BASMA tak kuasa mengelak. Telapak kaki Seta mendarat dengan telak di wajahnya. Tak hanya sekali, tapi dua kali bolak-balik. Membuat pipinya serasa dihantam batangan besi besar.
Prajurit pengawal kediaman Balanatha itu merasakan kepalanya pusing. Sepasang matanya berkunang-kunang. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah.
Sementara itu tombak terlepas dari pegangan tangan Basma. Sebelum senjata panjang itu tergeletak di tanah, Seta sudah lebih dulu melenting dan sekali lagi melepas tendangan. Kali ini ke dada Basma.
“Hiaaaaat!”
Des! Des!
Yang ditendang tak kuasa mengelak. Tendangan Seta mendarat telak. Membuat Basma keluarkan suara mengeluh tertahan. Lalu tubuhnya terbadai jauh ke belakang. Untuk kemudian terempas dengan keras ke tanah.
Basma adalah pemimpin para prajurit pengawal kediaman Balanatha. Maka, melihat pemimpin mereka dapat dipukul hanya dalam waktu kurang dari tiga jur
SAMPAI di sana keheranan Seta bertambah lagi. Kali ini Balanatha menyebut ayahnya pula. Ada apa ini sebenarnya? Ada sengketa apa di antara mereka bertiga: ayah-ibunya dan Balanatha?Sang prajurit benar-benar dibuat bingung setengah mati!Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, Seta akhirnya memutuskan untuk tidak terbawa dalam kebingungan. Apa pun urusan antara ibunya dan Balanatha, biarlah itu menjadi urusan mereka berdua. Atau bahkan bertiga dengan ayahnya.Yang jelas, sang prajurit datang dengan membawa urusannya sendiri. Yakni membalas perbuatan keji yang dilakukan Balanatha terhadap anak dan isterinya. Terlepas apa yang menjadi latar belakang tindakan tersebut.Maka, dengan langkah gagah Seta melangkah maju selangkah. Tatapan matanya tertuju tepat-tepat pada manik mata Balanatha. Sebuah tatapan mata membara karena dipenuhi hawa amarah."Dengar, Balanatha. Apa pun yang menjadi silang sengketa antar
WIRAKAPI keluarkan satu lolongan keras mengangkasa. Wajahnya tampak mengernyit menahan sakit. Kedua tangannya sontak memegangi dada yang seketika mengucurkan darah segar.Pedang Seta menancap dalam di dada lelaki berbulu lebat tersebut. Mata pedang nan tajam menembus jantung. Terus melesak hingga keluar di bagian punggung.Untuk beberapa saat Wirakapi keluarkan suara meracau. Kedua tangannya bergerak hendak mencabut pedang. Meski ia sendiri tahu hal tersebut sudah tak berarti apa-apa lagi.“Selamat jalan, kunyuk sialan!” seru Seta seraya mencabut pedangnya dari dada lawan.Terdengar suara keluhan tertahan. Wajah Wirakapi berubah, tapi segera berubah pucat pasi begitu pedang tercabut dari tubuhnya.Lelaki berbulu lebat itu lantas jatuh terjengkang ke belakang. Begitu punggungnya mencium tanah, saat itu pula tubuh Wirakapi tak bergerak-gerak lagi.“Setan alas! Kau membunuh saudaraku!” jerit satu suara dengan marah.Seta palingkan kepalanya ke arah asal suara. Rupanya yang berteriak Jayak
JANTUNG Seta seketika berdesir. Dari sini saja ia tahu jika Balanatha memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Bahkan mungkin beberapa tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang ia miliki.Karena itu sang prajurit tidak boleh sering-sering beradu tenaga dalam dengan Balanatha. Jika tidak, lambat laun luka dalam yang ia derita bakal semakin parah sehingga membahayakan nyawanya.“Aku harus mencari akal,” ujar Seta di dalam hati.Di kejauhan, Balanatha tanpa berdiri tenang-tenang. Seolah-olah tak terjadi apa-apa. Beradunya pukulan tadi juga seperti tidak menimbulkan akibat sedikit pun pada lelaki tersebut.Melihat Seta berdiri terbungkuk sembari pegangi dada, tawa Balanatha pecah.“Ah, ah, Seta. Boro-boro membalaskan dendam. Bisa-bisa malah kau yang ikut berkalang tanah di sini,” ujar lelaki tersebut mengejek.Yang diejek menanggapi dengan perdengarkan suara menggeram marah. Setelah mengepalkan tangannya kencang-kencang, tubuh Seta kembali melesat ke depan.“Hiaaaattt!”Sing! Sing!Pedang di
Angin laut bertiup sepoi-sepoi di Teluk Lawa. Di kejauhan, ombak tenang bergulung, menyapu pasir putih yang berkilauan diterpa cahaya matahari pagi.Seorang pemuda berpakaian serba hitam duduk bersila di atas sebuah batu besar. Matanya terpejam, tetapi pikirannya tak tenang. Pemuda itu tak lain Seta.Di sebelah Seta, Ki Sajiwa duduk dengan posisi yang sama. Wajahnya penuh ketenangan, walau sinar matanya tajam menembus cakrawala.Setelah saling diam selama beberapa saat, Ki Sajiwa menarik napas dalam-dalam, kemudian membuka percakapan dengan suara penuh wibawa."Seta, apakah kau sudah mendengar kabar yang beredar di kalangan rakyat mengenai gonjang-ganjing takhta di Panjalu?"Seta membuka matanya perlahan, menatap gurunya. Sebagai prajurit Kerajaan Jenggala, sekalipun belakangan lebih mirip seorang pendekar muda yang lebih sering berkelana daripada berkecimpung dalam kalangan istana, ia telah mendengar kasak-kusuk mengenai hal tersebut."Sedikit, Guru. Hanya selentingan dari mulut ke m
Tak menunggu lama, keesokan paginya Seta telah meninggalkan Teluk Lawa. Prajurit muda itu memacu kudanya dengan penuh kehati-hatian di tengah jalan setapak yang menghubungkan teluk dengan Kotaraja Jenggala.Hutan di kanan kiri jalan tampak lebat, dengan pohon-pohon tinggi menjulang meneduhkan jalur yang dilaluinya. Hawa sejuk menyusup perlahan, tetapi Seta merasakan udara hari ini menyimpan tanda-tanda bahaya yang tak terlihat.Seta meningkatkan kewaspadaan. Baginya, perjalanan menuju Kotaraja ini adalah amanah penting. Di pelana samping kudanya, terselip sebuah surat rahasia yang dibungkus rapi dalam kain beludru merah tua.Surat itu dititipkan oleh gurunya, Ki Sajiwa, untuk disampaikan kepada Ki Baswara di Kotaraja. Tak banyak yang Seta ketahui tentang isi surat itu, selain bahwa isinya amat penting dan terkait dengan situasi genting di dalam istana, terutama mengenai perkembangan di Panjalu yang mungkin akan menggoyahkan kekuasaan Prabu Kamesywara.Saa
Seta berusaha menjaga keseimbangan di tengah medan pertempuran yang semakin sempit. Parang-parang musuh berkelebat cepat di hadapannya, satu demi satu mencoba menebas dan melukai.Meski sempat mengimbangi serangan-serangan lawan, tubuh Seta mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Tangan kirinya mulai terasa kebas akibat benturan demi benturan yang harus ditahannya dengan pedangnya, sementara napasnya semakin berat dan terengah.Gerakan para lawannya begitu teratur dan rapi, seolah-olah mereka telah berlatih bertahun-tahun untuk menghadapi segala macam serangan. Setiap langkah yang diambil Seta disambut dengan serangan berbahaya. Meski pemuda itu berusaha mencari celah, tak satu pun peluang yang bisa ia manfaatkan untuk melarikan diri atau membalas serangan dengan tepat dan jitu.Tiba-tiba, seorang dari penyerang bercadar itu menyelinap dari belakang. Seta mencoba berbalik untuk menangkis, tetapi serangan itu terlalu cepat. Ujung parang penyerang itu berhasil me
Para penyerang bercadar itu berdiri menatap sosok asing yang tiba-tiba datang dan mengacau. Wajah di balik cadar mereka tampak bingung dan marah sekaligus.Sosok asing itu berdiri tegak dengan kedua tangan kosong, tetapi auranya yang dingin dan pandangan tajamnya menyiratkan bahwa ia bukanlah orang sembarangan.“Siapa kau sebenarnya?” salah seorang penyerang berseru dengan nada penuh kemarahan. “Jangan mencampuri urusan kami atau kau akan menerima akibatnya!”Sosok asing itu hanya diam, matanya memandang tajam ke arah mereka tanpa sedikitpun menunjukkan rasa takut. Ia menurunkan lengan yang semula terangkat, kemudian menggeleng perlahan.“Pergi dari sini sekarang dan aku tidak akan membuat kalian terluka lebih jauh,” ujarnya dengan suara tenang namun penuh ketegasan. Kalimat itu keluar bukan sebagai permohonan, melainkan perintah yang tak dapat ditawar.Penyerang-penyerang itu terdiam, saling pandang dalam keragu
Kotaraja membentang luas di hadapan Seta, megah dan penuh hiruk pikuk kehidupan, tetapi baginya tampak berayun-ayun kabur. Langkah-langkahnya terasa semakin berat, dan setiap jengkal tubuhnya seolah berteriak menahan sakit.Luka-luka di tubuh Seta masih basah dan berdarah, sementara napasnya tersengal-sengal. Mencari Ki Baswara di tengah keramaian ini seperti mencari setitik bintang di langit yang berkabut. Terlebih ia tak tahu di mana kediaman ahli perbintangan kerajaan itu.Dalam keadaan yang semakin lemah serta diliputi kebingungan, ingatan Seta tertuju pada satu nama—Prabangkara. Sosok yang telah membantunya dalam upaya membalaskan dendam pada Balanatha dan komplotan.Seta yakin Prabangkara dapat membantu atau setidak-tidaknya memberi petunjuk tentang kediaman Ki Baswara. Maka ia memaksakan tubuhnya yang terluka untuk terus melangkah, berjalan tertatih melewati lorong-lorong sempit di antara deretan rumah-rumah di pinggiran Kotaraja."Prabangkar
Seta menunggu hingga matahari tergelincir dari ubun-ubun. Saat itu, kebanyakan abdi dalem akan sibuk di bangsal tengah—membersihkan ruangan utama setelah santap siang para pembesar. Waktu yang tepat untuk menyusup ke bangsal timur, tempat Wadu tinggal sebelum ia menghilang entah ke mana.Seta memilih jalan belakang, melalui lorong-lorong sempit yang biasa dilalui pengangkat air dan pemikul kayu. Langkahnya ringan, tubuhnya setengah bersembunyi di balik tiang dan tabir. Ia tahu betul, satu kesalahan kecil bisa membuatnya diadili karena menyusup ke ruang kediaman abdi dalem tanpa izin.Bangsal timur sunyi. Di luar, hanya ada satu penjaga yang duduk malas sambil mengunyah sirih. Seta menunggu sampai penjaga itu lengah, lalu menyelinap masuk lewat pintu samping.Ruangan itu gelap, lembap, dan penuh bau keringat. Tikar pandan digelar berderet, menunjukkan bahwa tempat itu dihuni beberapa orang sekaligus.Seta melangkah pelan, menyusuri sudut demi sudut h
Langkah Seta tak langsung menuju ke barak. Pagi itu, setelah meninggalkan kediaman permaisuri, ia berputar arah ke sisi belakang istana.Di sanalah dapur besar kerajaan berdiri, nyaris tak pernah sepi sejak fajar. Asap tipis mengepul dari tungku tanah liat, aroma rebusan daging dan beras merah bercampur dengan harum dedaunan segar yang baru dipotong.Seta menyusup di antara para pelayan yang sibuk, menyapa sekadarnya agar tak tampak mencurigakan. Pandangannya mencari satu nama—Ni Lastri, juru masak kepala yang sudah puluhan tahun mengabdi di istana permaisuri.Tak lama, ia menemukan orang yang dicari-cari di balik anyaman tikar bambu, tengah membersihkan lembaran-lembaran daun pisang.“Ni Lastri…” Seta menyapa dengan suara rendah.Perempuan tua itu menoleh cepat, sedikit heran. “Oh, Raden Seta? Ada angin apa pagi-pagi kemari?”“Tidak usah panggil raden. Aku… aku hanya abdi bi
Cahaya pagi menyelusup pelan ke balik tirai sutra kamar permaisuri Panjalu. Suasana cerah yang sangat berlawanan dengan kabar muram yang akan disampaikan Seta pada pemilik tempat ini.Burung-burung belum lama berkicau di taman dalam ketika Seta melangkah masuk, menunduk hormat di hadapan Sasi Kirana yang telah duduk di bangku rendah, mengenakan kain selendang tipis warna biru senja. Rambutnya masih basah setelah mandi, dan matanya sembab. Entah karena lelah, atau ada sesuatu yang ia rasakan sejak semalam.“Ada apa pagi-pagi begini kau menghadapku, Seta?” bisiknya lirih. Seakan tahu gelagat, ia menyuruh pelayannya mundur menjauh sehingga kini dirinya dan Seta seakan tengah berbicara empat mata.Seta menunggu sampai pintu ditutup rapat. Barulah ia menjawab. “Lira… pelayan Gusti… tewas dibunuh.”Sasi Kirana tersentak. Nafasnya tercekat. “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris tanpa suara.“Tadi malam, h
Dini hari turun pelan-pelan seperti kabut, menyusup lembut ke balik dinding-dinding bata dan atap genteng istana Panjalu.Seta belum tidur sejak semalam. Ia terus berjaga di serambi belakang tempat dapur istana berada, matanya tak lepas dari lorong kecil yang tembus ke arah sumur tua. Tempat itulah yang semalam menjadi jalur Wadu menghancurkan sepotong surat.Di balik tembok, waktu terasa beku. Sesekali terdengar suara kelelawar, sesekali suara tikus kecil di sela-sela kayu. Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda.Seta yang duduk memeluk lutut perlahan menegakkan tubuh. Sebuah langkah ringan terdengar—terlalu ringan untuk seorang lelaki, dan terlalu gelisah untuk sekadar pelayan menuju sumur.Dari celah bayangan, tampak sekelebat sosok perempuan berjalan pelan-pelan membawa kendi. Baju pelayannya kusam oleh lembab dini hari, rambutnya digelung seadanya, seolah terburu-buru. Ia menoleh dua kali ke belakang, seperti takut ketahuan.Seta meng
Seta memilih untuk tidak menanggapi secara terburu-buru. Sejak semula, ia tidak ingin kehadirannya di istana Panjalu memancing perhatian. Maka ia menahan diri, hanya memperhatikan dari balik bayang-bayang pilar batu di serambi samping ketika sosok abdi muda itu keluar dari bilik dapur pembantu. Gerak-geriknya terlalu tenang—terlalu teratur untuk ukuran pelayan baru.Tiap pagi, pelayan itu muncul lebih cepat dari yang lain, dan tiap malam ia pulang paling lambat. Namun ada satu hal yang membuat Seta semakin curiga: ia tak pernah terlihat berbincang dengan siapa pun. Tak ada senda gurau, tak ada obrolan remeh-temeh seperti yang biasa dilakukan para abdi muda lainnya. Ia hanya diam, bekerja, dan sesekali menghilang dari pandangan.Malam itu, selepas membasuh diri dan bersantap malam seadanya di bilik dalam, Seta diam-diam mengikuti langkah pelayan muda itu dari kejauhan. Ia menunggu sampai hampir seluruh isi istana permaisuri tertidur. Ketika suara malam tinggal des
