JERITAN keras terlontar dari mulut Seta. Hantaman telapak tangan Wirakapi mendarat telak di dada sang prajurit. Membuatnya merasa sesak napas seketika.
Hantaman itu juga mendorong tubuh Seta. Kakinya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Begitu dapat berhenti, terlihat sang prajurit berdiri gontai bagaikan orang mabuk.
Di tempatnya, Wirakapi keluarkan tawa mengekeh. Dengan perlahan kakinya melangkah, mendekati Seta yang masih berusaha menguasai diri.
“Bagaimana, Prajurit, kau sudah merasa cukup atau minta lebih?” tanya lelaki berbulu lebat tersebut di antara tawa. Nada bicaranya terdengar mengejek.
Seta menggeram. Wajahnya merah kelam menahan amarah. Kalau menuruti keinginan hati, saat itu juga ia sudah kembali menyerbu Wirakapi.
Namun sang prajurit masih harus mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Dadanya terasa begitu sesak, paru-parunya serasa mau copot.
“Sudah
SEGELOMBANG angin dahsyat menebar hawa panas menyengat kulit berkelebat. Menyambar cepat ke arah Ki Sajiwa. Diiringi berkiblatnya sinar keperakan yang seketika membuat tepian bengawan tersebut terang benderang.Juga terdengar suara menderu kencang yang membarengi lesatan sinar pukulan tersebut. Bagaikan tengah terjadi angin ribut di tempat itu.Wuuss!Berbarengan dengan luncuran sinar pukulannya tersebut, Wirakapi melompat pula ke depan. Sembari mulutnya keluarkan suara menggeram marah.Wirakapi menyiapkan serangan susulan. Sehingga andai kata Ki Sajiwa dapat menghindari pukulan jarak jauhnya tadi, lelaki berbulu lebat itu dapat langsung menyerang lagi.Namun rupanya yang diserang dapat membaca rencana tersebut. Pasalnya, serangan serupa pernah dilancarkan Wirakapi sewaktu keduanya bentrok di Teluk Lawa satu purnama lalu.“Pukulan kentut busuk begini masih juga jadi andalanmu, Wirakapi?
BUNYI gemericik air menelusup masuk ke dalam pendengaran Seta. Dari semula hanya sayup-sayup, suara tersebut semakin lama bertambah jelas.Kesadaran sang prajurit pun pulih dibuatnya. Tak cuma gemericik air mengalir, tapi kemudian juga terdengar semilir angin yang mengempas pucuk-pucuk dedaunan.Seta buka kedua mata perlahan-lahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah atap yang terbuat dari susunan ilalang kering. Batang-batang bambu seukuran lengan tampak bersilangan sebagai penyangga.“Oh, di mana aku?” ujar Seta lirih.Sang prajurit lantas bergerak bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Di hadapannya terpampang dinding anyaman bambu berwarna coklat kehitaman.Tempat itu seperti tidak asing bagi Seta. Namun otaknya masih belum bekerja dengan baik. Sehingga sang prajurit belum dapat mengingat jelas tempat tersebut.Sementara sinar matahari menyeruak masuk dari sebuah jendela besar di
PECAH tawa mengekeh Ki Sajiwa melihat Seta kebingungan. Begitu lepas kekehan tersebut. Sampai-sampai bahu kerempeng sang petapa terguncang-guncang.Sementara Seta kerutkan keningnya dalam-dalam. Masih keheranan ia coba memutar otak. Menduga-duga apa kaitan yang ditanyakan oleh Ki Sajiwa tadi.“Seta, kalau kau ingin mengurai tali kusut, cobalah tarik dari pangkal,” ujar Ki Sajiwa setelah menghentikan tawanya.“Maksud Guru?” tanya Seta lagi, dengan pertanyaan sama persis. Ia bingung dengan perumpamaan yang diberikan sang guru.“Coba kau ingat-ingat lagi, pangkal mula semua kejadian buruk yang menimpamu selama ini dari mana?” kata Ki Sajiwa lagi dengan sabar.Seta mengangguk-anggukkan kepala. Barulah ia dapat menangkap maksud petapa tua tersebut.Seketika ingatan sang prajurit dipenuhi oleh peristiwa penyergapan Surajaya. Itu merupakan kali pertama dirinya ter
HASIL pembicaraan di pagi menjelang siang itu begitu mengejutkan Seta. Ia sungguh tak pernah berani menduga ada pihak-pihak tertentu yang ingin merebut takhta Kerajaan Jenggala.Baginya, kepemimpinan Sri Maharaja Girindra sangat baik. Kerajaan aman sentosa, rakyat hidup tenang dan senang.Bahkan di bawah kepemimpinan Sri Prabu Girindra-lah perseteruan berlarut-larut dengan Panjalu berhasil diubah menjadi ikatan perkawinan. Yakni dengan menikahnya salah satu putri Jenggala, Sasi Kirana, dengan Prabu Kamesywara yang kini tengah menduduki takhta Panjalu.Jika kelak Sasi Kirana melahirkan putera dan pangeran itu menjadi raja, bukankah Jenggala dan Panjalu bakal bersatu? Kembali berada di bawah panji-panji yang sama seperti pada masa Prabu Airlangga.Namun agaknya ada pihak-pihak yang tidak senang dengan kedamaian tersebut. Didorong hasrat berkuasa, apapun akan dilakukan demi merebut tahta.Kerajaan yang sed
KETIKA malam merayapi Teluk Lawa, Seta tak kunjung dapat memejamkan mata. Pikirannya terus saja terbayang pada dua orang terkasihnya yang telah tiada. Yakni istrinya dan puteranya.Besok, sang prajurit Jenggala akan kembali menapaki jalan menuju pembalasan dendam. Ia bertekad kali ini tak boleh lagi gagal. Tak seorang pun yang dapat menghalangi tangannya untuk memenggal kepala Ranajaya.Ketika hawa dingin semakin mencucuk tulang, pertanda dini hari telah tiba, barulah akhirnya Seta terlelap. Prajurit Jenggala itu hanyut dalam tidur yang sangat nyenyak.Keesokan paginya, sebelum matahari terbit Seta sudah bangun kembali. Bersama-sama Ki Sajiwa ia akan meninggalkan pondok tersebut.“Carilah Ranajaya sampai dapat. Tuntaskan dendammu. Jangan beri ampun,” pesan Ki Sajiwa sebelum mereka berpisah.Seta hanya anggukkan kepala. Itulah memang yang menjadi tekadnya di dalam hati.“Sete
PASAR di kotaraja Jenggala begitu ramai pada pagi menjelang tengah hari tersebut. Suara seruan para pedagang terdengar di mana-mana. Bersahut-sahutan menjajakan barang jualan masing-masing.Tak hanya pedagang tempatan yang ada di sana. Pedagang-pedagang asing dari negeri-negeri jauh pun turut mengais rejeki. Menawarkan barang-barang yang khusus mereka bawa dengan kapal-kapal dagang besar.Sementara di beberapa sudut tampak beberapa prajurit berjaga-jaga. Sebelah tangan mereka senantiasa memegang gagang pedang di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.Di tengah keramaian itulah sebuah pedati berisi aneka sayur-sayuran menyeruak. Lewat perlahan di antara deretan pedagang. Kerbau penarik kendaraan itu sesekali melenguh panjang.“Hei, Kisanak! Jangan bawa pedatimu ke tengah pasar begini!”Tiba-tiba saja terdengar seruan keras. Lalu tiga prajurit berlari mendekati pedati tersebut. Orang-orang yang
TIGA ratus depa dari utara pasar, belok ke kiri. Lalu berjalan lurus ke barat sejauh lima ratus depa. Di bawah sebatang pohon beringin besar.Dengan bergumam Seta terus mengingat-ingat petunjuk tersebut. Sembari membawa pedatinya berjalan perlahan-lahan menjauhi pasar. Sambil sepasang matanya mengamati keadaan sekeliling.Di beberapa tempat ia memergoki prajurit-prajurit yang tengah mengamati gerak-geriknya. Entah apakah mereka mengenali dirinya, atau sekedar bersikap waspada. Seta tak mau menduga-duga.Yang penting dirinya harus segera meninggalkan pasar sejauh mungkin. Kemudian menghilangkan jejak agar tak terendus siapa pun saat menemui Prabangkara di tempat yang dijanjikan.“Tunggu setelah tengah hari, katanya,” gumam Seta lagi seraya mendongakkan kepalanya ke atas.Matahari sudah di atas kepala, tapi masih condong ke sebelah timur. Tengah hari belum lagi datang. Mungkin beberapa saat la
LOLONGAN setinggi langit terdengar membelah udara. Prajurit yang tangannya kena tebas pedang Seta berdiri gemetar. Wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.Sepasang mata prajurit tersebut membeliak lebar. Tak berkedip memandangi tangannya yang putus sebatas bawah siku dengan tatapan nanar. Darah bercucuran deras dari luka menganga pada kutungan itu.“Keparat! Kau harus mati!” geram si prajurit penuh amarah.Sebelah tangannya yang masih utuh bergerak cepat mencabut pedang. Lalu dengan gerakan buru-buru ia menghambur ke dalam bak pedati di belakang. Melancarkan serangan pada Seta.Sing! Sing!Suara berdesing hebat menderu-deru kala pedang disabetkan bertubi-tubi ke arah Seta. Namun si prajurit penyerang begitu dirasuki amarah. Sehingga serangan tersebut sangat serampangan.Yang diserang jadi menyeringai lebar. Tanpa menunggu serangan mendekat, Seta sudah bergerak menyongsong. Pedang di t