Share

Bab 109

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-11 08:12:30

JAWABAN yang dilontarkan Seta seketika membuat para pengawal kediaman Balanatha terkesiap. Beberapa di antara mereka bahkan langsung bangkit amarahnya.

Para pengawal yang marah mencabut pedang dari dalam warangka di pinggang masing-masing. Lalu senjata tersebut diacungkan ke arah muka, dengan bagian tajam tertuju pada Seta.

Yang diacungi senjata tetap sunggingkan seringai. Kedua tangannya lantas dilipat ke pinggang. Satu sikap menantang untuk menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak merasa takut.

“Kisanak, siapa pun dirimu harap berlaku sopan. Atau kau akan menyesal setelah mengetahui siapa sebenarnya orang yang ingin kau penggal itu,” tegur prajurit yang tadi bertanya.

“Dia agaknya seorang prajurit, Kakang. Coba lihat gagang pedangnya,” ujar satu prajurit lain.

Semua mata tertuju pada gagang pedang Seta. Yang sebenarnya bukan pedang milik sang prajurit. Sebab pedang prajurit

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 110

    BAGAIKAN seorang algojo yang menjagal para terhukum mati, dengan bengis Seta membabat para pengeroyoknya. Tanpa ampun, satu demi satu keempat prajurit yang sudah ia buat luka dibantai dengan bengis.Pedang di tangan prajurit berkumis tiis itu berkelebatan di udara. Suara benda tajam mengoyak daging segar terdengar berkepanjangan. Membuat ngeri siapa pun yang mendengarnya.Disusul kemudian jerit pekik kesakitan mengangkasa berganti-ganti. Tubuh empat prajurit yang tadi mengeroyok Seta terhuyung-huyung. Untuk selanjutnya jatuh bergeletakan di tanah, meregang nyawa.Suasana di halaman kediaman Balanatha seketika berubah mencekam. Darah membanjir di mana-mana. Erangan nan menggetarkan hati sesekali terdengar dari mulut prajurit yang belum dijemput ajal.“Keparat! Kau ternyata bukan manusia, melainkan iblis berhati bengis!” maki prajurit yang sejak awal bertindak sebagai juru bicara para pengawal.Seta menyeringai lebar. Pedangnya yang berlu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 111

    BASMA tak kuasa mengelak. Telapak kaki Seta mendarat dengan telak di wajahnya. Tak hanya sekali, tapi dua kali bolak-balik. Membuat pipinya serasa dihantam batangan besi besar.Prajurit pengawal kediaman Balanatha itu merasakan kepalanya pusing. Sepasang matanya berkunang-kunang. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah.Sementara itu tombak terlepas dari pegangan tangan Basma. Sebelum senjata panjang itu tergeletak di tanah, Seta sudah lebih dulu melenting dan sekali lagi melepas tendangan. Kali ini ke dada Basma.“Hiaaaaat!”Des! Des!Yang ditendang tak kuasa mengelak. Tendangan Seta mendarat telak. Membuat Basma keluarkan suara mengeluh tertahan. Lalu tubuhnya terbadai jauh ke belakang. Untuk kemudian terempas dengan keras ke tanah.Basma adalah pemimpin para prajurit pengawal kediaman Balanatha. Maka, melihat pemimpin mereka dapat dipukul hanya dalam waktu kurang dari tiga jur

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 112

    SAMPAI di sana keheranan Seta bertambah lagi. Kali ini Balanatha menyebut ayahnya pula. Ada apa ini sebenarnya? Ada sengketa apa di antara mereka bertiga: ayah-ibunya dan Balanatha?Sang prajurit benar-benar dibuat bingung setengah mati!Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Seta akhirnya memutuskan untuk tidak terbawa dalam kebingungan. Apa pun urusan antara ibunya dan Balanatha, biarlah itu menjadi urusan mereka berdua. Atau bahkan bertiga dengan ayahnya.Yang jelas, sang prajurit datang dengan membawa urusannya sendiri. Yakni membalas perbuatan keji yang dilakukan Balanatha terhadap anak dan isterinya. Terlepas apa yang menjadi latar belakang tindakan tersebut.Maka, dengan langkah gagah Seta melangkah maju selangkah. Tatapan matanya tertuju tepat-tepat pada manik mata Balanatha. Sebuah tatapan mata membara karena dipenuhi hawa amarah."Dengar, Balanatha. Apa pun yang menjadi silang sengketa antar

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 113

    WIRAKAPI keluarkan satu lolongan keras mengangkasa. Wajahnya tampak mengernyit menahan sakit. Kedua tangannya sontak memegangi dada yang seketika mengucurkan darah segar.Pedang Seta menancap dalam di dada lelaki berbulu lebat tersebut. Mata pedang nan tajam menembus jantung. Terus melesak hingga keluar di bagian punggung.Untuk beberapa saat Wirakapi keluarkan suara meracau. Kedua tangannya bergerak hendak mencabut pedang. Meski ia sendiri tahu hal tersebut sudah tak berarti apa-apa lagi.“Selamat jalan, kunyuk sialan!” seru Seta seraya mencabut pedangnya dari dada lawan.Terdengar suara keluhan tertahan. Wajah Wirakapi berubah, tapi segera berubah pucat pasi begitu pedang tercabut dari tubuhnya.Lelaki berbulu lebat itu lantas jatuh terjengkang ke belakang. Begitu punggungnya mencium tanah, saat itu pula tubuh Wirakapi tak bergerak-gerak lagi.“Setan alas! Kau membunuh saudaraku!” jerit satu suara dengan marah.Seta palingkan kepalanya ke arah asal suara. Rupanya yang berteriak Jayak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 114

    JANTUNG Seta seketika berdesir. Dari sini saja ia tahu jika Balanatha memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang ia miliki.Karena itu sang prajurit tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Balanatha. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang ia derita bakal semakin parah sehingga membahayakan nyawanya.“Aku harus mencari akal,” ujar Seta di dalam hati.Di kejauhan, Balanatha tanpa berdiri tenang-tenang. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Beradunya pukulan tadi juga seperti tidak menimbulkan akibat sedikit pun pada lelaki tersebut.Melihat Seta berdiri terbungkuk sembari pegangi dada, tawa Balanatha pecah.“Ah, ah, Seta. Boro-boro membalaskan dendam. Bisa-bisa malah kau yang ikut berkalang tanah di sini,” ujar lelaki tersebut mengejek.Yang diejek menanggapi dengan perdengarkan suara menggeram marah. Setelah mengepalkan tangannya kencang-kencang, tubuh Seta kembali melesat ke depan.“Hiaaaattt!”Sing! Sing!Pedang di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 115

    Angin laut bertiup sepoi-sepoi di Teluk Lawa. Di kejauhan, ombak tenang bergulung, menyapu pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.Seorang pemuda berpakaian serba hitam duduk bersila di atas sebuah batu besar. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak tenang. Pemuda itu tak lain Seta.Di sebelah Seta, Ki Sajiwa duduk dengan posisi yang sama. Wajahnya penuh ketenangan, walau sinar matanya tajam menembus cakrawala.Setelah saling diam selama beberapa saat, Ki Sajiwa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka percakapan dengan suara penuh wibawa."Seta, apakah kau sudah mendengar kabar yang beredar di kalangan rakyat mengenai gonjang-ganjing takhta di Panjalu?"Seta membuka matanya perlahan, menatap gurunya. Sebagai prajurit Kerajaan Jenggala, sekalipun belakangan lebih mirip seorang pendekar muda yang lebih sering berkelana daripada berkecimpung dalam kalangan istana, ia telah mendengar kasak-kusuk mengenai hal tersebut."Sedikit, Guru. Hanya selentingan dari mulut ke m

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-11
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 116

    Tak menunggu lama, keesokan paginya Seta telah meninggalkan Teluk Lawa. Prajurit muda itu memacu kudanya dengan penuh kehati-hatian di tengah jalan setapak yang menghubungkan teluk dengan Kotaraja Jenggala.Hutan di kanan kiri jalan tampak lebat, dengan pohon-pohon tinggi menjulang meneduhkan jalur yang dilaluinya. Hawa sejuk menyusup perlahan, tetapi Seta merasakan udara hari ini menyimpan tanda-tanda bahaya yang tak terlihat.Seta meningkatkan kewaspadaan. Baginya, perjalanan menuju Kotaraja ini adalah amanah penting. Di pelana samping kudanya, terselip sebuah surat rahasia yang dibungkus rapi dalam kain beludru merah tua.Surat itu dititipkan oleh gurunya, Ki Sajiwa, untuk disampaikan kepada Ki Baswara di Kotaraja. Tak banyak yang Seta ketahui tentang isi surat itu, selain bahwa isinya amat penting dan terkait dengan situasi genting di dalam istana, terutama mengenai perkembangan di Panjalu yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan Prabu Kamesywara.Saa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 117

    Seta berusaha menjaga keseimbangan di tengah medan pertempuran yang semakin sempit. Parang-parang musuh berkelebat cepat di hadapannya, satu demi satu mencoba menebas dan melukai.Meski sempat mengimbangi serangan-serangan lawan, tubuh Seta mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tangan kirinya mulai terasa kebas akibat benturan demi benturan yang harus ditahannya dengan pedangnya, sementara napasnya semakin berat dan terengah.Gerakan para lawannya begitu teratur dan rapi, seolah-olah mereka telah berlatih bertahun-tahun untuk menghadapi segala macam serangan. Setiap langkah yang diambil Seta disambut dengan serangan berbahaya. Meski pemuda itu berusaha mencari celah, tak satu pun peluang yang bisa ia manfaatkan untuk melarikan diri atau membalas serangan dengan tepat dan jitu.Tiba-tiba, seorang dari penyerang bercadar itu menyelinap dari belakang. Seta mencoba berbalik untuk menangkis, tetapi serangan itu terlalu cepat. Ujung parang penyerang itu berhasil me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 195

    Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 194

    Kereta kencana bergerak mantap menyusuri jalanan berbatu, dikelilingi oleh pemandangan yang berganti-ganti dari hutan lebat, padang ilalang, hingga desa-desa kecil. Suara derap kaki kuda dari para pengawal dan gemerincing roda kereta mengiringi perjalanan panjang itu.Permaisuri duduk tenang di dalam kereta, ditemani mbok emban yang setia. Sementara Seta menunggang kuda di sisi kereta, matanya terus mengawasi sekitar, waspada terhadap kemungkinan bahaya.Di sepanjang perjalanan, mereka melewati beberapa perkampungan yang tampak sederhana. Penduduknya berhenti sejenak dari aktivitas mereka untuk memperhatikan rombongan kerajaan yang melintas.Beberapa anak kecil berlari ke tepi jalan, melambaikan tangan dengan riang, sementara para petani menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.“Seta,” seorang perwira pengawal mendekati dari sisi kirinya. “Kita akan segera tiba di perbatasan Panjalu. Ada kemungkinan kita akan diperiksa di pos penja

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 193

    Seta melangkah pelan ke pelataran kecil di sisi istana, tempat Ki Sajiwa sering menghabiskan waktu malamnya. Cahaya bulan menerangi sosok tua yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan, tampak tenang dengan udara malam yang lembut menyelimuti.Seta, meski langkahnya mantap, tak dapat menutupi raut bimbang yang tergurat di wajahnya.“Guru,” ucapnya pelan, memecah kesunyian malam. “Bolehkah aku meminta pendapat darimu?”Ki Sajiwa membuka matanya perlahan, tersenyum tipis, dan memberi isyarat agar muridnya duduk. “Bicaralah, Seta. Apa yang mengganjal pikiranmu saat ini?”Seta menarik napas panjang sebelum menjelaskan perintah Sri Prabu Girindra dan Permaisuri yang baru saja diterimanya. “Aku telah menerima tugas besar itu, Guru, mengawal Puteri Sasi Kirana dan puteranya di istana Panjalu.""Nah, bagus!" Ki Sajiwa menukas dengan raut muka senang. "Kau memang pantas mendapatkan kepercayaan ini, Seta.""Tapi, Guru, hati ini masih diselimuti bayang-bayang masa lalu. Kehidupanku serasa han

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status