Share

Bab 115

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-11 19:49:28

Angin laut bertiup sepoi-sepoi di Teluk Lawa. Di kejauhan, ombak tenang bergulung, menyapu pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.

Seorang pemuda berpakaian serba hitam duduk bersila di atas sebuah batu besar. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak tenang. Pemuda itu tak lain Seta.

Di sebelah Seta, Ki Sajiwa duduk dengan posisi yang sama. Wajahnya penuh ketenangan, walau sinar matanya tajam menembus cakrawala.

Setelah saling diam selama beberapa saat, Ki Sajiwa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka percakapan dengan suara penuh wibawa.

"Seta, apakah kau sudah mendengar kabar yang beredar di kalangan rakyat mengenai gonjang-ganjing takhta di Panjalu?"

Seta membuka matanya perlahan, menatap gurunya. Sebagai prajurit Kerajaan Jenggala, sekalipun belakangan lebih mirip seorang pendekar muda yang lebih sering berkelana daripada berkecimpung dalam kalangan istana, ia telah mendengar kasak-kusuk mengenai hal tersebut.

"Sedikit, Guru. Hanya selentingan dari mulut ke m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 116

    Tak menunggu lama, keesokan paginya Seta telah meninggalkan Teluk Lawa. Prajurit muda itu memacu kudanya dengan penuh kehati-hatian di tengah jalan setapak yang menghubungkan teluk dengan Kotaraja Jenggala.Hutan di kanan kiri jalan tampak lebat, dengan pohon-pohon tinggi menjulang meneduhkan jalur yang dilaluinya. Hawa sejuk menyusup perlahan, tetapi Seta merasakan udara hari ini menyimpan tanda-tanda bahaya yang tak terlihat.Seta meningkatkan kewaspadaan. Baginya, perjalanan menuju Kotaraja ini adalah amanah penting. Di pelana samping kudanya, terselip sebuah surat rahasia yang dibungkus rapi dalam kain beludru merah tua.Surat itu dititipkan oleh gurunya, Ki Sajiwa, untuk disampaikan kepada Ki Baswara di Kotaraja. Tak banyak yang Seta ketahui tentang isi surat itu, selain bahwa isinya amat penting dan terkait dengan situasi genting di dalam istana, terutama mengenai perkembangan di Panjalu yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan Prabu Kamesywara.Saa

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 117

    Seta berusaha menjaga keseimbangan di tengah medan pertempuran yang semakin sempit. Parang-parang musuh berkelebat cepat di hadapannya, satu demi satu mencoba menebas dan melukai.Meski sempat mengimbangi serangan-serangan lawan, tubuh Seta mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tangan kirinya mulai terasa kebas akibat benturan demi benturan yang harus ditahannya dengan pedangnya, sementara napasnya semakin berat dan terengah.Gerakan para lawannya begitu teratur dan rapi, seolah-olah mereka telah berlatih bertahun-tahun untuk menghadapi segala macam serangan. Setiap langkah yang diambil Seta disambut dengan serangan berbahaya. Meski pemuda itu berusaha mencari celah, tak satu pun peluang yang bisa ia manfaatkan untuk melarikan diri atau membalas serangan dengan tepat dan jitu.Tiba-tiba, seorang dari penyerang bercadar itu menyelinap dari belakang. Seta mencoba berbalik untuk menangkis, tetapi serangan itu terlalu cepat. Ujung parang penyerang itu berhasil me

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 118

    Para penyerang bercadar itu berdiri menatap sosok asing yang tiba-tiba datang dan mengacau. Wajah di balik cadar mereka tampak bingung dan marah sekaligus.Sosok asing itu berdiri tegak dengan kedua tangan kosong, tetapi auranya yang dingin dan pandangan tajamnya menyiratkan bahwa ia bukanlah orang sembarangan.“Siapa kau sebenarnya?” salah seorang penyerang berseru dengan nada penuh kemarahan. “Jangan mencampuri urusan kami atau kau akan menerima akibatnya!”Sosok asing itu hanya diam, matanya memandang tajam ke arah mereka tanpa sedikitpun menunjukkan rasa takut. Ia menurunkan lengan yang semula terangkat, kemudian menggeleng perlahan.“Pergi dari sini sekarang dan aku tidak akan membuat kalian terluka lebih jauh,” ujarnya dengan suara tenang namun penuh ketegasan. Kalimat itu keluar bukan sebagai permohonan, melainkan perintah yang tak dapat ditawar.Penyerang-penyerang itu terdiam, saling pandang dalam keragu

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 119

    Kotaraja membentang luas di hadapan Seta, megah dan penuh hiruk pikuk kehidupan, tetapi baginya tampak berayun-ayun kabur. Langkah-langkahnya terasa semakin berat, dan setiap jengkal tubuhnya seolah berteriak menahan sakit.Luka-luka di tubuh Seta masih basah dan berdarah, sementara napasnya tersengal-sengal. Mencari Ki Baswara di tengah keramaian ini seperti mencari setitik bintang di langit yang berkabut. Terlebih ia tak tahu di mana kediaman ahli perbintangan kerajaan itu.Dalam keadaan yang semakin lemah serta diliputi kebingungan, ingatan Seta tertuju pada satu nama—Prabangkara. Sosok yang telah membantunya dalam upaya membalaskan dendam pada Balanatha dan komplotan.Seta yakin Prabangkara dapat membantu atau setidak-tidaknya memberi petunjuk tentang kediaman Ki Baswara. Maka ia memaksakan tubuhnya yang terluka untuk terus melangkah, berjalan tertatih melewati lorong-lorong sempit di antara deretan rumah-rumah di pinggiran Kotaraja."Prabangkar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-13
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 120

    Malam di Kotaraja begitu sunyi. Cahaya bulan samar-samar menyusup dari balik jendela kamar, menyinari wajah Seta yang tertidur lelap.Luka-luka di tubuh pemuda itu membuat setiap gerakannya terasa sakit, dan ia membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Namun, dalam kedalaman malam yang seharusnya tenang, telinga Seta tiba-tiba menangkap suara yang asing.Langkah kaki. Suara berderit dari atap rumah.Seta membuka mata dan memasang telinga dengan waspada, merasakan hawa tak biasa di sekitar rumah Prabangkara. Suara langkah kaki di atas atap bergerak perlahan namun tegas, membuat udara di sekitarnya terasa semakin tegang."Siapa itu? Mengapa mereka berjalan di atas ata?" batin Seta dengan kewaspadaan yang seketika meningkat.Di tengah-tengah keadaan fisiknya yang masih terluka, Seta memaksa diri untuk bangkit. Meski sakit menusuk seluruh tubuhnya, ia menyingkirkan selimut dan berusaha berdiri, memasang sikap siaga dengan kedua tangannya terangkat.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 121

    Keringat dingin mengalir di pelipis Seta saat dua penyusup bercadar tahu-tahu saja sudah mengepungnya. Di tengah sakit yang menggerogoti tubuhnya, ia tahu bahwa satu benturan saja bisa membuat luka-lukanya semakin parah.Parang besar di tangan kedua penyusup itu berkilat tajam dalam temaram cahaya malam, siap mencabut nyawanya kapan saja. Seta hanya bisa bertahan dengan gerakan menghindar yang cepat, setiap kali melompat ke samping atau mundur terasa seperti tusukan baru di dadanya yang masih terluka.“Ayo, prajurit Jenggala!” ejek salah satu penyusup sambil tertawa sinis. “Di sini, tak ada yang akan menyelamatkanmu!”Seta menguatkan diri, menggertakkan giginya sambil terus menjaga jarak dari mereka. Kaki dan tangannya gemetar menahan sakit, tetapi ia tak menyerah. Setiap kali salah satu dari mereka mengayunkan parang, ia berusaha menghindar semampunya, meskipun tubuhnya semakin lemah.Sambil terus menghindar, dari sudut matanya Se

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 122

    Pagi baru saja menyingsing di langit Kotaraja ketika Seta dan Prabangkara melompat ke punggung kuda mereka. Di bawah bayang-bayang matahari yang masih malu-malu terbit, mereka segera memacu kuda ke arah selatan, meninggalkan kesunyian yang masih menyelimuti kota.Tujuan mereka jelas: Lembah Rengganis, tempat Ki Baswara diduga berada dalam persembunyian.Sepanjang jalan keluar dari perkampungan kota, Seta mengingat kembali peristiwa malam sebelumnya. Ia masih terbayang-bayang oleh sosok misterius yang datang tepat saat mereka diserang para penyusup. Takdir seolah memberi mereka perlindungan tak terlihat.Namun kali ini ia tak mau terlalu bergantung pada pertolongan yang tak pasti. Kini, hanya ada satu hal dalam benaknya—menemukan Ki Baswara sebelum para musuh dapat mencapainya.Namun begitu mereka tiba di gerbang utama Kotaraja, Seta merasa ada sesuatu yang tak beres. Para prajurit penjaga tampak berkumpul lebih banyak dari biasanya. Mereka berdiri d

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 123

    Saat matahari beranjak naik di atas kepala, Seta dan Prabangkara akhirnya tiba di Lembah Rengganis. Udara sejuk yang menyelimuti lembah itu terasa lebih tajam, menusuk hingga ke tulang.Pohon-pohon rimbun dan bukit-bukit kecil di sekelilingnya menciptakan pemandangan yang sunyi, seolah-olah alam sendiri menutupi rahasia yang tersembunyi di balik lembah ini. Namun ketenangan itu segera pecah saat keduanya melihat pemandangan yang tak terduga.Di seluruh lembah, tampak pasukan kerajaan dalam jumlah besar bertebaran. Mereka berseragam lengkap, bersiaga dengan tombak dan pedang terhunus. Puluhan prajurit bergerak mengamati setiap sudut lembah, seolah tengah memburu sesuatu atau seseorang.Seta dan Prabangkara segera menyadari bahwa keberadaan mereka di lembah ini harus sangat berhati-hati. Mereka menuntun kuda mereka ke balik semak-semak rimbun, mengamati dari kejauhan sembari menahan napas agar tidak menarik perhatian.“Banyak sekali pasukan di sini,” bisik Seta dengan suara pelan namun t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status