PASAR di kotaraja Jenggala begitu ramai pada pagi menjelang tengah hari tersebut. Suara seruan para pedagang terdengar di mana-mana. Bersahut-sahutan menjajakan barang jualan masing-masing.
Tak hanya pedagang tempatan yang ada di sana. Pedagang-pedagang asing dari negeri-negeri jauh pun turut mengais rejeki. Menawarkan barang-barang yang khusus mereka bawa dengan kapal-kapal dagang besar.
Sementara di beberapa sudut tampak beberapa prajurit berjaga-jaga. Sebelah tangan mereka senantiasa memegang gagang pedang di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.
Di tengah keramaian itulah sebuah pedati berisi aneka sayur-sayuran menyeruak. Lewat perlahan di antara deretan pedagang. Kerbau penarik kendaraan itu sesekali melenguh panjang.
“Hei, Kisanak! Jangan bawa pedatimu ke tengah pasar begini!”
Tiba-tiba saja terdengar seruan keras. Lalu tiga prajurit berlari mendekati pedati tersebut. Orang-orang yang
TIGA ratus depa dari utara pasar, belok ke kiri. Lalu berjalan lurus ke barat sejauh lima ratus depa. Di bawah sebatang pohon beringin besar.Dengan bergumam Seta terus mengingat-ingat petunjuk tersebut. Sembari membawa pedatinya berjalan perlahan-lahan menjauhi pasar. Sambil sepasang matanya mengamati keadaan sekeliling.Di beberapa tempat ia memergoki prajurit-prajurit yang tengah mengamati gerak-geriknya. Entah apakah mereka mengenali dirinya, atau sekedar bersikap waspada. Seta tak mau menduga-duga.Yang penting dirinya harus segera meninggalkan pasar sejauh mungkin. Kemudian menghilangkan jejak agar tak terendus siapa pun saat menemui Prabangkara di tempat yang dijanjikan.“Tunggu setelah tengah hari, katanya,” gumam Seta lagi seraya mendongakkan kepalanya ke atas.Matahari sudah di atas kepala, tapi masih condong ke sebelah timur. Tengah hari belum lagi datang. Mungkin beberapa saat la
LOLONGAN setinggi langit terdengar membelah udara. Prajurit yang tangannya kena tebas pedang Seta berdiri gemetar. Wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.Sepasang mata prajurit tersebut membeliak lebar. Tak berkedip memandangi tangannya yang putus sebatas bawah siku dengan tatapan nanar. Darah bercucuran deras dari luka menganga pada kutungan itu.“Keparat! Kau harus mati!” geram si prajurit penuh amarah.Sebelah tangannya yang masih utuh bergerak cepat mencabut pedang. Lalu dengan gerakan buru-buru ia menghambur ke dalam bak pedati di belakang. Melancarkan serangan pada Seta.Sing! Sing!Suara berdesing hebat menderu-deru kala pedang disabetkan bertubi-tubi ke arah Seta. Namun si prajurit penyerang begitu dirasuki amarah. Sehingga serangan tersebut sangat serampangan.Yang diserang jadi menyeringai lebar. Tanpa menunggu serangan mendekat, Seta sudah bergerak menyongsong. Pedang di t
MELIHAT pemimpin mereka tak bergerak, dua prajurit yang tersisa langsung lumer nyalinya. Untuk sesaat mereka saling pandang satu sama lain. Lalu sekejap kemudian sama-sama angkat kaki. Secepat mungkin meninggalkan tempat tersebut.“Pengecut!” maki Seta geram.Sang prajurit ambil dua bilah pedang entah milik siapa yang tergeletak di tanah. Dilemparkannya kedua senjata tersebut tinggi-tinggi ke udara. Begitu kembali turun, kakinya bergerak menendang gagang pedang.Dengan cepat sepasang pedang tersebut melesat. Bak anak panah yang melesat dari busur. Mengejar dua prajurit yang belum pergi terlalu jauh.Sing! Sing!Suara berdesing mencubit telinga terdengar kala mata pedang membelah udara. Dua prajurit yang jadi sasaran sontak menoleh ke belakang ketika mendengar bunyi tersebut.Saat itu pula wajah keduanya berubah. Pedang kiriman Seta sudah begitu dekat!Sambil berseru ter
SATU teriakan keras menggelegar. Arahnya dari tempat di mana Wirama tadi berada. Bersamaan dengan itu terdengar suara desingan senjata tajam.Seta tersentak kaget. Sang prajurit sontak palingkan kepala ke arah asal suara-suara tersebut. Saat itu pulalah ia semakin terkejut. Mulutnya langsung keluarkan seruan tertahan.Sebilah pedang tengah meluncur deras ke arah mereka berdua! Sedangkan jauh di belakang sana tampak Wirama sudah berdiri dalam sikap tubuh bersiaga.Tidak salah lagi, pastilah perwira rendah Kerajaan Jenggala itu yang membuat ulah.“Awas, menghindar!” teriak Seta.Seraya berseru tangannya mendorong tubuh prajurit di hadapannya. Berusaha menghindarkan prajurit yang sudah tak berdaya itu dari serangan yang datang.Terlambat! Pedang tadi tahu-tahu saja sudah menancap di leher prajurit tersebut. Menancap begitu dalam hingga tembus ke sisi leher satunya.Darah m
PARAS Wirama berubah tegang. Keringat membanjiri dahi hingga dagu. Sepasang mata perwira rendah tersebut membeliak lebar. Seolah hendak mencolot keluar dari rongga tengkorak.Perlahan sebelah tangan Wirama bergerak menyentuh benda tajam yang menusuk dadanya. Tak lain itu adalah pedang Seta. Menancap dalam hingga tembus ke punggung.Setelah berdiri diam selama beberapa kejap, kaki Wirama goyah. Perwira rendah Jenggala itu jatuh berlutut. Kepalanya mendongak. Menatap tajam pada Seta yang datang mendekat ke arahnya.“Wirama, sebelum nyawamu lepas dari badan, kau punya kesempatan untuk menerangkan semuanya padaku,” ujar Seta begitu berada di hadapan Balawi.Yang diajak bicara berusaha menyeringai dengan susah payah. Lalu terdengar dengusan kasar dari mulutnya.“Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, prajurit tengik!” sahut Wirama ketus sembari mengernyit menahan sakit. “Buka
POHON beringin besar itu tampak mencolok di antara tanaman-tanaman rendah lain di sekitarnya. Batangnya yang tinggi dan besar, serta daunnya yang begitu lebat, membuat siapa pun yang baru tiba di tempat tersebut pasti akan langsung melihatnya pada kesempatan pertama.Begitu pula dengan Seta. Beberapa belas depa sebelum mencapai tempat itu, sang prajurit sudah dapat melihat pohon beringin tersebut. Tak ada batang pohon lain yang lebih tinggi lagi di sekitar sana.Sembari terus bersikap waspada, mementang telinga lebar-lebar dan mengamati situasi sekeliling dengan saksama, Seta mendekati pohon beringin itu. Tak seorang pun terlihat di sana.“Prabangkara belum muncul rupanya,” batin Seta setelah memastikan tak ada siapa-siapa di tempat tersebut.Sang prajurit dongakkan kepala ke atas. Menatap rimbunan dedaunan hijau di pucuk-pucuk dahan tinggi. Begitu lebat daun-daun di sana. Cocok sebagai tempat bersembu
DENGAN mengandalkan kemampuan lari cepatnya, dalam waktu sebentar saja Seta sudah menempuh jarak enam ratus depa (kira-kira 1,1 km). Ia pun tiba di satu tepian bengawan yang membentuk kelokan tajam.Seta sontak kerutkan kening dengan wajah berubah saat mengamat-amati keadaan. Ia sepertinya tidak asing dengan tepian sungai tersebut. Otaknya langsung berputar, mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu.Beberapa saat kemudian sang prajurit tepak jidatnya sendiri. Tempat itu tak lain tak bukan adalah tempat di mana ia dan gurunya, Ki Sajiwa, bertemu dengan Ki Baswara beberapa purnama lalu.“Apakah ini hanya suatu kebetulan belaka? Atau memang tempat ini sudah biasa dijadikan sebagai tempat pertemuan oleh orang-orang dari kubu tertentu di kotaraja?” batin Seta menduga-duga.“Kalau demikian, apakah Ki Baswara dan Prabangkara, juga Ki Sajiwa, berada di kubu yang sama?” tanyanya lagi dalam hati.
“J-JADI ..?”Seta tak dapat menyelesaikan ucapannya. Sang prajurit masih sangat terkejut. Sepasang matanya terbelalak lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Namun sekejap kemudian Seta dapat merangkai semuanya. Ia jadi mengerti rentetan kejadian-kejadian pahit yang menghantam dirinya. Serta alasan di balik peristiwa tersebut.Jelas sudah, dirinya masuk ke dalam pusaran pertikaian antara dua kubu di kotaraja. Namun ia juga masih belum mengerti siapa saja di masing-masing kubu.Yang ia tahu, akibat pertikaian tersebut keluarga kecilnya jadi hancur. Isterinya dinodai sehingga memilih bunuh diri. Sedangkan anaknya dibakar hidup-hidup. Sungguh akhir hidup yang tragis bagi dua orang yang sangat Seta cintai.“Jadi rupanya bagi sekelompok orang aku telah melakukan kesalahan karena membunuh Surajaya..?” gumam sang prajurit kemudian. Antara bertanya