Lana tengah memeriksa laporan tambahan di mejanya, tiba – tiba terdengar ketukan di pintu ruangannya. Ia mendongak dan melihat seorang pria dengan penampilan yang agak tak biasa masuk tanpa diundang. Dengan setelan serba hitam yang sudah tampak usang, mata tajam yang menyorot keingintahuan, dan senyum tipis yang seolah menyimpan rahasia, pria itu tampak tidak seperti orang kebanyakan. Di lehernya tergantung kalung dengan batu berwarna merah tua yang terlihat sangat antik.
Lana menatap pria itu dengan heran, kemudian bangkit dari kursinya. “Maaf, Anda siapa ya? Saya sedang sibuk dan tidak menerima tamu tanpa janji.”
Pria itu tersenyum simpul. “Namaku Raka Pradipta. Aku seorang ahli paranormal dan mungkin sedikit eksentrik menurut sebagian orang. Aku di sini untuk membantumu dalam kasus kematian Dimas Hartanto.”
Lana mengangkat alis. “Ahli paranormal?” Di satu sisi, ia merasa skeptis. Namun, kehadiran Raka tampak tak biasa. Dia berbicara seolah – olah memiliki informasi yang relevan dan menganggap dirinya sudah terlibat dalam kasus ini.
“Maaf, Tuan Raka,” ujar Lana sambil menahan keraguan dalam suaranya, “Tapi kami di sini bekerja berdasarkan fakta dan bukti, bukan hal – hal yang berhubungan dengan dunia lain.”
Raka tertawa kecil. “Kamu benar – benar orang yang logis, Detektif. Tapi percayalah, dalam beberapa kasus, logika saja tidak cukup. Ada hal – hal yang melampaui pengetahuan manusia, dan kutukan cermin antik adalah salah satunya.”
Kata “kutukan” langsung menarik perhatian Lana. Selama ini, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan cermin antik di tempat kejadian. Namun, mendengar bahwa ada seseorang yang meyakini bahwa cermin tersebut terkutuk, semakin menambah rasa penasaran Lana. “Apa yang anda ketahui tentang cermin itu?” tanyanya, mulai terbuka pada kemungkinan baru.
“Banyak hal,” jawab Raka, suaranya lebih serius. “Cermin itu bukan sekadar benda antik. Ada sejarah kelam yang mengikuti keberadaannya. Ini adalah salah satu dari sedikit benda yang disebut ‘Cermin Ratu Sekar Sari,’ buatan seorang dukun sakti dari masa lalu yang berpengaruh dalam kerajaan Nusantara kuno. Cermin ini konon dapat membuka jalan ke dunia lain, mengungkapkan bayangan dari dimensi yang tak terlihat.”
Lana mendengarkan dengan seksama, meskipun skeptisisme masih memenuhi pikirannya. “Dan anda yakin bahwa cermin itu benar – benar memiliki kekuatan semacam itu?”
Raka mengangguk pelan. “Bukan sekadar kekuatan, tapi kutukan. Siapa pun yang mencoba melihat terlalu dalam, atau mencari tahu tentang sejarahnya, akan terperangkap dalam bayang – bayang cermin tersebut. Bukan kebetulan jika Dimas menemui ajalnya di dekat cermin itu. Dia sudah masuk terlalu dalam, dan cermin itu mengambil sesuatu darinya.”
Pernyataan itu membuat bulu kuduk Lana meremang. Ada sesuatu yang menakutkan sekaligus menarik dalam cerita Raka. Namun, ia berusaha menjaga profesionalitasnya. “Baiklah, Tuan Raka. Misalnya saya percaya pada cerita Anda, apa alasan Anda datang ke sini dan menawarkan bantuan?”
Raka menatap Lana dengan pandangan intens. “Kau harus tahu bahwa cermin ini bukan sekadar objek penyelidikan. Semakin dalam kau menyelidiki, semakin dalam pula kau akan terlibat dalam kutukannya. Dan ketika cermin itu mulai merasakan keberadaanmu, kau tidak akan bisa mundur lagi. Aku datang karena aku tahu kau juga akan membutuhkan bantuan.”
Lana terdiam sejenak. Selama ini, ia telah melihat berbagai hal dalam pekerjaannya sebagai detektif, tetapi tak ada yang mendekati keanehan ini. Meskipun cerita Raka tampak sulit dipercaya, perasaan di hatinya berkata lain. Rasa penasaran akan kemungkinan adanya dimensi atau kekuatan lain mulai mengusiknya.
“Apa yang perlu saya lakukan?” Lana akhirnya bertanya, meskipun ia tahu ini adalah langkah yang mungkin akan membawanya lebih dalam ke dalam misteri.
“Kita harus melacak asal usul cermin ini,” kata Raka. “Cermin ini bukan milik sembarang orang. Ada sejarah panjang di balik pembuatannya, dan aku yakin ini tidak berakhir di sini saja. Semakin kita mengetahui tentang pembuatnya, Ratu Sekar Sari, semakin kita bisa memahami bagaimana menghentikan pengaruh cermin ini.”
“Ratu Sekar Sari?” Lana mengerutkan kening. Nama itu baru baginya, tetapi sepertinya Raka memiliki informasi mendalam tentang sosok ini.
“Ya,” jawab Raka. “Menurut cerita, dia adalah seorang ratu sekaligus dukun sakti yang hidup beberapa abad lalu. Dia dikenal memiliki ilmu mistis dan dipercaya mampu melihat bayangan masa depan. Cermin itu dibuat dengan tujuan tertentu, mungkin untuk menjebak atau mengunci sesuatu di dalamnya.”
Lana mencoba mengolah informasi ini. Bayangan Dimas dan catatannya yang aneh kembali muncul dalam pikirannya. Apakah Dimas menyadari kutukan cermin itu atau hanya sekadar terjerat dalam rasa penasarannya yang mendalam?
“Bagaimana anda bisa begitu yakin dengan semua ini?” tanya Lana.
Raka tersenyum tipis, seolah – olah sudah menebak pertanyaan itu akan datang. “Aku sendiri pernah berhadapan dengan cermin serupa, meski yang satu ini jauh lebih kuat. Kau akan kaget mengetahui betapa banyak benda – benda seperti ini yang tersebar di Nusantara, masing – masing memiliki kekuatan dan cerita yang unik. Aku sendiri pernah merasakan pengaruh cermin itu, meski hanya sebentar. Aku bisa melihat… bayangan, sesuatu yang tampak nyata tapi berada di luar jangkauan.”
Lana terdiam, mencoba mencerna penjelasan Raka. Walau rasanya sulit dipercaya, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya berpikir dua kali. “Kalau begitu, apa langkah kita berikutnya?”
“Kita harus kembali ke tempat cermin itu,” jawab Raka tanpa ragu. “Aku bisa merasakan energi yang ditinggalkan, jejak dari orang – orang yang sudah terperangkap dalam bayangan cermin. Jika kita bisa melacak energi itu, mungkin kita bisa mengungkap rahasia yang sebenarnya.”
Lana merasa tertarik, tetapi juga enggan. Menghadapi sesuatu yang mungkin bukan berasal dari dunia ini bukanlah sesuatu yang dia pelajari dalam akademi kepolisian. Namun, nyawa Dimas dan kemungkinan korban lainnya terus mengusiknya. Ia tahu bahwa menolak tawaran ini berarti melewatkan potensi jawaban untuk kasusnya.
“Baiklah, aku akan ikut,” kata Lana akhirnya. “Tapi ingat, ini tetap penyelidikan resmi. Aku tidak ingin terlibat dalam sesuatu yang bisa mengganggu penegakan hukum.”
Raka tersenyum puas. “Tentu, Detektif. Aku hanya ingin membantumu menemukan kebenaran, meskipun kebenaran itu mungkin bukan sesuatu yang ingin kau ketahui.”
Lana mengangguk dan mengambil jaketnya. Mereka berdua keluar dari kantor dan menuju tempat kejadian, di mana cermin itu masih disimpan sebagai barang bukti. Malam semakin larut, dan suasana di luar kantor terasa semakin dingin dan sunyi. Ketika mereka mendekati bangunan fakultas tempat Dimas ditemukan, Lana merasakan atmosfer yang berbeda, seolah ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang – bayang.
Raka berhenti di depan ruangan di mana cermin itu disimpan. Dia memejamkan mata, menghela napas panjang, dan mengangkat tangannya, seolah mencoba merasakan kehadiran sesuatu yang tidak terlihat. “Energi di sini kuat, lebih kuat dari yang kubayangkan.”
Lana menatapnya dengan rasa ingin tahu sekaligus kewaspadaan. “Apa yang kau rasakan?”
Raka membuka matanya perlahan. “Bayangan. Ada jejak orang-orang yang terperangkap dalam pantulan cermin ini. Mereka tidak lagi hidup, tapi juga belum mati. Mereka berada di antara dunia kita dan dunia lain.”
Lana menelan ludah, rasa takut mulai merayap di hatinya. Namun, ia menenangkan dirinya dan kembali fokus pada tugasnya. Bersama Raka, ia akan melangkah lebih jauh, mencoba menguak kebenaran di balik kutukan yang melekat pada cermin ini. Dengan tekad yang semakin kuat, Lana memasuki ruangan tersebut, bersiap menghadapi misteri yang lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Setelah malam yang panjang dan penuh dengan rasa penasaran di tempat kejadian, Lana kembali ke kantor polisi keesokan paginya dengan kepala yang dipenuhi berbagai pertanyaan. Pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan setiap petunjuk kecil yang telah dia temukan mengenai cermin antik, kematian Dimas, dan kehadiran Raka Pradipta yang penuh misteri. Sebagai seorang detektif yang mengandalkan bukti dan logika, sulit bagi Lana untuk sepenuhnya menerima cerita kutukan yang diungkapkan Raka, tapi nalurinya mengatakan bahwa ada kebenaran yang terselubung dalam legenda itu.Saat Lana berjalan menuju mejanya, seorang rekannya menghampiri. “Lana, ada seorang wartawan yang ingin berbicara denganmu. Namanya Farah Anjani.”Lana menghela napas. Ia tahu bahwa dalam kasus aneh seperti ini, perhatian media pasti akan semakin intens. Namun, ia tidak menduga bahwa jurnalis investigatif yang terkenal gigih seperti Farah Anjani akan langsung datang mencarinya.Farah Anjani adalah nama yang sudah cuk
Keesokan harinya, Lana memutuskan untuk menemui Raka Pradipta di sebuah kafe kecil yang terletak di pojok kota. Setelah pertemuan mereka sebelumnya, ia merasa butuh lebih banyak penjelasan mengenai cermin antik tersebut. Raka, dengan segala eksentriknya, adalah satu – satunya orang yang tampaknya memiliki jawaban atas misteri ini.Saat Lana memasuki kafe, ia melihat Raka sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan mantel hitam panjang dengan ekspresi yang tampak serius. Di depannya, beberapa buku tebal tergeletak di atas meja, dan dia sesekali menulis catatan sambil memandangi halaman – halaman buku yang tampak sudah tua dan lusuh.“Selamat pagi, Lana,” sapa Raka ketika Lana mendekat. Suaranya tenang, namun ada sorot mata yang tajam seolah dia sudah tahu pertanyaan – pertanyaan yang akan Lana ajukan.“Selamat pagi, Raka,” balas Lana sambil duduk di hadapannya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang cermin yang kita bicarakan kemarin. Kau menyebutnya sebagai cermin terkutuk, tapi apa sebena
Beberapa hari setelah menemukan petunjuk mengenai cermin dan pengaruhnya terhadap Dimas, Lana memutuskan untuk bekerja sama dengan Farah Anjani yang tak hanya memiliki kemampuan mencari informasi tetapi juga semangat luar biasa untuk mengungkap kebenaran.Lana meraih ponselnya. Ia mencari nama Farah Anjani di daftar kontak. Beberapa saat ia hanya menatap layar, mempertimbangkan kata-kata yang akan ia ucapkan. Meskipun Farah memiliki reputasi sebagai jurnalis investigatif yang berbakat, Lana selalu merasa sedikit enggan bekerja sama dengan orang luar. Namun, situasi ini berbeda. Kasus ini berada di luar batas pemahamannya sebagai detektif biasa. Ia membutuhkan bantuan Farah.Dengan napas panjang, Lana akhirnya menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara ceria dan penuh semangat Farah menyambut di ujung sana. “Halo, Lana! Akhirnya menghubungi juga. Apa kabar?”Lana tersenyum tipis meskipun Farah tidak bisa melihatnya. “Farah, aku sudah memikirkan tawaranmu
Farah melanjutkan, “Dan tak hanya itu. Legenda ini menyebar hingga ke berbagai daerah, Lana. Banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Ratu Sekar Sari di dalam cermin, meskipun cermin itu telah hilang selama bertahun – tahun. Setiap kali penampakan itu terjadi, orang – orang di sekitarnya mengalami kejadian – kejadian aneh, bahkan kematian.”Lana menghela napas dalam – dalam. Semua cerita ini mengerikan, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap skeptis, masih mempertahankan pikiran rasionalnya sebagai seorang detektif. Namun, fakta bahwa Dimas begitu terobsesi dengan cermin ini membuatnya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar – benar berbahaya di dalam cermin tersebut.“Kalau begitu, pertanyaannya adalah, di mana cermin ini sekarang?” Lana menatap Farah dengan intens. Jika cermin itu benar – benar terkutuk, dia harus menemukan cara untuk menghentikannya agar tidak merenggut nyawa lebih banyak lagi.Farah menggeleng. “Tak ada yang tahu pasti. Cermin itu tel
Beberapa hari setelah menemukan legenda mengenai kutukan Ratu Sekar Sari, Lana merasa bahwa titik berikutnya dalam penyelidikannya adalah menemui seseorang yang telah bersentuhan langsung dengan cermin tersebut. Berdasarkan informasi yang dia peroleh dari arsip dan dokumen museum, cermin antik itu pernah disimpan di museum kota sebelum akhirnya berakhir di tangan kolektor pribadi. Di museum itulah Pak Haryo, penjaga lama yang sekarang telah pensiun, menghabiskan sebagian besar hidupnya mengawasi koleksi benda-benda antik, termasuk cermin yang menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.Lana pun meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah Pak Haryo. Rumahnya terletak di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Dengan langkah mantap, Lana mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan dengan rambut beruban dan sorot mata yang tajam menatapnya. Ada kerutan dalam di wajahnya yang tampak penuh pengalaman.“Pak Haryo?” tanya Lana sambil menyodorka
Dua hari setelah pertemuannya dengan Pak Haryo, Lana masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan cerita penjaga museum itu dari pikirannya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kasus, dia menatap kosong ke arah secangkir kopi yang mulai mendingin di mejanya. Cerita tentang kejadian aneh di museum terus terngiang, bisikan tanpa sumber, bayangan yang muncul tanpa ada orang, dan tentu saja cermin itu.Lana menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dia menekan nomor Raka Pradipta, paranormal yang selama ini membantu penyelidikan dengan sudut pandangnya yang eksentrik namun sering kali masuk akal.“Raka, ada waktu?” tanya Lana begitu panggilan tersambung.“Selalu ada waktu untuk kasus seperti ini,” jawab Raka dengan nada santai. “Ada apa? Kau kelihatan ragu-ragu.”Lana menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada serius. “Dua hari lalu, aku bertemu dengan Pak Haryo, penjaga museum tempat cermin itu disimpan. Dia cerita tentang beberapa kejadian aneh yang pernah dia alami d
“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Pagi itu, Lana duduk di kantornya sambil memeriksa laporan autopsi Dimas Hartanto. Matanya menyusuri baris-baris kata di layar komputer, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke malam di museum. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah detail kecil yang belum ia perhatikan.Namun, konsentrasinya terpecah ketika suara samar mulai terdengar. Awalnya, ia mengira itu hanya suara dari luar, mungkin angin yang menerpa jendela kantornya. Tapi suara itu menjadi semakin jelas. Itu adalah suara seorang wanita, lembut namun penuh kesedihan, seperti seseorang yang memanggil namanya.“Lana…”Lana tersentak, menoleh ke sekeliling ruangan. Kantornya kosong, hanya ada dirinya. Ia mencoba mengabaikan suara itu dan kembali fokus pada laporan di depannya, tetapi suara itu terus memanggil, kali ini lebih jelas.“Lana… tolong aku…”Lana berdiri, tubuhnya tegang. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi? Ia segera meraih telepon
Keesokan harinya, Lana bertemu Farah di ruang kerjanya. Jurnalis itu membawa map tebal yang penuh dengan artikel dan dokumen lama.“Apa yang kau temukan?” tanya Lana, sambil mempersilakan Farah duduk.Farah membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa artikel. “Aku menemukan pola kematian yang mirip dengan kasus Indra dan Dimas. Semua melibatkan orang-orang yang memiliki cermin antik yang sama. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik.”Farah menyodorkan salah satu artikel kepada Lana. Artikel itu memuat berita tentang seorang kolektor seni bernama Johannes Kadar yang tewas secara misterius lima tahun lalu. Cermin itu disebut sebagai salah satu koleksi terakhirnya sebelum kematiannya.“Ini sudah terjadi sebelumnya?” Lana mengernyit, membaca artikel tersebut dengan saksama.“Bukan hanya sekali,” jawab Farah. “Setidaknya ada empat kasus lain yang tercatat. Korbannya selalu mengalami mimpi buruk, perubahan
Sore itu, Lana duduk di ruang kerjanya, dengan sebuah jurnal tebal berwarna hitam di atas meja. Jurnal milik Indra Kusuma ditemukan di salah satu laci meja apartemennya oleh tim forensik dan baru saja dikirimkan ke Lana untuk diperiksa.Halaman depan jurnal itu kosong, kecuali inisial kecil bertuliskan "I.K." di sudut kanan bawah. Saat membuka halaman pertama, aroma kertas tua yang khas menyeruak. Tulisan tangan Indra terlihat rapi, tetapi semakin ke halaman berikutnya, huruf-hurufnya mulai tampak tergesa-gesa, seolah ditulis dalam keadaan panik.Lana menghela napas dalam-dalam sebelum mulai membaca.22 Oktober"Aku tidak tahu mengapa aku membeli cermin itu. Saat aku melihatnya di pelelangan, aku merasa seperti terpanggil. Seolah-olah benda itu memintaku untuk membawanya pulang. Bingkainya terlihat kuno, dengan ukiran yang rumit. Orang-orang mengatakan itu barang antik yang langka. Aku pikir ini akan menjadi tambahan koleksi yang sempur
Berita tentang kematian Indra Kusuma tersebar dengan cepat, menciptakan kehebohan di kota. Kematian misterius itu mengundang perhatian tidak hanya dari media, tetapi juga dari para pejabat dan masyarakat umum. Indra, seorang pengusaha muda yang dikenal cerdas dan ambisius, ditemukan tewas di apartemennya dengan kondisi yang menggemparkan. Sama seperti Dimas Hartanto, tubuh Indra ditemukan dalam posisi yang tidak wajar di depan sebuah cermin antik, dengan ekspresi wajah penuh ketakutan.Lana membaca laporan autopsi Indra yang baru saja dikirimkan kepadanya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik atau zat berbahaya di tubuhnya, tetapi ada satu hal yang mencolok: pupil mata Indra melebar seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum kematiannya.Lana menutup berkas itu dengan frustrasi. Dua kematian serupa dalam waktu singkat. Apakah ini hanya kebetulan?Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?Lana memutuskan untuk mengunjung
Lana duduk di mejanya dengan kepala bersandar di tangannya. Di hadapannya, berkas-berkas terkait kasus Dimas Hartanto berserakan. Di layar laptopnya, tampak foto-foto TKP dan laporan autopsi yang ia periksa berulang kali. Tetapi, semakin lama ia mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ada, semakin ia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.“Cermin itu… kutukan… suara dari masa lalu…” Lana bergumam pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang mulai melantur. Tetapi semuanya terasa terlalu nyata untuk diabaikan.Ia membuka kembali catatan yang ia buat selama beberapa hari terakhir. Nama Ratu Sekar Sari tercatat di bagian atas, di ikuti dengan keterangan tentang cermin antik dan kejadian-kejadian aneh yang telah ia alami. Namun, tidak ada satu pun yang mengarah pada jawaban konkret.Pikirannya terusik oleh bayangan Raka dan teorinya. Meskipun Lana bukan orang yang percaya
Pagi itu, Lana duduk di kantornya sambil memeriksa laporan autopsi Dimas Hartanto. Matanya menyusuri baris-baris kata di layar komputer, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke malam di museum. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah detail kecil yang belum ia perhatikan.Namun, konsentrasinya terpecah ketika suara samar mulai terdengar. Awalnya, ia mengira itu hanya suara dari luar, mungkin angin yang menerpa jendela kantornya. Tapi suara itu menjadi semakin jelas. Itu adalah suara seorang wanita, lembut namun penuh kesedihan, seperti seseorang yang memanggil namanya.“Lana…”Lana tersentak, menoleh ke sekeliling ruangan. Kantornya kosong, hanya ada dirinya. Ia mencoba mengabaikan suara itu dan kembali fokus pada laporan di depannya, tetapi suara itu terus memanggil, kali ini lebih jelas.“Lana… tolong aku…”Lana berdiri, tubuhnya tegang. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi? Ia segera meraih telepon
“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Dua hari setelah pertemuannya dengan Pak Haryo, Lana masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan cerita penjaga museum itu dari pikirannya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kasus, dia menatap kosong ke arah secangkir kopi yang mulai mendingin di mejanya. Cerita tentang kejadian aneh di museum terus terngiang, bisikan tanpa sumber, bayangan yang muncul tanpa ada orang, dan tentu saja cermin itu.Lana menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dia menekan nomor Raka Pradipta, paranormal yang selama ini membantu penyelidikan dengan sudut pandangnya yang eksentrik namun sering kali masuk akal.“Raka, ada waktu?” tanya Lana begitu panggilan tersambung.“Selalu ada waktu untuk kasus seperti ini,” jawab Raka dengan nada santai. “Ada apa? Kau kelihatan ragu-ragu.”Lana menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada serius. “Dua hari lalu, aku bertemu dengan Pak Haryo, penjaga museum tempat cermin itu disimpan. Dia cerita tentang beberapa kejadian aneh yang pernah dia alami d
Beberapa hari setelah menemukan legenda mengenai kutukan Ratu Sekar Sari, Lana merasa bahwa titik berikutnya dalam penyelidikannya adalah menemui seseorang yang telah bersentuhan langsung dengan cermin tersebut. Berdasarkan informasi yang dia peroleh dari arsip dan dokumen museum, cermin antik itu pernah disimpan di museum kota sebelum akhirnya berakhir di tangan kolektor pribadi. Di museum itulah Pak Haryo, penjaga lama yang sekarang telah pensiun, menghabiskan sebagian besar hidupnya mengawasi koleksi benda-benda antik, termasuk cermin yang menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.Lana pun meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah Pak Haryo. Rumahnya terletak di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Dengan langkah mantap, Lana mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan dengan rambut beruban dan sorot mata yang tajam menatapnya. Ada kerutan dalam di wajahnya yang tampak penuh pengalaman.“Pak Haryo?” tanya Lana sambil menyodorka
Farah melanjutkan, “Dan tak hanya itu. Legenda ini menyebar hingga ke berbagai daerah, Lana. Banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Ratu Sekar Sari di dalam cermin, meskipun cermin itu telah hilang selama bertahun – tahun. Setiap kali penampakan itu terjadi, orang – orang di sekitarnya mengalami kejadian – kejadian aneh, bahkan kematian.”Lana menghela napas dalam – dalam. Semua cerita ini mengerikan, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap skeptis, masih mempertahankan pikiran rasionalnya sebagai seorang detektif. Namun, fakta bahwa Dimas begitu terobsesi dengan cermin ini membuatnya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar – benar berbahaya di dalam cermin tersebut.“Kalau begitu, pertanyaannya adalah, di mana cermin ini sekarang?” Lana menatap Farah dengan intens. Jika cermin itu benar – benar terkutuk, dia harus menemukan cara untuk menghentikannya agar tidak merenggut nyawa lebih banyak lagi.Farah menggeleng. “Tak ada yang tahu pasti. Cermin itu tel