PENDEKAR Lebah Maut mengeluh tertahan. Merasakan sesak yang tiba-tiba saja membungkus jalur pernapasannya. Tubuhnya yang masih oleng kembali terjajar mundur. Lalu jatuh duduk di tanah.
Seta yang tengah kesetanan tak peduli pada keadaan lawan. Sang prajurit sudah menyerbu lagi. Siap mengirim serangan pamungkas nan mematikan.
Namun belum lagi serangan sang prajurit mengenai sasaran, terdengar seruan Ki Sajiwa.
“Cukup, Seta! Lawanmu sudah tak berdaya,” ujar petapa dari Teluk Lawa tersebut.
Seta sontak hentikan gerakannya.
Sambil menunjukkan air muka keheranan, Seta balikkan badan. Menatap dengan sorot mata menuntut penjelasan pada Ki Sajiwa di belakangnya.
Sebelah tangan yang sudah terangkat, siap menghajar lawan dengan sabetan pedang, perlahan-lahan diturunkan. Senjata tersebut lantas disarungkan ke dalam warangka di pinggang.
Sementara sang petapa dari Teluk Lawa melangkah ke depan. Mendekati Pendekar Lebah Maut yang masih
BARU berlari sejarak tiga ribu kaki (sekitar satu kilometer), Ki Sajiwa tiba-tiba saja hentikan larinya. Seta mau tak mau ikut berhenti pula.“Ada apa, Guru? Kenapa berhenti di sini?” tanya sang prajurit, sembari memandang keheranan pada petapa tua tersebut.Ki Sajiwa tak menjawab. Kepalanya ditelengkan sedikit. Seperti sedang berusaha menangkap suara tertentu. Air muka orang tua itu tampak bersungguh-sungguh.“Kau dengar sesuatu?” Ia balik bertanya setengah berbisik.Seta tajamkan pendengaran. Namun sepasang telinganya tak menangkap suara apa pun. Kecuali lirih desir angin menerpa pucuk-pucuk ilalang yang meliuk-liuk.“Aku tidak mendengar apa-apa, Guru,” sahut sang prajurit kemudian.Ki Sajiwa tampak lega.“Oh, baguslah kalau begitu,” ujarnya. Kemudian langsung berlari lagi.Kening Seta berkerut dalam dibuatnya. Namun sang
KI BASWARA terlihat ragu-ragu mendengar perkataan Ki Sajiwa barusan. Matanya menatap penuh selidik pada Seta yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.Menyaksikan itu Ki Sajiwa cepat tanggap. Ki Baswara tentulah menaruk syak pada sang prajurit yang belum dikenalnya itu.“Oh, ini muridku. Namanya Seta, sang wira tamtama Jenggala,” ujar petapa tua tersebut, sembari menepuk-nepuk bahu muridnya.Ki Baswara melengak kaget. Sepasang matanya membulat besar. Menatap wajah Seta tanpa berkedip sedikit pun.“K-kau ... kau Seta?” serunya seraya menekap mulut. “Benarkah ini kau, Seta?”Seta tersenyum. Badannya membungkuk memberi hormat pada Ki Baswara.“Benar, Ki. Aku Seta,” sahut sang prajurit menegaskan.Ki Baswara masih terlihat tidak percaya. Sebagai orang yang tinggal di dalam kawasan jeron beteng, lelaki tua itu telah mendengar segala cerita
BERSAMAAN dengan terdengarnya suara bentakan, muncul beberapa sosok mengadang langkah Ki Baswara. Lelaki tua tersebut sontak tersurut mundur beberapa langkah karena kaget.Demikian halnya Ki Sajiwa dan Seta. Dalam kekagetan mereka, kedua guru-murid tersebut sama palingkan pandangan ke arah suara bentakan.Di depan sana, berjarak sekitar dua depa dari tempat mereka bertiga berada, tampak tiga orang lelaki. Yang dua berdiri berkacak pinggang. Sedangkan yang seorang lagi sedekapkan kedua tangan di depan dada.Begitu mengenali siapa dua orang yang berkacak pinggang, Ki Sajiwa langsung tertawa keras.“Ah, ah, kalian berdua lagi rupanya. Bukankah sudah aku peringatkan ....”“Tutup mulutmu, Sajiwa! Kami tidak ada keperluan denganmu. Kami kemari untuk menemui Ki Rama Jataka,” tukas salah satu dari dua lelaki yang berkacak pinggang.Dua orang tersebut jelas manusia, karena dapa
BLAAAARRR!Sinar hitam pekat yang dilepas Kala Hitam hanya menghantam semak-semak. Ledakan keras terdengar bersamaan dengan bergetarnya tanah. Tepian bengawan itu seolah dilanda gempa dahsyat.Semak-semak yang terkena hantaman pukulan seketika berhamburan. Patahan batang dan cabang perdu, serta remahan dedaunan, membumbung tinggi ke udara. Bercampur dengan hamburan tanah dan asap hitam.Untuk sesaat tempat tersebut bertambah pekat. Pandangan mata terhalang oleh bubungan asap dan berbagai benda yang terlontar ke udara.Begitu asap menghilang, serta debu dan remahan perdu luruh ke tanah, Ki Sajiwa seketika menjadi kaget. Dilihatnya Ki Baswara sudah dibawa lari oleh Sepasang Kera Pencabut Nyawa.“Keparat! Mau kalian bawa kemana Baswara?” geram sang petapa.Sekali kakinya menghentak tanah, tubuh Ki Sajiwa melesat laksana terbang ke udara. Namun niatnya yang hendak mengejar Wirakapi da
JERITAN keras terlontar dari mulut Seta. Hantaman telapak tangan Wirakapi mendarat telak di dada sang prajurit. Membuatnya merasa sesak napas seketika.Hantaman itu juga mendorong tubuh Seta. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Begitu dapat berhenti, terlihat sang prajurit berdiri gontai bagaikan orang mabuk.Di tempatnya, Wirakapi keluarkan tawa mengekeh. Dengan perlahan kakinya melangkah, mendekati Seta yang masih berusaha menguasai diri.“Bagaimana, Prajurit, kau sudah merasa cukup atau minta lebih?” tanya lelaki berbulu lebat tersebut di antara tawa. Nada bicaranya terdengar mengejek.Seta menggeram. Wajahnya merah kelam menahan amarah. Kalau menuruti keinginan hati, saat itu juga ia sudah kembali menyerbu Wirakapi.Namun sang prajurit masih harus mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Dadanya terasa begitu sesak, paru-parunya serasa mau copot.“Sudah
SEGELOMBANG angin dahsyat menebar hawa panas menyengat kulit berkelebat. Menyambar cepat ke arah Ki Sajiwa. Diiringi berkiblatnya sinar keperakan yang seketika membuat tepian bengawan tersebut terang benderang.Juga terdengar suara menderu kencang yang membarengi lesatan sinar pukulan tersebut. Bagaikan tengah terjadi angin ribut di tempat itu.Wuuss!Berbarengan dengan luncuran sinar pukulannya tersebut, Wirakapi melompat pula ke depan. Sembari mulutnya keluarkan suara menggeram marah.Wirakapi menyiapkan serangan susulan. Sehingga andai kata Ki Sajiwa dapat menghindari pukulan jarak jauhnya tadi, lelaki berbulu lebat itu dapat langsung menyerang lagi.Namun rupanya yang diserang dapat membaca rencana tersebut. Pasalnya, serangan serupa pernah dilancarkan Wirakapi sewaktu keduanya bentrok di Teluk Lawa satu purnama lalu.“Pukulan kentut busuk begini masih juga jadi andalanmu, Wirakapi?
BUNYI gemericik air menelusup masuk ke dalam pendengaran Seta. Dari semula hanya sayup-sayup, suara tersebut semakin lama bertambah jelas.Kesadaran sang prajurit pun pulih dibuatnya. Tak cuma gemericik air mengalir, tapi kemudian juga terdengar semilir angin yang mengempas pucuk-pucuk dedaunan.Seta buka kedua mata perlahan-lahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Batang-batang bambu seukuran lengan tampak bersilangan sebagai penyangga.“Oh, di mana aku?” ujar Seta lirih.Sang prajurit lantas bergerak bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Di hadapannya terpampang dinding anyaman bambu berwarna coklat kehitaman.Tempat itu seperti tidak asing bagi Seta. Namun otaknya masih belum bekerja dengan baik. Sehingga sang prajurit belum dapat mengingat jelas tempat tersebut.Sementara sinar matahari menyeruak masuk dari sebuah jendela besar di
PECAH tawa mengekeh Ki Sajiwa melihat Seta kebingungan. Begitu lepas kekehan tersebut. Sampai-sampai bahu kerempeng sang petapa terguncang-guncang.Sementara Seta kerutkan keningnya dalam-dalam. Masih keheranan ia coba memutar otak. Menduga-duga apa kaitan yang ditanyakan oleh Ki Sajiwa tadi.“Seta, kalau kau ingin mengurai tali kusut, cobalah tarik dari pangkal,” ujar Ki Sajiwa setelah menghentikan tawanya.“Maksud Guru?” tanya Seta lagi, dengan pertanyaan sama persis. Ia bingung dengan perumpamaan yang diberikan sang guru.“Coba kau ingat-ingat lagi, pangkal mula semua kejadian buruk yang menimpamu selama ini dari mana?” kata Ki Sajiwa lagi dengan sabar.Seta mengangguk-anggukkan kepala. Barulah ia dapat menangkap maksud petapa tua tersebut.Seketika ingatan sang prajurit dipenuhi oleh peristiwa penyergapan Surajaya. Itu merupakan kali pertama dirinya ter