Malam di Kotaraja begitu sunyi. Cahaya bulan samar-samar menyusup dari balik jendela kamar, menyinari wajah Seta yang tertidur lelap.
Luka-luka di tubuh pemuda itu membuat setiap gerakannya terasa sakit, dan ia membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Namun, dalam kedalaman malam yang seharusnya tenang, telinga Seta tiba-tiba menangkap suara yang asing.
Langkah kaki. Suara berderit dari atap rumah.
Seta membuka mata dan memasang telinga dengan waspada, merasakan hawa tak biasa di sekitar rumah Prabangkara. Suara langkah kaki di atas atap bergerak perlahan namun tegas, membuat udara di sekitarnya terasa semakin tegang.
"Siapa itu? Mengapa mereka berjalan di atas ata?" batin Seta dengan kewaspadaan yang seketika meningkat.
Di tengah-tengah keadaan fisiknya yang masih terluka, Seta memaksa diri untuk bangkit. Meski sakit menusuk seluruh tubuhnya, ia menyingkirkan selimut dan berusaha berdiri, memasang sikap siaga dengan kedua tangannya terangkat.
Keringat dingin mengalir di pelipis Seta saat dua penyusup bercadar tahu-tahu saja sudah mengepungnya. Di tengah sakit yang menggerogoti tubuhnya, ia tahu bahwa satu benturan saja bisa membuat luka-lukanya semakin parah.Parang besar di tangan kedua penyusup itu berkilat tajam dalam temaram cahaya malam, siap mencabut nyawanya kapan saja. Seta hanya bisa bertahan dengan gerakan menghindar yang cepat, setiap kali melompat ke samping atau mundur terasa seperti tusukan baru di dadanya yang masih terluka.“Ayo, prajurit Jenggala!” ejek salah satu penyusup sambil tertawa sinis. “Di sini, tak ada yang akan menyelamatkanmu!”Seta menguatkan diri, menggertakkan giginya sambil terus menjaga jarak dari mereka. Kaki dan tangannya gemetar menahan sakit, tetapi ia tak menyerah. Setiap kali salah satu dari mereka mengayunkan parang, ia berusaha menghindar semampunya, meskipun tubuhnya semakin lemah.Sambil terus menghindar, dari sudut matanya Se
Pagi baru saja menyingsing di langit Kotaraja ketika Seta dan Prabangkara melompat ke punggung kuda mereka. Di bawah bayang-bayang matahari yang masih malu-malu terbit, mereka segera memacu kuda ke arah selatan, meninggalkan kesunyian yang masih menyelimuti kota.Tujuan mereka jelas: Lembah Rengganis, tempat Ki Baswara diduga berada dalam persembunyian.Sepanjang jalan keluar dari perkampungan kota, Seta mengingat kembali peristiwa malam sebelumnya. Ia masih terbayang-bayang oleh sosok misterius yang datang tepat saat mereka diserang para penyusup. Takdir seolah memberi mereka perlindungan tak terlihat.Namun kali ini ia tak mau terlalu bergantung pada pertolongan yang tak pasti. Kini, hanya ada satu hal dalam benaknya—menemukan Ki Baswara sebelum para musuh dapat mencapainya.Namun begitu mereka tiba di gerbang utama Kotaraja, Seta merasa ada sesuatu yang tak beres. Para prajurit penjaga tampak berkumpul lebih banyak dari biasanya. Mereka berdiri d
Saat matahari beranjak naik di atas kepala, Seta dan Prabangkara akhirnya tiba di Lembah Rengganis. Udara sejuk yang menyelimuti lembah itu terasa lebih tajam, menusuk hingga ke tulang.Pohon-pohon rimbun dan bukit-bukit kecil di sekelilingnya menciptakan pemandangan yang sunyi, seolah-olah alam sendiri menutupi rahasia yang tersembunyi di balik lembah ini. Namun ketenangan itu segera pecah saat keduanya melihat pemandangan yang tak terduga.Di seluruh lembah, tampak pasukan kerajaan dalam jumlah besar bertebaran. Mereka berseragam lengkap, bersiaga dengan tombak dan pedang terhunus. Puluhan prajurit bergerak mengamati setiap sudut lembah, seolah tengah memburu sesuatu atau seseorang.Seta dan Prabangkara segera menyadari bahwa keberadaan mereka di lembah ini harus sangat berhati-hati. Mereka menuntun kuda mereka ke balik semak-semak rimbun, mengamati dari kejauhan sembari menahan napas agar tidak menarik perhatian.“Banyak sekali pasukan di sini,” bisik Seta dengan suara pelan namun t
Seta dan Prabangkara bergerak perlahan di balik rimbunnya pepohonan, mencoba menemukan tempat yang lebih aman untuk bersembunyi sekaligus mencari keberadaan Ki Baswara. Mereka harus tetap waspada; salah satu kesalahan kecil saja dapat membuat mereka tertangkap dan berakhir di tangan pasukan yang mengepung Lembah Rengganis.Namun tiba-tiba saja terdengar derap langkah yang semakin dekat. Seta berhenti sejenak dan memberi isyarat pada Prabangkara untuk menahan napas.Namun usaha mereka untuk tidak menarik perhatian ternyata sia-sia. Empat prajurit perintis tampak mendekat dari arah semak-semak, menatap mereka penuh kecurigaan.“Berhenti di situ! Siapa kalian dan apa yang kalian lakukan di sini?” Salah satu prajurit itu berseru dengan nada tegas.Seta mencoba menenangkan diri. Sementara Prabangkara, yang berdiri sedikit di belakangnya, memasang sikap waspada. Keduanya tahu, percakapan ini tidak mungkin berakhir dengan damai.“Kami hanya pengembara yan
Seta dan Prabangkara terus melangkah menyusuri lorong gua yang semakin sempit. Napas keduanya mulai berat, lelah setelah pelarian panjang dan berliku dari kejaran prajurit. Setiap langkah terasa berat, namun harapan untuk keluar dari gua ini membuat mereka tetap melangkah.Di ujung kegelapan, samar-samar mereka melihat sinar redup dari celah batuan yang berakhir di sebuah ruangan lebih luas. Saat mereka mendekat, sosok tinggi berdiri di hadapan mereka, bayangan yang mereka kira hanyalah bentuk batu besar ternyata adalah seorang pria berusia tua dengan sorot mata tajam, berjubah lusuh, namun gerak-geriknya tetap penuh wibawa.Seta terdiam sejenak, tidak percaya pada penglihatannya. Prabangkara juga membeku, mengenali sosok itu seketika.“Ki Baswara!” seru Prabangkara dengan suara pelan, setengah tak percaya namun juga penuh rasa lega.Sosok itu memang Ki Baswara, menoleh dengan raut muka tenang namun tampak sedikit terkejut. Agaknya lelaki paru
Di luar gua, Seta, Prabangkara dan Ki Baswara mengatur napas mereka setelah berhasil meloloskan diri dari kejaran prajurit Jenggala. Meski bahaya di dalam sana sudah mereka tinggalkan, ancaman yang jauh lebih besar masih membayangi.Ketiga lelaki berbeda usia itu menyelinap di balik pepohonan, mencari tempat yang cukup aman untuk membicarakan langkah berikutnya. Seta yang penasaran sejak awal perjalanan mengalihkan pandangan kepada Ki Baswara.“Ki, siapa sebenarnya yang merencanakan pengepungan ini? Mengingat sedemikian besarnya pasukan yang dikirim ke sini, aku yakin sekali sosok itu seorang yang sangat berpengaruh di istana. Bahkan mungkin pengaruhnya tak kalah dari Gusti Prabu Sri Girindra sendiri.”Ki Baswara mengangguk pelan. “Kalian berdua mungkin sudah mendengar nama Dyah Srengga. Ia bukan hanya seorang ambisius, tapi juga memiliki pengaruh besar di Panjalu. Dan kini ia mulai menggerakkan orang-orangnya untuk menguasai Jenggala.”
Sementara itu, di dalam Balairung Agung Istana Jenggala....Keheningan terasa seolah menambah kecemasan yang menyelimuti hati Prabu Girindra. Sang Raja, dengan wajah kerut dan pandangan yang menerawang, duduk di singgasananya, dikelilingi oleh para abdi dalem yang berjaga di sepanjang ruangan.Di hadapan sang raja berdiri Rakryan Tumenggung dengan tubuh tegap dan tatapan penuh keyakinan, tetapi senantiasa tetap waspada. Kesatria yang memiliki pengalaman luas dalam bidang keprajuritan dan peperangan itu baru saja selesai memaparkan laporan terbarunya mengenai keadaan di Panjalu.Prabu Girindra menyimak setiap kata panglima kerajaannya dengan penuh perhatian. Terlihat jelas bahwa ia sangat terganggu oleh kabar pergerakan Dyah Srengga yang kian mengkhawatirkan.“Tumenggung, keadaannya semakin memprihatinkan,” ujar Prabu Girindra, suaranya berat dan tertekan. “Keberanian Dyah Srengga dan orang-orangnya untuk melawan kebijakan Panjalu—terlebih, upaya mereka menentang pengangkatan cucuku seb
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Rakryan Tumenggung melangkah cepat menuju satu tempat. Tujuannya adalah kediaman Dyah Wisesa, seorang bangsawan tinggi yang masih kerabat Prabu Sri Girindra.Di keheningan hari yang masih sangat pagi, detak langkah Rakryan Tumenggung nyaris tidak terdengar. Pikirannya berkecamuk.Kecurigaannya terhadap Dyah Wisesa, bangsawan tinggi Jenggala yang dikenal cerdik namun penuh rahasia, semakin menguat setelah mendengar pergerakan pasukan yang menuju Lembah Rengganis. Dia mencurigai bahwa Dyah Wisesa punya hubungan langsung dengan Dyah Srengga yang berada di Panjalu, serta berperan dalam rencana busuk yang mengancam Jenggala.Setibanya di pintu besar kediaman Dyah Wisesa, Rakryan Tumenggung memberi isyarat pada penjaga agar tidak memberitahu junjungan mereka. Ia ingin datang dengan tiba-tiba, berharap bisa menangkap tanda atau gerak-gerik mencurigakan dari lawan bicaranya.“Dyah Wisesa,” Rakryan Tumenggung menyapa sambil memasuki ruang tamu, tanpa men
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela