PARAS Wirama berubah tegang. Keringat membanjiri dahi hingga dagu. Sepasang mata perwira rendah tersebut membeliak lebar. Seolah hendak mencolot keluar dari rongga tengkorak.
Perlahan sebelah tangan Wirama bergerak menyentuh benda tajam yang menusuk dadanya. Tak lain itu adalah pedang Seta. Menancap dalam hingga tembus ke punggung.
Setelah berdiri diam selama beberapa kejap, kaki Wirama goyah. Perwira rendah Jenggala itu jatuh berlutut. Kepalanya mendongak. Menatap tajam pada Seta yang datang mendekat ke arahnya.
“Wirama, sebelum nyawamu lepas dari badan, kau punya kesempatan untuk menerangkan semuanya padaku,” ujar Seta begitu berada di hadapan Balawi.
Yang diajak bicara berusaha menyeringai dengan susah payah. Lalu terdengar dengusan kasar dari mulutnya.
“Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, prajurit tengik!” sahut Wirama ketus sembari mengernyit menahan sakit. “Buka
POHON beringin besar itu tampak mencolok di antara tanaman-tanaman rendah lain di sekitarnya. Batangnya yang tinggi dan besar, serta daunnya yang begitu lebat, membuat siapa pun yang baru tiba di tempat tersebut pasti akan langsung melihatnya pada kesempatan pertama.Begitu pula dengan Seta. Beberapa belas depa sebelum mencapai tempat itu, sang prajurit sudah dapat melihat pohon beringin tersebut. Tak ada batang pohon lain yang lebih tinggi lagi di sekitar sana.Sembari terus bersikap waspada, mementang telinga lebar-lebar dan mengamati situasi sekeliling dengan saksama, Seta mendekati pohon beringin itu. Tak seorang pun terlihat di sana.“Prabangkara belum muncul rupanya,” batin Seta setelah memastikan tak ada siapa-siapa di tempat tersebut.Sang prajurit dongakkan kepala ke atas. Menatap rimbunan dedaunan hijau di pucuk-pucuk dahan tinggi. Begitu lebat daun-daun di sana. Cocok sebagai tempat bersembu
DENGAN mengandalkan kemampuan lari cepatnya, dalam waktu sebentar saja Seta sudah menempuh jarak enam ratus depa (kira-kira 1,1 km). Ia pun tiba di satu tepian bengawan yang membentuk kelokan tajam.Seta sontak kerutkan kening dengan wajah berubah saat mengamat-amati keadaan. Ia sepertinya tidak asing dengan tepian sungai tersebut. Otaknya langsung berputar, mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.Beberapa saat kemudian sang prajurit tepak jidatnya sendiri. Tempat itu tak lain tak bukan adalah tempat di mana ia dan gurunya, Ki Sajiwa, bertemu dengan Ki Baswara beberapa purnama lalu.“Apakah ini hanya suatu kebetulan belaka? Atau memang tempat ini sudah biasa dijadikan sebagai tempat pertemuan oleh orang-orang dari kubu tertentu di kotaraja?” batin Seta menduga-duga.“Kalau demikian, apakah Ki Baswara dan Prabangkara, juga Ki Sajiwa, berada di kubu yang sama?” tanyanya lagi dalam hati.
“J-JADI ..?”Seta tak dapat menyelesaikan ucapannya. Sang prajurit masih sangat terkejut. Sepasang matanya terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Namun sekejap kemudian Seta dapat merangkai semuanya. Ia jadi mengerti rentetan kejadian-kejadian pahit yang menghantam dirinya. Serta alasan di balik peristiwa tersebut.Jelas sudah, dirinya masuk ke dalam pusaran pertikaian antara dua kubu di kotaraja. Namun ia juga masih belum mengerti siapa saja di masing-masing kubu.Yang ia tahu, akibat pertikaian tersebut keluarga kecilnya jadi hancur. Isterinya dinodai sehingga memilih bunuh diri. Sedangkan anaknya dibakar hidup-hidup. Sungguh akhir hidup yang tragis bagi dua orang yang sangat Seta cintai.“Jadi rupanya bagi sekelompok orang aku telah melakukan kesalahan karena membunuh Surajaya..?” gumam sang prajurit kemudian. Antara bertanya
LERETAN sinar merah benderang itu menyambut, mengadang datangnya pukulan jarak jauh yang dilepas lelaki bercambang bauk.Suasana di sungai tersebut semakin berisik saja. Air bergolak lebih kencang. Gelombang bertambah tinggi, membuat perahu yang tengah diam itu terombang-ambing ke kanan-kiri berganti-ganti.Pada satu tempat di udara, kedua pukulan sakti itu pun bertemu. Tepat di atas permukaan bengawan.Blaarrr!Suara ledakan sangat keras terdengar memecah angkasa. Diiringi kepulan asap putih kemerahan nan tebal. Air bergolak semakin tinggi. Gelombang besar pun tercipta.Akibat besarnya gelombang, perahu yang ditumpangi Seta dan Prabangkara oleng dan kemudian terseret sejauh beberapa jarak. Untung saja tak sampai terbalik.Di dermaga, Lembu Segara dan lelaki bercambang bauk merasakan lantai kayu yang mereka injak bergetar hebat. Gelombang yang tinggi juga menghantam dermaga. Membuat air terciprat ke mana-mana.&
SEKETIKA Ranajaya sapukan pandangan ke sepanjang aliran bengawan. Matanya menangkap sebuah perahu yang tengah berlayar menjauh ke arah selatan.Tanpa berpikir panjang lagi gembong rampok tersebut melesat mengejar. Sambil berlari, sebelah tangannya disiapkan untuk melepas satu pukulan jarak jauh.“Kau mau ke mana, Ranajaya?” tanya Lembu Segara yang masih kebingungan sendiri.Karena tak ada jawaban, perwira Kerajaan Jenggala tersebut memilih ikut melesat ke arah yang dituju Ranajaya. Namun belum jauh, larinya langsung dihentikan begitu dilihatnya gembong rampok tersebut melepas pukulan jarak jauh.Wusss!Segulung angin menyambar ke tengah sungai. Diikuti terdengarnya suara menderu kencang. Melesat begitu cepat, dan tahu-tahu saja sudah menghantam perahu yang tengah melaju.Blaarrr!Perahu tersebut meledak dan hancur berkeping-keping. Habis tak berbentuk. Serpihan kayu ber
RANAJAYA keluarkan jerit menggeram sekeras-kerasnya. Gembong rampok itu merasakan sesuatu yang dingin menggores kulitnya. Diikuti oleh rasa perih luar biasa.Tak salah lagi. Pedang Seta menyabet perut Ranajaya yang agak membuncit. Menciptakan luka besar melintang tepat di pertengahan. Menampakkan usus putih memanjang di bagian dalam.Wajah gembong rampok tersebut berubah pucat pasi. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah. Sekilas ia pandangi perutnya yang robek. Lalu dengan tangan bergetar diusapnya darah yang mengalir dari luka itu."Keparat kau, Seta!” desisnya dengan amarah selangit.Namun hanya itu yang dapat dilakukan Ranajaya. Sepasang kakinya seketika bergetar hebat. Tak mampu lagi menahan beban tubuhnya yang gempal. Lelaki berwajah bengis itu pun jatuh duduk di tanah.Dari tempatnya, Seta tak putus-putus menatap Ranajaya yang meringis kesakitan. Wajah sang prajurit
PISAU kecil yang dilempar Seta menancap dalam. Seluruh badan senjata itu terbenam habis. Tinggal menyisakan bagian gagangnya saja yang terlihat.Ranajaya yang mendengar suara pisau menancap, diam-diam menjadi heran karena tubuhnya sama sekali tak merasakan sakit. Dengan takut-takut gembong rampok itu membuka kelopak matanya.Rupanya senjata tersebut tidak menancap di tubuh Ranajaya. Melainkan di batang pohon tempat gembong rampok itu bersandar.“Oh, syukurlah ...” Lega bukan main hati Ranajaya begitu mengetahui pisau menancap di batang tempatnya bersandar.Namun tetap saja gembong rampok itu merasa ngeri. Pisau kecil yang dilempar Seta menancap hanya beberapa jari dari daun telinganya.Kalau prajurit itu mau, tentulah senjata tajam tersebut bakal menancap di bagian mana pun pada tubuhnya. Namun agaknya Seta tak ingin melukai musuh yang sudah tak berdaya.“Aku punya sikap yan
SETA tidak mengajukan pertanyaan lagi pada Lembu Segara. Baginya sudah cukup mengetahui siapa sosok yang menjadi dalang di balik semua peristiwa kelam yang menimpa anak dan isterinya.Dan sosok itu adalah Balanatha. Nama yang pernah didengar Seta. Dan rasa-rasanya tak hanya sekali. Adalah dari mulut Ranajaya sang prajurit mendengar nama satu itu disebut-sebut,Setelah berusaha keras mengingat-ingat, Seta kembali terbayang pada kejadian di Gua Selogiri. Pada saat itulah untuk kali pertama ia mendengar nama Balanatha. Lalu berikutnya saat dirinya menyatroni sarang persembunyian Ranajaya di lereng Gunung Kampud.“Dari mana kau dapat menebak kalau Balanatha adalah orang di balik semua perbuatan Lembu Segara dan Ranajaya?” tanya Seta pada Prabangkara.Saat itu keduanya sedang berjalan menyusuri tepian bengawan dalam perjalanan menuju kotaraja.Lembu Segara yang sedang sekarat mereka tinggalkan begitu saja di tempat tadi. Perwira tersebut sud