeja putih yang belum terkancing. Ia merapikan kerahnya, pikirannya jauh melayang pada hari esok yang akan mengubah segalanya. Pernikahan yang dirancang oleh Marcus, ayahnya, adalah perangkap—tali pengikat yang akan membunuh sisa-sisa kebebasannya. Ketukan pelan di pintu menghentikan gerakannya. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka, dan Scarlett melangkah masuk. Mata Zane menyipit, napasnya tercekat. "Scarlett?" gadis yang seharusnya tidak berada di sini, berdiri di ambang pintu. “Apa yang kau lakukan di sini?” Scarlett menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan, matanya seperti kobaran api. Rambutnya yang panjang tergerai, berkilau di bawah cahaya redup ruangan. "Aku merindukanmu." katanya. Nadanya manja tetapi mengandung luka. Scarlett lalu menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke arah Zan
Zane menyeringai, bibirnya melengkung ke atas dengan kepercayaan diri yang mematikan. "Sebenarnya," katanya lembut namun penuh kemenangan. "Kami sudah tahu." Liam terdiam, ekspresinya berubah waspada saat Zane membalikkan badan dengan santai. Dengan gerakan yang mulus, Zane mengenakan kembali jasnya, merapikan lipatannya dengan ketelitian seorang pria yang tak terburu-buru. Langkahnya tegas saat ia mulai berjalan menjauh. "Pastikan orang-orang di sayap medis merawat Kai," katanya ke arah salah satu bawahannya tanpa melihat ke belakang. Liam mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan dorongan untuk menyerang, sebelum akhirnya berteriak, "Aku tahu! Aku tahu kau punya kekuatan supranatural juga. Kau bisa melihat emosi setiap orang, kan? Itu sebabnya kau selalu tahu apa yang kupikirkan!" Zane berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, hanya berdiri diam beberapa detik, menciptakan ketegangan yang menggantung di
Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap
"TAPI AKU TIDAK AKAN MUNDUR..""Tidak sekarang..."Kemudian suara dentuman keras mengguncang tanah dan membuat makhluk-makhluk kabut itu terhuyung... Ketika tank utama, yang dikendarai oleh Zane, Tank 007, dengan bendera hitam berlambang tengkorak dan pedang bersilang yang berkibar di sampingnya. Tank itu menembakkan pelurunya ke arah kumpulan Nyxian yang mendekat.BAMM..!BAMM..!BAMMMM..!Ledakan demi ledakan menghancurkan keheningan, meriam tank berputar perlahan, presisi dan penuh perhitungan. Di dalam kabin, mekanisme meriam terdengar menggeram.Raut wajah Zane menggelap, mata abu-abunya berubah menjadi dingin mematikan. Ia berubah menjadi pemburu. Pemburu mangsa dengan cuaca buruk yang tak terbendung.Setiap gerakan di layar ia pantau dengan ketelitian luar biasa, hingga urat nadinya menonjol, berdenyut seiring dorongan adrenalin yang meningkat. Jemarinya siap menekan tombol tembak, menghitung waktu yang tepat seiring alunan musik tempur yang hanya ia dengar di kepalanya. Ada
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett