Di bawah langit mendung, Lana memarkir mobilnya di depan sebuah rumah tua di kawasan Jakarta Selatan. Rumah itu adalah milik Mira Adiningrum, ibu dari Dimas Hartanto. Meski tidak terlalu besar, rumah itu memiliki suasana yang teduh dan nyaman, dengan taman kecil yang dipenuhi tanaman hijau. Di balik jendela, Lana bisa melihat siluet seorang perempuan yang menunggunya.
Lana mengatur napas sejenak sebelum mengetuk pintu. Pertemuan ini akan menjadi momen yang sulit—tidak hanya bagi Mira, tetapi juga bagi dirinya. Di balik wajah profesionalnya, ada perasaan empati terhadap orang-orang yang telah kehilangan orang yang mereka cintai. Dan kali ini, Mira Adiningrum telah kehilangan anak semata wayangnya.
Pintu terbuka, dan seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang disanggul rapi berdiri di hadapannya. Mata perempuan itu terlihat lelah dan sedih, lingkaran hitam terlihat jelas di bawahnya.
“Selamat siang, Bu Mira. Saya Lana Priadi, detektif yang menangani kasus Dimas,” Lana memperkenalkan diri, berusaha tetap tenang dan profesional.
Mira mengangguk pelan dan tersenyum tipis, meski raut wajahnya penuh duka. “Masuklah, Nak. Terima kasih sudah datang.”
Mereka duduk di ruang tamu sederhana, dan Mira menyajikan teh hangat.
Lana mencoba mengamati setiap sudut yang bisa memberinya petunjuk lebih jauh tentang sosok Dimas Hartanto. Rumah yang cukup nyaman dengan dekorasi yang hangat dan berbagai pajangan keluarga. Foto – foto Dimas tampak tersebar di berbagai sudut ruangan, menampilkan wajahnya yang ceria dan penuh semangat. Namun, tidak ada yang mengindikasikan bahwa pemuda itu menyimpan ketertarikan terhadap hal – hal mistis atau benda-benda antik dengan sejarah gelap.
Lana melihat ke arah wanita paruh baya yang duduk di depannya. Wajahnya terlihat letih, matanya sembab setelah malam – malam panjang yang pasti diisi oleh tangisan dan ketidakpercayaan. Namun, ada sesuatu yang tegas di balik raut wajahnya. Mungkin sebuah tekad untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada putra semata wayangnya.
Sejenak keheningan menyelimuti ruangan, hingga akhirnya Lana memulai pembicaraan.
“Bu Mira, saya paham ini pasti berat untuk Ibu,” ujar Lana dengan nada lembut. “Tapi saya butuh beberapa informasi lagi untuk membantu penyelidikan. Apakah Ibu bisa menceritakan lebih banyak tentang Dimas? Apakah ada hal aneh atau perubahan perilaku pada dirinya sebelum kejadian ini?”
Mira menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. “Dimas... dia selalu anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Dia suka sekali membaca, terutama tentang sejarah dan budaya lama. Tapi belakangan ini, ada sesuatu yang berbeda.”
“Berbeda bagaimana, Bu?”
Mira meremas tangannya, seakan ragu untuk mengungkapkan sesuatu. “Dia mulai tertarik pada hal – hal yang aneh, seperti benda – benda yang dipercaya memiliki kekuatan atau sejarah kelam. Sering kali, saya melihatnya membaca buku – buku tua yang tebal dan tampak usang. Dia bilang itu untuk tugas kuliahnya. Awalnya, saya tidak berpikir banyak tentang itu, tapi... beberapa minggu sebelum dia meninggal, dia mulai berubah.”
Lana mendengarkan dengan seksama. “Apa perubahan yang Ibu lihat pada Dimas?”
“Ia mulai sering menghabiskan waktu sendirian di kamarnya, bahkan mengurung diri berjam-jam,” kata Mira, dengan suara yang sedikit gemetar. “Kadang – kadang, dia terlihat sangat lelah dan ketakutan, seolah ada sesuatu yang menghantuinya. Tapi ketika saya mencoba bertanya, dia selalu menghindari topik itu, bilang kalau saya tidak perlu khawatir.”
