PECAH tawa mengekeh Ki Sajiwa melihat Seta kebingungan. Begitu lepas kekehan tersebut. Sampai-sampai bahu kerempeng sang petapa terguncang-guncang.
Sementara Seta kerutkan keningnya dalam-dalam. Masih keheranan ia coba memutar otak. Menduga-duga apa kaitan yang ditanyakan oleh Ki Sajiwa tadi.
“Seta, kalau kau ingin mengurai tali kusut, cobalah tarik dari pangkal,” ujar Ki Sajiwa setelah menghentikan tawanya.
“Maksud Guru?” tanya Seta lagi, dengan pertanyaan sama persis. Ia bingung dengan perumpamaan yang diberikan sang guru.
“Coba kau ingat-ingat lagi, pangkal mula semua kejadian buruk yang menimpamu selama ini dari mana?” kata Ki Sajiwa lagi dengan sabar.
Seta mengangguk-anggukkan kepala. Barulah ia dapat menangkap maksud petapa tua tersebut.
Seketika ingatan sang prajurit dipenuhi oleh peristiwa penyergapan Surajaya. Itu merupakan kali pertama dirinya ter
HASIL pembicaraan di pagi menjelang siang itu begitu mengejutkan Seta. Ia sungguh tak pernah berani menduga ada pihak-pihak tertentu yang ingin merebut takhta Kerajaan Jenggala.Baginya, kepemimpinan Sri Maharaja Girindra sangat baik. Kerajaan aman sentosa, rakyat hidup tenang dan senang.Bahkan di bawah kepemimpinan Sri Prabu Girindra-lah perseteruan berlarut-larut dengan Panjalu berhasil diubah menjadi ikatan perkawinan. Yakni dengan menikahnya salah satu putri Jenggala, Sasi Kirana, dengan Prabu Kamesywara yang kini tengah menduduki takhta Panjalu.Jika kelak Sasi Kirana melahirkan putera dan pangeran itu menjadi raja, bukankah Jenggala dan Panjalu bakal bersatu? Kembali berada di bawah panji-panji yang sama seperti pada masa Prabu Airlangga.Namun agaknya ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kedamaian tersebut. Didorong hasrat berkuasa, apapun akan dilakukan demi merebut tahta.Kerajaan yang sed
KETIKA malam merayapi Teluk Lawa, Seta tak kunjung dapat memejamkan mata. Pikirannya terus saja terbayang pada dua orang terkasihnya yang telah tiada. Yakni istrinya dan puteranya.Besok, sang prajurit Jenggala akan kembali menapaki jalan menuju pembalasan dendam. Ia bertekad kali ini tak boleh lagi gagal. Tak seorang pun yang dapat menghalangi tangannya untuk memenggal kepala Ranajaya.Ketika hawa dingin semakin mencucuk tulang, pertanda dini hari telah tiba, barulah akhirnya Seta terlelap. Prajurit Jenggala itu hanyut dalam tidur yang sangat nyenyak.Keesokan paginya, sebelum matahari terbit Seta sudah bangun kembali. Bersama-sama Ki Sajiwa ia akan meninggalkan pondok tersebut.“Carilah Ranajaya sampai dapat. Tuntaskan dendammu. Jangan beri ampun,” pesan Ki Sajiwa sebelum mereka berpisah.Seta hanya anggukkan kepala. Itulah memang yang menjadi tekadnya di dalam hati.“Sete
PASAR di kotaraja Jenggala begitu ramai pada pagi menjelang tengah hari tersebut. Suara seruan para pedagang terdengar di mana-mana. Bersahut-sahutan menjajakan barang jualan masing-masing.Tak hanya pedagang tempatan yang ada di sana. Pedagang-pedagang asing dari negeri-negeri jauh pun turut mengais rejeki. Menawarkan barang-barang yang khusus mereka bawa dengan kapal-kapal dagang besar.Sementara di beberapa sudut tampak beberapa prajurit berjaga-jaga. Sebelah tangan mereka senantiasa memegang gagang pedang di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.Di tengah keramaian itulah sebuah pedati berisi aneka sayur-sayuran menyeruak. Lewat perlahan di antara deretan pedagang. Kerbau penarik kendaraan itu sesekali melenguh panjang.“Hei, Kisanak! Jangan bawa pedatimu ke tengah pasar begini!”Tiba-tiba saja terdengar seruan keras. Lalu tiga prajurit berlari mendekati pedati tersebut. Orang-orang yang
TIGA ratus depa dari utara pasar, belok ke kiri. Lalu berjalan lurus ke barat sejauh lima ratus depa. Di bawah sebatang pohon beringin besar.Dengan bergumam Seta terus mengingat-ingat petunjuk tersebut. Sembari membawa pedatinya berjalan perlahan-lahan menjauhi pasar. Sambil sepasang matanya mengamati keadaan sekeliling.Di beberapa tempat ia memergoki prajurit-prajurit yang tengah mengamati gerak-geriknya. Entah apakah mereka mengenali dirinya, atau sekedar bersikap waspada. Seta tak mau menduga-duga.Yang penting dirinya harus segera meninggalkan pasar sejauh mungkin. Kemudian menghilangkan jejak agar tak terendus siapa pun saat menemui Prabangkara di tempat yang dijanjikan.“Tunggu setelah tengah hari, katanya,” gumam Seta lagi seraya mendongakkan kepalanya ke atas.Matahari sudah di atas kepala, tapi masih condong ke sebelah timur. Tengah hari belum lagi datang. Mungkin beberapa saat la
LOLONGAN setinggi langit terdengar membelah udara. Prajurit yang tangannya kena tebas pedang Seta berdiri gemetar. Wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.Sepasang mata prajurit tersebut membeliak lebar. Tak berkedip memandangi tangannya yang putus sebatas bawah siku dengan tatapan nanar. Darah bercucuran deras dari luka menganga pada kutungan itu.“Keparat! Kau harus mati!” geram si prajurit penuh amarah.Sebelah tangannya yang masih utuh bergerak cepat mencabut pedang. Lalu dengan gerakan buru-buru ia menghambur ke dalam bak pedati di belakang. Melancarkan serangan pada Seta.Sing! Sing!Suara berdesing hebat menderu-deru kala pedang disabetkan bertubi-tubi ke arah Seta. Namun si prajurit penyerang begitu dirasuki amarah. Sehingga serangan tersebut sangat serampangan.Yang diserang jadi menyeringai lebar. Tanpa menunggu serangan mendekat, Seta sudah bergerak menyongsong. Pedang di t
MELIHAT pemimpin mereka tak bergerak, dua prajurit yang tersisa langsung lumer nyalinya. Untuk sesaat mereka saling pandang satu sama lain. Lalu sekejap kemudian sama-sama angkat kaki. Secepat mungkin meninggalkan tempat tersebut.“Pengecut!” maki Seta geram.Sang prajurit ambil dua bilah pedang entah milik siapa yang tergeletak di tanah. Dilemparkannya kedua senjata tersebut tinggi-tinggi ke udara. Begitu kembali turun, kakinya bergerak menendang gagang pedang.Dengan cepat sepasang pedang tersebut melesat. Bak anak panah yang melesat dari busur. Mengejar dua prajurit yang belum pergi terlalu jauh.Sing! Sing!Suara berdesing mencubit telinga terdengar kala mata pedang membelah udara. Dua prajurit yang jadi sasaran sontak menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi tersebut.Saat itu pula wajah keduanya berubah. Pedang kiriman Seta sudah begitu dekat!Sambil berseru ter
SATU teriakan keras menggelegar. Arahnya dari tempat di mana Wirama tadi berada. Bersamaan dengan itu terdengar suara desingan senjata tajam.Seta tersentak kaget. Sang prajurit sontak palingkan kepala ke arah asal suara-suara tersebut. Saat itu pulalah ia semakin terkejut. Mulutnya langsung keluarkan seruan tertahan.Sebilah pedang tengah meluncur deras ke arah mereka berdua! Sedangkan jauh di belakang sana tampak Wirama sudah berdiri dalam sikap tubuh bersiaga.Tidak salah lagi, pastilah perwira rendah Kerajaan Jenggala itu yang membuat ulah.“Awas, menghindar!” teriak Seta.Seraya berseru tangannya mendorong tubuh prajurit di hadapannya. Berusaha menghindarkan prajurit yang sudah tak berdaya itu dari serangan yang datang.Terlambat! Pedang tadi tahu-tahu saja sudah menancap di leher prajurit tersebut. Menancap begitu dalam hingga tembus ke sisi leher satunya.Darah m
PARAS Wirama berubah tegang. Keringat membanjiri dahi hingga dagu. Sepasang mata perwira rendah tersebut membeliak lebar. Seolah hendak mencolot keluar dari rongga tengkorak.Perlahan sebelah tangan Wirama bergerak menyentuh benda tajam yang menusuk dadanya. Tak lain itu adalah pedang Seta. Menancap dalam hingga tembus ke punggung.Setelah berdiri diam selama beberapa kejap, kaki Wirama goyah. Perwira rendah Jenggala itu jatuh berlutut. Kepalanya mendongak. Menatap tajam pada Seta yang datang mendekat ke arahnya.“Wirama, sebelum nyawamu lepas dari badan, kau punya kesempatan untuk menerangkan semuanya padaku,” ujar Seta begitu berada di hadapan Balawi.Yang diajak bicara berusaha menyeringai dengan susah payah. Lalu terdengar dengusan kasar dari mulutnya.“Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, prajurit tengik!” sahut Wirama ketus sembari mengernyit menahan sakit. “Buka
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela