Keesokan harinya, Lana memutuskan untuk menemui Raka Pradipta di sebuah kafe kecil yang terletak di pojok kota. Setelah pertemuan mereka sebelumnya, ia merasa butuh lebih banyak penjelasan mengenai cermin antik tersebut. Raka, dengan segala eksentriknya, adalah satu – satunya orang yang tampaknya memiliki jawaban atas misteri ini.
Saat Lana memasuki kafe, ia melihat Raka sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan mantel hitam panjang dengan ekspresi yang tampak serius. Di depannya, beberapa buku tebal tergeletak di atas meja, dan dia sesekali menulis catatan sambil memandangi halaman – halaman buku yang tampak sudah tua dan lusuh.
“Selamat pagi, Lana,” sapa Raka ketika Lana mendekat. Suaranya tenang, namun ada sorot mata yang tajam seolah dia sudah tahu pertanyaan – pertanyaan yang akan Lana ajukan.
“Selamat pagi, Raka,” balas Lana sambil duduk di hadapannya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang cermin yang kita bicarakan kemarin. Kau menyebutnya sebagai cermin terkutuk, tapi apa sebenarnya cermin itu?”
Raka menghela napas panjang, lalu memandang Lana dengan ekspresi yang serius. “Cermin ini bukan sekadar benda antik biasa. Ada sejarah kelam yang menyelimutinya, legenda dan mitos yang hanya diketahui oleh sedikit orang.”
Lana menyimak dengan penuh perhatian. Ia merasa ini akan menjadi bagian penting dari penyelidikannya.
“Cermin itu,” lanjut Raka sambil menelusuri halaman – halaman buku di depannya, “dikenal sebagai Cermin Ratu Sekar Sari. Legenda kuno menyebutkan bahwa cermin ini bukan sekadar cermin biasa. Cermin ini konon adalah penghubung antara dunia manusia dengan alam roh. Ratu Sekar Sari, seorang penguasa dari era kerajaan kuno di Nusantara, dipercaya memiliki kemampuan luar biasa untuk berkomunikasi dengan arwah dan entitas dari alam lain. Cermin ini adalah salah satu artefak yang dibuat khusus untuk memperkuat kemampuannya tersebut.”
Lana terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Jadi, cermin itu memang memiliki kekuatan mistis?”
Raka mengangguk pelan. “Lebih dari sekadar mistis. Ada sesuatu yang melekat di cermin itu, sesuatu yang lebih dari sekadar kutukan. Beberapa orang menyebutnya sebagai entitas yang terperangkap di dalamnya, tetapi aku percaya ini mungkin lebih dari itu. Cermin ini adalah pintu. Dan, seperti semua pintu, ada sesuatu yang bisa keluar dan masuk.”
Lana merasa merinding mendengar penjelasan itu. “Lalu, apa yang terjadi dengan Ratu Sekar Sari?”
Raka membuka salah satu halaman buku dan menunjukkan ilustrasi seorang perempuan berpakaian kerajaan dengan ekspresi dingin dan misterius. “Ratu Sekar Sari dikenal sebagai penguasa yang adil, tetapi setelah menemukan cermin itu, dia mulai berubah. Menurut catatan sejarah dan legenda rakyat, dia menjadi lebih tertutup dan dingin. Orang – orangnya mengatakan bahwa ia sering berbicara dengan seseorang di dalam cermin, seolah – olah ada suara yang membimbing atau menghasutnya dari balik permukaan cermin itu.”
Lana memandang ilustrasi tersebut dengan cermat, berusaha memahami sosok Ratu Sekar Sari. “Dan cermin ini... bagaimana bisa benda seperti ini bertahan selama ratusan tahun?”
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap Lana dengan tajam. “Cermin ini dipercayakan kepada keturunannya secara turun – temurun, tetapi pada suatu titik, keturunan Ratu Sekar Sari menolak untuk menyimpannya. Mereka mengatakan bahwa cermin itu membawa keburukan dan malapetaka bagi pemiliknya. Karena itu, cermin tersebut akhirnya hilang dalam sejarah, hingga akhirnya muncul di kalangan para kolektor antik di era modern ini.”
Lana menelan ludah, mencoba meredakan rasa takut yang semakin besar dalam dirinya. “Jadi, ada kemungkinan bahwa Dimas adalah korban dari pengaruh cermin ini?”
Raka mengangguk. “Pengaruhnya tak selalu langsung. Kadang – kadang, cermin itu hanya menampilkan bayangan yang mengganggu atau suara – suara yang tak bisa dijelaskan. Tetapi bagi orang – orang yang rentan, seperti Dimas yang tampaknya sangat tertarik pada hal – hal mistis, cermin ini bisa lebih dari sekedar benda. Bisa menjadi sebuah obsesi, sesuatu yang menguasai pikiran mereka.”
Lana merasa semakin tertarik namun juga takut dengan penjelasan Raka. “Apa ada cara untuk menghentikan cermin ini dari mempengaruhi orang lain?”
Raka tersenyum tipis. “Tidak ada yang pasti. Tetapi, seperti semua legenda, ada cara untuk melawan atau menetralisir pengaruh benda semacam ini. Biasanya, benda – benda seperti ini harus dikembalikan ke tempat asalnya atau dihancurkan dengan ritual tertentu. Namun, menghancurkan cermin ini mungkin tidak akan mudah, karena ada kemungkinan bahwa entitas yang terhubung dengannya tidak akan membiarkan hal itu terjadi begitu saja.”
Lana mulai mencatat informasi penting yang disampaikan Raka, merasa semakin dalam terlibat dalam misteri yang mengerikan ini. “Kalau begitu, menurutmu langkah apa yang harus kita ambil selanjutnya?”
Raka berpikir sejenak sebelum menjawab, “Pertama – tama, kita harus mencari lebih banyak informasi tentang asal usul cermin ini, mungkin catatan dari kerajaan kuno atau legenda rakyat yang terkait dengannya. Setiap bagian sejarah kecil mungkin bisa membantu kita memahami apa yang sebenarnya kita hadapi. Kedua, kita harus berhati – hati. Cermin ini mungkin terlihat pasif, tetapi ada kemungkinan entitas di dalamnya dapat merasakan kehadiran kita dan bertindak lebih aktif.”
Lana merasa beban di pundaknya semakin berat, tapi juga merasa tertantang untuk mengungkap misteri ini hingga tuntas. “Baiklah, aku akan mulai menyelidiki catatan sejarah dan mencoba mencari tahu lebih banyak tentang Ratu Sekar Sari dan kerajaan yang terkait dengan cermin ini. Sementara itu, aku butuh bantuanmu untuk memastikan kalau kita tidak kecolongan informasi apapun.”
Raka mengangguk setuju. “Aku akan mencarikan beberapa referensi tambahan. Dan Lana...,” Raka berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih serius, “ingatlah bahwa cermin ini telah mengambil banyak korban. Jangan biarkan dirimu terlalu terlibat secara emosional, atau cermin itu mungkin akan memperdayamu juga.”
Lana hanya mengangguk pelan, menahan rasa takut yang mulai merayap di hatinya.
Setelah pertemuan di kafe itu, Lana kembali ke kantornya dan mulai menyusun rencana untuk menelusuri jejak sejarah cermin tersebut. Meskipun ia seorang detektif modern, kali ini ia harus berhadapan dengan sesuatu yang jauh di luar pemahamannya.
Pikiran tentang cermin antik yang bisa “menghubungkan dunia manusia dengan roh” terus terngiang – ngiang di benaknya. Meski sebagai seorang detektif ia terbiasa menghadapi kasus – kasus misterius, namun kali ini ada sesuatu yang jauh berbeda, perasaan tidak nyaman yang terus mengusik pikirannya.
Lana membuka catatan kecilnya, menuliskan beberapa hal yang sudah disampaikan Raka. Cermin Ratu Sekar Sari. Penghubung alam manusia dan roh. Entitas yang mungkin bersembunyi di dalamnya. Nama ini terasa asing sekaligus memikat, seolah ada dunia baru yang akan terbuka jika ia terus menggali informasi. Di tengah pikirannya yang kalut, telepon di mejanya tiba – tiba berdering, membuatnya tersentak.
“Lana Priadi di sini,” jawabnya, masih dengan suara datar.
Suara di ujung telepon ternyata dari Mira Adiningrum, ibu Dimas. Wanita itu terdengar masih terpengaruh oleh duka yang mendalam, tetapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Lana merasa bahwa Mira ingin mengungkapkan sesuatu yang mungkin belum pernah ia bicarakan sebelumnya.
“Nona Lana… saya perlu bicara lagi. Ada sesuatu yang baru saya ingat tentang Dimas. Bisakah kita bertemu?”
Lana setuju, dan mereka mengatur pertemuan di sebuah taman yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Mira. Wanita itu memilih tempat yang cukup sepi, mungkin agar bisa berbicara lebih leluasa tanpa takut didengar oleh orang lain. Ketika Lana tiba, Mira sudah duduk di bangku taman, wajahnya tertunduk, tangan menggenggam erat tasnya, seperti tengah berusaha menenangkan diri.
“Terima kasih sudah mau bertemu lagi, Nona Lana,” Mira berkata pelan sambil menatap Lana dengan pandangan sedih namun tegas.
“Tentu saja, Ibu Mira,” jawab Lana dengan suara tenang, berusaha memberikan kenyamanan kepada wanita itu. “Saya yakin apa pun yang Anda katakan bisa membantu kami dalam penyelidikan ini.”
Mira menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Beberapa hari sebelum Dimas… sebelum dia ditemukan… dia mulai sering berbicara sendiri di depan cermin di kamarnya. Saya pikir itu hanya karena dia sedang stres atau terlalu banyak tugas kuliah, tapi semakin hari, tingkahnya semakin aneh.”
Lana mencondongkan tubuhnya ke depan, fokus pada setiap kata yang diucapkan Mira. “Apa yang Anda maksud dengan ‘aneh,’ Ibu Mira?”
“Dia sering mengatakan bahwa ada seseorang di dalam cermin itu, seseorang yang memanggilnya,” Mira berbisik, seolah takut bahwa suara itu bisa terdengar oleh makhluk yang sedang mereka bicarakan. “Saya ingat sekali, pada malam terakhir sebelum dia ditemukan meninggal, saya melihatnya berdiri di depan cermin, seperti berbisik seolah ada orang lain yang diajak bicara.”
Lana merasa jantungnya berdebar kencang. Informasi ini sangat penting dan sangat aneh. “Apakah Dimas mengatakan sesuatu tentang siapa atau apa yang ada di dalam cermin itu?”
Mira menggeleng pelan. “Dia tidak pernah memberikan penjelasan jelas. Yang saya tahu, dia sering menyebut ‘Ratu’ atau ‘Dia.’ Saat itu saya pikir dia sedang bercanda atau bermain – main. Tapi sekarang saya tahu, saya salah besar.”
Lana mencoba menenangkan Mira, namun di dalam pikirannya sendiri, pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan. Ada apa dengan cermin ini? Kenapa Dimas begitu terobsesi dengannya? Dan siapa “Ratu” yang disebutnya?
“Terima kasih, Ibu Mira. Saya tahu ini sulit, tapi apa yang Anda katakan sangat membantu,” Lana berkata dengan lembut, mencoba memberi keyakinan pada wanita yang terlihat sangat terpukul ini.
Setelah pertemuan itu, Lana kembali ke kantor dan langsung membuka berkas kasus Dimas Hartanto. Ia merasa bahwa pernyataan Mira barusan membuka dimensi baru dalam penyelidikan ini. Ia menambahkan catatan tentang pengamatan Mira mengenai perilaku aneh Dimas di depan cermin, serta nama “Ratu” yang disebutnya.
Di sela – sela catatannya, telepon Lana kembali berdering. Kali ini Raka yang menelepon.
“Lana, aku menemukan sesuatu yang mungkin ingin kau ketahui,” ujar Raka dengan nada serius. “Aku menemukan catatan kuno dari seorang pelancong Belanda yang berkunjung ke Nusantara pada abad ke-19. Ia menuliskan pengalamannya tentang pertemuannya dengan seorang ratu misterius yang dianggap memiliki kekuatan gaib luar biasa. Ratu ini… konon adalah penguasa yang berkomunikasi dengan roh dan memiliki cermin ajaib sebagai medianya.”
Lana terdiam sejenak, membiarkan informasi ini meresap ke dalam pikirannya.
“Aku rasa, Ratu Sekar Sari yang pernah kubicarakan itu mungkin memiliki kaitan dengan apa yang kau selidiki saat ini,” lanjut Raka.
Lana merasa semakin yakin bahwa cermin itu adalah kunci dari semua misteri ini. Entitas yang bersembunyi di dalamnya, yang mungkin saja telah memanggil Dimas dan kini bisa saja sedang mengincar orang lain.
“Raka, seberapa berbahayanya cermin ini?” tanya Lana, kini tanpa ragu lagi.
“Jika cermin ini benar – benar memiliki penghubung ke dunia lain, maka siapa pun yang terlalu lama berinteraksi dengannya bisa terpengaruh. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental,” Raka memperingatkan. “Orang yang lemah bisa menjadi ‘pintu’ bagi entitas tersebut, membuatnya lebih mudah masuk ke dunia kita.”
Lana semakin yakin bahwa ia tak hanya berurusan dengan kasus kriminal biasa, tetapi dengan sesuatu yang mungkin jauh lebih gelap dan berbahaya.
Beberapa hari setelah menemukan petunjuk mengenai cermin dan pengaruhnya terhadap Dimas, Lana memutuskan untuk bekerja sama dengan Farah Anjani yang tak hanya memiliki kemampuan mencari informasi tetapi juga semangat luar biasa untuk mengungkap kebenaran.Lana meraih ponselnya. Ia mencari nama Farah Anjani di daftar kontak. Beberapa saat ia hanya menatap layar, mempertimbangkan kata-kata yang akan ia ucapkan. Meskipun Farah memiliki reputasi sebagai jurnalis investigatif yang berbakat, Lana selalu merasa sedikit enggan bekerja sama dengan orang luar. Namun, situasi ini berbeda. Kasus ini berada di luar batas pemahamannya sebagai detektif biasa. Ia membutuhkan bantuan Farah.Dengan napas panjang, Lana akhirnya menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara ceria dan penuh semangat Farah menyambut di ujung sana. “Halo, Lana! Akhirnya menghubungi juga. Apa kabar?”Lana tersenyum tipis meskipun Farah tidak bisa melihatnya. “Farah, aku sudah memikirkan tawaranmu
Farah melanjutkan, “Dan tak hanya itu. Legenda ini menyebar hingga ke berbagai daerah, Lana. Banyak yang mengaku pernah melihat penampakan Ratu Sekar Sari di dalam cermin, meskipun cermin itu telah hilang selama bertahun – tahun. Setiap kali penampakan itu terjadi, orang – orang di sekitarnya mengalami kejadian – kejadian aneh, bahkan kematian.”Lana menghela napas dalam – dalam. Semua cerita ini mengerikan, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap skeptis, masih mempertahankan pikiran rasionalnya sebagai seorang detektif. Namun, fakta bahwa Dimas begitu terobsesi dengan cermin ini membuatnya tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa ada sesuatu yang benar – benar berbahaya di dalam cermin tersebut.“Kalau begitu, pertanyaannya adalah, di mana cermin ini sekarang?” Lana menatap Farah dengan intens. Jika cermin itu benar – benar terkutuk, dia harus menemukan cara untuk menghentikannya agar tidak merenggut nyawa lebih banyak lagi.Farah menggeleng. “Tak ada yang tahu pasti. Cermin itu tel
Beberapa hari setelah menemukan legenda mengenai kutukan Ratu Sekar Sari, Lana merasa bahwa titik berikutnya dalam penyelidikannya adalah menemui seseorang yang telah bersentuhan langsung dengan cermin tersebut. Berdasarkan informasi yang dia peroleh dari arsip dan dokumen museum, cermin antik itu pernah disimpan di museum kota sebelum akhirnya berakhir di tangan kolektor pribadi. Di museum itulah Pak Haryo, penjaga lama yang sekarang telah pensiun, menghabiskan sebagian besar hidupnya mengawasi koleksi benda-benda antik, termasuk cermin yang menjadi pusat perhatian dalam kasus ini.Lana pun meluangkan waktu untuk mengunjungi rumah Pak Haryo. Rumahnya terletak di pinggiran kota, jauh dari kebisingan. Dengan langkah mantap, Lana mengetuk pintu dan menunggu. Tak lama, pintu terbuka dan seorang pria berusia sekitar tujuh puluhan dengan rambut beruban dan sorot mata yang tajam menatapnya. Ada kerutan dalam di wajahnya yang tampak penuh pengalaman.“Pak Haryo?” tanya Lana sambil menyodorka
Dua hari setelah pertemuannya dengan Pak Haryo, Lana masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan cerita penjaga museum itu dari pikirannya. Di ruang kerjanya yang dipenuhi berkas-berkas kasus, dia menatap kosong ke arah secangkir kopi yang mulai mendingin di mejanya. Cerita tentang kejadian aneh di museum terus terngiang, bisikan tanpa sumber, bayangan yang muncul tanpa ada orang, dan tentu saja cermin itu.Lana menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dia menekan nomor Raka Pradipta, paranormal yang selama ini membantu penyelidikan dengan sudut pandangnya yang eksentrik namun sering kali masuk akal.“Raka, ada waktu?” tanya Lana begitu panggilan tersambung.“Selalu ada waktu untuk kasus seperti ini,” jawab Raka dengan nada santai. “Ada apa? Kau kelihatan ragu-ragu.”Lana menggigit bibirnya, lalu berbicara dengan nada serius. “Dua hari lalu, aku bertemu dengan Pak Haryo, penjaga museum tempat cermin itu disimpan. Dia cerita tentang beberapa kejadian aneh yang pernah dia alami d
“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Pagi itu, Lana duduk di kantornya sambil memeriksa laporan autopsi Dimas Hartanto. Matanya menyusuri baris-baris kata di layar komputer, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke malam di museum. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah detail kecil yang belum ia perhatikan.Namun, konsentrasinya terpecah ketika suara samar mulai terdengar. Awalnya, ia mengira itu hanya suara dari luar, mungkin angin yang menerpa jendela kantornya. Tapi suara itu menjadi semakin jelas. Itu adalah suara seorang wanita, lembut namun penuh kesedihan, seperti seseorang yang memanggil namanya.“Lana…”Lana tersentak, menoleh ke sekeliling ruangan. Kantornya kosong, hanya ada dirinya. Ia mencoba mengabaikan suara itu dan kembali fokus pada laporan di depannya, tetapi suara itu terus memanggil, kali ini lebih jelas.“Lana… tolong aku…”Lana berdiri, tubuhnya tegang. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi? Ia segera meraih telepon
Lana duduk di mejanya dengan kepala bersandar di tangannya. Di hadapannya, berkas-berkas terkait kasus Dimas Hartanto berserakan. Di layar laptopnya, tampak foto-foto TKP dan laporan autopsi yang ia periksa berulang kali. Tetapi, semakin lama ia mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ada, semakin ia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.“Cermin itu… kutukan… suara dari masa lalu…” Lana bergumam pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang mulai melantur. Tetapi semuanya terasa terlalu nyata untuk diabaikan.Ia membuka kembali catatan yang ia buat selama beberapa hari terakhir. Nama Ratu Sekar Sari tercatat di bagian atas, di ikuti dengan keterangan tentang cermin antik dan kejadian-kejadian aneh yang telah ia alami. Namun, tidak ada satu pun yang mengarah pada jawaban konkret.Pikirannya terusik oleh bayangan Raka dan teorinya. Meskipun Lana bukan orang yang percaya
Berita tentang kematian Indra Kusuma tersebar dengan cepat, menciptakan kehebohan di kota. Kematian misterius itu mengundang perhatian tidak hanya dari media, tetapi juga dari para pejabat dan masyarakat umum. Indra, seorang pengusaha muda yang dikenal cerdas dan ambisius, ditemukan tewas di apartemennya dengan kondisi yang menggemparkan. Sama seperti Dimas Hartanto, tubuh Indra ditemukan dalam posisi yang tidak wajar di depan sebuah cermin antik, dengan ekspresi wajah penuh ketakutan.Lana membaca laporan autopsi Indra yang baru saja dikirimkan kepadanya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik atau zat berbahaya di tubuhnya, tetapi ada satu hal yang mencolok: pupil mata Indra melebar seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum kematiannya.Lana menutup berkas itu dengan frustrasi. Dua kematian serupa dalam waktu singkat. Apakah ini hanya kebetulan?Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?Lana memutuskan untuk mengunjung
Lana menatap inti kekuatan itu, lalu menatap Raka. Keputusan ini akan mengubah segalanya.Dia harus memilih.Menghancurkan inti dan mengorbankan Raka?Atau membiarkan portal tetap terbuka dan mempertaruhkan dunia manusia?Tangannya gemetar. Waktu hampir habis.Lana menarik napas dalam-dalam.Dan kemudian, dia mengambil keputusan.Lana menutup matanya sejenak, lalu dengan penuh tekad, menghancurkan inti kekuatan cermin. Cahaya biru itu berkedip sesaat sebelum meledak, menciptakan gelombang energi yang menyapu seluruh dimensi roh dan dunia nyata.Teriakan Ratu Sekar Sari menggema di udara, tubuhnya memudar menjadi abu sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dunia roh mulai runtuh, menghisap semua jiwa yang tersesat, termasuk bayangan-bayangan yang sebelumnya ingin melarikan diri ke dunia manusia.Di dunia nyata, cermin yang tersisa hancur menjadi serpihan kecil. Port
Sebelum Lana bisa membuat keputusan, suara keras bergema di sekitar mereka. Pintu ruang bawah tanah tempat mereka berdiri didobrak dengan paksa. Sekelompok orang berpakaian hitam dengan simbol aneh di dada mereka menyerbu masuk."Jauhkan diri dari cermin itu," suara berat seorang pria terdengar. Dia melangkah ke depan, matanya tajam dan penuh ambisi. "Kalian tidak mengerti betapa berharganya benda ini."Lana, Raka, dan Farah langsung bersiap. Mereka mengenali simbol itu—Organisasi Rahasia 'Bayang Jaya', kelompok yang dipercaya mempelajari dan mengeksploitasi benda-benda mistis untuk tujuan mereka sendiri.“Jadi ini benar,” gumam Farah, jantungnya berdebar kencang. “Kalian memang mengincar cermin ini selama ini.”Pria itu tersenyum dingin. “Tentu saja. Cermin ini bukan sekadar penjara bagi roh. Ini adalah pintu menuju kekuatan yang tak terbayangkan. Jika digunakan dengan benar, kita bisa
Raka terbangun dengan kepala berdenyut. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin dan lembap di sekelilingnya. Dia mencoba bangkit, lalu melihat Farah terbaring di dekatnya, tidak sadarkan diri."Farah!" Raka mengguncang bahunya.Farah membuka mata dengan lemah, wajahnya pucat pasi. "Di mana kita...?" suaranya lirih, penuh ketakutan.Mereka berada di dalam sebuah gua gelap, dengan dinding batu yang lembap dan penuh ukiran aneh. Cahaya redup berpendar dari celah-celah batu, menciptakan bayangan yang bergerak sendiri di sekeliling mereka.Tiba-tiba, suara berat terdengar dari ujung gua."Kenapa kalian datang ke tempat ini?"Raka dan Farah membeku.Dari kegelapan, muncul sesosok bayangan besar dengan mata merah menyala. Bentuknya humanoid, tapi tidak memiliki wajah. Tangannya panjang dan bersisik, dengan kuku tajam yang menyerupai belati.
Sejak saat itu, roh Sekar Sari terperangkap di dalam cermin, dipenuhi dendam yang tak kunjung padam. Setiap orang yang melihat bayangannya dalam cermin itu menjadi sasaran kutukannya.Lana merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang mereka hadapi bukan sekadar fenomena supranatural biasa. Sekar Sari tidak hanya meminta bantuan. Dia menginginkan sesuatu."Dia ingin membalas dendam," bisik Lana pada dirinya sendiri.Tapi ada sesuatu yang janggal. Jika Sekar Sari adalah korban, mengapa dia justru membunuh orang-orang yang tidak bersalah? Apakah cermin itu mempermainkan jiwanya? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap yang masih tersembunyi?Di sisi lain, Raka dan Farah juga mulai menyusun teori mereka."Kalau cermin itu adalah alatnya, maka satu-satunya cara menghentikan kutukan ini adalah menghancurkannya," kata Raka saat mereka akhirnya bertemu kembali."Tapi kalau kita salah langkah, kita bisa membebaskan sesuatu yang lebih berb
Raka akhirnya bersuara, "Apa yang terjadi jika kita gagal?"Pak Wirya menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya pelan namun penuh ketegangan."Maka dia akan menggantikan salah satu dari kalian."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan setelah pernyataan terakhir Pak Wirya. Lana menatap cincin di tangannya dengan perasaan tak menentu. Ia sudah banyak menghadapi kasus misterius dalam kariernya, tetapi ini… ini di luar nalar manusia."Kalau begitu, kapan kita harus melakukan ritual itu?" Lana bertanya, mencoba tetap tenang.Pak Wirya menghela napas. "Sebelum bulan purnama berikutnya. Itu adalah waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia roh melemah. Jika kalian menunggu terlalu lama, cermin itu akan terbuka dengan sendirinya."Farah menggigit bibirnya. "Berarti kita harus bergerak cepat. Dimana kita harus melakukan ritual itu?"Pak Wirya menatap mereka dengan sorot mata penuh peringatan. "Di depan cermin itu. H
Malam terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.Lana mencoba tidur lagi, tetapi setiap kali ia menutup mata, bayangan cermin itu muncul di pikirannya. Suara bisikan Ratu Sekar Sari terngiang di telinganya."Kembalikan…"Ia menggigil. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa cincin yang ia bawa adalah kunci dari semuanya—tapi juga ancaman terbesar yang membuat nyawanya kini berada dalam bahaya.Di tempat lain, Farah menatap bekas cengkeraman di pergelangan tangannya. Ia mengusapnya dengan keras, berharap tanda itu hilang, tetapi tidak ada perubahan."Apa ini akan tetap ada? Apa aku sudah ditandai?" pikirnya.Sementara itu, Raka duduk di meja kerjanya, menyalakan dupa untuk menenangkan pikirannya. Namun, asap dupa yang berputar di udara justru membentuk sesuatu…Wajah seorang wanita.Wajah Ratu Sekar Sari.Raka tersentak mundur, jantungnya hampir melomp
Bukan senyuman biasa—melainkan senyuman penuh kebencian dan dendam.CRAAACK!Cermin itu tiba-tiba pecah!Namun, alih-alih pecahan kaca yang berhamburan ke lantai, yang terjadi justru lebih mengerikan—kegelapan mulai keluar dari dalam cermin, seperti kabut hitam pekat yang merayap di udara.Lana mundur beberapa langkah, napasnya memburu. "Apa yang terjadi?!"Raka menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak mereka mengerti. Tangan kanannya terangkat, seolah mencoba menahan kekuatan itu."Kita harus pergi!" Raka berteriak.Farah tersadar dari keterkejutannya dan segera menarik tangan Lana. "Ayo!"Mereka semua berlari keluar ruangan, meninggalkan Pak Haryo yang masih terduduk dengan tatapan kosong. Namun, sebelum Lana bisa keluar sepenuhnya, sesuatu mencengkeram pergelangan tangannya.Tangan dingin… tangan yang tidak terlihat.Lana berter
Tiba-tiba, dari dalam kabut, sebuah bayangan muncul—sosok wanita bergaun putih panjang dengan rambut hitam tergerai. Wajahnya samar, tertutup oleh kegelapan, namun kehadirannya membuat udara semakin dingin."Kalian tidak seharusnya ada di sini…"Suara itu bergema di sekitar mereka, dalam nada yang terdengar seperti bisikan namun menusuk langsung ke dalam kepala mereka. Lana menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang."Siapa kau?" tanya Lana tegas.Wanita itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia mengangkat tangannya—dan tiba-tiba, di hadapan mereka, cermin besar muncul. Cermin itu terlihat retak di beberapa bagian, dan di dalam pantulannya, bukan mereka yang terlihat, melainkan bayangan mengerikan dari tubuh-tubuh yang tergeletak tanpa nyawa.Farah menahan napas. Itu adalah mayat-mayat korban yang telah mereka selidiki… Dimas Hartanto… Indra Kusuma… bahkan sosok yang tidak mereka kena
POV FarahDi tempat lain, Farah juga mengalami sesuatu yang aneh. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia duduk di depan laptopnya, mencoba menuliskan ulang informasi yang mereka dapatkan. Tetapi pikirannya terus melayang pada kejadian di rumah Arya.Ia masih bisa merasakan ketegangan saat suara perempuan itu bergema di udara. "Jangan buka pintu itu..."Farah mengusap wajahnya, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.Siapa yang datang larut malam begini?Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat dan mengintip melalui lubang pintu. Tidak ada siapa pun.Jantungnya berdetak lebih cepat.Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Mungkin cuma perasaanku saja," gumamnya.Tetapi begitu ia berbalik, ponselnya bergetar di atas meja.Sebuah pesan masuk."Jangan