Lana mencatat hal itu dalam pikirannya. “Apakah dia pernah menyebutkan benda tertentu atau sesuatu yang membuatnya tertarik pada hal-hal mistis?”
Mira tampak berpikir keras, berusaha mengingat sesuatu. “Sebenarnya, ada satu hal yang dia sebut beberapa kali. Dia bicara tentang sebuah cermin tua yang ditemukannya di ruang penyimpanan di kampus. Dia bilang cermin itu berbeda, punya energi yang aneh. Saya pikir dia hanya bercanda waktu itu.”
Mendengar ini, Lana merasa sebuah potongan teka – teki mulai terpasang. Sepertinya Dimas memang tertarik pada cermin itu dan tampaknya yakin bahwa cermin tersebut menyimpan kekuatan atau energi tertentu. Tapi pertanyaannya, apa yang Dimas cari dari cermin itu? Apakah ada sesuatu yang membuatnya ingin mengetahui lebih dalam tentang benda tersebut, atau mungkinkah ada sesuatu yang seakan memanggilnya?
“Apakah Dimas pernah berbicara tentang pengalaman aneh, seperti mimpi buruk atau sesuatu yang mengganggunya setelah berhubungan dengan cermin itu?” tanya Lana dengan nada serius.
Mira mengangguk pelan. “Iya, dia mulai bermimpi buruk hampir setiap malam. Kadang, saya mendengar dia mengigau dalam tidurnya. Dia selalu menyebut hal – hal yang tidak saya mengerti, bayangan, ruangan yang gelap, dan... cermin. Saya sempat khawatir, tapi saya pikir itu hanya karena dia terlalu banyak bekerja dan kurang tidur.”
Lana merasa simpati kepada Mira, namun ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya. Mimpi buruk Dimas yang berkaitan dengan cermin itu tampak terlalu aneh untuk diabaikan. Ini bukan sekadar ketakutan biasa atau gangguan psikologis, sepertinya cermin itu memiliki dampak yang sangat nyata pada Dimas, mengganggu pikirannya hingga ke alam bawah sadarnya. Jika ini benar, maka Dimas bisa saja sudah terlalu dalam terjebak dalam pengaruh cermin itu sebelum kematiannya.
“Bu Mira, apakah Dimas meninggalkan catatan atau barang apa pun yang mungkin bisa membantu kami memahami lebih lanjut tentang apa yang dia alami?” tanya Lana.
Mira bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke sudut ruangan, menarik sebuah laci di dekat lemari kecil. Setelah beberapa saat mencari, dia kembali dengan membawa sebuah buku catatan lusuh. “Ini milik Dimas. Saya tidak pernah membukanya, karena saya merasa itu adalah privasinya. Tapi mungkin ini bisa membantu Anda.”
Lana menerima buku catatan itu dengan hati-hati dan mulai membukanya perlahan. Di halaman pertama, tulisan tangan Dimas tampak rapi, mencatat beberapa ide dan catatan singkat tentang arkeologi. Namun, seiring Lana membuka lebih banyak halaman, catatannya berubah menjadi semakin gelap. Di sana, Dimas menuliskan tentang perasaan tidak nyaman yang dirasakannya setiap kali berada di dekat cermin itu. Dia menggambarkan bagaimana dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari balik cermin, sebuah sosok yang tidak tampak tapi seolah bisa dirasakan keberadaannya.
Di halaman – halaman terakhir, tulisan Dimas semakin berantakan, penuh dengan goresan – goresan cepat dan kasar. Beberapa frasa seperti “bayangan di dalam cermin” dan “mimpi yang tidak berakhir” terulang berkali – kali, seolah dia mencoba mencatat sesuatu yang terus menghantuinya. Ada juga gambar sketsa cermin antik dengan bayangan samar-samar di dalamnya, namun detail bayangan itu terlalu kabur untuk dipahami.
Lana menutup buku catatan itu, merasakan kegelisahan yang sama seperti yang mungkin pernah dialami Dimas. Ada sesuatu yang sangat salah dengan cermin ini. Bukan hanya benda mati, tapi sesuatu yang mungkin terhubung dengan dimensi lain, sesuatu yang bisa menggerakkan dan mempengaruhi orang-orang yang mendekatinya.
Sebelum pergi, Lana berterima kasih kepada Mira dan berjanji untuk melakukan segala yang ia bisa untuk mengungkap kebenaran di balik kematian Dimas. Saat keluar dari rumah itu, Lana merasa semakin yakin bahwa dia tidak hanya sedang menyelidiki kematian tragis seorang mahasiswa. Ini jauh lebih dalam, sesuatu yang melibatkan batas antara dunia nyata dan yang tak terlihat.
Di perjalanan kembali, Lana tidak bisa berhenti memikirkan tentang mimpi buruk Dimas dan perasaannya tentang cermin itu. Apakah Dimas telah membuka pintu ke dunia lain tanpa sengaja? Dan jika benar, apakah ada orang lain yang juga berada dalam bahaya karena cermin itu?
Dengan pikiran yang semakin penuh pertanyaan, Lana memutuskan untuk kembali ke kantor dan menelusuri lebih jauh mengenai asal - usul cermin tersebut. Namun satu hal yang pasti, Dimas bukan korban pertama yang terpengaruh oleh cermin itu dan mungkin bukan yang terakhir.
Lana tengah memeriksa laporan tambahan di mejanya, tiba – tiba terdengar ketukan di pintu ruangannya. Ia mendongak dan melihat seorang pria dengan penampilan yang agak tak biasa masuk tanpa diundang. Dengan setelan serba hitam yang sudah tampak usang, mata tajam yang menyorot keingintahuan, dan senyum tipis yang seolah menyimpan rahasia, pria itu tampak tidak seperti orang kebanyakan. Di lehernya tergantung kalung dengan batu berwarna merah tua yang terlihat sangat antik.Lana menatap pria itu dengan heran, kemudian bangkit dari kursinya. “Maaf, Anda siapa ya? Saya sedang sibuk dan tidak menerima tamu tanpa janji.”Pria itu tersenyum simpul. “Namaku Raka Pradipta. Aku seorang ahli paranormal dan mungkin sedikit eksentrik menurut sebagian orang. Aku di sini untuk membantumu dalam kasus kematian Dimas Hartanto.”Lana mengangkat alis. “Ahli paranormal?” Di satu sisi, ia merasa skeptis. Namun, kehadiran Raka tampak tak biasa. Dia berbicara seolah – olah memiliki informasi yang relevan dan
Setelah malam yang panjang dan penuh dengan rasa penasaran di tempat kejadian, Lana kembali ke kantor polisi keesokan paginya dengan kepala yang dipenuhi berbagai pertanyaan. Pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan setiap petunjuk kecil yang telah dia temukan mengenai cermin antik, kematian Dimas, dan kehadiran Raka Pradipta yang penuh misteri. Sebagai seorang detektif yang mengandalkan bukti dan logika, sulit bagi Lana untuk sepenuhnya menerima cerita kutukan yang diungkapkan Raka, tapi nalurinya mengatakan bahwa ada kebenaran yang terselubung dalam legenda itu.Saat Lana berjalan menuju mejanya, seorang rekannya menghampiri. “Lana, ada seorang wartawan yang ingin berbicara denganmu. Namanya Farah Anjani.”Lana menghela napas. Ia tahu bahwa dalam kasus aneh seperti ini, perhatian media pasti akan semakin intens. Namun, ia tidak menduga bahwa jurnalis investigatif yang terkenal gigih seperti Farah Anjani akan langsung datang mencarinya.Farah Anjani adalah nama yang sudah cuk
Keesokan harinya, Lana memutuskan untuk menemui Raka Pradipta di sebuah kafe kecil yang terletak di pojok kota. Setelah pertemuan mereka sebelumnya, ia merasa butuh lebih banyak penjelasan mengenai cermin antik tersebut. Raka, dengan segala eksentriknya, adalah satu – satunya orang yang tampaknya memiliki jawaban atas misteri ini.Saat Lana memasuki kafe, ia melihat Raka sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan mantel hitam panjang dengan ekspresi yang tampak serius. Di depannya, beberapa buku tebal tergeletak di atas meja, dan dia sesekali menulis catatan sambil memandangi halaman – halaman buku yang tampak sudah tua dan lusuh.“Selamat pagi, Lana,” sapa Raka ketika Lana mendekat. Suaranya tenang, namun ada sorot mata yang tajam seolah dia sudah tahu pertanyaan – pertanyaan yang akan Lana ajukan.“Selamat pagi, Raka,” balas Lana sambil duduk di hadapannya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang cermin yang kita bicarakan kemarin. Kau menyebutnya sebagai cermin terkutuk, tapi apa sebena
