"Kau masih hidup ternyata," kata Zane sambil menjatuhkan senjatanya. Ia menyilangkan tangan di dadanya, suaranya dingin namun ada kehangatan samar di baliknya.
Itu adalah sahabatnya, Kai. Yang tampak lebih ceria dari yang Zane ingat. Meskipun aura liciknya tak pernah hilang, dia selalu berhasil dengan ide-idenya yang brilian. Kai menyeringai lebar. Ia berjalan mendekati Zane sambil tangan terangkat keatas. “Sial, Zane! Kalian benar-benar ketinggalan berita. Aku baru saja menghabiskan waktu di tempat yang lebih menarik daripada markas kakekmu itu. Sungguh, suasananya membosankan!” Reed menodongkan pistolnya ke arah kepala Kai. "Maaf, Tuan. Dia adalah orang yang menyebabkan semua ini terjadi. Apa kau mengenalnya?" “Singkirkan tanganmu sekarang, Reed,” potong Zane, tanpa meninggalkan ruang untuk penolakan. Kai hanya menyeringai lebar, mata hitamnya berkilau nakal. "Oh, aku hanya ingin memastikan kau masih ingat bagaimana caranya menghindar dari ledakan tank." Zane mendengus, tidak bisa menahan senyum yang perlahan muncul di wajahnya. "Dasar, bajingan," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Aku seharusnya tahu ini kerjaanmu." Reed, yang masih menodongkan senjata, tampak bingung. "Tuan, orang ini... dia—" "Turunkan senjatamu, Reed," Zane memotong tegas, sambil melangkah maju. "Dia temanku... meski menyebalkan setengah mati." Reed menurunkan pistolnya perlahan, masih dengan raut wajah tak percaya. "Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau dia—" "Tinggalkan kami," Zane menyuruhnya dengan nada dingin, meski tidak ada kemarahan dalam suaranya. "Aku akan bicara dengan si bajingan ini sendiri." Reed dengan cepat menyelipkan senjatanya kembali, menunduk hormat, dan pergi dengan cepat, begitu pula para prajurit lainnya meninggalkan Zane dan Kai sendiri di tempat itu. "Hei, bisakah kau membawaku ke dalam? Atau kau akan kehilangan sahabatmu yang berharga ini karena mati membeku." Zane memandang Kai seperti orang itu adalah serangga. Ia pun mengajak Kai kembali, auranya dingin namun ada kehangatan samar di baliknya. "Jadi, apa yang kau dengar kali ini?" tanya Zane, menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap sahabat lamanya. Kai berdiri sambil membersihkan debu yang jelas-jelas tidak ada dari pakaiannya. "Cukup untuk tahu kalau kau masih suka bermain api, Zane. Tapi tenang saja, rahasiamu aman bersamaku... seperti biasa." Kai meraih satu kursi dan duduk dengan kedua tangan dibelakang kepalanya. "Jadi, maafkan aku jika sebenarnya, aku hanya mencari kesenangan di istana kecilmu tadi." Kai terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Tanpa peringatan, Zane melesat maju, mencengkeram kerah baju Kai dan mengangkatnya dengan mudah. Tubuh Kai yang ramping terangkat dari kursi, sementara senyum di wajahnya masih belum luntur. "Kau mengganggu waktuku yang paling berharga," gumam Zane, matanya menyala penuh kemarahan. "Listrik dan air mati, seluruh pangkalan berantakan, dan kau di sini tersenyum seperti tidak ada yang salah!" "Tunggu, apa maksudnya?-" Kai menatap bingung sahabatnya itu. Dia memang menembak tank itu, tapi kalau soal mematikan seluruh sumber daya, itu bukan gaya bercandanya. Kai terbatuk-batuk, lehernya mulai sesak. "Hei, hei! Itu... bukan aku!" Kai menepuk-nepuk tangan Zane yang semakin mencengkramnya hingga ia sulit bernapas. "Turunkan aku, oke? Jangan langsung menyalahkanku!" Zane menatapnya tajam, melepaskan cengkramannya, emosinya melonjak. "Kau yakin? Kau selalu punya cara membuat segalanya jadi berantakan. Apa kali ini ulahmu juga?" Kai mengangkat kedua tangannya yang masih bebas, ekspresinya mendadak serius meski sedikit bingung. "Serius, Zane. Kali ini bukan aku. Maksudku, aku bersumpah aku tidak pernah melakukan hal seburuk itu." Zane mengernyit. Ada sesuatu yang aneh dalam situasi ini. Kai memang terkenal usil, tetapi mematikan seluruh sistem pangkalan? Itu bukan sifat Kai. "Jadi kau bilang, semua ini kebetulan?" Kai mengangguk cepat, meski masih tergantung di udara. "Aku bahkan merasa aneh. Sumpah, aku hanya iseng membuat ledakan di hutan. Tiba-tiba, semuanya kacau balau begini." Zane melepaskan genggamannya perlahan, membiarkan Kai kembali berdiri di tanah. Emosinya mulai mereda, tetapi kecurigaannya belum hilang sepenuhnya. "Kalau bukan kau, lalu siapa? Apa ada sabotase?" Kai menarik napas dalam-dalam, merapikan kerah bajunya yang kusut. "Itu pertanyaan bagus." "Dan kalau aku boleh jujur, ini mulai bikin bulu kudukku merinding... Aku merasa ada yang aneh di sini, lebih dari sekadar lelucon kecilku." Zane memandang ke sekitar, memikirkan kemungkinan lain. Kalau ada yang mencoba sabotase markas, ini jauh lebih serius. Zane harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini. Kai menyenggol tangan Zane, seakan tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kali ini tanpa senyuman tengil. "Aku ikut. Meski aku usil, aku tidak ingin kita kena serangan dari dalam." Zane mengangguk, meski dalam hati masih setengah ragu. Tapi satu hal pasti: ada ancaman yang lebih besar dari sekadar ulah Kai yang biasanya. Kai mengerutkan kening, lalu sebuah pikiran tiba-tiba muncul di kepalanya. "Zane... apa mungkin ini ulah ayahmu?" Zane tampak bingung sejenak, tetapi cepat-cepat menepis pikiran itu. "Marcus? Untuk apa dia melakukan hal semacam ini?" Kai menyeringai. "Yah, kau menolak perjodohan yang dia atur, kan? Mungkin dia sedikit... kesal dengan keputusanmu?" Pembicaraan pun tiba-tiba teralihkan. Zane membuang wajahnya dari Kai dan menatap jauh ke depan, menyadari bahwa mungkin saja ia punya titik terang di sini. Perjodohan dengan Elara, putri Dewan Menteri, adalah hal yang dipaksakan oleh ayahnya, dan Zane telah menentangnya habis-habisan. Marcus bukan tipe orang yang akan diam saja jika kehendaknya tidak diikuti. "Dia tidak akan sampai sejauh ini..." gumam Zane pelan, tetapi dalam hatinya, ia tahu betapa keras kepala ayahnya bisa menjadi. Kai menyilangkan tangan di dadanya, sekarang mulai menikmati situasi ini. "Well, kalau kau bisa menentang Marcus Thorn, aku yakin dia bisa mematikan listrik dan air hanya untuk mengganggu hari-harimu." Zane menghela napas panjang, masih kesal, tetapi sekarang amarahnya teralihkan. "Ini tidak masuk akal. Ayahku menginginkan kekuasaan, bukan balas dendam kecil seperti ini." Kai tertawa kecil. "Ayolah, Zane. Kau tahu, ayahmu yang menyebalkan itu. Aku nggak pernah suka dia. Dan kau melawan dia, kan? Baginya, ini mungkin hanya cara halus untuk mengingatkanmu tentang siapa yang sebenarnya berkuasa. Dan jangan lupa, dia masih ingin kau menikah dengan Sersan Elara." Zane menggertakkan giginya, pikirannya bercampur aduk antara kemarahan pada ayahnya dan ketidaknyamanan tentang situasi perjodohan itu. "Aku sudah bilang, aku tidak akan menikahi seseorang yang tidak kucintai. Aku bukan lagi pion yang bisa diatur begitu saja." Kai terdiam sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak sampai bahunya bergetar. "Ini benar-benar konyol." Kai menggelengkan kepala. Zane memutar matanya, menyesali kata-kata yang telah keluar dari mulutnya. "Seharusnya aku yang dijodohkan dengan seseorang yang lebih menarik, bukan dirimu." "Ini bukan lelucon," Zane menjawab dengan nada serius. "Dia menganggap cinta adalah kelemahan. Dia hanya memikirkan kekuasaan dan kontrol." Kai tersenyum sinis. "Kau tahu, Zane, aku tidak menyangka kau bisa memahami cinta. Bukankah itu hanya untuk orang-orang lemah? Seperti, ya, katakanlah, manusia biasa?" Zane menatapnya tajam. "Cinta bukan kelemahan. Aku ingin hidupku sendiri, bukan hanya menjadi pion dalam permainan ayahku." "Aku mengerti," kata Kai, mengangguk. "Tapi, apakah kamu akan melawan seluruh sistem hanya untuk seorang sersan?" Zane menggelengkan kepala, ekspresinya menunjukkan rasa frustasi. "Sebenarnya aku tidak ingin berperang melawan dia. Ini bukan hidup yang kuinginkan. Aku harus menemukan cara untuk membatalkan perjodohan ini, tanpa membuatnya semakin marah." Kai berpikir sejenak, bibirnya tersenyum tipis. "Kau selalu terlalu baik, Zane. Baiklah, aku punya satu ide." Dia mendekatkan wajahnya ke arah Zane, matanya berkilau penuh misteri. "Tapi kali ini... ideku ini benar-benar jenius." Zane mengangkat alis, menatap Kai penuh tanya, menunggu penjelasan lebih lanjut. Namun sebelum Kai sempat membuka mulut, suara pintu berderit terdengar dari luar, dan langkah-langkah kaki mendekat. Kreeekkk.. Tok, tok, tok. Zane dengan cepat meluruskan postur tubuhnya, bersiap menghadapi orang yang masuk. Kai, dengan senyum penuh teka-teki, hanya berkata, “Kau akan berterima kasih padaku nanti, Zane. Tapi untuk sekarang... kita biarkan ini jadi rahasia kecil kita.”Ketika langkah kaki di luar semakin dekat, Kai bersiul pelan, matanya bersinar licik. Zane mengarahkan pandangannya ke pintu yang terbuka, tapi sebelum siapa pun masuk, Kai bergumam pelan, “Kau akan suka ideku yang satu ini, percayalah.”Reed muncul dari balik pintu, menghentikan percakapan mereka. Dia tampak agak ragu, seperti menilai situasi sebelum berbicara."Tuan, ada laporan penting yang perlu segera Anda lihat," kata Reed dengan sikap tegas, matanya sesekali melirik ke arah Kai, yang masih tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa.Zane berdiri, wajahnya berubah dingin dan serius dalam sekejap. "Lagi? Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar penuh kejengkelan. Ia lalu menatap Kai sejenak sebelum memberi tanda kepada Reed untuk keluar lagi.Kai, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan senyum setengah mengejek, tiba-tiba menyela. "Tentu saja, lagi. Tampaknya selalu ada 'sesuatu yang aneh' terjadi setiap kali kau mencoba mandi, Zane," katanya dengan nada bercanda, mesk
"Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan.Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya."Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK..Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. De
Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan
Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur
Zane melangkah menembus lapisan prajurit yang sedang bekerja. Dia mengangkat tangan pada tentara yang bergegas maju saat dia membuka pintu. Hari ini waktunya pelaporan. Zane lalu duduk di kursi besar di ujung meja. Reed berhenti disampingnya. Zane melihat jari-jarinya mendorong tabung berisi cairan berwarna cerah. Zane menggelengkan kepala, "Menurutku," katanya, dengan lebih lembut. "Kau tak perlu menyajikan hal-hal yang tidak perlu." "Tentu saja, Tuan." Reed balas lebih seperti berbisik. Namun, Reed tak bisa menahan diri. Dia melihat betapa tidak terjaganya atasannya itu, bagaimana lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. “Tapi, Jenderal, ini bisa membantu—” “Tinggalkan suplemennya,” Zane memotong, suaranya lebih tegas. Reed menghela napas panjang. “Tetapi hanya jika Anda berubah pikiran…” suaranya pelan dan penuh harap. Zane pun mengangguk. "Panggil mereka." "Baik, Tuan." Tugasnya adalah memimpin. Namun, sejak Scarlett datang, Zane tidak bisa fokus dan jarang ti
Kai terseret, terpincang-pincang, dengan desahan kesakitan setiap kali Zane menariknya terlalu keras. “Kawan, aku tahu aku brengsek, tapi kau tidak harus membuktikan itu pada setiap langkahku!” Zane mengabaikannya, membanting Kai ke kursi dan membuka kotak pertolongan pertama yang ia bawa. Kotak itu terlihat usang tapi lengkap, isinya rapi—tanda bahwa Zane selalu siap. “Dari mana kau dapat semua itu?” Kai meringis saat Zane mulai memotong kain yang melilit luka di lengannya. Zane tidak langsung menjawab, tangannya tetap mantap saat ia menarik peluru kecil yang bersarang di bahu Kai. Kai menjerit seperti anak kecil, tubuhnya menegang. “Berhenti berteriak. Kau membuat pekerjaanku lebih sulit,” Zane mengomel, tanpa melihat wajah Kai. “Berhenti berteriak?! Ada peluru keluar dari tubuhku, bro! Kau sadar itu sakit, kan?” Zane berhenti sejenak, menatap Kai dengan tajam sebelum melanjutkan pekerjaannya. “Aku belajar menjahit luka sendiri sejak umur sepuluh tahun,” katanya datar.
Zane bersembunyi di ruang penyimpanan senjata di salah satu bagian paling terpencil dari markas The Dominion. Meski jarang menginjakkan kaki di tempat ini, ia memiliki kemampuan luar biasa untuk mengingat setiap lorong dan sudut yang pernah dilaluinya. Di ruangan sempit yang remang-remang itu, bau logam dan pelumas memenuhi udara. Zane menatap tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai dingin dengan lubang peluru tepat di jantungnya. Seharusnya pria itu sudah mati—tidak ada yang bisa bertahan setelah tembakan seperti itu. Namun, tugasnya belum selesai. Putri Aldrich, Elara, masih menjadi target berikutnya. Reed berdiri kaku di pintu, tatapannya terfokus pada tubuh Aldrich yang tergeletak di lantai. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara, suaranya rendah dan hati-hati. “Tuan,” panggilnya, dengan penuh penghormatan. Reed terlihat gelisah. “Izinkan saya bertanya… apa yang akan selanjutnya Tuan lakukan?” Zane, yang sedang mengisi ulang peluru di pistolnya, melirik sekilas tanpa me
.... Zane berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya dengan sorot mata penuh kebencian. Setengah berpakaian, tubuhnya masih dibalut celana seragam militer hitam dan kemeja putih yang belum terkancing. Ia merapikan kerahnya, pikirannya jauh melayang pada hari esok yang akan mengubah segalanya. Pernikahan yang dirancang oleh Marcus, ayahnya, adalah perangkap—tali pengikat yang akan membunuh sisa-sisa kebebasannya. Ketukan pelan di pintu menghentikan gerakannya. Sebelum sempat menjawab, pintu terbuka, dan Scarlett melangkah masuk. Mata Zane menyipit, napasnya tercekat. "Scarlett?" gadis yang seharusnya tidak berada di sini, berdiri di ambang pintu. “Apa yang kau lakukan di sini?” Scarlett menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan, matanya seperti kobaran api. Rambutnya yang panjang tergerai, berkilau di bawah cahaya redup ruangan. "Aku merindukanmu." katanya. Nadanya manja tetapi mengandung luka. Scarlett lalu menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan ke arah Zan
Zane menyeringai, bibirnya melengkung ke atas dengan kepercayaan diri yang mematikan. "Sebenarnya," katanya lembut namun penuh kemenangan. "Kami sudah tahu." Liam terdiam, ekspresinya berubah waspada saat Zane membalikkan badan dengan santai. Dengan gerakan yang mulus, Zane mengenakan kembali jasnya, merapikan lipatannya dengan ketelitian seorang pria yang tak terburu-buru. Langkahnya tegas saat ia mulai berjalan menjauh. "Pastikan orang-orang di sayap medis merawat Kai," katanya ke arah salah satu bawahannya tanpa melihat ke belakang. Liam mengerutkan kening, matanya menyipit penuh kecurigaan. Ia mengepalkan tangan, seolah menahan dorongan untuk menyerang, sebelum akhirnya berteriak, "Aku tahu! Aku tahu kau punya kekuatan supranatural juga. Kau bisa melihat emosi setiap orang, kan? Itu sebabnya kau selalu tahu apa yang kupikirkan!" Zane berhenti di tengah langkahnya. Ia tidak langsung menoleh, hanya berdiri diam beberapa detik, menciptakan ketegangan yang menggantung di
Liam bersandar pada dinding baja dingin di ruang interogasi pangkalan militer Sektor 7, tato emas di lengannya berpendar samar di bawah cahaya redup. Dengungan halus dari inti energi ruangan itu terdengar seolah merespons kekuatan yang memancar dari tubuhnya. Senyumnya tajam, penuh kesombongan yang membuat Zane mengepalkan tinjunya dengan keras. "Kau tahu," Liam memulai, suaranya licin dan beracun, "ada sesuatu yang istimewa setiap kali membunuh Nyxian. Bukan hanya sensasi pertarungan atau kemenangan, tapi apa yang terjadi setelahnya." Ia merentangkan lengannya, memperlihatkan tato emas rumit yang melingkar di lengannya seperti urat logam cair. "Setiap kali aku membunuh salah satu dari makhluk itu, tanda-tanda ini menyala... dan bertambah." Mata Zane melirik tato-tato itu, yang berpendar samar seperti hidup. Rahangnya mengeras. "Lalu apa? Kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?" Liam terkekeh, tawa dingin penuh ejekan. "Bukan begitu, Jenderal. Itu membuatku lebih kuat. Setiap
"TAPI AKU TIDAK AKAN MUNDUR..""Tidak sekarang..."Kemudian suara dentuman keras mengguncang tanah dan membuat makhluk-makhluk kabut itu terhuyung... Ketika tank utama, yang dikendarai oleh Zane, Tank 007, dengan bendera hitam berlambang tengkorak dan pedang bersilang yang berkibar di sampingnya. Tank itu menembakkan pelurunya ke arah kumpulan Nyxian yang mendekat.BAMM..!BAMM..!BAMMMM..!Ledakan demi ledakan menghancurkan keheningan, meriam tank berputar perlahan, presisi dan penuh perhitungan. Di dalam kabin, mekanisme meriam terdengar menggeram.Raut wajah Zane menggelap, mata abu-abunya berubah menjadi dingin mematikan. Ia berubah menjadi pemburu. Pemburu mangsa dengan cuaca buruk yang tak terbendung.Setiap gerakan di layar ia pantau dengan ketelitian luar biasa, hingga urat nadinya menonjol, berdenyut seiring dorongan adrenalin yang meningkat. Jemarinya siap menekan tombol tembak, menghitung waktu yang tepat seiring alunan musik tempur yang hanya ia dengar di kepalanya. Ada
“Kita harus hati-hati,” Kai berkata. Ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.“Sial... Sepertinya makhluk-makhluk ini lebih buruk dari yang kita bayangkan.”Tank-tank milik Phantom Vanguard mulai merayap maju. Zane duduk di dalam tank, matanya tajam memandang layar komando. Tembok pembatas Sektor 7 kini diselimuti kabut pekat, menambah ketidakpastian yang menghantui pasukan Zane. Sebelumnya Dr. Harris telah menjelaskan makhluk ini bernama Nyxian, makhluk tak terdefinisi yang menyedot energi, namun saat ini penjelasan itu masih terasa samar dan sulit dicerna Zane. Semuanya terlalu cepat. Sekarang mereka tak tahu apa yang akan mereka hadapi—semuanya hanya pasrah, tidak ada petunjuk. Pasukannya, yang awalnya penuh semangat, kini tampak ragu. Karena prajurit bagian depan, yang sebelumnya berdiri tegap, kini berjatuhan ke tanah, tubuh mereka bergetar hebat. Di sekeliling, kabut hitam itu bergerak seperti ular, saling melilit dengan kecepatan yang menakutkan. Zane melihat mata salah
Zane berdiri di depan kamar Scarlett, mengamati pintu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia telah memerintahkan semua anak buahnya untuk meninggalkan ruangan itu persis seperti sebelumnya—tak ada satu orang pun yang diizinkan memasukinya kecuali dirinya. Hanya dia yang berhak melihat keadaan kamar itu pertama kali.Dan ini, tugas yang diberikan ayahnya sebelum ia pergi lagi dari pangkalan. Yang bagi Zane ini cukup melegakan.“Itu saja, Reed. Aku akan memberitahumu jika aku butuh bantuan,” ucap Zane, suaranya tegas.Reed, yang luka bakarnya baru saja diobati oleh Dr. Harris menggunakan ekstrak gelang lunastone milik Scarlett, tampak menunduk, tatapannya menyiratkan penyesalan. Sejak Scarlett diculik oleh Kolonel Voss, Reed merasa bersalah, meski tugas pengawasan sebenarnya ada di tangan Kai. Reed bahkan menyalahkan dirinya sendiri ketika Zane tak hadir dalam pertemuan dua hari lalu, dan ia merasa dirinya gagal melindungi Scarlett.Jika Kai bukan orang kepercayaan, Zane mungkin suda
Wanita yang dipanggil Bu itu bernama Tess. Ia menghapus ludah Scarlett dari wajahnya dengan ekspresi jijik, lalu mendekat lebih lagi ke kaca sel. Wajahnya, yang biasanya tenang, kini tampak puas melihat kondisi Scarlett yang lemah dan tak berdaya.“Kau masih punya nyali juga, ya, adik perempuan Kieran,” ujarnya, senyumnya meremehkan. “Mungkin seharusnya aku berterima kasih atas hiburannya.”"Apa katamu tadi?" desis Scarlett, Scarlett menatap Tess dengan mata berkilat marah, tapi tubuhnya tak sekuat tekadnya. Sementara itu, Kolonel Voss, yang Scarlett tahu merupakan salah satu anak tertua di kelompok itu—mendekati mereka. Sekarang ia tidak dengan seragam militernya. Dia sangat berbeda. Posturnya tinggi dan kurus dengan rambut hitam yang diikat longgar ke belakang. Ia berdiri di samping Tess, melipat tangan dengan santai.“Aku tak bisa menyalahkan Tess kalau dia ingin menikmati pemandangan ini,” katanya dengan seringai lebar. “Betapa cantiknya dirimu dalam keadaan seperti ini, Scarlett