Ketika langkah kaki di luar semakin dekat, Kai bersiul pelan, matanya bersinar licik. Zane mengarahkan pandangannya ke pintu yang terbuka, tapi sebelum siapa pun masuk, Kai bergumam pelan, “Kau akan suka ideku yang satu ini, percayalah.”
Reed muncul dari balik pintu, menghentikan percakapan mereka. Dia tampak agak ragu, seperti menilai situasi sebelum berbicara. "Tuan, ada laporan penting yang perlu segera Anda lihat," kata Reed dengan sikap tegas, matanya sesekali melirik ke arah Kai, yang masih tampak begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa. Zane berdiri, wajahnya berubah dingin dan serius dalam sekejap. "Lagi? Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar penuh kejengkelan. Ia lalu menatap Kai sejenak sebelum memberi tanda kepada Reed untuk keluar lagi. Kai, yang duduk bersandar di sudut ruangan dengan senyum setengah mengejek, tiba-tiba menyela. "Tentu saja, lagi. Tampaknya selalu ada 'sesuatu yang aneh' terjadi setiap kali kau mencoba mandi, Zane," katanya dengan nada bercanda, meskipun ia tahu suasana sedang tegang. "Mungkin alam semesta sedang mempermainkanmu." Kai, yang menyadari bahwa suasana menjadi lebih formal, bangkit dari kursinya, melipat kedua lengannya sambil tersenyum lebar. “Sepertinya tugas menunggu, eh, Zane? Kau benar-benar tipe orang yang sibuk sekarang.” Zane tidak merespons ejekan itu, hanya menatap Kai dengan sorot mata penuh tanya. "Pergilah ke neraka sekarang juga. Jangan main-main denganku." Kai terkekeh pelan, mendekatkan diri ke Zane, dan menepuk pundaknya dengan lembut. "Aku serius kali ini, Zane. Bagaimana kalau kau membuat mereka berpikir kau jatuh cinta dengan orang lain? Seseorang yang tak mungkin mereka abaikan… atau mungkin bahkan seseorang yang tak bisa mereka sentuh?" Zane menegang sejenak, memandang Kai dengan tajam. “Apa maksudmu?” Sebelum Kai sempat menjelaskan lebih jauh, pintu terbuka lagi dengan tiba-tiba. Kali ini, Reed datang membawa seorang pria berpakaian dokter muncul di ambang pintu. Dia adalah seorang peneliti junior yang baru beberapa tahun bertugas di pangkalan militer. “Tuan, ada petugas yang ingin bicara dengan Anda tentang sesuatu yang penting.” Kai menarik diri, senyumnya semakin lebar. “Nah, kurasa ini waktunya aku pergi. Tapi pikirkan idenya, Zane. Mungkin saja jawabannya ada di depanmu sekarang.” Dengan itu, Kai menepuk pundaknya dan melangkah keluar. Meninggalkan Zane bersama ketiga orang itu. Dokter pria itu datang dengan langkah cepat. Tertulis di seragam putih nya 'dr. Caelan Rowe'. Ia berpenampilan rapi serta membawa pulpen dan clipboard ditangannya. “Jenderal Thorn,” katanya dengan suara bergetar. “Saya perlu memberitahukan sesuatu yang mendesak. Baru saja, tim patroli menemukan seorang gadis terluka parah tak jauh dari pangkalan." Zane menatapnya tajam, menuntut penjelasan lebih lanjut. "Apa kau tidak bisa memberi laporan yang lebih baik? Dari mana gadis itu berasal?" dr. Caelan terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. "Kami tidak tahu, Pak. Tapi yang kami tahu adalah dia mengenakan seragam militer, tetapi sangat berbeda dari yang biasa kami lihat. Pakaian itu tampaknya dirancang untuk bertahan dalam kondisi ekstrem." "Jadi, kau tidak bisa memastikan apakah dia prajurit atau bukan?" Zane mendesak, suaranya meningkat. Bawahannya menggelengkan kepala, tampak semakin tertekan. "Tidak, Pak. Namun, setelah meneliti, saya rasa... dia tidak normal. Kalimat-kalimat yang dia ucapkan sebelum pingsan tidak dapat kami mengerti." Zane menjadi marah. "Apa maksudmu dengan 'tidak normal'?" Dia tidak suka dengan ketidakpastian. Peneliti junior itu menghela napas, mencari kata-kata. “Eh.. Kami telah memeriksanya, dan… jujur, kami tidak yakin. Ada sesuatu yang aneh. Kami mendeteksi—" Dia mulai menggunakan istilah-istilah teknis yang membuat Zane bingung. Zane mendengus, melipat tangannya di depan dada. “Aku seorang prajurit, Junior. Bukan ilmuwan. Jelaskan dengan jelas.” Peneliti itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan lebih sederhana, “Gadis itu... sepertinya memiliki kekuatan super.” Zane terdiam sejenak, memproses informasi tersebut. Pikiran-pikirannya berputar. Kekuatan super? Dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan kekacauan dan perang, munculnya seseorang dengan kemampuan luar biasa bisa berarti banyak hal. Namun, rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa waspadanya sekarang. "Siapkan tim medis. Bawa dia ke markas dan lakukan pemeriksaan. Saya ingin tahu siapa dia sebenarnya dan apa yang bisa dia lakukan," perintah Zane dengan ketegasan. Dr. Caelan mengangguk cepat, merasa lega karena perintah Zane yang tegas mengakhiri ketegangan di ruangan itu. Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya sedikit tersendat. Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan lagi, namun ia ragu-ragu. Zane, dengan tatapan tajamnya yang biasa, menangkap kegelisahan itu. "Apakah ada hal lain, Dr. Rowe?" suara Zane memecah keheningan, dingin namun memerintah. Caelan berhenti di ambang pintu, berbalik dengan ekspresi gugup yang masih melekat di wajahnya. "Satu hal lagi, Jenderal," ujarnya, suaranya sedikit gemetar. "Kami menemukan luka di tubuh gadis itu... tapi luka-luka tersebut tampaknya sembuh dengan kecepatan yang tidak biasa. Hampir seperti—" Zane menatapnya tajam, memotong ucapan yang tidak diperlukan. "Hampir seperti apa?" Dr. Caelan menelan ludah, merasa semakin berat berada di bawah tatapan Zane. "Hampir seperti dia memiliki kemampuan penyembuhan diri. Luka-lukanya terlihat dalam saat pertama kali ditemukan, tapi beberapa jam kemudian, sebagian besar sudah tertutup." Zane terdiam sejenak lagi, memproses informasi yang semakin rumit ini. Kekuatan super, penyembuhan cepat, dan seragam misterius. Gadis ini bukan prajurit biasa—mungkin juga bukan manusia biasa. Pikiran-pikiran ini berputar di kepalanya, tetapi ekspresinya tetap tenang. "Segera siapkan ruang isolasi dan peralatan medis terbaik. Jangan ada yang mendekatinya tanpa izin saya," Zane memerintah dengan suara rendah, penuh kendali. "Dan pastikan seluruh operasi ini tetap rahasia. Tidak ada informasi yang keluar dari markas, mengerti?" "Ya, Jenderal," jawab Dr. Caelan dengan cepat sebelum segera meninggalkan ruangan, perasaannya campur aduk antara ketakutan dan rasa penasaran terhadap siapa gadis misterius itu. Zane memandang ke jendela besar di ruangannya, matanya menerawang menembus pemandangan luas di luar pangkalan. Dunia telah berubah begitu drastis sejak perang pecah, dan kekuatan seperti ini—sesuatu yang luar biasa—hanya bisa berarti satu dari dua hal: ancaman atau peluang. Seperti biasa, Zane harus berada selangkah di depan. Di luar, angin malam berembus dingin, membawa aroma tanah yang basah dan keheningan yang tidak biasa. Zane mengambil keputusan. Zane berhenti sejenak, menatap sekeliling ruangan megahnya yang dingin dan kosong, seperti hatinya yang terbiasa dengan kekerasan. Dunia telah berubah. Kekuatan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di tengah perang ini. Dia tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Hm... Sepertinya ini akan menarik.” Saat langkah-langkahnya bergema di koridor panjang, Zane mempersiapkan dirinya. Dia akan mencari tahu segala sesuatu tentang gadis itu. Tidak ada pilihan lain. Di dunianya, siapa pun yang memiliki kekuatan lebih besar akan selalu menang."Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan.Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya."Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK..Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. De
Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan
Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur
Zane melangkah menembus lapisan prajurit yang sedang bekerja. Dia mengangkat tangan pada tentara yang bergegas maju saat dia membuka pintu. Hari ini waktunya pelaporan. Zane lalu duduk di kursi besar di ujung meja. Reed berhenti disampingnya. Zane melihat jari-jarinya mendorong tabung berisi cairan berwarna cerah. Zane menggelengkan kepala, "Menurutku," katanya, dengan lebih lembut. "Kau tak perlu menyajikan hal-hal yang tidak perlu." "Tentu saja, Tuan." Reed balas lebih seperti berbisik. Namun, Reed tak bisa menahan diri. Dia melihat betapa tidak terjaganya atasannya itu, bagaimana lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. “Tapi, Jenderal, ini bisa membantu—” “Tinggalkan suplemennya,” Zane memotong, suaranya lebih tegas. Reed menghela napas panjang. “Tetapi hanya jika Anda berubah pikiran…” suaranya pelan dan penuh harap. Zane pun mengangguk. "Panggil mereka." "Baik, Tuan." Tugasnya adalah memimpin. Namun, sejak Scarlett datang, Zane tidak bisa fokus dan jarang ti
Reed sudah berdiri menunggu, diam seperti biasanya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengikuti Zane dengan langkah yang cepat namun teratur. Dua langkah untuk setiap langkah panjang Jenderal. Reed dapat merasakan amarah yang membara di dalam Zane—tanda pasti dari kerutan yang dalam di keningnya, serta keheningan yang lebih berat dari biasanya.Zane menatap lurus ke depan, pikirannya berputar tajam. Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri. Ketika pintu tertutup di belakangnya, suasana di dalam ruangan itu langsung berubah. Dewan Menteri Aldrich.. pria berumur dengan rambut perak dan penampilan berwibawa, tersenyum lebar, sedangkan Sersan Elara, wanita muda yang berdiri di sampingnya, mengamati Zane dengan perhatian.Zane menghormati mereka dengan anggun. "Menteri Aldrich," ucapnya. Tegas dan penuh rasa hormat. Aldrich mengangguk pelan, matanya menyelidik, memandang Zane dengan sorot yang penuh perhitungan. "Jenderal Zane, senang akhirnya bisa berb