Share

Bab 98

Penulis: Kebo Rawis
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-07 08:17:58

MELIHAT pemimpin mereka tak bergerak, dua prajurit yang tersisa langsung lumer nyalinya. Untuk sesaat mereka saling pandang satu sama lain. Lalu sekejap kemudian sama-sama angkat kaki. Secepat mungkin meninggalkan tempat tersebut.

“Pengecut!” maki Seta geram.

Sang prajurit ambil dua bilah pedang entah milik siapa yang tergeletak di tanah. Dilemparkannya kedua senjata tersebut tinggi-tinggi ke udara. Begitu kembali turun, kakinya bergerak menendang gagang pedang.

Dengan cepat sepasang pedang tersebut melesat. Bak anak panah yang melesat dari busur. Mengejar dua prajurit yang belum pergi terlalu jauh.

Sing! Sing!

Suara berdesing mencubit telinga terdengar kala mata pedang membelah udara. Dua prajurit yang jadi sasaran sontak menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi tersebut.

Saat itu pula wajah keduanya berubah. Pedang kiriman Seta sudah begitu dekat!

Sambil berseru ter

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 99

    SATU teriakan keras menggelegar. Arahnya dari tempat di mana Wirama tadi berada. Bersamaan dengan itu terdengar suara desingan senjata tajam.Seta tersentak kaget. Sang prajurit sontak palingkan kepala ke arah asal suara-suara tersebut. Saat itu pulalah ia semakin terkejut. Mulutnya langsung keluarkan seruan tertahan.Sebilah pedang tengah meluncur deras ke arah mereka berdua! Sedangkan jauh di belakang sana tampak Wirama sudah berdiri dalam sikap tubuh bersiaga.Tidak salah lagi, pastilah perwira rendah Kerajaan Jenggala itu yang membuat ulah.“Awas, menghindar!” teriak Seta.Seraya berseru tangannya mendorong tubuh prajurit di hadapannya. Berusaha menghindarkan prajurit yang sudah tak berdaya itu dari serangan yang datang.Terlambat! Pedang tadi tahu-tahu saja sudah menancap di leher prajurit tersebut. Menancap begitu dalam hingga tembus ke sisi leher satunya.Darah m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-08
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 100

    PARAS Wirama berubah tegang. Keringat membanjiri dahi hingga dagu. Sepasang mata perwira rendah tersebut membeliak lebar. Seolah hendak mencolot keluar dari rongga tengkorak.Perlahan sebelah tangan Wirama bergerak menyentuh benda tajam yang menusuk dadanya. Tak lain itu adalah pedang Seta. Menancap dalam hingga tembus ke punggung.Setelah berdiri diam selama beberapa kejap, kaki Wirama goyah. Perwira rendah Jenggala itu jatuh berlutut. Kepalanya mendongak. Menatap tajam pada Seta yang datang mendekat ke arahnya.“Wirama, sebelum nyawamu lepas dari badan, kau punya kesempatan untuk menerangkan semuanya padaku,” ujar Seta begitu berada di hadapan Balawi.Yang diajak bicara berusaha menyeringai dengan susah payah. Lalu terdengar dengusan kasar dari mulutnya.“Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, prajurit tengik!” sahut Wirama ketus sembari mengernyit menahan sakit. “Buka

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-08
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 101

    POHON beringin besar itu tampak mencolok di antara tanaman-tanaman rendah lain di sekitarnya. Batangnya yang tinggi dan besar, serta daunnya yang begitu lebat, membuat siapa pun yang baru tiba di tempat tersebut pasti akan langsung melihatnya pada kesempatan pertama.Begitu pula dengan Seta. Beberapa belas depa sebelum mencapai tempat itu, sang prajurit sudah dapat melihat pohon beringin tersebut. Tak ada batang pohon lain yang lebih tinggi lagi di sekitar sana.Sembari terus bersikap waspada, mementang telinga lebar-lebar dan mengamati situasi sekeliling dengan saksama, Seta mendekati pohon beringin itu. Tak seorang pun terlihat di sana.“Prabangkara belum muncul rupanya,” batin Seta setelah memastikan tak ada siapa-siapa di tempat tersebut.Sang prajurit dongakkan kepala ke atas. Menatap rimbunan dedaunan hijau di pucuk-pucuk dahan tinggi. Begitu lebat daun-daun di sana. Cocok sebagai tempat bersembu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-08
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 102

