"Kau tidak boleh mati di sini! Tidak hari ini!"
Desisnya dalam hati, berusaha keras untuk bangkit. Tetapi tubuh dan kakinya lemas, sudah tak sanggup melawan. Malam itu, di tengah udara dingin yang menggigit kulit, serta bau asap dari kamp yang terbakar, seorang gadis berlari sekuat tenaga. Ia telah terpisah dari teman-temannya, rasa panik dan ketakutan mulai menguasai dirinya. Sesosok makhluk aneh itu terus mengejarnya. "Tolong, kembalilah. Aku butuh kalian. Aku tidak bisa melawan semua ini sendirian!" Katanya sambil mengusap air matanya yang terjatuh ke tanah. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin yang membuat otot-ototnya terasa terbakar. Napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi tubuhnya. BRUKKK.. Dia tersandung akar pohon yang mencuat dari tanah, tubuhnya terlempar ke depan dan jatuh ke tanah keras. Lututnya berdarah-darah, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Dia memekik, tapi segera terdiam saat mendengar langkah berat makhluk itu semakin dekat. Dengan panik, gadis itu berusaha bangkit, namun tubuhnya tidak mau diajak bekerja sama. “Tidak… bangun, Scarlett… bangun!” Ia memerintahkan dirinya sendiri, tapi tubuhnya seakan membeku. Dalam ketakutan yang luar biasa, ia berbalik dan melihat makhluk itu keluar dari bayangan. Tubuhnya besar, hitam pekat, dengan kulit kasar seperti batu. Mata merahnya menatap langsung ke arahnya, penuh kebencian dan haus darah. Suara erangan rendahnya seperti teriakan dari neraka, seolah menghantui setiap langkah. Taring-taring panjangnya berkilauan di bawah sinar bulan, siap mencabik tubuhnya. Gadis itu menjerit, seperti ia akan benar-benar mati hari ini. Ia merasakan seluruh tubuhnya menggigil hebat. Kemudian ia memejamkan mata, berharap ada keajaiban yang bisa menghentikan makhluk itu. Tapi tiba-tiba, ada ledakan aneh di sekitarnya, seperti percikan api yang menyebar di seluruh tubuhnya. Itu api yang berwarna bitu. Panas. Panas yang membakar. Matanya terbelalak, napasnya tercekat. Dari telapak tangannya, keluar aliran energi yang kuat, seolah-olah ada kekuatan asing yang meletup-letup di dalam dirinya. Cahaya biru mulai bersinar di sekeliling tangannya, semakin terang, semakin panas. "Apa... apa yang terjadi padaku?" gumamnya, suara seraknya nyaris tak terdengar. Makhluk itu melompat ke arahnya, taringnya terbuka lebar, siap menghancurkan dirinya. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, ledakan cahaya plasma meledak dari tangannya, menyapu makhluk itu dalam sekejap. ZAPPP! Sebuah ledakan menghantam tubuh makhluk tersebut dengan kekuatan yang luar biasa, memecahkannya menjadi abu dalam hitungan detik. Gadis itu terdiam, gemetar. Matanya menatap tangannya yang masih berkilauan dengan cahaya biru, panas namun tidak menyakitkan. Napasnya terengah, tubuhnya terasa seperti habis terbakar dari dalam. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya gemetar, bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang baru saja terbangun di dalam dirinya. Kekuatan itu… datang dari dirinya. Dia baru saja membunuh makhluk itu. Bagaimana? Ia tampak kebingungan. Keheningan masih mencekam, ia terduduk di tanah, jari-jarinya masih terasa panas dan berdenyut. Namun, keheningan itu tidak bertahan lama. Dari kejauhan terdengar suara. "Kau!" teriak salah satu suara, "Kau yang memiliki kekuatan itu!" Pembunuh dengan seragam hitam, senjata terangkat, mendekat ke arahnya. Tubuhnya belum sepenuhnya memahami kekuatan yang baru muncul itu, namun kini dia harus bertarung atau mati. Gadis itu menggertakkan giginya, mencoba memanggil kembali energi yang tadi menghancurkan makhluk tadi, tapi tidak ada yang terjadi. Tubuhnya terasa kosong, seperti seluruh tenaga telah terkuras habis. Dari balik bayangan, seorang pria misterius pun muncul, membawa senjata berkilat di tangannya. Matanya memancarkan niat jahat. Orang itu semakin mendekat. "Jadi... inilah kau," katanya, suaranya rendah dan dingin. "Gadis dengan kekuatan super. Kau harus pergi denganku." "Siapa kau?! Apa yang kau inginkan dariku?!" Teriaknya, sambil perlahan mundur. Pembunuh itu tidak menjawab, hanya mengarahkan senjatanya tepat ke arahnya. "Tidak ada gunanya melawan. Kau adalah milik ku sekarang." Gadis itu menahan napas, mencoba mencari jalan keluar, tetapi segala kemungkinan tampak menghilang di depan matanya. Ia mencoba memanggil kekuatan yang baru saja menyelamatkannya, tapi tangannya kini kosong, tidak ada lagi energi yang bisa dikeluarkannya. Tepat saat pria itu siap menarik pelatuk senjatanya, sebuah suara menggelegar datang dari kegelapan. BRUAKK! Bayangan besar melesat dari sisi hutan, menerjang pria bersenjata itu dengan kekuatan brutal. Pria itu terhempas ke tanah, senjatanya terlempar jauh. Dia hanya bisa menatap dengan ngeri dan takjub, tak tahu apa yang sedang terjadi. Di hadapannya berdiri sosok hitam, tinggi, dan wajahnya tersembunyi dalam bayangan malam. Sosok itu menoleh ke arahnya. Mata tajamnya bersinar di kegelapan, menatap langsung ke dalam jiwanya. Gadis yang ketakutan, tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang menenangkan dari tatapan sosok misterius ini. Pria itu berjalan mendekati. "Jangan bicara. Ikut denganku jika kau ingin tetap hidup," suaranya berat dan penuh otoritas. Merasa tak punya pilihan lain, ia berdiri dengan gemetar, dan saat ia akan melangkah, pria bersenjata yang tergeletak tadi mulai bergerak, mencoba bangkit. Pria misterius itu berbalik, dan dengan satu gerakan cepat, dia mengayunkan tinjunya, membuat pria itu pingsan kembali. Ia menatap tajam dan dengan tegas menjawab, “Aku tidak akan pergi ke mana pun, tanpa tahu siapa kau dan apa yang kau inginkan dariku.” Gadis itu menggertakkan giginya. “Aku baru saja membunuh makhluk yang seharusnya menghancurkanku, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana aku melakukannya. Jadi, jangan coba-coba berpikir bahwa aku lemah atau bisa diperintah begitu saja.” Ia tak menyangka, gadis yang didepannya tidak takut sama sekali padanya. “Jika kau mau aku ikut, beri tahu aku dulu siapa kau, atau-” Namun sebelum sempat melanjutkan pertanyaannya, mereka terhenti di tengah hutan yang sunyi. Pria hitam itu mendekatkan wajahnya, masih tersembunyi di bawah bayangan malam, suaranya serak dan rendah. "Ini baru permulaan, Scarlett." Tenggorokan Scarlett tercekat saat pria itu mendekatkan wajahnya. Menyentuh ujung dagunya. Menatap sangat dalam kedua bola mata yang sedang ketakutan. "Akan ada lebih banyak lagi yang mengejarmu..." DEGH! Kalimat itu meluncur dari bibirnya seperti sebuah mantra, membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana.. bagaimana dia tahu namanya? Seketika, sosok itu menghilang di balik kabut malam, meninggalkan Scarlett yang berdiri sendirian di tengah hutan. Angin dingin menyapu kulitnya, membawa bisikan aneh di antara pohon-pohon yang bergoyang. Scarlett berdiri kaku, memegang erat-erat tangan yang tadi memancarkan kekuatan. Kekuatan apa yang baru saja ia lihat? Mengapa semua orang menginginkannya? Namun, pandangannya perlahan menjadi gelap. Dia tidak bisa melihat apa pun, hanya merasakan angin dingin yang menghembus di wajahnya. Tubuhnya terasa lemah, seolah semua kekuatan yang baru saja bangkit menghilang. Dia terjatuh ke tanah, merasakan semangatnya surut dalam kegelapan. Ia tahu, mulai hari ini. Hidupnya tak akan pernah sama lagi.Pintu besi otomatis terbuka dengan suara mendengung rendah. Zane melangkah masuk. Beberapa ilmuwan yang sedang bekerja berhenti seketika, tubuh mereka menegak kaku seperti prajurit di depan seorang jenderal perang. Mereka mengucapkan salam dengan serempak."Selamat datang, Jenderal Thorn!" suara mereka terdengar serempak, sedikit bergetar karena gugupZane berdiri tegak di depan pintu laboratorium bawah tanah yang sunyi, wajahnya terfokus pada keheningan yang meliputi ruangan. Cahaya neon berpendar menerangi wajah-wajah prajurit dan ilmuwan yang sedang bekerja di sudut-sudut ruangan.Dengan tubuh tegap Zane segera mengamati sekelilingnya. Namun, pandangannya langsung tertuju pada satu objek di ruangan itu—seorang gadis yang terbaring di meja operasi, masih belum sadar.Ia mulai melangkah mendekat, tapi tiba-tiba Dr. Rowe melangkah maju dengan gugup."Maaf, Pak, T..tapi, saya rasa... lebih baik Anda tidak terlalu dekat dengan subjek eksperimen ini untuk sementara," ucap Dr. Rowe dengan
Zane berdiri tegap di sudut laboratorium. Di sampingnya, Reed mengamati dengan waspada. Beberapa prajurit berdiri di dekat mereka, semua mata tertuju pada gadis muda yang baru saja tersadar.Suasana penuh kepanikan pun mereda seiring dengan suara mesin yang kembali stabil, tetapi ketegangan masih terasa.Zane mengamati bentuk tubuh gadis itu yang ramping, rambut hitam legam membingkai wajahnya dan bekas luka mengotori tangannya yang mungil.Di antara helaian rambutnya yang terurai lepas, terlihat arus berwarna merah menyala, berkedip-kedip, mengalir dari akar hingga ke ujung rambutnya.Lalu mata Zane tertuju pada lengannya—cahaya biru terang bersinar, berkilauan seperti listrik statis yang bergerak lambat. Arus biru itu seakan-akan hidup, mengikuti setiap gerakan kecil dari jemarinya."Astaga.. Mengerikan." "Apa dia bahkan manusia?” "Dia seharusnya dikurung," ujar prajurit yang lain di belakangnya, suara mereka dipenuhi rasa takut dan jijik.Zane, yang mendengar percakapan mereka,
Pagi yang tenang menyelimuti, namun di ruangan briefing, suasana terasa berat. Zane duduk di kursi besar, menatap layar holografik kosong di tangannya.Pintu terbuka, Reed masuk membawa nampan berisi sarapan. Di atasnya, terdapat roti panggang, telur dadar, dan secangkir kopi hitam.Reed meletakkan nampan di meja di depan Zane, lalu berkata dengan hormat, “Tuan, saya membawakan sarapan Anda.”Zane mengangkat pandangannya, hanya sebentar, lalu menggeleng perlahan. "Aku sedang tidak berselera," jawabnya singkat dan datar.Reed tersenyum simpul dan mengangguk. Sudah terbiasa dengan suasana hati Zane. Ia pun melangkah mundur.“Beritahu aku kabar terbaru.”"Baik, Tuan.“ Reed kembali mendekati Zane."Kami sudah mengamankan gadis itu, Tuan.” Reed memulai laporannya, suaranya tegas namun ada sedikit kekhawatiran. “Yah, meski prosesnya tidak mulus..." Reed memiringkan kepalanya. "Tapi akhirnya kita berhasil.” Reed, yang masih berdiri di sampingnya tiba-tiba terkekeh tidak dapat menahan tawa
Zane berjalan tegap di depan, diapit oleh Reed dan beberapa prajurit yang mengikutinya di belakang. Langkahnya mantap dan penuh otoritas, sementara Reed mencoba bicara di sampingnya, namun Zane tidak memberikan reaksi. Fokusnya hanya tertuju pada satu hal: Scarlett. Setelah beberapa langkah, Zane tiba-tiba berhenti. Prajurit-prajurit di belakangnya langsung menghentikan langkah mereka serentak. Zane berbalik perlahan, tatapannya jatuh pada seorang prajurit yang bertugas sebagai pramusaji. “Prajurit,” panggil Zane dingin, matanya menyipit. "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" Pramusaji tampak gugup, bibirnya bergerak canggung sebelum akhirnya berbicara dengan nada tergagap, “Gadis itu, Jenderal... dia hanya merobek-robek seprai dan melemparkan barang.” Zane tetap diam, menatapnya tanpa ekspresi. Pramusaji itu terlihat semakin panik, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Dan, setiap kali saya mengambil piringnya, Pak... dia tidak pernah menyentuhnya. Makanannya selalu utuh. Dia
Zane melangkah santai di ruangan empat dinding itu, tatapannya tajam mengamati setiap sudut. "Kau tahu, Scarlett," katanya pelan, hampir seperti bisikan, "Kau ini seperti proyek kesayanganku. Tak ada yang lebih menarik dari memecahkan misteri yang kau sembunyikan." Scarlett menggeram, tidak tahan dengan sikap Zane yang puas diri. Betapa ia menikmati posisinya saat ini. Matanya berkilat, seolah setiap kata yang ia ucapkan adalah cermin dari kekuasaan yang ia genggam. Scarlett hanya bisa menahan amarah yang semakin mendidih dalam dirinya. "Apa maksudmu? Kau tak berhak menyentuh apapun yang menjadi milikku." Zane mendekati Scarlett, senyumnya semakin melebar, tapi ada kesan kejam yang tak bisa disembunyikan. "Ah, kotak kecilmu yang rahasia... Sudah kuperiksa kemarin." Suaranya penuh dengan kesombongan yang sengaja ia tampilkan. Scarlett mengepalkan tangan, hatinya berdegup keras. "Kotak itu... Apa yang kau lakukan dengannya?" suaranya terdengar sedikit bergetar, campur
Zane melangkah menembus lapisan prajurit yang sedang bekerja. Dia mengangkat tangan pada tentara yang bergegas maju saat dia membuka pintu. Hari ini waktunya pelaporan. Zane lalu duduk di kursi besar di ujung meja. Reed berhenti disampingnya. Zane melihat jari-jarinya mendorong tabung berisi cairan berwarna cerah. Zane menggelengkan kepala, "Menurutku," katanya, dengan lebih lembut. "Kau tak perlu menyajikan hal-hal yang tidak perlu." "Tentu saja, Tuan." Reed balas lebih seperti berbisik. Namun, Reed tak bisa menahan diri. Dia melihat betapa tidak terjaganya atasannya itu, bagaimana lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. “Tapi, Jenderal, ini bisa membantu—” “Tinggalkan suplemennya,” Zane memotong, suaranya lebih tegas. Reed menghela napas panjang. “Tetapi hanya jika Anda berubah pikiran…” suaranya pelan dan penuh harap. Zane pun mengangguk. "Panggil mereka." "Baik, Tuan." Tugasnya adalah memimpin. Namun, sejak Scarlett datang, Zane tidak bisa fokus dan jarang ti
Reed sudah berdiri menunggu, diam seperti biasanya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengikuti Zane dengan langkah yang cepat namun teratur. Dua langkah untuk setiap langkah panjang Jenderal. Reed dapat merasakan amarah yang membara di dalam Zane—tanda pasti dari kerutan yang dalam di keningnya, serta keheningan yang lebih berat dari biasanya.Zane menatap lurus ke depan, pikirannya berputar tajam. Ia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan dengan percaya diri. Ketika pintu tertutup di belakangnya, suasana di dalam ruangan itu langsung berubah. Dewan Menteri Aldrich.. pria berumur dengan rambut perak dan penampilan berwibawa, tersenyum lebar, sedangkan Sersan Elara, wanita muda yang berdiri di sampingnya, mengamati Zane dengan perhatian.Zane menghormati mereka dengan anggun. "Menteri Aldrich," ucapnya. Tegas dan penuh rasa hormat. Aldrich mengangguk pelan, matanya menyelidik, memandang Zane dengan sorot yang penuh perhitungan. "Jenderal Zane, senang akhirnya bisa berb
BRAKKKK Zane membanting gagang interkom dengan kesal, suara kerasnya menggema di ruangan yang tenang. Dengan gerakan cepat, ia memutar kursinya dan menghadap Reed, yang berdiri kaku di depan meja. Kedua tangannya disatukan di depan tubuh, kepalanya sedikit menunduk, menghindari tatapan langsung Zane.Aldrich dan Marcus tahu sesuatu tentang Scarlett, dan sekarang dia mengirim Elara ke markasnya. Ini bukan sekadar perjodohan politik. Ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik semua ini, dan Zane bertekad untuk mengungkap kebenarannya... dengan caranya sendiri.Reed mencuri pandang sekilas ke Zane, melihat atasannya menyisir rambutnya dengan jari, pertanda jelas bahwa suasana hatinya sedang buruk. Reed mencoba membuka mulut untuk memulai percakapan, tapi Zane memotongnya dengan tajam.“Lupakan basa-basi. Ceritakan tentang Aldrich,” perintah Zane, suaranya dingin dan tegas, tatapannya menusuk Reed.Reed menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. "Aldrich mulai bergerak lagi,