JANTUNG Seta seketika berdesir. Dari sini saja ia tahu jika Balanatha memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang ia miliki.Karena itu sang prajurit tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Balanatha. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang ia derita bakal semakin parah sehingga membahayakan nyawanya.“Aku harus mencari akal,” ujar Seta di dalam hati.Di kejauhan, Balanatha tanpa berdiri tenang-tenang. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Beradunya pukulan tadi juga seperti tidak menimbulkan akibat sedikit pun pada lelaki tersebut.Melihat Seta berdiri terbungkuk sembari pegangi dada, tawa Balanatha pecah.“Ah, ah, Seta. Boro-boro membalaskan dendam. Bisa-bisa malah kau yang ikut berkalang tanah di sini,” ujar lelaki tersebut mengejek.Yang diejek menanggapi dengan perdengarkan suara menggeram marah. Setelah mengepalkan tangannya kencang-kencang, tubuh Seta kembali melesat ke depan.“Hiaaaattt!”Sing! Sing!Pedang di
Angin laut bertiup sepoi-sepoi di Teluk Lawa. Di kejauhan, ombak tenang bergulung, menyapu pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.Seorang pemuda berpakaian serba hitam duduk bersila di atas sebuah batu besar. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak tenang. Pemuda itu tak lain Seta.Di sebelah Seta, Ki Sajiwa duduk dengan posisi yang sama. Wajahnya penuh ketenangan, walau sinar matanya tajam menembus cakrawala.Setelah saling diam selama beberapa saat, Ki Sajiwa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka percakapan dengan suara penuh wibawa."Seta, apakah kau sudah mendengar kabar yang beredar di kalangan rakyat mengenai gonjang-ganjing takhta di Panjalu?"Seta membuka matanya perlahan, menatap gurunya. Sebagai prajurit Kerajaan Jenggala, sekalipun belakangan lebih mirip seorang pendekar muda yang lebih sering berkelana daripada berkecimpung dalam kalangan istana, ia telah mendengar kasak-kusuk mengenai hal tersebut."Sedikit, Guru. Hanya selentingan dari mulut ke m
Tak menunggu lama, keesokan paginya Seta telah meninggalkan Teluk Lawa. Prajurit muda itu memacu kudanya dengan penuh kehati-hatian di tengah jalan setapak yang menghubungkan teluk dengan Kotaraja Jenggala.Hutan di kanan kiri jalan tampak lebat, dengan pohon-pohon tinggi menjulang meneduhkan jalur yang dilaluinya. Hawa sejuk menyusup perlahan, tetapi Seta merasakan udara hari ini menyimpan tanda-tanda bahaya yang tak terlihat.Seta meningkatkan kewaspadaan. Baginya, perjalanan menuju Kotaraja ini adalah amanah penting. Di pelana samping kudanya, terselip sebuah surat rahasia yang dibungkus rapi dalam kain beludru merah tua.Surat itu dititipkan oleh gurunya, Ki Sajiwa, untuk disampaikan kepada Ki Baswara di Kotaraja. Tak banyak yang Seta ketahui tentang isi surat itu, selain bahwa isinya amat penting dan terkait dengan situasi genting di dalam istana, terutama mengenai perkembangan di Panjalu yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan Prabu Kamesywara.Saa
Seta berusaha menjaga keseimbangan di tengah medan pertempuran yang semakin sempit. Parang-parang musuh berkelebat cepat di hadapannya, satu demi satu mencoba menebas dan melukai.Meski sempat mengimbangi serangan-serangan lawan, tubuh Seta mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tangan kirinya mulai terasa kebas akibat benturan demi benturan yang harus ditahannya dengan pedangnya, sementara napasnya semakin berat dan terengah.Gerakan para lawannya begitu teratur dan rapi, seolah-olah mereka telah berlatih bertahun-tahun untuk menghadapi segala macam serangan. Setiap langkah yang diambil Seta disambut dengan serangan berbahaya. Meski pemuda itu berusaha mencari celah, tak satu pun peluang yang bisa ia manfaatkan untuk melarikan diri atau membalas serangan dengan tepat dan jitu.Tiba-tiba, seorang dari penyerang bercadar itu menyelinap dari belakang. Seta mencoba berbalik untuk menangkis, tetapi serangan itu terlalu cepat. Ujung parang penyerang itu berhasil me
KOTARAJA Jenggala, tahun 1115 Saka (1193 Masehi).Seperti hari-hari lain, suasana di pusat pemerintahan Tumapel terlihat sangat ramai siang itu. Lebih-lebih di pasar gede, di mana para pedagang tempatan bercampur baur dengan saudagar dari segala bangsa. Masing-masing sibuk menjajakan rupa-rupa barang dagangan, dari sayur-mayur hingga porselen bawaan bangsa Song.Keramaian pasar luber sampai ke tempat-tempat di sekitarnya. Namun pedagang yang berjualan dalam warung-warung sederhana yang berjejer di luar tembok pasar hanya menjajakan makanan dan minuman. Siap dinikmati di tempat sembari mengamati keriuhan suasana siang.Seorang lelaki muda berusia awal dua puluhan tahun, dengan kumis tipis menghiasi bagian bawah hidungnya, tampak berjalan melintasi deretan warung tersebut."Mari, Tuan Prajurit, silakan mampir di sini," seru seorang wanita paruh baya dari salah satu warung.Yang disapa hanya tersenyum dan anggukkan kepala, tetapi tak sedikitpun menghentikan langkah. Ia baru berhenti ketik
Surajaya alias Begal Surajaya adalah gembong rampok paling ditakuti dari Alas Kampak di kawasan barat daya Jenggala. Gerombolannya kerap melakukan kejahatan di kampung-kampung dan juga di jalan-jalan dekat hutan di sekitaran kaki Gunung Kawi.Berkali-kali Kerajaan Jenggala mengirim sepasukan kecil prajurit untuk menumpas gerombolan rampok itu, tetapi tak pernah berhasil. Pada pengiriman pasukan penumpas yang kesekian beberapa pekan lalu, Seta ikut di dalamnya.Kali itu para prajurit Jenggala berhasil menggulung gerombolan rampok Alas Kampak. Nama Seta lantas mencuat dan dipuja-puji karena dirinyalah yang mengalahkan Surajaya.Keberhasilan itu membuat sang prajurit mendapat anugerah kenaikan pangkat lebih cepat. Dari seorang prajurit rendahan, menjadi wira tamtama."Kau tampak terkejut, Seta," ujar lelaki bengis saudara Surajaya.Seta kertakkan rahang. Sang prajurit sebetulnya sudah tak sabar ingin bertindak, melabrak ketiga lelaki tersebut. Namun ia tak boleh berlaku gegabah atau kesel
Pukulan jarak jauh tersebut menghantam dinding warung. Terus melaju cepat melabrak warung-warung lain di sebelah.Suara ledakan keras terdengar. Diiringi kepulan asap bercampur debu dari hancurnya sekat-sekat anyaman bambu yang hancur lebur. Menjadi remah-remah.Suara ledakan keras itu mengagetkan semua orang yang ada di sekitar tempat perkelahian. Membuat para pedagang dan orang-orang yang sedang makan-minum di warung-warung lain berhamburan keluar.Awalnya orang-orang itu diliputi rasa penasaran. Lalu berbondong-bondong datang. Mendekat untuk mencari tahu arah sumber suara.Namun setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi, seketika mereka berlarian. Lintang pukang menjauh sembari menjerit-jerit. Suasana berubah kacau mencekam.Seta menghela napas panjang. Sang prajurit menyadari keadaan sudah menjadi gawat. Mereka telah berkelahi di pinggiran kotaraja. Hanya sejarak lima ratus depa (sekitar satu kilometer) dari istana raja!"Kalian telah membuat kekacauan di kotaraja. Bersiaplah ke
Terdengar suara daging mentah teriris, diiringi keluhan tertahan Seta. Prajurit itu merasakan sesuatu yang dingin merayapi dadanya. Lalu kejap berikutnya berganti rasa perih yang amat sangat.Pikiran bawah sadar Seta memerintahkan tangannya untuk meraba luka itu. Hangat dan basahnya darah segera terasa di jemari dan telapak tangannya.Belum lagi sempat sang prajurit menguasai diri, Ranajaya sudah kembali masuk ke kalangan pertempuran. Lelaki itu mengirim sebuah tendangan mengarah ke dada.Buuukk!Yang diserang tak dapat mengelak. Tendangan keras mendarat telak di dada Seta. Tubuh wira tamtama itu dibuat terpental beberapa langkah ke belakang.Lalu, bruaakk! Pinggang Seta menghantam permukaan meja warung. Membuat rangkaian dari kayu itu hancur berkeping-keping.Seta coba bangkit, namun segera batalkan niatnya dan kembali terkapar lemah. Pinggangnya yang tadi menghantam meja terasa sangat nyeri. Wajahnya yang dipenuhi keringat tampak meringis kesakitan.Di tempatnya, Ranajaya menyeringa