    DENGAN mengandalkan kemampuan lari cepatnya, dalam waktu sebentar saja Seta sudah menempuh jarak enam ratus depa (kira-kira 1,1 km). Ia pun tiba di satu tepian bengawan yang membentuk kelokan tajam.Seta sontak kerutkan kening dengan wajah berubah saat mengamat-amati keadaan. Ia sepertinya tidak asing dengan tepian sungai tersebut. Otaknya langsung berputar, mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.Beberapa saat kemudian sang prajurit tepak jidatnya sendiri. Tempat itu tak lain tak bukan adalah tempat di mana ia dan gurunya, Ki Sajiwa, bertemu dengan Ki Baswara beberapa purnama lalu.“Apakah ini hanya suatu kebetulan belaka? Atau memang tempat ini sudah biasa dijadikan sebagai tempat pertemuan oleh orang-orang dari kubu tertentu di kotaraja?” batin Seta menduga-duga.“Kalau demikian, apakah Ki Baswara dan Prabangkara, juga Ki Sajiwa, berada di kubu yang sama?” tanyanya lagi dalam hati.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 103

    “J-JADI ..?”Seta tak dapat menyelesaikan ucapannya. Sang prajurit masih sangat terkejut. Sepasang matanya terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Namun sekejap kemudian Seta dapat merangkai semuanya. Ia jadi mengerti rentetan kejadian-kejadian pahit yang menghantam dirinya. Serta alasan di balik peristiwa tersebut.Jelas sudah, dirinya masuk ke dalam pusaran pertikaian antara dua kubu di kotaraja. Namun ia juga masih belum mengerti siapa saja di masing-masing kubu.Yang ia tahu, akibat pertikaian tersebut keluarga kecilnya jadi hancur. Isterinya dinodai sehingga memilih bunuh diri. Sedangkan anaknya dibakar hidup-hidup. Sungguh akhir hidup yang tragis bagi dua orang yang sangat Seta cintai.“Jadi rupanya bagi sekelompok orang aku telah melakukan kesalahan karena membunuh Surajaya..?” gumam sang prajurit kemudian. Antara bertanya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 104

    LERETAN sinar merah benderang itu menyambut, mengadang datangnya pukulan jarak jauh yang dilepas lelaki bercambang bauk.Suasana di sungai tersebut semakin berisik saja. Air bergolak lebih kencang. Gelombang bertambah tinggi, membuat perahu yang tengah diam itu terombang-ambing ke kanan-kiri berganti-ganti.Pada satu tempat di udara, kedua pukulan sakti itu pun bertemu. Tepat di atas permukaan bengawan.Blaarrr!Suara ledakan sangat keras terdengar memecah angkasa. Diiringi kepulan asap putih kemerahan nan tebal. Air bergolak semakin tinggi. Gelombang besar pun tercipta.Akibat besarnya gelombang, perahu yang ditumpangi Seta dan Prabangkara oleng dan kemudian terseret sejauh beberapa jarak. Untung saja tak sampai terbalik.Di dermaga, Lembu Segara dan lelaki bercambang bauk merasakan lantai kayu yang mereka injak bergetar hebat. Gelombang yang tinggi juga menghantam dermaga. Membuat air terciprat ke mana-mana.&

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-09
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 105

    SEKETIKA Ranajaya sapukan pandangan ke sepanjang aliran bengawan. Matanya menangkap sebuah perahu yang tengah berlayar menjauh ke arah selatan.Tanpa berpikir panjang lagi gembong rampok tersebut melesat mengejar. Sambil berlari, sebelah tangannya disiapkan untuk melepas satu pukulan jarak jauh.“Kau mau ke mana, Ranajaya?” tanya Lembu Segara yang masih kebingungan sendiri.Karena tak ada jawaban, perwira Kerajaan Jenggala tersebut memilih ikut melesat ke arah yang dituju Ranajaya. Namun belum jauh, larinya langsung dihentikan begitu dilihatnya gembong rampok tersebut melepas pukulan jarak jauh.Wusss!Segulung angin menyambar ke tengah sungai. Diikuti terdengarnya suara menderu kencang. Melesat begitu cepat, dan tahu-tahu saja sudah menghantam perahu yang tengah melaju.Blaarrr!Perahu tersebut meledak dan hancur berkeping-keping. Habis tak berbentuk. Serpihan kayu ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 106

    RANAJAYA keluarkan jerit menggeram sekeras-kerasnya. Gembong rampok itu merasakan sesuatu yang dingin menggores kulitnya. Diikuti oleh rasa perih luar biasa.Tak salah lagi. Pedang Seta menyabet perut Ranajaya yang agak membuncit. Menciptakan luka besar melintang tepat di pertengahan. Menampakkan usus putih memanjang di bagian dalam.Wajah gembong rampok tersebut berubah pucat pasi. Kakinya tersurut mundur beberapa langkah. Sekilas ia pandangi perutnya yang robek. Lalu dengan tangan bergetar diusapnya darah yang mengalir dari luka itu."Keparat kau, Seta!” desisnya dengan amarah selangit.Namun hanya itu yang dapat dilakukan Ranajaya. Sepasang kakinya seketika bergetar hebat. Tak mampu lagi menahan beban tubuhnya yang gempal. Lelaki berwajah bengis itu pun jatuh duduk di tanah.Dari tempatnya, Seta tak putus-putus menatap Ranajaya yang meringis kesakitan. Wajah sang prajurit

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10

Bab terbaru

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 192

    Taman Sari Jenggala yang tenang pagi itu dipenuhi aroma bunga melati dan gemercik suara air dari kolam. Di bawah naungan pendapa yang indah, Sri Prabu Girindra dan Permaisuri tengah duduk menanti kedatangan Seta. Wajah keduanya serius, meskipun Permaisuri tampak lebih tenang dibanding Sri Prabu yang sesekali menatap jauh ke arah cakrawala.Tak lama, Seta tiba, diantar seorang wira tamtama. Ia melangkah mantap, meski dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan oleh penguasa tertinggi Jenggala itu.Seta segera memberi hormat dengan membungkukkan badan. “Hamba menghadap, Gusti Prabu, Gusti Permaisuri,” ucapnya.Sri Prabu mengangguk ringan, sementara Permaisuri tersenyum lembut. Ia menunjuk ke tikar di depan mereka. “Duduklah, Seta,” katanya. “Kami ingin berbicara panjang lebar denganmu.”Seta menurut, duduk bersila dengan sopan. Ia menanti kata-kata yang akan keluar dari kedua penguasa Jenggala ini.Perma

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 191

    Mentari pagi yang baru saja terbit menyinari tanah Jenggala dengan lembut, tetapi suasana di alun-alun kerajaan dipenuhi ketegangan. Sejumlah warga telah berkumpul, berbisik-bisik dan menunggu momen yang akan menjadi peringatan kelam dalam sejarah Jenggala.Di tengah kerumunan itu, Seta berdiri bersama Ki Sajiwa, keduanya diam membisu. Sorot mata Seta menunjukkan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelelahan yang mendalam.Tak jauh dari situ, rombongan prajurit yang dipimpin Rakryan Rangga tiba di gerbang penjara. Empat wira tamtama gagah berjaga di luar, dan begitu Rakryan Rangga muncul, mereka segera membuka jalan. Dengan langkah tegas, Rakryan Rangga masuk ke ruang tahanan.Dyah Wisesa sedang duduk bersila di lantai kerangkengnya, wajahnya tak lagi menyiratkan kesombongan, tetapi tatapannya masih penuh rasa penasaran. Ketika melihat Rakryan Rangga datang bersama pasukan kecilnya, ia berdiri perlahan dan tersenyum sinis.“Aku yakin kalian da

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 190

    Pagi itu, suasana balairung istana Jenggala dipenuhi keheningan yang mencekam. Hanya suara burung-burung pagi yang terdengar dari luar, menyusup melalui celah-celah dinding istana.Sri Prabu Girindra duduk di atas singgasananya dengan wajah yang tampak muram. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, sementara tangannya menggenggam lengan singgasana dengan erat, menahan gejolak emosi yang tak terlihat.Di hadapannya berdiri Dyah Daru dan Rakryan Rangga, dua sosok yang paling dipercaya untuk memberikan pandangan jernih dalam menghadapi persoalan pelik ini. Mereka berdua menunggu dengan hormat, membiarkan Sri Prabu menjadi yang pertama membuka pembicaraan.“Adikku Daru, Rakryan Rangga,” ujar Sri Prabu dengan nada berat. “Kalian tahu mengapa aku memanggil kalian kemari pagi ini.”Dyah Daru mengangguk pelan. “Hamba mengerti, Gusti Prabu,” jawabnya dengan penuh hormat.Rakryan Rangga hanya membungkukkan badan tanpa berani

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 189

    Suasana di penjara istana terasa mencekam. Dinding batu yang dingin dan bau lembap menyelubungi setiap sudut ruangan.Seta melangkah dengan kaki yang penuh tekad. Ia datang untuk menemui seorang tahanan yang kini terkurung dalam kerangkeng besi, di ujung penjara yang paling jauh.Dyah Wisesa, sang bangsawan yang dulu begitu dihormati, kini duduk di sudut kerangkeng, wajahnya tampak suram, penuh dengan keputusasaan. Ia tampak jauh lebih lemah dibandingkan ketika siang tadi dihadapkan pada Sri Prabu Girindra.Namun, meskipun penampilan Dyah Wisesa tak seperti dulu, kebencian yang ada di dalam dirinya masih tampak jelas, tersirat di balik matanya yang tajam.Setelah tiba di depan ruang tahanan di mana Dyah Wisesa dikurung, Seta tak membuang waktu. Ia mendekat, meletakkan tangan di atas jeruji penjara. Matanya menatap tajam ke arah Dyah Wisesa, bibirnya bergetar menahan amarah yang sudah tidak bisa dikendalikan lagi.“Dyah Wisesa,” ujar Set

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 188

    Malam di Kotaraja Jenggala begitu hening. Hanya sesekali terdengar suara angin yang menerpa pepohonan di taman istana.Di balkon kamar istana, Sri Prabu Girindra berdiri memandangi bulan yang menggantung di langit, sinarnya memantulkan warna perak pada segala sesuatu di bawahnya. Wajah sang raja tampak diliputi kekalutan, meski ia berdiri dengan tubuh tegap.Langkah lembut terdengar dari dalam kamar. Permaisuri, mengenakan kain sutra lembut dengan selendang melilit bahunya, melangkah menghampiri. Ia membawa ketenangan dalam setiap gerakannya, dan senyumnya yang hangat mengusir dinginnya malam.“Kakang Prabu, kenapa belum tidur?” tanyanya lembut sambil menyentuh lengan suaminya.Sri Prabu menoleh, lalu tersenyum tipis. “Aku belum mengantuk, mana bisa tidur? Pikiran ini masih terlalu penuh untuk bisa terlelap ke alam impian.”Permaisuri menarik tangan Sri Prabu Girindra, menggenggam jari-jari suaminya itu dengan lembut.

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 187

    Mata keris Dyah Wisesa berkilat di bawah sinar matahari, meluncur cepat mengarah ke leher Seta. Namun, dengan ketenangan luar biasa, Seta memiringkan tubuhnya pada detik terakhir, membiarkan keris itu hanya mencium angin.Sambil menghindar, Seta sambil menangkap pergelangan tangan Dyah Wisesa dengan cengkeraman kuat, memutar tubuhnya, dan menggunakan momentum itu untuk melepaskan keris dari genggaman lawannya.“Kau terlalu lamban,” ujar Seta dingin, melemparkan keris itu jauh dari jangkauan Dyah Wisesa.Namun, Dyah Wisesa belum menyerah. Ia melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi, setiap serangannya berusaha menembus pertahanan Seta.Yang tidak diketahui Dyah Wisesa, lawannya adalah seorang prajurit pilihan nan terlatih, dengan gerak tubuh yang terukur dan efisien. Belum lagi hasil gemblengan Ki Sajiwa di Teluk Lawa menambah kecepatan dan ketangkasan gerakan Seta.Maka, setiap serangan Dyah Wisesa tidak hanya gagal mengenai sasar

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 186

    Ketegangan di balairung istana mencapai puncak. Dyah Wisesa yang sudah dikuasai amarah menghunus kerisnya, mengarahkan senjata itu langsung ke dada Sri Prabu Girindra.Namun sebelum mata keris sempat menyentuh kulit sang raja, sebuah bayangan bergerak lebih cepat dari semua yang ada di balairung.“Seta!” seru Ki Sajiwa saat menyadari siapa yang barusan bergerak, tetapi panggilannya terlambat.Seta telah melesat bagaikan panah yang lepas dari busurnya. Dengan satu gerakan lincah, ia menghadang Dyah Wisesa.Tangan kanan sang wira tamtama terjulur, menangkis serangan dengan telapak tangan yang penuh tenaga dalam. Denting logam terdengar nyaring ketika keris Dyah Wisesa terpental ke udara.“Brak!”Satu dorongan keras dari Seta membuat Dyah Wisesa terjengkang jauh ke belakang, hingga menabrak tiang penyangga balairung.Para pejabat dan prajurit yang menyaksikan terhenyak, terkejut oleh keberanian Seta melawan seoran

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 185

    Balairung istana yang sebelumnya mencekam kini terasa semakin tegang. Semua orang, mulai dari para pejabat hingga prajurit yang berjaga, menanti kelanjutan persidangan yang membawa Jenggala ke dalam gejolak.Dyah Daru, yang berdiri tegak di dekat Dyah Wisesa, menghela napas panjang. Ia kemudian melangkah maju, menyampaikan sesuatu yang membuat suasana makin panas.“Paduka Prabu,” ujar Dyah Daru sambil membungkuk hormat, “izinkan hamba menyampaikan satu hal lagi yang hamba ketahui tentang Kakanda Wisesa.""Katakan, Daru," sahut Sri Prabu cepat."Dini hari tadi, Kakang Wisesa dan pasukannya bersiap melarikan diri ke Panjalu. Untungnya, hamba dan Rakryan Rangga bergerak tepat waktu sehingga dapat menggagalkan rencana tersebut. Hamba bersama pasukan berhasil mengadang mereka sebelum mencapai perbatasan."Sementara itu, kami juga berhasil membuat Arya Jatikusuma beserta pasukannya berbalik arah menuju Kotaraja, padahal mereka semula he

  • Bara Dendam di Perbatasan   Bab 184

    Balairung istana semakin terasa mencekam. Matahari yang mulai tinggi memancarkan cahaya keemasan melalui celah-celah jendela, tetapi suasana di dalam ruangan tetap suram.Dyah Wisesa berdiri tegak dengan kepala menunduk, wajahnya penuh amarah yang ditahan. Di hadapan Sri Prabu Girindra, ia terlihat seperti seorang kesatria yang terpojok tetapi menolak menyerah.Sri Prabu, yang duduk dengan wibawa di atas singgasana, menatap adiknya itu dengan sorot mata penuh kekecewaan.“Wisesa, sampai kapan kau akan terus menyangkal? Tidakkah kau sadar bahwa segala bukti dan kesaksian mulai mengarah padamu? Aku bertanya sekali lagi, apakah benar kau bekerja sama dengan Dyah Srengga untuk menggagalkan cucuku menjadi putera mahkota sekaligus mengganggu takhta Jenggala?”Dyah Wisesa mengangkat wajah. Tatapannya tegas dan penuh rasa tersinggung.“Paduka Prabu, semua tuduhan itu tidak lebih dari fitnah keji. Hamba telah menjadi korban satu komplotan

DMCA.com Protection Status