Beberapa hari setelah menemukan petunjuk mengenai cermin dan pengaruhnya terhadap Dimas, Lana memutuskan untuk bekerja sama dengan Farah Anjani yang tak hanya memiliki kemampuan mencari informasi tetapi juga semangat luar biasa untuk mengungkap kebenaran.Lana meraih ponselnya. Ia mencari nama Farah Anjani di daftar kontak. Beberapa saat ia hanya menatap layar, mempertimbangkan kata-kata yang akan ia ucapkan. Meskipun Farah memiliki reputasi sebagai jurnalis investigatif yang berbakat, Lana selalu merasa sedikit enggan bekerja sama dengan orang luar. Namun, situasi ini berbeda. Kasus ini berada di luar batas pemahamannya sebagai detektif biasa. Ia membutuhkan bantuan Farah.Dengan napas panjang, Lana akhirnya menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara ceria dan penuh semangat Farah menyambut di ujung sana. “Halo, Lana! Akhirnya menghubungi juga. Apa kabar?”Lana tersenyum tipis meskipun Farah tidak bisa melihatnya. “Farah, aku sudah memikirkan tawaranmu
Farah melanjutkan, “Dan tak hanya itu. Legenda ini menyebar hingga ke berbagai daerah, Lana. Banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Ratu Sekar Sari di dalam cermin, meskipun cermin itu telah hilang selama bertahun – tahun. Setiap kali penampakan itu terjadi, orang – orang di sekitarnya mengalami kejadian – kejadian aneh, bahkan kematian.”Lana menghela napas dalam – dalam. Semua cerita ini mengerikan, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap skeptis, masih mempertahankan pikiran rasionalnya sebagai seorang detektif. Namun, fakta bahwa Dimas begitu terobsesi dengan cermin ini membuatnya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar – benar berbahaya di dalam cermin tersebut.“Kalau begitu, pertanyaannya adalah, di mana cermin ini sekarang?” Lana menatap Farah dengan intens. Jika cermin itu benar – benar terkutuk, dia harus menemukan cara untuk menghentikannya agar tidak merenggut nyawa lebih banyak lagi.Farah menggeleng. “Tak ada yang tahu pasti. Cermin itu tel
Beberapa hari setelah menemukan legenda mengenai kutukan Ratu Sekar Sari, Lana merasa bahwa titik berikutnya dalam penyelidikannya adalah menemui seseorang yang telah bersentuhan langsung dengan cermin tersebut. Berdasarkan informasi yang dia peroleh dari arsip dan dokumen museum, cermin antik itu pernah disimpan di museum kota sebelum akhirnya berakhir di tangan kolektor pribadi. Di museum itulah Pak Haryo, penjaga lama yang sekarang telah pensiun, menghabiskan sebagian besar hidupnya mengawasi koleksi benda-benda antik, termasuk cermin yang menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.Lana pun meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah Pak Haryo. Rumahnya terletak di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Dengan langkah mantap, Lana mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan dengan rambut beruban dan sorot mata yang tajam menatapnya. Ada kerutan dalam di wajahnya yang tampak penuh pengalaman.“Pak Haryo?” tanya Lana sambil menyodorka
Dua hari setelah pertemuannya dengan Pak Haryo, Lana masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan cerita penjaga museum itu dari pikirannya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kasus, dia menatap kosong ke arah secangkir kopi yang mulai mendingin di mejanya. Cerita tentang kejadian aneh di museum terus terngiang, bisikan tanpa sumber, bayangan yang muncul tanpa ada orang, dan tentu saja cermin itu.Lana menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dia menekan nomor Raka Pradipta, paranormal yang selama ini membantu penyelidikan dengan sudut pandangnya yang eksentrik namun sering kali masuk akal.“Raka, ada waktu?” tanya Lana begitu panggilan tersambung.“Selalu ada waktu untuk kasus seperti ini,” jawab Raka dengan nada santai. “Ada apa? Kau kelihatan ragu-ragu.”Lana menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada serius. “Dua hari lalu, aku bertemu dengan Pak Haryo, penjaga museum tempat cermin itu disimpan. Dia cerita tentang beberapa kejadian aneh yang pernah dia alami d