Tak terasa, sudah nyaris sepekan Seta menetap di istana Panjalu. Ia tinggal diam-diam di bangsal kecil dekat taman belakang, bagian dari kompleks kediaman Permaisuri Sasi Kirana.Bangunan itu dahulu tempat istirahat emban dan pelayan istana. Letaknya agak terpencil, dikelilingi pepohonan dan jalan setapak, membuatnya tempat yang ideal untuk sembunyi dari mata pengintai.Sasi Kirana sendiri yang mengatur semuanya. Tak banyak pelayan yang tahu bahwa ada seorang tamu rahasia yang diam-diam tinggal di sana. Ia hanya mempercayakan hal itu pada dua emban tua dan satu pengawal muda yang telah bersumpah setia padanya sejak masih menjadi puteri Jenggala.Namun ketenangan itu mulai terusik.Sejak fajar tadi, Seta merasa ada yang ganjil. Seorang pelayan baru tampak mondar-mandir di sekitar lorong yang menghubungkan dapur ke taman belakang.Gerak-gerik pelayan itu terlalu hati-hati di mata Seta, terlalu memperhitungkan langkah. Seperti seseorang yang ingin ter
Di istana, Seta tidak mengetahui bahwa bayang-bayang bahaya mulai mengintai. Ia tetap menjalankan tugasnya tanpa cela, dengan sikap penuh siaga.Setiap pagi, ia mengiringi Sasi Kirana ke taman, juga mengikuti Dyah Ardana berlatih menulis dan bermain di sana.Seta belum menyadari jika setiap gerak-geriknya terus diawasi dari kejauhan.Sudut belakang pasar tua Kotaraja menjadi tempat mata-mata Dyah Srengga mengintai istana permaisuri. Seperti petang itu, ketika dua orang bersandar di tembok bata sambil berbincang pelan.“Sudah aku pastikan kebenerannya. Rombongan Permaisuri dari Jenggala sudah kembali ke timur dua hari lalu,” kata salah satu dari mereka, berselendang kusam dan memakai caping lebar. "Namun rupanya ada satu yang tampaknya sengaja ditinggalkan di sini."“Maksudmu, pengawal yang tengah mengiringi Sasi Kirana dan Dyah Ardana itu?”“Ya, benar sekali. Laki-laki itu membuatku curiga. Dia masuk ke dalam istana Permaisuri Panjalu sebagai anggota rombongan dari Jenggala. Namun seka
Hari-hari pertama di istana Panjalu terasa seperti babak baru bagi Seta. Sebagai prajurit, ia telah menjalani banyak tugas berat, tetapi tak satu pun seperti yang kini diembannya—menjadi bayangan di belakang permaisuri Panjalu dan putranya yang seorang calon penerus takhta, tanpa boleh mengungkapkan jati diri yang sebenarnya.Seta ditempatkan di lingkungan dalam istana sebagai bagian dari pengawal keluarga raja, tetapi tidak satu pun menyadari bahwa ia bukan sekadar prajurit biasa. Terlebih dalam kesehariannya Seta mengenakan busana dan ikat kepala khas abdi Panjalu, tidak mencolok namun tetap gagah.Sikapnya tenang, selalu menjaga jarak yang tepat, dengan tatapan matanya tajam tapi sopan—ciri khas prajurit berpengalaman.Pembawaan itu membuat Sasi Kirana dan putranya, Dyah Ardana, cepat menyukai kehadiran Seta. Sang calon putera mahkota bahkan mulai sering meminta diajak berlatih pedang-pedangan kayu, dan Seta dengan sabar meladeni, meski tak lupa selalu berjaga di sekeliling mereka.
Rombongan Permaisuri Jenggala akhirnya tiba di gerbang megah istana Panjalu menjelang senja. Suara genderang dan tiupan seruling mengiringi kedatangan mereka, sementara para pelayan istana dan prajurit berbaris rapi di halaman depan.Sri Prabu Kamesywara berdiri di tangga utama bersama Sasi Kirana dan puteranya yang masih kecil, Dyah Ardana. Wajah mereka berseri-seri menyambut kedatangan sang tamu agung.“Selamat datang di Panjalu, Ibunda Permaisuri,” Sri Prabu Kamesywara menyambut dengan suara lantang, langkahnya mantap menuruni tangga. Ia membungkuk hormat, diikuti Sasi Kirana yang tersenyum hangat.“Terima kasih, Ananda Prabu,” Permaisuri menjawab lembut, turun dari kereta kencana dengan bantuan mbok emban. Wajahnya sedikit letih, tetapi masih memancarkan wibawa yang anggun.Dyah Ardana berlari kecil menghampiri eyangnya, kedua tangannya terangkat tinggi memohon pelukan. Permaisuri menyambutnya dengan penuh kasih sayang, membela