Seta dan Prabangkara terus melangkah menyusuri lorong gua yang semakin sempit. Napas keduanya mulai berat, lelah setelah pelarian panjang dan berliku dari kejaran prajurit. Setiap langkah terasa berat, namun harapan untuk keluar dari gua ini membuat mereka tetap melangkah.
Di ujung kegelapan, samar-samar mereka melihat sinar redup dari celah batuan yang berakhir di sebuah ruangan lebih luas. Saat mereka mendekat, sosok tinggi berdiri di hadapan mereka, bayangan yang mereka kira hanyalah bentuk batu besar ternyata adalah seorang pria berusia tua dengan sorot mata tajam, berjubah lusuh, namun gerak-geriknya tetap penuh wibawa.
Seta terdiam sejenak, tidak percaya pada penglihatannya. Prabangkara juga membeku, mengenali sosok itu seketika.
“Ki Baswara!” seru Prabangkara dengan suara pelan, setengah tak percaya namun juga penuh rasa lega.
Sosok itu memang Ki Baswara, menoleh dengan raut muka tenang namun tampak sedikit terkejut. Agaknya lelaki paru
Di luar gua, Seta, Prabangkara dan Ki Baswara mengatur napas mereka setelah berhasil meloloskan diri dari kejaran prajurit Jenggala. Meski bahaya di dalam sana sudah mereka tinggalkan, ancaman yang jauh lebih besar masih membayangi.Ketiga lelaki berbeda usia itu menyelinap di balik pepohonan, mencari tempat yang cukup aman untuk membicarakan langkah berikutnya. Seta yang penasaran sejak awal perjalanan mengalihkan pandangan kepada Ki Baswara.“Ki, siapa sebenarnya yang merencanakan pengepungan ini? Mengingat sedemikian besarnya pasukan yang dikirim ke sini, aku yakin sekali sosok itu seorang yang sangat berpengaruh di istana. Bahkan mungkin pengaruhnya tak kalah dari Gusti Prabu Sri Girindra sendiri.”Ki Baswara mengangguk pelan. “Kalian berdua mungkin sudah mendengar nama Dyah Srengga. Ia bukan hanya seorang ambisius, tapi juga memiliki pengaruh besar di Panjalu. Dan kini ia mulai menggerakkan orang-orangnya untuk menguasai Jenggala.”
Sementara itu, di dalam Balairung Agung Istana Jenggala....Keheningan terasa seolah menambah kecemasan yang menyelimuti hati Prabu Girindra. Sang Raja, dengan wajah kerut dan pandangan yang menerawang, duduk di singgasananya, dikelilingi oleh para abdi dalem yang berjaga di sepanjang ruangan.Di hadapan sang raja berdiri Rakryan Tumenggung dengan tubuh tegap dan tatapan penuh keyakinan, tetapi senantiasa tetap waspada. Kesatria yang memiliki pengalaman luas dalam bidang keprajuritan dan peperangan itu baru saja selesai memaparkan laporan terbarunya mengenai keadaan di Panjalu.Prabu Girindra menyimak setiap kata panglima kerajaannya dengan penuh perhatian. Terlihat jelas bahwa ia sangat terganggu oleh kabar pergerakan Dyah Srengga yang kian mengkhawatirkan.“Tumenggung, keadaannya semakin memprihatinkan,” ujar Prabu Girindra, suaranya berat dan tertekan. “Keberanian Dyah Srengga dan orang-orangnya untuk melawan kebijakan Panjalu—terlebih, upaya mereka menentang pengangkatan cucuku seb
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Rakryan Tumenggung melangkah cepat menuju satu tempat. Tujuannya adalah kediaman Dyah Wisesa, seorang bangsawan tinggi yang masih kerabat Prabu Sri Girindra.Di keheningan hari yang masih sangat pagi, detak langkah Rakryan Tumenggung nyaris tidak terdengar. Pikirannya berkecamuk.Kecurigaannya terhadap Dyah Wisesa, bangsawan tinggi Jenggala yang dikenal cerdik namun penuh rahasia, semakin menguat setelah mendengar pergerakan pasukan yang menuju Lembah Rengganis. Dia mencurigai bahwa Dyah Wisesa punya hubungan langsung dengan Dyah Srengga yang berada di Panjalu, serta berperan dalam rencana busuk yang mengancam Jenggala.Setibanya di pintu besar kediaman Dyah Wisesa, Rakryan Tumenggung memberi isyarat pada penjaga agar tidak memberitahu junjungan mereka. Ia ingin datang dengan tiba-tiba, berharap bisa menangkap tanda atau gerak-gerik mencurigakan dari lawan bicaranya.“Dyah Wisesa,” Rakryan Tumenggung menyapa sambil memasuki ruang tamu, tanpa men
Hingga panasnya siang membakar hari, Dyah Wisesa masih berjalan mondar-mandir di dalam ruangannya dengan sorot mata yang penuh kemarahan. Kedatangan Rakryan Tumenggung dan ancaman yang diucapkan panglima kerajaan itu sungguh telah mengganggunya.Dyah Wisesa baru saja memerintahkan salah seorang perwira kepercayaannya, Arya Jatikusuma, untuk datang menghadap. Tanpa menunggu lama, terdengar suara langkah mendekat di lorong, dan sesosok tinggi tegap memasuki ruangan setelah memberi hormat singkat.“Paduka Dyah Wisesa,” Arya Jatikusuma menunduk hormat, lalu menatap atasannya dengan penuh tanya. “Adakah tugas yang hendak paduka perintahkan?”Dyah Wisesa berhenti sejenak, menatapnya dengan tajam.“Jatikusuma, apa kabar terakhir mengenai pergerakan pasukan di Lembah Rengganis? Aku ingin mendengar laporan lengkap tanpa ada yang ditutup-tutupi,” tanyanya kemudian.Arya Jatikusuma tampak ragu sejenak, tetapi ia menghela na
Malam di istana Jenggala terasa sunyi. Hanya suara angin lembut yang berdesir di antara pepohonan di halaman istana.Di dalam peraduan istana, Prabu Sri Girindra duduk bersama permaisuri. Raut wajahnya yang biasa tampak tenang, kini tampak dihiasi kerutan kekhawatiran. Ia menatap ke luar jendela, pandangannya menerawang jauh.“Kakang Prabu, engkau tampak begitu cemas malam ini,” ujar permaisuri lembut, sambil menyentuh bahu suaminya.Prabu Sri Girindra menghela napas panjang sebelum menanggapi. “Aku tak bisa tenang, Isteriku. Semakin hari malah semakin khawatir saja.""Memikirkan anak kita, Sasi Kirana, di Panjalu?" tanya permaisuri lagi.Prabu Sri Girindra mengangguk dan berkata, "Anak dan cucu kita di sana menghadapi ancaman yang kian nyata dari Dyah Srengga dan komplotannya. Aku khawatir keselamatan mereka akan terancam. Kita sudah mengetahui sifat Dyah Srengga yang keji. Jika ia merasa terhalang oleh keberadaan cucu kita yang
Malam begitu sunyi ketika Ki Baswara, Seta, dan Prabangkara akhirnya tiba di sebuah perkampungan kecil nan terletak jauh dari Lembah Rengganis. Mereka bertiga tampak kelelahan, berjalan dalam senyap setelah menempuh perjalanan jauh untuk menjauhi pengejaran prajurit Jenggala.Namun, meski tubuh lelah dan luka-luka masih terasa, mereka tahu tak ada tempat yang lebih aman dari area ini untuk beristirahat sejenak. Perkampungan yang mereka masuki sudah dalam keadaan sepi dan gelap gulita.“Sepertinya perkampungan ini telah lama beristirahat,” gumam Prabangkara lirih, sambil memandangi rumah-rumah penduduk yang gelap tanpa cahaya pelita.Ki Baswara mengangguk pelan, “Lebih baik kita tidak mengganggu penduduk di malam sedalam ini. Mereka mungkin curiga jika melihat kedatangan kita yang tidak dikenali.”“Benar,” timpal Seta. “Jika kita memaksa mencari tempat berlindung sekarang, bisa-bisa justru menimbulkan masalah baru.
Pertarungan semakin sengit ketika Seta dan Prabangkara mulai terdesak oleh kepungan orang-orang bercadar yang menyerang tanpa henti. Meski keduanya bertarung dengan segenap tenaga, jumlah lawan yang lebih banyak membuat mereka semakin lelah.Seta berkali-kali menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, sementara Prabangkara mulai terengah-engah menahan sabetan parang dan tusukan belati yang mengarah padanya.Keadaan mulai tampak putus asa ketika sebuah bayangan tiba-tiba melesat masuk ke medan pertempuran. Gerakannya begitu cepat, seolah-olah tubuhnya melayang di antara para pengeroyok.Orang baru ini, dengan pakaian hitam dan penutup wajah, langsung menghampiri salah seorang penyerang dan melumpuhkannya dengan satu gerakan yang cekatan. Dengan hanya beberapa gerakan, satu demi satu dari para penyerang bercadar itu tersungkur ke tanah, tak berdaya oleh pukulan atau totokan yang tepat mengenai titik-titik vital."Siapa dia?" gumam Seta di tengah
Malam semakin larut. Hanya nyala api unggun yang tersisa untuk menerangi wajah-wajah kelelahan dari Seta dan Prabangkara yang tengah terlelap.Di tengah keheningan itu, Ki Baswara malah terjaga. Pikirannya terasa penuh, seperti benang kusut yang tak kunjung terurai. Tanpa suara, ia bangkit dari tempatnya berbaring dan berjalan perlahan menuju api unggun yang masih menyala.Duduk di dekat api, Ki Baswara mengeluarkan gulungan surat dari balik pakaiannya—surat dari Ki Sajiwa yang diserahkan oleh Seta. Ia memandang gulungan itu sejenak, ragu untuk membuka dan membacanya. Seakan surat tersebut membawa kabar buruk yang selama ini berusaha ia hindari.Akhirnya, dengan tangan sedikit gemetar, Ki Baswara membuka gulungan itu. Di bawah cahaya api unggun yang temaram, ia membaca dengan saksama kata-kata yang tertulis di atas kertas yang sudah agak pudar. Setiap baris kalimat terasa berat, seolah menyampaikan beban yang harus ia pikul seorang diri.Di dalam su
Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma
Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da
Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani
Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set
Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.
Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar
Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran
Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he
Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan