TIGA ratus depa dari utara pasar, belok ke kiri. Lalu berjalan lurus ke barat sejauh lima ratus depa. Di bawah sebatang pohon beringin besar.
Dengan bergumam Seta terus mengingat-ingat petunjuk tersebut. Sembari membawa pedatinya berjalan perlahan-lahan menjauhi pasar. Sambil sepasang matanya mengamati keadaan sekeliling.
Di beberapa tempat ia memergoki prajurit-prajurit yang tengah mengamati gerak-geriknya. Entah apakah mereka mengenali dirinya, atau sekedar bersikap waspada. Seta tak mau menduga-duga.
Yang penting dirinya harus segera meninggalkan pasar sejauh mungkin. Kemudian menghilangkan jejak agar tak terendus siapa pun saat menemui Prabangkara di tempat yang dijanjikan.
“Tunggu setelah tengah hari, katanya,” gumam Seta lagi seraya mendongakkan kepalanya ke atas.
Matahari sudah di atas kepala, tapi masih condong ke sebelah timur. Tengah hari belum lagi datang. Mungkin beberapa saat la
LOLONGAN setinggi langit terdengar membelah udara. Prajurit yang tangannya kena tebas pedang Seta berdiri gemetar. Wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.Sepasang mata prajurit tersebut membeliak lebar. Tak berkedip memandangi tangannya yang putus sebatas bawah siku dengan tatapan nanar. Darah bercucuran deras dari luka menganga pada kutungan itu.“Keparat! Kau harus mati!” geram si prajurit penuh amarah.Sebelah tangannya yang masih utuh bergerak cepat mencabut pedang. Lalu dengan gerakan buru-buru ia menghambur ke dalam bak pedati di belakang. Melancarkan serangan pada Seta.Sing! Sing!Suara berdesing hebat menderu-deru kala pedang disabetkan bertubi-tubi ke arah Seta. Namun si prajurit penyerang begitu dirasuki amarah. Sehingga serangan tersebut sangat serampangan.Yang diserang jadi menyeringai lebar. Tanpa menunggu serangan mendekat, Seta sudah bergerak menyongsong. Pedang di t
MELIHAT pemimpin mereka tak bergerak, dua prajurit yang tersisa langsung lumer nyalinya. Untuk sesaat mereka saling pandang satu sama lain. Lalu sekejap kemudian sama-sama angkat kaki. Secepat mungkin meninggalkan tempat tersebut.“Pengecut!” maki Seta geram.Sang prajurit ambil dua bilah pedang entah milik siapa yang tergeletak di tanah. Dilemparkannya kedua senjata tersebut tinggi-tinggi ke udara. Begitu kembali turun, kakinya bergerak menendang gagang pedang.Dengan cepat sepasang pedang tersebut melesat. Bak anak panah yang melesat dari busur. Mengejar dua prajurit yang belum pergi terlalu jauh.Sing! Sing!Suara berdesing mencubit telinga terdengar kala mata pedang membelah udara. Dua prajurit yang jadi sasaran sontak menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi tersebut.Saat itu pula wajah keduanya berubah. Pedang kiriman Seta sudah begitu dekat!Sambil berseru ter
SATU teriakan keras menggelegar. Arahnya dari tempat di mana Wirama tadi berada. Bersamaan dengan itu terdengar suara desingan senjata tajam.Seta tersentak kaget. Sang prajurit sontak palingkan kepala ke arah asal suara-suara tersebut. Saat itu pulalah ia semakin terkejut. Mulutnya langsung keluarkan seruan tertahan.Sebilah pedang tengah meluncur deras ke arah mereka berdua! Sedangkan jauh di belakang sana tampak Wirama sudah berdiri dalam sikap tubuh bersiaga.Tidak salah lagi, pastilah perwira rendah Kerajaan Jenggala itu yang membuat ulah.“Awas, menghindar!” teriak Seta.Seraya berseru tangannya mendorong tubuh prajurit di hadapannya. Berusaha menghindarkan prajurit yang sudah tak berdaya itu dari serangan yang datang.Terlambat! Pedang tadi tahu-tahu saja sudah menancap di leher prajurit tersebut. Menancap begitu dalam hingga tembus ke sisi leher satunya.Darah m
PARAS Wirama berubah tegang. Keringat membanjiri dahi hingga dagu. Sepasang mata perwira rendah tersebut membeliak lebar. Seolah hendak mencolot keluar dari rongga tengkorak.Perlahan sebelah tangan Wirama bergerak menyentuh benda tajam yang menusuk dadanya. Tak lain itu adalah pedang Seta. Menancap dalam hingga tembus ke punggung.Setelah berdiri diam selama beberapa kejap, kaki Wirama goyah. Perwira rendah Jenggala itu jatuh berlutut. Kepalanya mendongak. Menatap tajam pada Seta yang datang mendekat ke arahnya.“Wirama, sebelum nyawamu lepas dari badan, kau punya kesempatan untuk menerangkan semuanya padaku,” ujar Seta begitu berada di hadapan Balawi.Yang diajak bicara berusaha menyeringai dengan susah payah. Lalu terdengar dengusan kasar dari mulutnya.“Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, prajurit tengik!” sahut Wirama ketus sembari mengernyit menahan sakit. “Buka
POHON beringin besar itu tampak mencolok di antara tanaman-tanaman rendah lain di sekitarnya. Batangnya yang tinggi dan besar, serta daunnya yang begitu lebat, membuat siapa pun yang baru tiba di tempat tersebut pasti akan langsung melihatnya pada kesempatan pertama.Begitu pula dengan Seta. Beberapa belas depa sebelum mencapai tempat itu, sang prajurit sudah dapat melihat pohon beringin tersebut. Tak ada batang pohon lain yang lebih tinggi lagi di sekitar sana.Sembari terus bersikap waspada, mementang telinga lebar-lebar dan mengamati situasi sekeliling dengan saksama, Seta mendekati pohon beringin itu. Tak seorang pun terlihat di sana.“Prabangkara belum muncul rupanya,” batin Seta setelah memastikan tak ada siapa-siapa di tempat tersebut.Sang prajurit dongakkan kepala ke atas. Menatap rimbunan dedaunan hijau di pucuk-pucuk dahan tinggi. Begitu lebat daun-daun di sana. Cocok sebagai tempat bersembu
DENGAN mengandalkan kemampuan lari cepatnya, dalam waktu sebentar saja Seta sudah menempuh jarak enam ratus depa (kira-kira 1,1 km). Ia pun tiba di satu tepian bengawan yang membentuk kelokan tajam.Seta sontak kerutkan kening dengan wajah berubah saat mengamat-amati keadaan. Ia sepertinya tidak asing dengan tepian sungai tersebut. Otaknya langsung berputar, mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.Beberapa saat kemudian sang prajurit tepak jidatnya sendiri. Tempat itu tak lain tak bukan adalah tempat di mana ia dan gurunya, Ki Sajiwa, bertemu dengan Ki Baswara beberapa purnama lalu.“Apakah ini hanya suatu kebetulan belaka? Atau memang tempat ini sudah biasa dijadikan sebagai tempat pertemuan oleh orang-orang dari kubu tertentu di kotaraja?” batin Seta menduga-duga.“Kalau demikian, apakah Ki Baswara dan Prabangkara, juga Ki Sajiwa, berada di kubu yang sama?” tanyanya lagi dalam hati.
“J-JADI ..?”Seta tak dapat menyelesaikan ucapannya. Sang prajurit masih sangat terkejut. Sepasang matanya terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Namun sekejap kemudian Seta dapat merangkai semuanya. Ia jadi mengerti rentetan kejadian-kejadian pahit yang menghantam dirinya. Serta alasan di balik peristiwa tersebut.Jelas sudah, dirinya masuk ke dalam pusaran pertikaian antara dua kubu di kotaraja. Namun ia juga masih belum mengerti siapa saja di masing-masing kubu.Yang ia tahu, akibat pertikaian tersebut keluarga kecilnya jadi hancur. Isterinya dinodai sehingga memilih bunuh diri. Sedangkan anaknya dibakar hidup-hidup. Sungguh akhir hidup yang tragis bagi dua orang yang sangat Seta cintai.“Jadi rupanya bagi sekelompok orang aku telah melakukan kesalahan karena membunuh Surajaya..?” gumam sang prajurit kemudian. Antara bertanya
LERETAN sinar merah benderang itu menyambut, mengadang datangnya pukulan jarak jauh yang dilepas lelaki bercambang bauk.Suasana di sungai tersebut semakin berisik saja. Air bergolak lebih kencang. Gelombang bertambah tinggi, membuat perahu yang tengah diam itu terombang-ambing ke kanan-kiri berganti-ganti.Pada satu tempat di udara, kedua pukulan sakti itu pun bertemu. Tepat di atas permukaan bengawan.Blaarrr!Suara ledakan sangat keras terdengar memecah angkasa. Diiringi kepulan asap putih kemerahan nan tebal. Air bergolak semakin tinggi. Gelombang besar pun tercipta.Akibat besarnya gelombang, perahu yang ditumpangi Seta dan Prabangkara oleng dan kemudian terseret sejauh beberapa jarak. Untung saja tak sampai terbalik.Di dermaga, Lembu Segara dan lelaki bercambang bauk merasakan lantai kayu yang mereka injak bergetar hebat. Gelombang yang tinggi juga menghantam dermaga. Membuat air terciprat ke mana-mana.&
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela
Kereta kencana bergerak mantap menyusuri jalanan berbatu, dikelilingi oleh pemandangan yang berganti-ganti dari hutan lebat, padang ilalang, hingga desa-desa kecil. Suara derap kaki kuda dari para pengawal dan gemerincing roda kereta mengiringi perjalanan panjang itu.Permaisuri duduk tenang di dalam kereta, ditemani mbok emban yang setia. Sementara Seta menunggang kuda di sisi kereta, matanya terus mengawasi sekitar, waspada terhadap kemungkinan bahaya.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa perkampungan yang tampak sederhana. Penduduknya berhenti sejenak dari aktivitas mereka untuk memperhatikan rombongan kerajaan yang melintas.Beberapa anak kecil berlari ke tepi jalan, melambaikan tangan dengan riang, sementara para petani menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.“Seta,” seorang perwira pengawal mendekati dari sisi kirinya. “Kita akan segera tiba di perbatasan Panjalu. Ada kemungkinan kita akan diperiksa di pos penja
Seta melangkah pelan ke pelataran kecil di sisi istana, tempat Ki Sajiwa sering menghabiskan waktu malamnya. Cahaya bulan menerangi sosok tua yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan, tampak tenang dengan udara malam yang lembut menyelimuti.Seta, meski langkahnya mantap, tak dapat menutupi raut bimbang yang tergurat di wajahnya.“Guru,” ucapnya pelan, memecah kesunyian malam. “Bolehkah aku meminta pendapat darimu?”Ki Sajiwa membuka matanya perlahan, tersenyum tipis, dan memberi isyarat agar muridnya duduk. “Bicaralah, Seta. Apa yang mengganjal pikiranmu saat ini?”Seta menarik napas panjang sebelum menjelaskan perintah Sri Prabu Girindra dan Permaisuri yang baru saja diterimanya. “Aku telah menerima tugas besar itu, Guru, mengawal Puteri Sasi Kirana dan puteranya di istana Panjalu.""Nah, bagus!" Ki Sajiwa menukas dengan raut muka senang. "Kau memang pantas mendapatkan kepercayaan ini, Seta.""Tapi, Guru, hati ini masih diselimuti bayang-bayang masa lalu. Kehidupanku serasa han
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma