“Aku di sini,” jawab Raka cepat. “Tetap dekat denganku.”Namun, saat Lana melangkah mendekati Raka, dia merasa sesuatu menyentuh bahunya. Refleks, dia berbalik, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Suara samar seperti bisikan terdengar di telinganya, tetapi kata-kata itu tidak jelas. Seperti suara wanita yang merintih.“Kamu dengar itu?” tanya Lana dengan napas tersengal.“Ya,” jawab Raka. Dia menyalakan dupa yang dibawanya dan memegangnya di udara. Asap putih mengalir perlahan, menyebar ke seluruh ruangan.“Siapa pun kamu,” ucap Raka dengan suara tegas, “kami tidak datang untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu kebenaran.”Cermin itu tiba-tiba bergetar, mengeluarkan suara seperti kaca yang retak, tetapi tidak pecah. Lana menatap cermin itu dengan ngeri. Bayangan wanita tadi kini bergerak, seolah-olah mencoba keluar dari cermin.“Raka, apa yang terjadi?” tanya Lana, suaranya mulai meninggi.Raka berusaha tetap tenang. “Cermin ini bereaksi terhadap keberadaan kita. Mungkin kita memancin
Pagi itu, Lana duduk di kantornya sambil memeriksa laporan autopsi Dimas Hartanto. Matanya menyusuri baris-baris kata di layar komputer, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke malam di museum. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah detail kecil yang belum ia perhatikan.Namun, konsentrasinya terpecah ketika suara samar mulai terdengar. Awalnya, ia mengira itu hanya suara dari luar, mungkin angin yang menerpa jendela kantornya. Tapi suara itu menjadi semakin jelas. Itu adalah suara seorang wanita, lembut namun penuh kesedihan, seperti seseorang yang memanggil namanya.“Lana…”Lana tersentak, menoleh ke sekeliling ruangan. Kantornya kosong, hanya ada dirinya. Ia mencoba mengabaikan suara itu dan kembali fokus pada laporan di depannya, tetapi suara itu terus memanggil, kali ini lebih jelas.“Lana… tolong aku…”Lana berdiri, tubuhnya tegang. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Apakah ini hanya imajinasinya, atau ada sesuatu yang benar-benar terjadi? Ia segera meraih telepon
Lana duduk di mejanya dengan kepala bersandar di tangannya. Di hadapannya, berkas-berkas terkait kasus Dimas Hartanto berserakan. Di layar laptopnya, tampak foto-foto TKP dan laporan autopsi yang ia periksa berulang kali. Tetapi, semakin lama ia mencoba menghubungkan petunjuk-petunjuk yang ada, semakin ia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.“Cermin itu… kutukan… suara dari masa lalu…” Lana bergumam pada dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang mulai melantur. Tetapi semuanya terasa terlalu nyata untuk diabaikan.Ia membuka kembali catatan yang ia buat selama beberapa hari terakhir. Nama Ratu Sekar Sari tercatat di bagian atas, di ikuti dengan keterangan tentang cermin antik dan kejadian-kejadian aneh yang telah ia alami. Namun, tidak ada satu pun yang mengarah pada jawaban konkret.Pikirannya terusik oleh bayangan Raka dan teorinya. Meskipun Lana bukan orang yang percaya
Berita tentang kematian Indra Kusuma tersebar dengan cepat, menciptakan kehebohan di kota. Kematian misterius itu mengundang perhatian tidak hanya dari media, tetapi juga dari para pejabat dan masyarakat umum. Indra, seorang pengusaha muda yang dikenal cerdas dan ambisius, ditemukan tewas di apartemennya dengan kondisi yang menggemparkan. Sama seperti Dimas Hartanto, tubuh Indra ditemukan dalam posisi yang tidak wajar di depan sebuah cermin antik, dengan ekspresi wajah penuh ketakutan.Lana membaca laporan autopsi Indra yang baru saja dikirimkan kepadanya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik atau zat berbahaya di tubuhnya, tetapi ada satu hal yang mencolok: pupil mata Indra melebar seperti seseorang yang melihat sesuatu yang sangat menakutkan sebelum kematiannya.Lana menutup berkas itu dengan frustrasi. Dua kematian serupa dalam waktu singkat. Apakah ini hanya kebetulan?Atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?Lana memutuskan untuk mengunjung
Sore itu, Lana duduk di ruang kerjanya, dengan sebuah jurnal tebal berwarna hitam di atas meja. Jurnal milik Indra Kusuma ditemukan di salah satu laci meja apartemennya oleh tim forensik dan baru saja dikirimkan ke Lana untuk diperiksa.Halaman depan jurnal itu kosong, kecuali inisial kecil bertuliskan "I.K." di sudut kanan bawah. Saat membuka halaman pertama, aroma kertas tua yang khas menyeruak. Tulisan tangan Indra terlihat rapi, tetapi semakin ke halaman berikutnya, huruf-hurufnya mulai tampak tergesa-gesa, seolah ditulis dalam keadaan panik.Lana menghela napas dalam-dalam sebelum mulai membaca.22 Oktober"Aku tidak tahu mengapa aku membeli cermin itu. Saat aku melihatnya di pelelangan, aku merasa seperti terpanggil. Seolah-olah benda itu memintaku untuk membawanya pulang. Bingkainya terlihat kuno, dengan ukiran yang rumit. Orang-orang mengatakan itu barang antik yang langka. Aku pikir ini akan menjadi tambahan koleksi yang sempur
Keesokan harinya, Lana bertemu Farah di ruang kerjanya. Jurnalis itu membawa map tebal yang penuh dengan artikel dan dokumen lama.“Apa yang kau temukan?” tanya Lana, sambil mempersilakan Farah duduk.Farah membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa artikel. “Aku menemukan pola kematian yang mirip dengan kasus Indra dan Dimas. Semua melibatkan orang-orang yang memiliki cermin antik yang sama. Tapi ada sesuatu yang lebih menarik.”Farah menyodorkan salah satu artikel kepada Lana. Artikel itu memuat berita tentang seorang kolektor seni bernama Johannes Kadar yang tewas secara misterius lima tahun lalu. Cermin itu disebut sebagai salah satu koleksi terakhirnya sebelum kematiannya.“Ini sudah terjadi sebelumnya?” Lana mengernyit, membaca artikel tersebut dengan saksama.“Bukan hanya sekali,” jawab Farah. “Setidaknya ada empat kasus lain yang tercatat. Korbannya selalu mengalami mimpi buruk, perubahan
Malam semakin larut saat Lana dan Farah keluar dari perpustakaan. Langit gelap dihiasi bintang yang jarang terlihat di kota, memberikan sedikit ketenangan di tengah pikiran mereka yang penuh misteri. Jalanan sepi, hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintas.“Kita sudah melakukan yang terbaik untuk malam ini,” kata Farah sambil menguap kecil. “Aku harus pulang dan mencoba mengolah semua informasi ini. Mungkin aku bisa menyusun laporan tentang ini.”Lana mengangguk sambil menarik jaketnya lebih rapat. Udara dingin menusuk kulit, seolah-olah malam itu mengingatkan mereka pada sesuatu yang lebih menyeramkan daripada sekadar hawa dingin.“Aku juga perlu waktu untuk mencerna semuanya,” balas Lana. “Aku akan meninjau kembali peta lokasi kuburan Ratu Sekar Sari. Besok pagi kita bisa memutuskan langkah berikutnya.”Farah mengangguk, mengeratkan tas selempangnya. “Jaga dirimu, Lana. Jangan terlalu larut memikirkan ini.”“Aku akan mencoba.” Lana tersenyum kecil, meskipun rasa cemas di hat
Matahari masih malu-malu menampakkan diri ketika Lana tiba di kantor polisi. Udara pagi terasa segar, tetapi pikirannya sudah diselimuti ketegangan. Dia harus memastikan perjalanan mereka ke lokasi kuburan mendapatkan izin resmi, terutama karena area tersebut merupakan tanah adat yang dijaga ketat oleh masyarakat setempat.Atasan Lana, Inspektur Arief, memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu saat dia memaparkan permintaannya.“Kuburan? Apa ini ada hubungannya dengan kasus kematian Indra dan Dimas?” tanya Inspektur Arief sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.“Ya, Pak,” jawab Lana dengan tegas. “Ada petunjuk yang mengarah ke lokasi itu. Saya yakin ini penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.”Inspektur Arief menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi ingat, jangan bertindak gegabah. Ini adalah wilayah yang sensitif, dan kita harus menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat.”Lana merasa lega mendapatkan persetujuan itu. Dia segera keluar dari kantor dan
Lana menatap inti kekuatan itu, lalu menatap Raka. Keputusan ini akan mengubah segalanya.Dia harus memilih.Menghancurkan inti dan mengorbankan Raka?Atau membiarkan portal tetap terbuka dan mempertaruhkan dunia manusia?Tangannya gemetar. Waktu hampir habis.Lana menarik napas dalam-dalam.Dan kemudian, dia mengambil keputusan.Lana menutup matanya sejenak, lalu dengan penuh tekad, menghancurkan inti kekuatan cermin. Cahaya biru itu berkedip sesaat sebelum meledak, menciptakan gelombang energi yang menyapu seluruh dimensi roh dan dunia nyata.Teriakan Ratu Sekar Sari menggema di udara, tubuhnya memudar menjadi abu sebelum akhirnya menghilang sepenuhnya. Dunia roh mulai runtuh, menghisap semua jiwa yang tersesat, termasuk bayangan-bayangan yang sebelumnya ingin melarikan diri ke dunia manusia.Di dunia nyata, cermin yang tersisa hancur menjadi serpihan kecil. Port
Sebelum Lana bisa membuat keputusan, suara keras bergema di sekitar mereka. Pintu ruang bawah tanah tempat mereka berdiri didobrak dengan paksa. Sekelompok orang berpakaian hitam dengan simbol aneh di dada mereka menyerbu masuk."Jauhkan diri dari cermin itu," suara berat seorang pria terdengar. Dia melangkah ke depan, matanya tajam dan penuh ambisi. "Kalian tidak mengerti betapa berharganya benda ini."Lana, Raka, dan Farah langsung bersiap. Mereka mengenali simbol itu—Organisasi Rahasia 'Bayang Jaya', kelompok yang dipercaya mempelajari dan mengeksploitasi benda-benda mistis untuk tujuan mereka sendiri.“Jadi ini benar,” gumam Farah, jantungnya berdebar kencang. “Kalian memang mengincar cermin ini selama ini.”Pria itu tersenyum dingin. “Tentu saja. Cermin ini bukan sekadar penjara bagi roh. Ini adalah pintu menuju kekuatan yang tak terbayangkan. Jika digunakan dengan benar, kita bisa
Raka terbangun dengan kepala berdenyut. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang dingin dan lembap di sekelilingnya. Dia mencoba bangkit, lalu melihat Farah terbaring di dekatnya, tidak sadarkan diri."Farah!" Raka mengguncang bahunya.Farah membuka mata dengan lemah, wajahnya pucat pasi. "Di mana kita...?" suaranya lirih, penuh ketakutan.Mereka berada di dalam sebuah gua gelap, dengan dinding batu yang lembap dan penuh ukiran aneh. Cahaya redup berpendar dari celah-celah batu, menciptakan bayangan yang bergerak sendiri di sekeliling mereka.Tiba-tiba, suara berat terdengar dari ujung gua."Kenapa kalian datang ke tempat ini?"Raka dan Farah membeku.Dari kegelapan, muncul sesosok bayangan besar dengan mata merah menyala. Bentuknya humanoid, tapi tidak memiliki wajah. Tangannya panjang dan bersisik, dengan kuku tajam yang menyerupai belati.
Sejak saat itu, roh Sekar Sari terperangkap di dalam cermin, dipenuhi dendam yang tak kunjung padam. Setiap orang yang melihat bayangannya dalam cermin itu menjadi sasaran kutukannya.Lana merasakan bulu kuduknya meremang. Apa yang mereka hadapi bukan sekadar fenomena supranatural biasa. Sekar Sari tidak hanya meminta bantuan. Dia menginginkan sesuatu."Dia ingin membalas dendam," bisik Lana pada dirinya sendiri.Tapi ada sesuatu yang janggal. Jika Sekar Sari adalah korban, mengapa dia justru membunuh orang-orang yang tidak bersalah? Apakah cermin itu mempermainkan jiwanya? Ataukah ada sesuatu yang lebih gelap yang masih tersembunyi?Di sisi lain, Raka dan Farah juga mulai menyusun teori mereka."Kalau cermin itu adalah alatnya, maka satu-satunya cara menghentikan kutukan ini adalah menghancurkannya," kata Raka saat mereka akhirnya bertemu kembali."Tapi kalau kita salah langkah, kita bisa membebaskan sesuatu yang lebih berb
Raka akhirnya bersuara, "Apa yang terjadi jika kita gagal?"Pak Wirya menatap mereka dalam-dalam sebelum menjawab, suaranya pelan namun penuh ketegangan."Maka dia akan menggantikan salah satu dari kalian."Keheningan mencekam menyelimuti ruangan setelah pernyataan terakhir Pak Wirya. Lana menatap cincin di tangannya dengan perasaan tak menentu. Ia sudah banyak menghadapi kasus misterius dalam kariernya, tetapi ini… ini di luar nalar manusia."Kalau begitu, kapan kita harus melakukan ritual itu?" Lana bertanya, mencoba tetap tenang.Pak Wirya menghela napas. "Sebelum bulan purnama berikutnya. Itu adalah waktu di mana batas antara dunia manusia dan dunia roh melemah. Jika kalian menunggu terlalu lama, cermin itu akan terbuka dengan sendirinya."Farah menggigit bibirnya. "Berarti kita harus bergerak cepat. Dimana kita harus melakukan ritual itu?"Pak Wirya menatap mereka dengan sorot mata penuh peringatan. "Di depan cermin itu. H
Malam terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.Lana mencoba tidur lagi, tetapi setiap kali ia menutup mata, bayangan cermin itu muncul di pikirannya. Suara bisikan Ratu Sekar Sari terngiang di telinganya."Kembalikan…"Ia menggigil. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa cincin yang ia bawa adalah kunci dari semuanya—tapi juga ancaman terbesar yang membuat nyawanya kini berada dalam bahaya.Di tempat lain, Farah menatap bekas cengkeraman di pergelangan tangannya. Ia mengusapnya dengan keras, berharap tanda itu hilang, tetapi tidak ada perubahan."Apa ini akan tetap ada? Apa aku sudah ditandai?" pikirnya.Sementara itu, Raka duduk di meja kerjanya, menyalakan dupa untuk menenangkan pikirannya. Namun, asap dupa yang berputar di udara justru membentuk sesuatu…Wajah seorang wanita.Wajah Ratu Sekar Sari.Raka tersentak mundur, jantungnya hampir melomp
Bukan senyuman biasa—melainkan senyuman penuh kebencian dan dendam.CRAAACK!Cermin itu tiba-tiba pecah!Namun, alih-alih pecahan kaca yang berhamburan ke lantai, yang terjadi justru lebih mengerikan—kegelapan mulai keluar dari dalam cermin, seperti kabut hitam pekat yang merayap di udara.Lana mundur beberapa langkah, napasnya memburu. "Apa yang terjadi?!"Raka menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang tidak mereka mengerti. Tangan kanannya terangkat, seolah mencoba menahan kekuatan itu."Kita harus pergi!" Raka berteriak.Farah tersadar dari keterkejutannya dan segera menarik tangan Lana. "Ayo!"Mereka semua berlari keluar ruangan, meninggalkan Pak Haryo yang masih terduduk dengan tatapan kosong. Namun, sebelum Lana bisa keluar sepenuhnya, sesuatu mencengkeram pergelangan tangannya.Tangan dingin… tangan yang tidak terlihat.Lana berter
Tiba-tiba, dari dalam kabut, sebuah bayangan muncul—sosok wanita bergaun putih panjang dengan rambut hitam tergerai. Wajahnya samar, tertutup oleh kegelapan, namun kehadirannya membuat udara semakin dingin."Kalian tidak seharusnya ada di sini…"Suara itu bergema di sekitar mereka, dalam nada yang terdengar seperti bisikan namun menusuk langsung ke dalam kepala mereka. Lana menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang."Siapa kau?" tanya Lana tegas.Wanita itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia mengangkat tangannya—dan tiba-tiba, di hadapan mereka, cermin besar muncul. Cermin itu terlihat retak di beberapa bagian, dan di dalam pantulannya, bukan mereka yang terlihat, melainkan bayangan mengerikan dari tubuh-tubuh yang tergeletak tanpa nyawa.Farah menahan napas. Itu adalah mayat-mayat korban yang telah mereka selidiki… Dimas Hartanto… Indra Kusuma… bahkan sosok yang tidak mereka kena
POV FarahDi tempat lain, Farah juga mengalami sesuatu yang aneh. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia duduk di depan laptopnya, mencoba menuliskan ulang informasi yang mereka dapatkan. Tetapi pikirannya terus melayang pada kejadian di rumah Arya.Ia masih bisa merasakan ketegangan saat suara perempuan itu bergema di udara. "Jangan buka pintu itu..."Farah mengusap wajahnya, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya.Tok. Tok. Tok.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.Siapa yang datang larut malam begini?Dengan hati-hati, ia berjalan mendekat dan mengintip melalui lubang pintu. Tidak ada siapa pun.Jantungnya berdetak lebih cepat.Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Mungkin cuma perasaanku saja," gumamnya.Tetapi begitu ia berbalik, ponselnya bergetar di atas meja.Sebuah pesan masuk."Jangan