“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Keesokan harinya, Lana bertemu Farah di ruang kerjanya. Jurnalis itu membawa map tebal yang penuh dengan artikel dan dokumen lama.“Apa yang kau temukan?” tanya Lana, sambil mempersilakan Farah duduk.Farah membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa artikel. “Aku menemukan pola kematian yang mirip dengan kasus Indra dan Dimas. Semua melibatkan orang-orang yang memiliki cermin antik yang sama. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik.”Farah menyodorkan salah satu artikel kepada Lana. Artikel itu memuat berita tentang seorang kolektor seni bernama Johannes Kadar yang tewas secara misterius lima tahun lalu. Cermin itu disebut sebagai salah satu koleksi terakhirnya sebelum kematiannya.“Ini sudah terjadi sebelumnya?” Lana mengernyit, membaca artikel tersebut dengan saksama.“Bukan hanya sekali,” jawab Farah. “Setidaknya ada empat kasus lain yang tercatat. Korbannya selalu mengalami mimpi buruk, perubahan
Sore itu, Lana duduk di ruang kerjanya, dengan sebuah jurnal tebal berwarna hitam di atas meja. Jurnal milik Indra Kusuma ditemukan di salah satu laci meja apartemennya oleh tim forensik dan baru saja dikirimkan ke Lana untuk diperiksa.Halaman depan jurnal itu kosong, kecuali inisial kecil bertuliskan "I.K." di sudut kanan bawah. Saat membuka halaman pertama, aroma kertas tua yang khas menyeruak. Tulisan tangan Indra terlihat rapi, tetapi semakin ke halaman berikutnya, huruf-hurufnya mulai tampak tergesa-gesa, seolah ditulis dalam keadaan panik.Lana menghela napas dalam-dalam sebelum mulai membaca.22 Oktober"Aku tidak tahu mengapa aku membeli cermin itu. Saat aku melihatnya di pelelangan, aku merasa seperti terpanggil. Seolah-olah benda itu memintaku untuk membawanya pulang. Bingkainya terlihat kuno, dengan ukiran yang rumit. Orang-orang mengatakan itu barang antik yang langka. Aku pikir ini akan menjadi tambahan koleksi yang sempur
Berita tentang kematian Indra Kusuma tersebar dengan cepat, menciptakan kehebohan di kota. Kematian misterius itu mengundang perhatian tidak hanya dari media, tetapi juga dari para pejabat dan masyarakat umum. Indra, seorang pengusaha muda yang dikenal cerdas dan ambisius, ditemukan tewas di apartemennya dengan kondisi yang menggemparkan. Sama seperti Dimas Hartanto, tubuh Indra ditemukan dalam posisi yang tidak wajar di depan sebuah cermin antik, dengan ekspresi wajah penuh ketakutan.Lana membaca laporan autopsi Indra yang baru saja dikirimkan kepadanya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik atau zat berbahaya di tubuhnya, tetapi ada satu hal yang mencolok: pupil mata Indra melebar seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum kematiannya.Lana menutup berkas itu dengan frustrasi. Dua kematian serupa dalam waktu singkat. Apakah ini hanya kebetulan?Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?Lana memutuskan untuk mengunjung
Lana duduk di mejanya dengan kepala bersandar di tangannya. Di hadapannya, berkas-berkas terkait kasus Dimas Hartanto berserakan. Di layar laptopnya, tampak foto-foto TKP dan laporan autopsi yang ia periksa berulang kali. Tetapi, semakin lama ia mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ada, semakin ia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.“Cermin itu… kutukan… suara dari masa lalu…” Lana bergumam pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang mulai melantur. Tetapi semuanya terasa terlalu nyata untuk diabaikan.Ia membuka kembali catatan yang ia buat selama beberapa hari terakhir. Nama Ratu Sekar Sari tercatat di bagian atas, di ikuti dengan keterangan tentang cermin antik dan kejadian-kejadian aneh yang telah ia alami. Namun, tidak ada satu pun yang mengarah pada jawaban konkret.Pikirannya terusik oleh bayangan Raka dan teorinya. Meskipun Lana bukan orang yang percaya
Pagi itu, Lana duduk di kantornya sambil memeriksa laporan autopsi Dimas Hartanto. Matanya menyusuri baris-baris kata di layar komputer, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke malam di museum. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah detail kecil yang belum ia perhatikan.Namun, konsentrasinya terpecah ketika suara samar mulai terdengar. Awalnya, ia mengira itu hanya suara dari luar, mungkin angin yang menerpa jendela kantornya. Tapi suara itu menjadi semakin jelas. Itu adalah suara seorang wanita, lembut namun penuh kesedihan, seperti seseorang yang memanggil namanya.“Lana…”Lana tersentak, menoleh ke sekeliling ruangan. Kantornya kosong, hanya ada dirinya. Ia mencoba mengabaikan suara itu dan kembali fokus pada laporan di depannya, tetapi suara itu terus memanggil, kali ini lebih jelas.“Lana… tolong aku…”Lana berdiri, tubuhnya tegang. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi? Ia segera meraih telepon
“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Dua hari setelah pertemuannya dengan Pak Haryo, Lana masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan cerita penjaga museum itu dari pikirannya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kasus, dia menatap kosong ke arah secangkir kopi yang mulai mendingin di mejanya. Cerita tentang kejadian aneh di museum terus terngiang, bisikan tanpa sumber, bayangan yang muncul tanpa ada orang, dan tentu saja cermin itu.Lana menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dia menekan nomor Raka Pradipta, paranormal yang selama ini membantu penyelidikan dengan sudut pandangnya yang eksentrik namun sering kali masuk akal.“Raka, ada waktu?” tanya Lana begitu panggilan tersambung.“Selalu ada waktu untuk kasus seperti ini,” jawab Raka dengan nada santai. “Ada apa? Kau kelihatan ragu-ragu.”Lana menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada serius. “Dua hari lalu, aku bertemu dengan Pak Haryo, penjaga museum tempat cermin itu disimpan. Dia cerita tentang beberapa kejadian aneh yang pernah dia alami d
Beberapa hari setelah menemukan legenda mengenai kutukan Ratu Sekar Sari, Lana merasa bahwa titik berikutnya dalam penyelidikannya adalah menemui seseorang yang telah bersentuhan langsung dengan cermin tersebut. Berdasarkan informasi yang dia peroleh dari arsip dan dokumen museum, cermin antik itu pernah disimpan di museum kota sebelum akhirnya berakhir di tangan kolektor pribadi. Di museum itulah Pak Haryo, penjaga lama yang sekarang telah pensiun, menghabiskan sebagian besar hidupnya mengawasi koleksi benda-benda antik, termasuk cermin yang menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.Lana pun meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah Pak Haryo. Rumahnya terletak di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Dengan langkah mantap, Lana mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan dengan rambut beruban dan sorot mata yang tajam menatapnya. Ada kerutan dalam di wajahnya yang tampak penuh pengalaman.“Pak Haryo?” tanya Lana sambil menyodorka
Farah melanjutkan, “Dan tak hanya itu. Legenda ini menyebar hingga ke berbagai daerah, Lana. Banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Ratu Sekar Sari di dalam cermin, meskipun cermin itu telah hilang selama bertahun – tahun. Setiap kali penampakan itu terjadi, orang – orang di sekitarnya mengalami kejadian – kejadian aneh, bahkan kematian.”Lana menghela napas dalam – dalam. Semua cerita ini mengerikan, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap skeptis, masih mempertahankan pikiran rasionalnya sebagai seorang detektif. Namun, fakta bahwa Dimas begitu terobsesi dengan cermin ini membuatnya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar – benar berbahaya di dalam cermin tersebut.“Kalau begitu, pertanyaannya adalah, di mana cermin ini sekarang?” Lana menatap Farah dengan intens. Jika cermin itu benar – benar terkutuk, dia harus menemukan cara untuk menghentikannya agar tidak merenggut nyawa lebih banyak lagi.Farah menggeleng. “Tak ada yang tahu pasti. Cermin itu tel