PISAU kecil yang dilempar Seta menancap dalam. Seluruh badan senjata itu terbenam habis. Tinggal menyisakan bagian gagangnya saja yang terlihat.
Ranajaya yang mendengar suara pisau menancap, diam-diam menjadi heran karena tubuhnya sama sekali tak merasakan sakit. Dengan takut-takut gembong rampok itu membuka kelopak matanya.
Rupanya senjata tersebut tidak menancap di tubuh Ranajaya. Melainkan di batang pohon tempat gembong rampok itu bersandar.
“Oh, syukurlah ...” Lega bukan main hati Ranajaya begitu mengetahui pisau menancap di batang tempatnya bersandar.
Namun tetap saja gembong rampok itu merasa ngeri. Pisau kecil yang dilempar Seta menancap hanya beberapa jari dari daun telinganya.
Kalau prajurit itu mau, tentulah senjata tajam tersebut bakal menancap di bagian mana pun pada tubuhnya. Namun agaknya Seta tak ingin melukai musuh yang sudah tak berdaya.
“Aku punya sikap yan
SETA tidak mengajukan pertanyaan lagi pada Lembu Segara. Baginya sudah cukup mengetahui siapa sosok yang menjadi dalang di balik semua peristiwa kelam yang menimpa anak dan isterinya.Dan sosok itu adalah Balanatha. Nama yang pernah didengar Seta. Dan rasa-rasanya tak hanya sekali. Adalah dari mulut Ranajaya sang prajurit mendengar nama satu itu disebut-sebut,Setelah berusaha keras mengingat-ingat, Seta kembali terbayang pada kejadian di Gua Selogiri. Pada saat itulah untuk kali pertama ia mendengar nama Balanatha. Lalu berikutnya saat dirinya menyatroni sarang persembunyian Ranajaya di lereng Gunung Kampud.“Dari mana kau dapat menebak kalau Balanatha adalah orang di balik semua perbuatan Lembu Segara dan Ranajaya?” tanya Seta pada Prabangkara.Saat itu keduanya sedang berjalan menyusuri tepian bengawan dalam perjalanan menuju kotaraja.Lembu Segara yang sedang sekarat mereka tinggalkan begitu saja di tempat tadi. Perwira tersebut sud
JAWABAN yang dilontarkan Seta seketika membuat para pengawal kediaman Balanatha terkesiap. Beberapa di antara mereka bahkan langsung bangkit amarahnya.Para pengawal yang marah mencabut pedang dari dalam warangka di pinggang masing-masing. Lalu senjata tersebut diacungkan ke arah muka, dengan bagian tajam tertuju pada Seta.Yang diacungi senjata tetap sunggingkan seringai. Kedua tangannya lantas dilipat ke pinggang. Satu sikap menantang untuk menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak merasa takut.“Kisanak, siapa pun dirimu harap berlaku sopan. Atau kau akan menyesal setelah mengetahui siapa sebenarnya orang yang ingin kau penggal itu,” tegur prajurit yang tadi bertanya.“Dia agaknya seorang prajurit, Kakang. Coba lihat gagang pedangnya,” ujar satu prajurit lain.Semua mata tertuju pada gagang pedang Seta. Yang sebenarnya bukan pedang milik sang prajurit. Sebab pedang prajurit
BAGAIKAN seorang algojo yang menjagal para terhukum mati, dengan bengis Seta membabat para pengeroyoknya. Tanpa ampun, satu demi satu keempat prajurit yang sudah ia buat luka dibantai dengan bengis.Pedang di tangan prajurit berkumis tiis itu berkelebatan di udara. Suara benda tajam mengoyak daging segar terdengar berkepanjangan. Membuat ngeri siapa pun yang mendengarnya.Disusul kemudian jerit pekik kesakitan mengangkasa berganti-ganti. Tubuh empat prajurit yang tadi mengeroyok Seta terhuyung-huyung. Untuk selanjutnya jatuh bergeletakan di tanah, meregang nyawa.Suasana di halaman kediaman Balanatha seketika berubah mencekam. Darah membanjir di mana-mana. Erangan nan menggetarkan hati sesekali terdengar dari mulut prajurit yang belum dijemput ajal.“Keparat! Kau ternyata bukan manusia, melainkan iblis berhati bengis!” maki prajurit yang sejak awal bertindak sebagai juru bicara para pengawal.Seta menyeringai lebar. Pedangnya yang berlu
BASMA tak kuasa mengelak. Telapak kaki Seta mendarat dengan telak di wajahnya. Tak hanya sekali, tapi dua kali bolak-balik. Membuat pipinya serasa dihantam batangan besi besar.Prajurit pengawal kediaman Balanatha itu merasakan kepalanya pusing. Sepasang matanya berkunang-kunang. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah.Sementara itu tombak terlepas dari pegangan tangan Basma. Sebelum senjata panjang itu tergeletak di tanah, Seta sudah lebih dulu melenting dan sekali lagi melepas tendangan. Kali ini ke dada Basma.“Hiaaaaat!”Des! Des!Yang ditendang tak kuasa mengelak. Tendangan Seta mendarat telak. Membuat Basma keluarkan suara mengeluh tertahan. Lalu tubuhnya terbadai jauh ke belakang. Untuk kemudian terempas dengan keras ke tanah.Basma adalah pemimpin para prajurit pengawal kediaman Balanatha. Maka, melihat pemimpin mereka dapat dipukul hanya dalam waktu kurang dari tiga jur
SAMPAI di sana keheranan Seta bertambah lagi. Kali ini Balanatha menyebut ayahnya pula. Ada apa ini sebenarnya? Ada sengketa apa di antara mereka bertiga: ayah-ibunya dan Balanatha?Sang prajurit benar-benar dibuat bingung setengah mati!Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Seta akhirnya memutuskan untuk tidak terbawa dalam kebingungan. Apa pun urusan antara ibunya dan Balanatha, biarlah itu menjadi urusan mereka berdua. Atau bahkan bertiga dengan ayahnya.Yang jelas, sang prajurit datang dengan membawa urusannya sendiri. Yakni membalas perbuatan keji yang dilakukan Balanatha terhadap anak dan isterinya. Terlepas apa yang menjadi latar belakang tindakan tersebut.Maka, dengan langkah gagah Seta melangkah maju selangkah. Tatapan matanya tertuju tepat-tepat pada manik mata Balanatha. Sebuah tatapan mata membara karena dipenuhi hawa amarah."Dengar, Balanatha. Apa pun yang menjadi silang sengketa antar
WIRAKAPI keluarkan satu lolongan keras mengangkasa. Wajahnya tampak mengernyit menahan sakit. Kedua tangannya sontak memegangi dada yang seketika mengucurkan darah segar.Pedang Seta menancap dalam di dada lelaki berbulu lebat tersebut. Mata pedang nan tajam menembus jantung. Terus melesak hingga keluar di bagian punggung.Untuk beberapa saat Wirakapi keluarkan suara meracau. Kedua tangannya bergerak hendak mencabut pedang. Meski ia sendiri tahu hal tersebut sudah tak berarti apa-apa lagi.“Selamat jalan, kunyuk sialan!” seru Seta seraya mencabut pedangnya dari dada lawan.Terdengar suara keluhan tertahan. Wajah Wirakapi berubah, tapi segera berubah pucat pasi begitu pedang tercabut dari tubuhnya.Lelaki berbulu lebat itu lantas jatuh terjengkang ke belakang. Begitu punggungnya mencium tanah, saat itu pula tubuh Wirakapi tak bergerak-gerak lagi.“Setan alas! Kau membunuh saudaraku!” jerit satu suara dengan marah.Seta palingkan kepalanya ke arah asal suara. Rupanya yang berteriak Jayak
JANTUNG Seta seketika berdesir. Dari sini saja ia tahu jika Balanatha memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang ia miliki.Karena itu sang prajurit tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Balanatha. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang ia derita bakal semakin parah sehingga membahayakan nyawanya.“Aku harus mencari akal,” ujar Seta di dalam hati.Di kejauhan, Balanatha tanpa berdiri tenang-tenang. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Beradunya pukulan tadi juga seperti tidak menimbulkan akibat sedikit pun pada lelaki tersebut.Melihat Seta berdiri terbungkuk sembari pegangi dada, tawa Balanatha pecah.“Ah, ah, Seta. Boro-boro membalaskan dendam. Bisa-bisa malah kau yang ikut berkalang tanah di sini,” ujar lelaki tersebut mengejek.Yang diejek menanggapi dengan perdengarkan suara menggeram marah. Setelah mengepalkan tangannya kencang-kencang, tubuh Seta kembali melesat ke depan.“Hiaaaattt!”Sing! Sing!Pedang di
Angin laut bertiup sepoi-sepoi di Teluk Lawa. Di kejauhan, ombak tenang bergulung, menyapu pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.Seorang pemuda berpakaian serba hitam duduk bersila di atas sebuah batu besar. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak tenang. Pemuda itu tak lain Seta.Di sebelah Seta, Ki Sajiwa duduk dengan posisi yang sama. Wajahnya penuh ketenangan, walau sinar matanya tajam menembus cakrawala.Setelah saling diam selama beberapa saat, Ki Sajiwa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka percakapan dengan suara penuh wibawa."Seta, apakah kau sudah mendengar kabar yang beredar di kalangan rakyat mengenai gonjang-ganjing takhta di Panjalu?"Seta membuka matanya perlahan, menatap gurunya. Sebagai prajurit Kerajaan Jenggala, sekalipun belakangan lebih mirip seorang pendekar muda yang lebih sering berkelana daripada berkecimpung dalam kalangan istana, ia telah mendengar kasak-kusuk mengenai hal tersebut."Sedikit, Guru. Hanya selentingan dari mulut ke m
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela